Assalamu'alaikum Wr. Wb Ajo Duta dan adidunsanak palanta RN n.a.h,
menjawab pertanyaan Ajo Duta di wall Facebook ambo tentang sulitnya membuka
tautan link kolom ini (sebelumnya juga dialami Pak Saaf), ambo lampirkan
versi copas tsb. Semoga berkenan.
Wassalam,
ANB
* * *
Senin, 20 Januari 2014 10:08 WIB *( 493 Views )*
Bukan I.T.B. Biasa
Penulis : Akmal Nasery Basral*

androidspin.com

AKRONIM ITB ternyata tak hanya bisa mengacu kepada perguruan tinggi beken
Institut Teknologi Bandung yang sudah dikenal publik selama ini. Itu lazim
adanya. Yang luar biasa adalah jika akronim itu cocok juga untuk
menggambarkan gejala paling *hype* di tanah air pekan ini: Instagram,
Tustel, Banjir. Kok bisa? Bagi yang tak sempat mengikuti berita, inilah
ikhtisarnya.

Dalam sambutan pembukaan rapat paripurna Solidaritas Istri Kabinet
Indonesia Bersatu (SIKIB) di Istana Negara, Kamis 16 Januari, Hj. Kristiani
Herrawati yang populer dipanggil Ani Yudhoyono,  membuka pepat hatinya.
“Saya jengkel ada yang menulis, “Ibu ini lagi banjir, kok main Instagram?”
ujarnya separuh *curcol*, curhat colongan,  istilah yang kini marak
digunakan anak muda. Debar jantung peserta SIKIB sontak bergemuruh lebih
cepat dari *geliung* arus air Bendungan Katulampa yang tak tertahan
menyerbu ibukota.

Ihwal Ibu Negara gemar menggunakan aplikasi Instagram, sebenarnya sudah
menjadi pengetahuan bersama. Yang istimewa, kali ini Nyonya Presiden khusus
menyampaikan di sebuah rapat istri menteri kabinet tentang kejadian dua
hari sebelumnya ketika muncul sebuah komentar yang membuatnya gusar. “Itu
kan hari libur (Maulid Nabi, 14 Januari – *red*). Jadi saya jawab, ‘Ibu
Jokowi dan Ibu Ahok ke mana ya? Kok saya yang dimarahi?” lanjut putri
Letjen (Purn.) Sarwo Edhi Wibowo tersebut.

Belakangan terungkap, sang komentator adalah seorang siswa SMA, yang pasti
akibat belum memahami psikologi ibu pejabat, tak bisa menyampaikan inti
pikirannya dengan lebih lembut lagi seperti, “Maaf bu, sekarang sedang
banjir di mana-mana, apakah sudah ada rencana ibu untuk turun langsung ke
lokasi membantu rakyat?”

*Yeah*, namanya juga anak SMA yang masih ceplas ceplos. Jika komentar itu
dilihat lebih tenang, boleh jadi yang terasa justru gurihnya komunikasi
karena cara sang siswa yang seakan-akan sedang *ngobrol* langsung dengan
*ibunya* *sendiri*. Tidak tersekat dalam formalisasi bahasa.

Apalagi menyangkut banjir, yang salah satu penyebabnya tak lain dari
tingginya curah hujan. Allah Sang Pemilik Ilmu telah berbaik hati
meminjamkan sedikit informasiNya mengenai hujan seperti dalam firman,
“*Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisiNya terletak ilmu tentang Kiamat, dan Dia-lah yang
menurunkan hujan* … “ (QS 31:34), melalui para pakar di Badan Meteorologi
dan Geofisika. Karena itu jika persiapan infrastruktur dikerjakan oleh
Gubernur, Wakil dan aparatnya, dengan dukungan doa dari “Ibu Jokowi” dan
“Ibu Ahok”, betapa sangat melegakan jika melihat Ibu Negara yang mengayomi
seluruh bangsa membantu dari mental-spiritual, meski hanya dengan menjabat
tangan beberapa korban banjir dan menenangkan beban mereka dengan senyum
tulus dari sanubari.

Belum lindap urusan “Banjir dan Instagram”, sehari kemudian muncul komentar
lain membuat gusar Ani Yudhoyono. Sang* follower* bertanya apakah foto-foto
yang tersaji di Instagram itu “berasal dari kamera pribadi atau milik
negara?” Pertanyaan itu langsung ‘diskak mat’ Ibu Negara dengan jawaban
yang mungkin membuat menyesal sang penanya. ”Pertanyaan Anda agak
keterlaluan, tapi akan saya jawab biar gamblang. Yang dipakai oleh biro
pers, kemungkinan punya negara. Kalau yang dipakai saya tentu milik
pribadi. Ingat jauh sebelum jadi Ibu Negara, pada tahun 1976 saya mendapat
hadiah perkawinan sebuah tustel dari ortu. Paham?”

Ada bagusnya jawaban Ibu Negara, terutama mengingat generasi sekarang hanya
mengenal istilah kamera (dari SLR/DSLR sampai *web camera*). Padahal di
negeri ini pernah sangat akrab sebuah kata serapan dari bahasa Belanda yang
terdengar begitu romantis: *toestel* -- kata yang kini ikut tergusur oleh
banjir Amerikanisasi istilah dalam lanskap bahasa Indonesia.

Sayang saya tak punya akses ke rapat paripurna SIKIB. Seandainya ada, saya
membayangkan ada dialog imajiner antara Ibu Negara dengan para ibu menteri
seperti ini.

Ibu Negara:  “Tolong Ibu Menteri A dan B mengunjungi korban banjir di
Manado. Ibu Menteri C dan D menyambangi korban banjir di Bandung. Ibu
Menteri E dan F ke Jambi dan Padang. Ibu Menteri G dan H datang menghampiri
27 ribu pengungsi Gunung Sinabung. Nanti teknisnya dibantu Setneg. Pokoknya
semua ibu menteri jangan ada yang tinggal di rumah, kini berpencar membantu
mengurangi beban rakyat.”

Ibu Menteri A: “Saya setuju, Bu. Maaf, boleh tahu rencana ibu sendiri
bagaimana?”

Ibu Negara: “Saya akan ke semua wilayah itu meski hanya sebentar-sebentar,
untuk mengambil foto para korban dan pengungsi  dengan tustel saya dan
menguploadnya di Instagram.”

Ibu Menteri B: “Instagram? Nanti ada yang nyinyir dan memprotes ibu lagi,
bagaimana?”

Ibu Negara (tersenyum): “Instagram itu hanya awal. Saya akan siapkan
pameran foto bencana awal 2014 secara besar-besaran untuk *fund raising*.
Mumpung saya masih jadi Ibu Negara, setiap helai foto yang saya ambil
dengan tustel pribadi itu akan saya tanda tangani. Kalau perlu harga foto
ditentukan oleh balai lelang internasional, dan semua hasilnya kelak akan
disumbangkan bagi program pemulihan korban banjir dan pengungsi Sinabung.
Para istri Duta Besar negara sahabat di Jakarta akan kita jadikan *partner*,
dan para istri Duta Besar RI di negara sahabat akan menjadi *co-host* untuk
menggelar pameran di KBRI dan KJRI masing-masing. Sekali lagi, seluruh
hasil penjualan pameran foto akan diserahkan untuk meringankan beban para
korban, rakyat yang kita cintai sepenuh hati. Paham?”

Ibu-ibu menteri lain bertepuk tangan dan memasang muka secerah mentari
pagi  saat mengecup kuntum melati. “Saya setuju Bu, itu namanya Indonesia
Tambah Bersatu,” ujar seorang hadirin. “Disingkat I.T.B.”

“Inisiatif Tanpa Batas,” sambar ibu menteri lain.

“Ibu Tambah Bijaksana,” celoteh peserta rapat lainnya lagi, disambut aplaus
riuh di dalam ruangan.

“Tetapi Bu,” seorang ibu menteri mengangkat tangan, menginterupsi, “mengapa
sebagai Ibu Negara ibu mau repot-repot mengurusi korban bencana padahal
hanya beberapa bulan lagi ibu akan kehilangan kekuasaan? Mengapa tidak
memilih cara aman saja, yakni dengan membiarkan pemerintah daerah
masing-masing yang bekerja?”

Pertanyaan tak terduga itu langsung membuat seisi ruangan kembali senyap.
Degup jantung mereka kali ini bahkan lebih cepat dari arus air yang sudah
tak bisa dijaga Bendungan Katulampa. Mereka khawatir Ibu Negara akan marah
mendengar pertanyaan kurang ajar itu.

Di luar dugaan, Ibu Negara justru tersenyum indah. Manis sekali. “Betul
sekali bahwa sebentar lagi status saya sudah tak menjadi istri presiden,”
katanya dengan nada lemah lembut yang sangat menenangkan hati peserta
rapat. “Tapi ingat, jauh sebelum menjadi Ibu Negara, saya sudah menjadi
anak prajurit, lalu saya menjadi istri prajurit. Jadi dua status istimewa
itu melekat pada diri saya, dua status yang hanya sedikit dimiliki oleh
perempuan negeri ini. Sebagai anak prajurit, ayah saya selalu mengingatkan
bahwa akar kami adalah rakyat. Kami hidup berkat pengorbanan rakyat.
Sebagai istri prajurit, suami saya selalu mengingatkan bahwa akar kami
adalah rakyat. Kami sejahtera berkat pengorbanan rakyat. Jadi kini saat
rakyat sedang berada dalam salah satu puncak beban terberat dalam hidup
mereka, bukankah sudah sepantasnya saya yang berkorban mati-matian untuk
mereka. Paham?”

Kali ini seluruh ibu menteri mengambil sapu tangan dan tisu terdekat,
menyeka bulir air mata yang menyelinap muncul di sudut mata masing-masing.
Terbayang di mata mereka bagaimana kelompok renta, para bayi yang baru
lahir, dan berbagai kelompok masyarakat lain yang dirajam dingin hujan di
tempat penampungan sementara dengan kondisi listrik mati, dan suasana
semrawut tempat puluhan ribu pengungsi gunung Sinabung yang masih terus
terbatuk melahirkan erupsi tanpa henti.

“Mari kita jadikan Instagram dan tustel sebagai sarana mengurangi
penderitaan rakyat,” ujar Ibu Negara memecah keharuan, sembari mengacungkan
tangannya sepenuh semangat. “Dengan bersatu, pasti bisa! Kalau seluruh ibu
menteri bergerak, seluruh negeri akan bergerak. Dan kita akan merasakan
nikmatnya perasaan sebagai satu bangsa, satu tanah air.”

“Iya, Bu, setuju, setuju,” sahut para ibu menteri bersahut-sahutan dengan
semangat baru membuncah di dada: bahwa meski para suami mereka yang
memegang jabatan strategis, namun peran mereka sebagai perempuan-perempuan
utama negeri ini bisa menghasilkan pengaruh yang lebih dahsyat bagi
pembangunan, sembari tetap bersimpuh tulus melakukan semuanya demi
keridhaan Tuhan. []



*Akmal Nasery Basral adalah sosiolog, penulis sejumlah novel historis
seperti *Sang Pencerah* (Fiksi Utama Terbaik Islamic Book Fair 2011), *Presiden
Prawiranegara* (tentang Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI) dan *Tadarus
Cinta Buya Pujangga* (tentang Buya Hamka). Penulis pernah berkhidmat di
majalah berita.
 0
<http://www.islamindonesia.co.id/detail/1180-Bukan-ITB-Biasa#>
- See more at:
http://www.islamindonesia.co.id/detail/1180-Bukan-ITB-Biasa#.Ut0eMdLZGM8

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.

Kirim email ke