Assalamu'alaikum Wr. Wb adidunsanak Palanta RN n.a.h,

iko ado tulisan menarik dari Ust. Salim Fillah yang digubah begitu indah,
dalam, sekaligus penuh referensi historis dan finansial mengenai wajah
kondisi ekonomi.

Wassalam,

Akmal Nasery Basral

* * *

SIKLUS PACEKLIK DAN CELAH-CELAH BERKAH

http://salimafillah.com/siklus-paceklik-dan-celah-celah-berkah/

Kepada Yang Terhormat,
Presiden Republik Indonesia

Keselamatan, kasih sayang Allah, dan kebaikan yang tiada henti bertambah
semoga dilimpahkan ke atas Ayahanda Presiden,

Sungguh benar bahwa cara terbaik menasehati pemimpin adalah dengan
menjumpainya empat mata, menggandeng tangannya, duduk mesra, dan
membisikkan ketulusan itu hingga merasuk ke dalam jiwa.

Tapi tulisan ini barangkali tak layak disebut nasehat. Yang teranggit ini
hanya uraian kecil yang semoga menguatkan diri kami sendiri sebagai bagian
dari bangsa ini untuk menghela badan ke masa depan yang temaram.

Mengapa ia di-kepada-kan untuk Ayahanda; harapannya adalah agar huruf-huruf
ini kelak menjadi saksi di hadapan Allah dan semesta akan cinta kami kepada
Indonesia. Syukur-syukur jika ia mengilhami para pemimpin yang
berwenang-berdaulat, untuk melakukan langkah-langkah yang perlu bagi
kemaslahatan kami. Dan bermurah hatilah mendoakan kami Ayahanda, agar
jikapun kami hanya rumput yang kisut, ia tetap dapat teguh lembut dan tak
luruh dipukul ribut bahkan ketika karang pelindung kami rubuh lalu hanyut.

Ayahanda Presiden, izinkan kami memulai hatur-tutur ini dengan sebuah kisah.
Ini adalah masa kepemimpinan Sayyidina 'Umar ibn Al Khaththab, tahun 18
Hijriah. Musim panas berkepanjangan disertai angin kering membawa debu-abu
menghantam negeri yang baru saja tumbuh itu. Panen hancur, tetanaman
musnah, ternak binasa, diikuti 2 tahun kelaparan yang melanda sebentang
jazirah dari Yaman, Hijjaz, Yamamah, hingga Nejd; sementara wabah dari arah
Syam turut mengganas hingga ke Madinah.

Masa itu lalu dikenal sebagai ‘Tahun Ramadah’, sebagaimana ditulis Ibn
Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, karena bumi tampak hitam kelabu
seperti warna ramad (abu jelaga). Ibn Manzhur sebagaimana dikutip dalam
Lisanul ‘Arab menyatakan, “Ramada, atau armada; adalah ungkapan jika
terjadi kebinasaan. Disebut tahun ramadah sebab musnahnya sebagian manusia,
tumbuhan, ternak, dan harta benda pada saat itu.”

Dampaknya yang dahsyat digambarkan Ibn Sa’d dalam Ath Thabaqatul Kubra,
“..Hingga manusia terlihat mengangkat tulang yang rusak dan menggali lubang
tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.” Langkanya bahan pangan
membuat harga melambung, sampai Imam Ath Thabary dalam Tarikh-nya menyebut,
pada masa itu harga satu bejana susu dan sekantong keju mencapai 40 dirham.

Demikianpun, dinar dan dirham seakan benar-benar tiada guna karena jikapun
ada uang berapa saja banyaknya, barang yang hendak dibeli sama sekali
tiada. Kita tak lupa, paceklik ramadah terjadi tak berselang lama dari masa
ketika perbendaharaan Kisra yang bertimbun-timbun diangkut ke Madinah pada
tahun 14 Hijriah, juga hanya sebentar sebakda Syam dan Mesir yang makmur
bergabung ke pangkuan Daulah.

Ayahanda Presiden,

Seakan-akan Allah hendak menunjukkan, bahwa ujianNya adalah kepastian
berupa secicip ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan untuk memberi kabar gembira pada orang-orang yang sabar.
Seakan-akan Allah hendak memperlihatkan, bahwa hari-hari di antara manusia
memang dipergilirkan, lapang dan sempitnya, jaya dan prihatinnya.
Seakan-akan Allah hendak menampakkan bahwa bahkan dalam Khilafah Rasyidah,
masyarakat orang-orang shalih dengan pemimpin yang adil, tidak ada jaminan
bebas dari krisis.

Tapi dengan cara ini pula Allah memperlihatkan kualitas seorang pemimpin,
kualitas kepemimpinannya, dan kualitas mereka yang dipimpinnya. Inilah
kesejatian sebuah peradaban; pada mutu jiwa manusianya, bukan kemewahan
hidup dan kemegahan bebangunnya.

Masih tergambar jelas ketika ‘Umar menangis menyaksikan emas dan perak,
permata dan sutra, permadani dan pernak-pernik mahal tiba dari Qadisiah dan
Madain. Ketika itu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf bertanya, “Mengapa engkau menangis
wahai Amiral Mukminin? Padahal Allah telah memenangkan agamaNya dan
memberikan kebaikan pada kaum mukminin lewat kepemimpinanmu?”

“Tidak demi Allah”, sahut ‘Umar. “Ini pastilah bukan kebaikan yang murni
dan sejati. Seandainya ia adalah puncak kebaikan, niscaya Abu Bakr lebih
berhak ini terjadi pada masanya daripada aku. Dan niscaya pula, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak ini terjadi pada masa beliau
daripada kami.” Lalu ‘Umar terus menangis mengkhawatirkan adanya fitnah
yang akan timbul pada ummat Muhammad gegara harta itu. Setelah agak reda
dari sesenggukannya, dia berkata, “Betapa amanahnya pasukan ini, dan betapa
amanah pula panglimanya, Sa’d ibn Abi Waqqash.”

“Ini semua karena engkau”, sambut ‘Ali ibn Abi Thalib, “Tak menyimpan di
dalam hatimu sebersitpun hasrat pada kekayaan dunia itu. Seandainya saja di
dalam dadamu ada setitik saja syahwat terhadap perbendaharaan harta itu,
niscaya pasukanmu akan saling bunuh demi memperebutkannya.”

Empat tahun kemudian kala menyaksikan Ramadah, ‘Umar kembali menangis.
“Akankah ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam binasa di bawah
kepemimpinanku?”, gerunnya berulang-kali. Saat itu, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf
pula menguatkannya. “Tidak wahai Amirul Mukminin. Betapa telah berbedanya
keadaan disebabkan keberkahan kepemimpinanmu?”

“Apa maksudmu wahai ‘Abdurrahman?”, sahut ‘Umar.

“Tidakkan kau perhatikan musibah dan orang-orang ini? Seandainya bencana
ini terjadi di masa jahiliah, niscaya kaum Arab kesemuanya pasti sudah
saling bunuh untuk memperebutkan sebulir gandum atau setetes air. Tapi
lihatlah mereka ini; mereka semua bersabar dan teguh, mereka menangis tapi
ridha kepada takdir Allah, mereka saling berbagi dengan mengutamakan
saudaranya, serta bahu-membahu menghadapi semuanya dengan ketabahan yang
takkan terbayangkan di masa dahulu.”

Pada zaman itu; bersebab kualitas manusianya, dalam krisispun jiwa mereka
tampak berkilau, bersinar dari celah-celah berkah. Dalam makmur ataupun
paceklik, suka dan duka, lapang serta sempit; mereka menunjukkan kualitas
mental tertinggi yang akan menjadi modal peradaban Islam hingga abad-abad
berikutnya. Ayahanda Presiden yang terhormat; andai diizinkan lancang
memberi usul, betapa indah kalau program Revolusi Mental merujuk ke zaman
ini.

***

Sementara itu Ayahanda,

Dalam makalahnya untuk Conference on Monetary Policy and Financial
Stability in Emerging Markets di Istanbul, 13-15 Juni 2014, Guru Besar
Ekonomi Harvard-Kennedy School, Jeffrey Frankel merujuk kisah Nabi Yusuf
'Alaihis Salaam tentang tafsirnya atas mimpi sang raja; tujuh sapi kurus
yang memakan tujuh lembu gemuk dan tujuh runggai gandum yang segar penuh
bulir serta tujuh tangkai yang kering lagi kopong.

"Supaya kalian bertanam 7 tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian
tuai hendaklah kalian biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian
makan. Kemudian sesudah itu akan datang 7 tahun yang amat sulit, yang
menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapi tahun-tahun paceklik,
kecuali sedikit dari bibit gandum yang kalian simpan. Kemudian setelah itu
akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan di
masa itu mereka memeras anggur." (QS Yusuf [12]: 47-49)

Frankel menggambarkan, seakan daur itu suatu pola yang dapat kita gunakan
untuk membaca datang dan perginya paceklik di zaman kita. Dia menyebutnya,
The Joseph Cycle.

Selama tujuh tahun antara 1975 hingga 1981, Oil Booming melimpahkan
lonjakan pendapatan pada negara-negara penghasil minyak. Minyak mendapat
gelar baru; emas hitam, dan istilah 'petro dollar' menggambarkan kekayaan
negeri-negeri yang berlipat karenanya. Seakan menepati Daur Yusuf, setelah
itu terjadi krisis utang global yang bermula di Meksiko pada tahun 1982.
Hingga 1989, tahun-tahun ini disebut sebagai The Lost Decade di Amerika
Latin.

Di rentang tahun 1990-1996, pola yang mirip terjadi lagi di kala muncul
gejala emerging markets booming. Negara-negara berkembang mengalami
pertumbuhan ekonomi yang dahsyat selama 7 tahun. Julukan Asian Tigers bagi
mereka, di mana Indonesia dimasukkan sebagai salah satunya, mewarnai satu
zaman yang gempita oleh apa yang disebut sebagai Asian Economic Miracles.
Namun segera setelah itu terjadi krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, yang
seakan melibas dan membawa pada financial droughts hingga 7 tahun
berikutnya.

Menurut Frankel dalam presentasinya yang bertajuk “What will happen to EMs
when the Fed tightens?” itu, pola yang sama akan kembali terulang dalam
rentang 2004-2018 ketika terjadi financial markets booming yang ditandai
dengan maraknya produk derivatif lengkap dengan segala rekayasa
keuangannya. Istilah “Carry Trade” dan perkembangan negara-negara yang
disebut BRICs akan menjadi pemantiknya. Awalnya, selama tujuh tahun pasar
keuangan berkembang dengan fantastis. Lagi-lagi seakan menyesuaii Siklus
Yusuf, setelah itu kita juga mengalami krisis keuangan global.

***

Ayahanda Presiden,

Baik sesuai Siklus Yusuf atau tidak, dalam lintasan sejarah tampak nyata
bahwa kelimpahan dan kesempitan memang datang dan pergi berganti-ganti
nyaris secara niscaya. Tak ada negara yang terjamin bebas dari disambangi
paceklik. Pun bahkan, sekali lagi untuk menegaskan, jika penduduk
negeri-negeri beriman dan bertaqwa; maka pintu keberkahan yang dibukakan
dari langit dan bumi tak selalu berbentuk kesejahteraan tanpa jeda,
melainkan juga berupa sisipan kesempitan yang membuat manusia kembali
bermesra padaNya.

Menghadapi paceklik itu, dalam ketidakpastian tentang seberapa kuat ia akan
menghantam, ada di antara kita yang mengkhawatirkan sang krisis.
Keterbatasan pemahaman tentangnya dan berbagai gejala yang telah terasa,
suka tak suka menimbulkan berbagai kegelisahan dan bahkan pesimisme. Inilah
yang dialami sebagian besar masyarakat kini, terlebih mereka yang pernah
mengalami tahun-tahun pahit 1997 dan menyisakan trauma dalam hati.

Barangkali mereka yang menginsyafi keniscayaan datangnya krisis itu akan
lebih mengkhawatirkan kesiapan kita menghadapinya. Para jamhur ekonomi
makro, para cendikia pengamat pergerakan mata uang maupun pasar saham, para
winasis yang menyeksamai neraca perdagangan, cadangan devisa, maupun
berbagai rasio indikator mungkin akan lebih jernih melihat hal ini.

Dan di luar sang paceklik serta kesiapan menghadapinya, bersebab
keterbatasan ilmu penyusunnya, tulisan ini hanya hendak mengajak berbincang
tentang sikap menghadapi krisis itu. Sebab sungguh diyakini, nestapa paling
malang yang berhasil disikapi pasti menghasilkan sesuatu yang lebih baik
dibanding keberhasilan paling gemilang yang gagal disikapi. Bahkan,
berhasil menyikapi kegagalan, berlipat baiknya daripada gagal menyikapi
keberhasilan.

Sejarah pernah menaburkan teladan-teladan sikap utama dari para mulia di
zaman paceklik menyapa mereka. Semoga dengan menyimaknya, kita tertuntun
pula menyusuri celah-celah berkah hingga Allah karuniakan kebaikan di masa
depan, dunia dan akhirat.
Sebagaimana ditelaah oleh Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi dalam
disertasinya di Universitas Ummul Qura Makkah yang meraih predikat summa
cum laude, Al Fiqhul Iqtishadi Li Amiril Mukminin ‘Umar ibn Al Khaththab;
ada hal-hal menarik dari Sayyidina ‘Umar selaku pemimpin negeri dalam masa
Ramadah yang patut dicatat.

Pertama, dia sebagai kepala negara memikul penuh tanggungjawab atas hal
tersebut. Bahkan meskipun diyakinkan berulangkali oleh para sahabat bahwa
semua yang terjadi merupakan takdir Allah, ‘Umar selalu merasa bahwa
pangkal persoalannya adalah kepemimpinan dirinya yang dalam pandangannya
amat jauh dari kualitas pribadi yang dimiliki kedua pendahulunya, yakni
Rasulullah dan Abu Bakr. Maka ‘Umar selalu takut kepada Allah kalau-kalau
ummat ini binasa dalam pemerintahannya. Dengan bercucuran airmata,
berulang-kali dia berdoa, “Ya Allah, jangan kau jadikan ummat Muhammad
binasa dalam kepemimpinanku.”

Barangkali ada berlapis-lapis alasan bagi ‘Umar dalam paceklik itu,
semuanya berupa keadaan yang di luar kendalinya; hujan yang tak turun,
anomali musim, panen yang gagal, para pengungsi yang membanjiri Madinah,
wabah penyakit yang datang dari arah Syam. Tapi dia memilih untuk
bermuhasabah, barangkali dosa dan kelemahannyalah yang jadi persoalan.
Alih-alih menyalahkan berbagai hal ataupun pihak, dia menjadi lebih banyak
diam, bermuhasabah, dan beristighfar.

Kedua, ‘Umar mengambil sikap untuk bersama rakyatnya dalam keprihatinan.
‘Umar adalah penyuka susu dan keju. Tapi sepanjang 2 tahun Ramadah, dia
haramkan untuk dirinya makanan selain roti tepung kasar, garam, dan minyak.
Para sahabat menyaksikan bagaimana kulit ‘Umar yang semula putih
kemerah-merahan, berubah menjadi kuning kehitam-hitaman bersebab hidup
prihatin yang dia paksakan untuk dirinya.

Barangkali hidup sederhana takkan menyelesaikan krisis dan tidak pula
memberi solusi kepada paceklik parah itu. Penghematan yang terjadi juga tak
signifikan sama sekali. Tapi ketika itulah rakyat akan melihat bahwa sang
pemimpin ada bersama mereka, merasakan hal yang sama seperti yang mereka
alami. Dengan itu, bertambah tentramlah hati mereka yang dipimpinnya.
Ketika rakyat hatinya tenang, bahkan pemimpin yang tak solutif sekalipun
akan melihat bahwa rakyatnya punya kemampuan dahsyat untuk mencari
solusinya sendiri.

Ketiga, ‘Umar menjadikan masa Ramadah sebagai wahana untuk membangun
solidaritas menyeluruh kepada berbagai bangsa yang dipimpinnya. Betapa dia
meneladankan langsung mengangkuti tepung, minyak, dan lauk kering untuk
para pengungsi dan penduduk Madinah. Dia pula menghimbau dan menyemangati
rakyatnya untuk berbagi dan menanggung beban sesama. Dia tepuk-tepuk pundak
seorang ‘relawan’ muda bernama Al Ahnaf ibn Qais, yang dengan terus
berlari-lari sepanjang hari memenuhi hajat orang-orang, lalu ketika habis
tenaganya, dia mengelemprak sembari menangis dan berdoa, “Ya Allah, jangan
murka padaku jika masih ada hambaMu yang kelaparan.”

Kita sebagai bangsa juga punya modal sosial yang amat kuat untuk membangun
solidaritas itu. Bahkan mungkin kita adalah salah satu negara dengan
lembaga kemanusiaan yang amat banyak jumlahnya, bekerja menyalurkan zakat,
infak, shadaqah, wakaf, hibah, hadiah, dan bahkan dana CSR dalam berbagai
kegiatan sosial. Dukungan dan kebersamaan pemerintah akan kian meneguhkan
kita pula sebagai bangsa yang tangguh.

Keempat, ‘Umar terus memikirkan dan merumuskan sistem jaminan sosial yang
bisa membuat rakyatnya bertahan di tengah paceklik. Segala sumber daya yang
ada di Baitul Maal, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Dikisahkan bagaimana dia mengumpulkan 60 orang, lalu memasak sejumlah
tepung menjadi roti dan daging kering sebagai lauknya lalu mempersilakan
mereka makan. Ketika ditanyakan apakah mereka merasa kenyang dengan itu,
semua menyatakan ya. Maka ‘Umar memutuskan, sejumlah bahan-bahan yang tadi
dimasaklah yang akan diberikan sebagai tunjangan sosial bulanan bagi tiap
jiwa yang musnah sumber penghidupannya selama Ramadah.

Kelima, ‘Umar menjadikan sektor pangan sebagai perhatian utama selama
krisis dan setelahnya. Dari kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam pun didapati
bahwa, dalam masa kelangkaan di mana bahkan emas dan perak jadi tak
berguna, Mesir selamat karena menata dengan baik konsumsi dan persediaan
logistiknya. ‘Umar pun meminta Abu Musa Al Asy’ari untuk mengajarkan
kebiasaan kaumnya yang dipuji Rasulullah, yakni; semua keluarga dalam tiap
unit masyarakat mengumpulkan bahan pangan yang dimiliki menjadi satu dalam
lumbung, kemudian pembagian kembali untuk konsumsi diatur dengan tata
laksana gotong-royong yang adil dan penuh kebersamaan.
Inilah kebijaksanaannya; jika lumbung terpusat ala Yusuf tidak relevan
untuk negaranya yang membentang dari Gurun Sahara hingga Sungai Indus; maka
ketahanan pangan dibangun dalam unit-unit kecil masyarakat. Teknologi
budidaya, pemanenan, pengolahan, dan penyimpanan panen di masa berikut
kiranya amat membantu lahiriah dari jiwa-jiwa yang berbagi suka dan duka.
‘Umar pula mengunjungi beberapa daerah pantai dan menemui para nelayan.
Dengan pujiannya ketika membersamai mereka melaut, “Betapa baiknya cara
kalian menjemput rizqi Allah”, dia meminta pelipatgandaan penyediaan ikan
dan membiasakan rakyatnya memakan hasil laut. ‘Umar juga melarang segala
jenis ternak dan hewan peliharaan diberi makan dengan apa yang dapat
dikonsumsi manusia. Dia sangat marah ketika pada sebuah peternakan unta
ditemukan kotoran yang mengandung jejak tepung sya’ir.

Keenam, ‘Umar menggesa pembangunan infrastruktur dan jaminan keamanan yang
mendukung kelancaran suplai logistik. Pada jalur antara Syam ke Madinah,
Kufah ke Madinah, dan bersambung hingga Yaman; didirikan pos-pos penjagaan
dan tempat-tempat istirahat kafilah yang memadai. Di tahun berikutnya,
setelah melihat lama dan mahalnya angkutan darat dari Mesir ke ibukota,
‘Umar memerintahkan Gubernur ‘Amr ibn Al ‘Ash untuk menggali kanal yang
menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, sehingga hasil pertanian Mesir
yang berlimpah dapat diangkut dengan cepat ke Madinah untuk menekan
harganya. Terusan itu tetap berfungsi hingga akhir masa pemerintahan
Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan.

Ketujuh; ‘Umar memberlakukan beberapa kebijakan yang meringankan beban
tanggungan masyarakat. Selama masa Ramadah, zakat hewan ternak ditunda
penarikannya, pemeroleh jaminan sosial diperluas dari semula bayi tersapih
menjadi sejak bayi lahir, bahkan beberapa hukuman ditangguhkan penerapannya
termasuk pencurian yang benar-benar bersebab kebutuhan dan tak mencapai
nilai seperempat dinar. Sebaliknya, ketika menemukan lahan subur milik para
pemuka kaum tak digarap dalam tinjauannya ke Iraq, dia tegas mengultimatum
bahwa jika dalam waktu tertentu sang tuan tanah tak menjadikannya
produktif, negara berhak menyita dan mengamanahkannya pada yang mampu
menanaminya.

Ayahanda Presiden yang terhormat,

Kami akhiri hatur-tutur ini dengan tiga kata yang menggambarkan sifat
pemimpin menurut Pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Rangga Warsita,
yakni momor, momot, dan momong. Momor berarti hadir, dekat, bersama,
menyatu, dan seperasaan dengan yang dipimpin. Momot artinya mampu memuat
segala beban, keluhan, dan harapan yang dipimpin. Adapun momong artinya,
menjaga, mencukupi, mengasuh, mengasihi, dan mengasah yang dipimpin. Doa
kami selalu, semoga Panjenengan nDalem mampu mengemban amanah lebih dari
250 juta manusia yang amat berpotensi menjadi pendakwa, bukan pembela di
akhirat sana.

Hamba Allah yang tertawan dosanya,
@salimafillah
FB: Salim A. Fillah

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke