Samantaro tu kito baco lo Carito Anak-anak  dan Orangtua i Haluan:

Gelora Remaja Minangkabau, Sakitnya Tuh di Sini [image: PDF] 
<http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/43708-gelora-remaja-minangkabau-sakitnya-tuh-di-sini?format=pdf>
 [image: 
Cetak] 
<http://www.harianhaluan.com/index.php/opini/43708-gelora-remaja-minangkabau-sakitnya-tuh-di-sini?tmpl=component&print=1&layout=default&page=>
 [image: 
Surel] 
<http://www.harianhaluan.com/index.php/component/mailto/?tmpl=component&link=eb873adfde9004a96a7f1a8855784f8992fb5a03>
 Sabtu, 
26 September 2015 01:57 

Bulan Agustus la­lu di beberapa ka­wasan  Kota Pa­dang seringkali sa­ya 
melihat masyarakat meng­gelar perayaan peringatan kemerdekaan. Biasanya 
per­gelaran dimeriahkan dengan organ tunggal. Maklum, itu sudah jadi hal 
yang wajib di Ranah Minang ini.

Dengan organ tung­gal­nya saya tidak terlalu me­masalahkan, walau acara 
demikian selalu dibumbui dengan atraksi artis dangdut yang bergoyang erotis 
de­ngan pakain minimalis. Mak­lum saja, masyarakat be­r­alasan kalau mereka 
bu­tuh hiburan. Ekonomi se­makin susah dan bikin pu­sing, maka hiburan 
harus diperbanyak. Kira-kira be­gitu kata masyarakat. 

Di balik semua itu, ada keadaan yang spontan me­miriskan hati ketika saya 
melewati jalan yang diping­girnya sedang dihelat per­gelaran organ tunggal. 
Be­gini, ketika itu jam baru menunjukkan pukul 20.30 wib. Masyarakat telah 
ramai berkumpul di area organ tunggal. Pada saat saya me­lintas saya 
menyaksikan belasan anak-anak umur sepuluh tahunan berjoget nakal di atas 
panggung. Pe­muda yang ikut berada di atas panggung ketawa ketiwi sambil 
terus mem­pro­vo­katori anak-anak itu untuk bergoyang lebih heboh. Ti­dak 
itu saja, di bawah pang­gung, puluhan anak-anak usia yang sama juga tidak 
mau ketinggalan untuk ber­goyang lebih liar lagi. Hebat!

Saya perhatikan, kea­daan itu semakin hebat de­ngan hiasan lagu ‘Sakitnya 
Tuh Di sini’ dan tepukan tangan para orangtua mere­ka untuk memberikan 
sup­port pada anaknya yang lagi asik bergoyang. Para orang­tua terlihat 
senang bukan kepalang. Mereka tertawa, pemuda tertawa, tokoh ma­sya­rakat 
tertawa. Indah seka­li ya? Semuanya tertawa. Lalu apakah ada yang mena­ngis 
perih melihat keadaan tersebut? Hm..

Entahlah, pada saat itu sa­ya kesal melihat apa yang ba­ru saja saya 
saksikan. Le­lu­con macam apa ini? Ka­ta­nya kota ini punya ung­kapan ‘Adat 
Basandi Syarak, Sya­rak Basandi Kitabullah’ dan ka­tanya juga kota ini 
adalah ko­ta yang memegang te­guh bu­­daya. Budaya apa? Bu­da­ya­ organ 
tunggal? Me­mang untuk sekarang, kon­di­si se­per­ti itu biasa saja bagi 
yang melihatnya. Tapi bagai­ma­­na efek jangka pan­jang­nya?

Beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah kari­katur yang menggambarkan 
seorang ibu yang bilang ke anaknya begini, “Ayo joget nak.”. Kemudian, 
anaknya berjoget dengan alunan lagu dangdut ‘Buka Dikit Joss’. Melihat 
anaknya berjoget heboh, lalu ibunya bilang, “Aha..dia sudah mulai 
pin­tar.”. Tidak hanya sampai disitu, sang ibu juga mem­belikan baju 
minimalis un­tuk anaknya yang kira-kira baru berumur tujuh tahun itu. Rok 
super mini dan baju tiada berlenggan. Ibu pun bilang begini, “Ini cocok 
untukmu.”

Begitulah, tahun-tahun berganti, dan si anak telah tumbuh menjadi remaja 
yang pandai menarik per­ha­tian teman-teman lelakinya. Maklum, ia cantik 
dan juga seksi. Laki-laki mana yang tidak akan tertarik? Kemu­dian, kabar 
buruk datang. Si anak remaja ini hamil. Perut­nya membuncit akibat 
per­gau­lan bebas. Lalu sang ibu sambil menangis tersedu bilang begini, 
“Apa sa­lah­kuuuuu…?”

Ini realita yang acap kali terjadi di negeri yang (ka­ta­nya) beradat dan 
berbudaya ini. Bukan saja hamil yang menjadi efek buruk atas hasil 
pembelajaran sesat para orangtua, namun kea­daan tersebut juga membuat 
anak-anak yang tumbuh menjadi remaja telah kehi­langan gairah untuk belajar 
dan menggali ilmu. Di piki­ran mereka adalah bagaiman bisa having fun, 
pacar-pacir dan bergaya se-seksi mung­kin, nanti difoto kemu­dian diunggah 
ke media sosial. Semakin cantik dan seksi, semakin laku.

Kalau para orangtua yang sedang membaca tulisan saya ini dan di antaranya 
telah mengalami tentang apa yang saya tuliskan, maka janganlah menangis 
atau marah besar kepada anaknya yang seolah-olah kerjanya cuma bisa 
menciptakan ma­salah. Ajaran untuk men­jadi liar telah sedari kecil 
dice­koki ke jiwa mereka. Lalu buat apa marah? Toh kita kan sudah sepakat 
untuk men­ciptakan generasi muda yang liar. Bagaimana ini? Apakah dibiarkan 
saja kondisi seper­ti ini atau mulai bergerak (walau pelan) untuk 
men­ciptakan perubahan?

Mungkin dari beberapa orang yang membaca ini ber­kata, “Ah, janganlah sok 
meng­gurui saya”. Ya saya mak­lum. Tapi menurut sa­ya, apa­kah hakikat jiwa 
mereka pa­ra generasi muda telah kita co­ba untuk mem­­bang­kitkan­nya?

Betapa indahnya ketika di masa anak-anak, si orang­tua mulai mencoba 
mem­bantu buah hatinya agar dapat mengetahui ‘mutiara’ yang tersimpan di 
dasar jiwa sang anak. Ini penting, seti­daknya dengan telah me­ngetahui 
hakikat jiwa sang anak maka orangtuapun dengan mudah dapat mem­berikan 
media atau jalan terbaik untuk perkem­ba­ngan si anak.

Bebaskan saja. Anak mau jadi dokter, guru, po­lisi, ten­tara, seniman, 
pe­nulis, me­kanik, anggota dewan, war­tawan ataupun profesi lain­nya, 
dukung sajalah. Asal­kan tetap di­bantu agar pro­fesi yang ingin ia gapai 
ti­d­ak diracuni ambisi untuk ko­rupsi atau berbagai jenis ke­jahatan 
lainnya. Dalam pan­dangan saya, jika me­mang seorang manusia bisa men­jadi 
se­suat­u yang sesuai de­ngan hakikat jiwanya, ma­ka ba­ha­gia akan 
tercipta. Na­mun hati-hati saja, jangan sam­pai ada racun yang ma­suk ke 
otak dan nurani mere­ka.

Suatu ketika di Jakarta, saya pernah menyaksikan acara yang digelar khusus 
untuk anak-anak. Begitu riang dan bahagia mereka menampilkan apa bakat dan 
minat yang didukung penuh oleh orangtua mereka. Saya terharu. Saya berdoa 
agar anak-anak tersebut tidak diracuni oleh lagu ‘Sakitnya Tuh Di sini”, 
“Buka Dikit Joss”, “Cari Pacar Lagi” atau lagu-lagu dan tontonan lain­nya 
yang berefek buruk un­tuk perkembangan jiwa si anak. Sebuah karya itu 
me­miliki kekuatan yang tanpa disadari akan diserap oleh jiwa, dan tanpa 
disadari juga apa yang diserap jiwa terse­but akan menjadi pema­haman 
generasi muda ten­tang kehidupan.

Begitulah sebuah tu­lisan tentang kemirisan saya. Jika memang hal-hal yang 
ber­efek buruk ter­hadap per­kem­bangan anak tetap diga­lak­kan, ya 
silah­kan. Saya tetap sepakat un­tuk tidak sepakat atas ber­bagai kon­disi 
yang merusak jiwa. Se­kian. ****

 


*WAHYU ALHADI *(Penulis dan Seniman)


On Friday, September 25, 2015 at 11:30:14 PM UTC-7, Maturidi Donsan wrote:
>
> Surau jadi musala, kalau didaerah minang  surau masih dipanggilkan surau, 
> entah kalau sekarang sesudah era reformasi, atau mak Ngah ado data yang 
> valid
>
> Kalau dikampuang ambo, surau yo tatap surau.
>
> Iko istilah musala ko lah bapasokan mamakainyo,  tabao-bao gara-gara 
> Mendag Orba ingin ma-seragamkan sagalonyo sasuai jo di Jawa, kalualah 
> istilah Pontren sagalo macam.
>
> Awak dulu tampek mangaji ko, umum dinamokan surau sarupu " Surau Nyiek 
> Jambek" terken kamano-mano indak sajo disaantero Minangkabau tapi lapeh 
> kalua Sumatra.
>  
> Mamak jo ninik ko barubah sabanta barangkali, katu nan dirantau nan ka 
> rantau-rantauan pulang kampuang. Sasudah nan iko baliak  karantau, opa jo  
> oma tu biasonyo nyo  gungguang  karantau, lai indak nyo tinggaan do, antah 
> kok taicia ciek cek. 
>
> Lah takah tu kampuang awak, baa nan kaelok manuruik Mak Ngah tu, atau ka 
> bapabiakan sajo sarupo aie ilia sampai basuo jo lawitan.
>
> Tatumpang  salam Hari rayo Idul Adha Mak Ngah,  semoga ibadah kito 
> diterimo Allah swt dan ikut mendoakan semoga para  syuhada kito yang  
> meningal di Mekah baik karena musibah maupun meninggal biasa, hendaknya  
> mendapat tempat yang sebaik-baiknya disisi Allah swt. amin
>
> Wass,
>
> Maturidi
>
>    
>
> Pada 26 September 2015 11.58, Sjamsir Sjarif <sjamsi...@gmail.com 
> <javascript:>> menulis:
>
>> "Kembali ke Surau" mungkin hanya tinggal impian. Apa yang dahulu kita 
>> namakan Surau sudah diubah nama menjadi Musala walaupun tanah bangunannya 
>> masih di tempat Suau lama.
>>
>> Musalah sekarang walaupun di tanah Surau dahulu, bentuk bangunannya sudah 
>> berubah dari  bentuk Surau, sudah diberi gonjong seperti Merjid Kecil, 
>> suatu ketika sudah menjadi "mode" pakai penerad suara. Musala saya kira 
>> bangunan Tempat Shalat, namun orang yang Shalat pun sudah jarang hanya 
>> dikunjungi beberapa orang "gahat-gahat".
>>
>> Kalau dahulu Surau merupakan senter aktivitas anak-muda, sekarang hanya 
>> dikunjungi beberapa orang tua merenung-renung masa remaja dan mintak ampun 
>> kepada yang Maha Esa.
>>
>> Sementara itu funksi Ninik Mamak juga mulai kabur karena Mamak sudah 
>> menjadi Om dan Ninik sudah menjadi Opa; jadi Ninik-Mamak sudah tukar bulu 
>> menjadi Opa-Om  dan tentunya kehilangan fungsi Ninik-Mamak.
>>
>> Belum lagi peranan Kaum Ibu, apa yang sementara waktu di zaman Orde Baru 
>> didengungkan oleh seorang pemborong Penulis Proyek Budaya Daerah dengan 
>> istilah Bundo Kandung, sekarang barangkali sudah berubah menjadi 
>> Kaum-Tante-tante.
>>
>> Sekian sebagai selingan impian kecewa entah kemana...
>>
>> --MakNgah
>> Sjamsir Sjarif
>>
>>

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke