Akil Mochtar, Sebuah Potret Kegagalan
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Akil Mochtar, nama yang tak dikenal sebagai ahli hukum tata negara. Walau
dia berlatar belakang pengacara, ia lebih dikenal sebagai politisi dari
Partai Golkar. Ia pernah berjaya sebagai politisi di masa Akbar Tanjung
sebagai ketua umum partai beringin. Ia dua periode menjadi anggota DPR,
sejak 1999. Namun faksi ini runtuh seiring pergantian ketua umum partai ke
Jusuf Kalla. Ia segera banting setir. Ia menjadi hakim konstitusi di
Mahkamah Konstitusi. Ia terpilih pada 2008 dan kemudian menjadi ketua pada
April 2013. Untuk kali pertama, MK dipimpin oleh orang yang tak dikenal
sebagai ahli tata negara dan bukan seorang profesor. Ketua MK sebelumnya
adalah Jimly Asshiddiqie dan Moh Mahfud MD. Keduanya profesor, doktor, dan
akademisi. Jimly dosen di UI dan Mahfud dosen dan mantan rektor UII.
Walaupun Mahfud berpolitik di PKB tapi warna akademisinya lebih dominan.

Kini, di MK ada tiga hakim yang berlatar politisi. Selain Akil, dua lainnya
adalah Hamdan Zoelva dan Patrialis Akbar. Hamdan dari PBB dan Patrialis
dari PAN. Sedangkan enam hakim lainnya berlatar belakang akademisi (3
orang) dan hakim karier (3 orang). Dengan adanya kasus Akil ini, sejarah MK
yang baik mulai tercoreng. Padahal nama Jimly dan Mahfud berkibar berkat
kepemimpinannya di MK. Bahkan Mahfud digadang-gadang sebagai salah satu
kandidat calon presiden. Jimly pun dilirik untuk menjadi cawapres. Namun
Akil justru berkebalikan. Ia yang baru memimpin MK hampir enam bulan sudah
tertangkap basah KPK karena diduga menerima suap. Publik pun teringat tiga
tahun lalu. Saat itu pengamat hukum tata negara, Refly Harun, sempat
menghebohkan publik karena mengungkap tuduhan suap. Nama yang disorot
adalah Akil. Namun kewibawaan Mahfud, yang saat itu memimpin MK, membuat
kasus ini hilang. Kini, Akil justru tertangkap tangan.

Peristiwa ini membuat publik terguncang. Di Indonesia ada dua lembaga yang
dianggap sebagai superbody. Pertama, KPK. Kedua, MK. Bahkan Marzuki Alie,
ketua DPR, menilai MK ini sudah seperti Tuhan. Keputusannya bersifat
absolut dan final. Tak ada banding. Apa yang sudah diputuskan MK tak bisa
dikoreksi oleh siapapun dan lembaga manapun. Padahal MK punya dua tugas
kunci. Pertama, mereview produk legislasi. Kedua, memutuskan sengketa
pilkada, pilpres, dan pemilu legislatif. Yang pertama menyangkut landasan
hukum, termasuk konstitusi. Yang kedua menyangkut wakil kita di parlemen
maupun di eksekutif. Keduanya pilar penting dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan. Karena itu, orang yang duduk di MK haruslah manusia suci,
setengah dewa. Yang duduk di MK harusnya hanya orang-orang yang ingin
mengabdikan hidupnya untuk kebenaran dan melayani publik. Bukan orang yang
mau menjadi pejabat, mencari pekerjaan, atau justru menjadi instrumen bagi
kepentingan politik golongan maupun individual.

Karena itu kita sangat sedih ketika politisi mulai memasuki MK, terutama
yang integritasnya diragukan. Politisi sudah menjadi seperti air bah.
Mereka menyelinap ke mana-mana. Padahal di awal reformasi, titik tujuan
mereka hanya dibatasi di parlemen dan jabatan politik di pemerintahan.
Namun kini mulai merembes tak tentu batas. DPD yang semula untuk
non-partai, pun sudah dimasuki. Dengan kekuasaannya, mereka bisa mengubah
aturannya. Demikian pula di MK. Mereka ingin seperti Midas. Karena
kerakusannya, ia ingin menyentuh semuanya menjadi emas. Ia tak sadar jika
semuanya sudah menjadi emas maka hanya soal waktu saja dirinya akan mati
dengan sendirinya. Jika semua sudah dimasuki politisi maka kita sedang
menunggu keruntuhan Indonesia. Harus ada kesadaran dan gerakan untuk
membatasi kerakusan politisi.

Kasus Akil ini juga membuktikan makin habisnya institusi negara yang
terbebas dari korupsi. Hanya menyisakan DPD. Namun inipun bisa jadi karena
DPD tak memiliki kewenangan apapun. Semua institusi lain sudah tergerus
virus korupsi. Kita memuji KPK yang sudah berhasil menangkap para koruptor.
Namun keberhasilan pemberantasan korupsi, yang terpenting justru bukan pada
aspek penegakan tapi pencegahan. Di sinilah titik krusialnya. Indeks
korupsi Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Ini menunjukkan kita
sudah gagal. Ada banyak sebab. Pertama, anggaran KPK sangat kecil. Kedua,
KPK tak bisa berjalan sendiri tapi juga harus menjadi gerakan bersama
dengan kepolisian dan kejaksaan. Ketiga, gerakan antikorupsi harus menjadi
gerakan sosial bukan semata penegakan hukum. Keempat, pemberantasan korupsi
akan efektif jika ada keteladanan para pemimpin. Kelima, harus ada
perubahan tata nilai dalam masyarakat dalam menata tangga sukses.

Saat ini kita seolah membiarkan KPK berjalan sendiri. Bahkan KPK secara
selektif tak lagi steril dari intervensi politik. Selain itu, KPK juga
dibonsai dengan cara pengalokasian anggaran yang kecil. Ini ibarat membasmi
nyamuk dengan sapu lidi. Tapi lidinya dibatasi, dan diganggu ruang
geraknya. Pada sisi lain pintu dan jendela tetap dibuka. Genangan air
dibiarkan ada di mana-mana. Sampai kapanpun nyamuk tak akan pernah
berkurang.

Sudah saatnya pemberantasan korupsi menjadi gerakan sosial. Kita belum
melihat ada relawan antikorupsi yang massif dan sistematis. Relawan yang
bergerak di level akar rumput. Yang ada adalah relawan para koruptor.
Mereka merubungi koruptor seperti semut merubungi gula. Mereka berharap
kecipratan duitnya. Motifnya macam-macam: meminta sumbangan pembangunan
ini-itu, meminta sumbangan pengobatan dan pendidikan, menjadi
dayang-dayang, bahkan sekadar bangga bisa kenal, dan seterusnya. Padahal
mereka pasti bisa mencium bahwa orang itu koruptor. Secara kasat mata mudah
dilihat. Hal inilah yang menjadikan politik dinasti mudah berbiak, yang
membuat politik oligarki mudah tumbuh. Politik dinasti dan politik oligarki
adalah pohon koruptor. Jika gerakan antikorupsi menjadi gerakan sosial maka
kontrol sosial akan menggigit. Korupsi akan menjadi sesuatu yang memalukan,
dan karena itu terjadi secara tertutup. Saat ini, korupsi dan koruptor
berlaku telanjang di terang hari. Tak ada malu-malunya.

Pada sisi lain, sudah saatnya memberlakukan hukuman mati untuk koruptor.
Pasti para calon koruptor akan ketakutan. Pasti anak-anak dan istri/suami
tak ingin kehilangan keluarganya. Pasti ibu dan bapak tak ingin kehilangan
anak-anaknya. Pasti Indonesia akan bisa melesat, karena Indonesia memiliki
segalanya. Hanya satu penghalangnya: koruptor.

http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/10/04/mu4bge-akil-mochtar-sebuah-potret-kegagalan


Wassalammu'alaikum wr. wb
Aryandi, 40th+, ciledug, tangerang
*Tingkatkan Integritas Diri, Jalin Silahturrahim, Mari Bersinergi, Ayo
Jemput Rezeki, Bantu Anak Negeri**  *

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.

Kirim email ke