Bu Ifah dan sanak dipalanta n.a.h


Ambo ambiak saketek puisi ibu:



Semoga pesta yang baru saja digelar

Telah membuka mata dan matahati warga masyarakat

Tentang keelokkan nagari yang mereka huni

Tentang para tamu yang akan mengunjungi

Tentang peranan masyarakat yang menanti

Tentang sikap masyarakat yang harus dimiliki

Sehingga para tamu nyaman, bahagia dan mau kembali lagi



Ambo mungkin terlalu kolot barangkali, satiok tadanga/tabaco kato-kato
pariwisata,  pelisiran bahaso awaknyo,  tabayang berkeliarannyo doly jo
gigolo.

Tapi kebanyakan generasi nan lahir 60-80-an sangek bersumangek  menggelorakan
pariwisata gunung/maritim untuk meningkatkan PAD termasuk pimpinan
tertinggi negara ini.

Malayang-layang pikiran ambo ka BALI.

Suatu ciri parawisata, dimanapun di dunia ini, kalau tak ada wanita
sewaannya tak akan ramai. Pada  milenium ke 3 ini terang-terangan tapil
lagi laki-laki sewaan yang dikenal dengan gigolo, ini sudah populer di Bali



Menurut pendapek ambo nan singkek, untuk daerah lain mungkin cocok, tapi
untuk minang, saya kuatir akan lebih banyak kerugiannya dari keuntungannya.

Kekawatiran ambo adolah membanjirnyo kedatangan tamu ex Doly Surabaya,dan
Doly-Doly lainya baik dalam negeri maupun luar negeri.

Kalau pintu parwisata (kasarnya pelisiran) sudah dibuka semua akan terbuka.

Kita tak akan bisa membendung, karena itu mata pencaharian dan kita ingat
Wali-wali kota di Sumbar bukan Trisma Rini.

Trisma Rini disamping keberaniannya dari dalam dirinya, keberanian ini tak
surut karena pejabat lain yang dihadapi dari suku yang sama, Gubenur,
Panglima, Kapolda, Kejati, Korem, Kapolres dst kebawah dari suku yang sama.

Wakot / Bupati, sampai Gubenur di Sumbar, apa berani, masih tanda tannya.



Penertiban tenda-tenda  ceper dari Bungus di Padang  alangkah susahnya,
sampai sekarang apakah sudah bersih atau pindah tempat tak tahulah.

Begitu juga kehidupan malam di Bikittinggi dan Padang yang banyak
doly-dolynya  (http://www.nagari.or.id/?moda=palanta&no=112).

Kalau kita membuka pintu pariwisata/pelisiran, kita harus bersedia juga
menerima doly, kecuali kalau pariwisatanya jalan, doly tak boleh datang
tapi siapa yang mau mengontrol, apa UU daerahnya.

Apalagi bagi pengelola yang penting uang masuk, apa yang terjadi di diarena
wisata bukan urusan prioritas. Lebih lagi kalau keyakinan yang dianut
pengelolanya
memang esek-esek itu adalah hak individu seperti yang kebanyakan diteriakan
corong HAM sekarang ini. keadaan akan lebih merusak kebudayaan minang.

Maafkan ambo kalau berpekiran terlalu kuno.

Wass,

Maturidi (L/76) Talang Solok, Kutianyia, Duri Riau

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke