Ko yo rancak menambah perbehandaraan bagaso awak campur2

@Hayatun Nismah Rumzy@


> On Nov 8, 2015, at 02:01, 'AnwarDjambak' via RantauNet 
> <rantaunet@googlegroups.com> wrote:
> 
> Cerpen by NN
> 
>  
> PENCOPET PASAR ATAS 1964
>  
> Hari Rabaa pukuah satu, Sadang rami di Bukiktinggi, Urang manggaleh barang 
> mudo. Begitu bunyi awal sebait pantun. Bukit Tinggi di hari Rabaa, alias hari 
> Rabu sebagaimana juga di hari Sabtu ramai allahurabbi. 
> 
> Orang datang dari seputar Agam, bahkan dari Tanah Datar, Lima Puluh Koto dan 
> dari Pasaman. Bahkan dari Padang dan Pekan Baru. Di Bukit Tinggi orang 
> penggalas kebat mengebat, pakuk memakuk, sayat menyayat. Heboh allahurabbi. 
> Orang berserak di tengah balai. Yang menjual, yang membeli. Di pasar lereng 
> jalan penuh oleh pedagang di bawah payung besar. Bukan, tidak ada yang 
> menyebutnya pedagang kaki lima. Orang yang ingin lalu harus 
> berselingkit-selingkit, disela barang galas para pedagang, di sela ketiak 
> orang lain, di sela kambuik gadang yang disandang amai-amai. 
> 
> Pasar itu heboh allahurabbi, oleh sorak dan sorai, oleh bunyi parang yang 
> menetak dan memakuk.
>  
> Begitu pula di jenjang yang bertingkat-tingkat. Orang menggalas belaka dimana 
> saja ada tempat terbuka. Menggalas apa saja, jarum penjahit dan peniti, kain 
> lap dan saputangan, pisau dan lading buatan Sungai Pua. Atau yang menggalas 
> kerupuk jangek balatua mentah, atau tulang cancang, atau dadih di dalam 
> sambang. Semua serba ada. 
> 
> Menggelar galas di sela-sela jalan orang lalu di janjang gantung yang sempit 
> berselingkit. Tidak ada yang menggerutu. Cara orang sekarang, tidak ada yang 
> komplain. Semua berlapang dada saja. Semua mencari untung serupiah dua 
> rupiah. Kenapa pula harus digerutui.
>  
> Di puncak pasar di Pasar Atas, sesudah melalui jenjang yang 
> bertingkat-tingkat, sesudah melalui bau amis darah di pasar bantai, sesudah 
> melalui bau anyir di pasar maco, menguap bau harum sate yang bukan sate 
> Padang karena yang berjualan orang Pekan Kamis. Sate mak Mamuik (Mahmud) dan 
> sate mak Aciak. Asapnya menjulang ke udara. Baunya yang semerbak menimbulkan 
> rasa lapar. Ada pula bunyi bakalentongpentong orang mengaduk es di 
> sampingnya. Es batu yang baru saja diketam untuk dicampurkan ke mangkuk es te 
> bak yang sekarang diaduk dengan suara bakalentongpentong. Entah kenapa 
> namanya es te bak. Tapi yang jelas rasanya bukan main nyaman, penawar pedas 
> sesudah menyantap sepiring sate. Ada lagi soto bang Karto dan soto Haji Minah 
> bersebelah-sebelahan. Bukan, keduanya bukan soto Padang. Orang yang 
> membuatnya saja namanya bang Karto.
>  
> Pasar Atas ramai, idem ditto. Berselingkit pingkit orang lalu di antara 
> jualan dan dagangan. Boleh masuk ke dalam los demi los. Yang diantaranya ada 
> yang bernama los bergalung. Tempat orang berjualan kain dan alas kaki. 
> Berjualan tikar dan lapik pandan. Berjualan segala macam rempah yang baunya 
> harum menyebar kemana-mana. Berjualan tembakau dan daun terusan ataupun  daun 
> enau, untuk digulung jadi paisok, yang bukan rokok.
>  
> Di lapangan di hadapan mesjid raya, di samping panggung (bioskop) Irian ada 
> orang berjualan obat. Entah obat apa, tidaklah penting sangat. Yang berjualan 
> suaranya parau. Banyak ceritanya. Berseleperan mulutnya. Kadang-kadang 
> dibuatnya atraksi seperti tukang sulap. Berkerumun orang menonton dalam 
> sebuah lingkaran besar. Penjual obat beraksi di tengah-tengah. Berjalan hilir 
> mudik sambil mulutnya tidak henti-henti berciloteh. Mengiklankan obat 
> pencahar yang dijualnya. Gelarnya konon Datuk Dalu. Obat yang dijualnya 
> adalah untuk yang bermasalah dan sulit ke belakang. Kalu sudah memakan obat 
> Datuk Dalu, puuut bunyi kentut, ceeer bunyi isi perut menyemprot sampai 
> sejauh tiga meter. Meski yang berkerumun berbilang puluhan, yang membeli 
> hanya empat lima orang tidaklah penting bagi Datuk Dalu.
>  
> Beberapa puluh meter ke arah sana ada pula kerumunan yang lain. Tukang obat 
> juga. Agak sedikit jelas obat yang dijualnya. Air racikan daun-daunan yang 
> nanti dicampurnya dengan telur ayam dan madu untuk diminum para pembeli. 
> Iklannya terdengar lebih pasti. ‘Obatku obat istimewa, bukan omong kosong. 
> Obat orang Jerman hanya elok untuk orang Jerman. Obat orang Jepang hanya elok 
> untuk orang Jepang. Obatku boleh untuk semua makhluk. Orang Jerman boleh 
> meminumnya. Orang Arab boleh meminumnya. Orang Jepang boleh meminumnya. 
> Sedangkan diberikan ke kuda jadi obat bagi kuda. Diberikan ke gacik (=anjing) 
> jadi obat bagi gacik. Ha, singgahlah disini. Minumlah obat sitawa sidingin 
> penyembuh sakit kepala. Penyembuh sakit hulu hati.’ Begitu katanya. Tentu 
> saja dia benar, karena telur dan madu memang diminum setiap bangsa untuk jadi 
> obat.
>  
> Di tempat orang berkerumun menonton tukang obat itu ada pula yang sedang 
> mengail rejeki. Caranya dengan merosok kantong orang diam-diam. Bagi yang 
> serawarnya besar dan dompet diletakkan di kantong serawar besar itu alamat 
> akan jadi makanan empuk si tukang rogoh. Si tukang copet ini biasanya 
> berkawan, dua atau tiga orang. Tampangnya itu ke itu juga. Orang banyak yang 
> tahu. Si tukang copet biasanya mencari tampang-tampang baru. Orang yang baru 
> datang dari jauh. Orang kampung yang baru saja menjual hasil bumi. Orang 
> merubung menonton penjual obat biasanya jadi sasaran enteng bagi pencopet.
>  
> Barudin Sutan Bagindo pagi ini membawa 40 kilo lado (cabai merah) ke pasar 
> Bukit Tinggi. Panen lado sadang elok-eloknya dan harganyapun sedang 
> elok-eloknya pula. Dari hasil panen kali ini Barudin berniat akan mengganti 
> atap ijuk rumah gadang dengan atap seng. Uang hasil penjualan lado itu 
> dibaginya dua. Separo diletakkannya ke dalam puro (=kantong khusus) kain yang 
> diikatkannya dengan tali di pinggang celana. Yang separo, yang akan 
> dibayarkannya sebagai uang muka pembelian seng di letakkannya dalam saku baju 
> gunting cina. Sesudah menerima uang pembayaran beli lado Barudin berjalan 
> santai menuju pasar atas melalui jenjang empat puluh. Jenjang ini tidak 
> seramai jenjang yang lain. Hal pertama yang akan dilakukan Barudin sesampai 
> di pasar atas adalah pergi makan ke lepau nasi langganannya.
>  
> Di jalan yang sempit berselingkit di antara puncak jenjang empat puluh dan 
> kedai nasi, Barudin terhalang oleh seorang laki-laki yang membungkuk 
> mengambil saputangan jatuh. Tercatat juga di otaknya, bahwa agak aneh 
> perbuatan orang laki-laki bersaputangan itu. Sempat terlihat olehnya roman 
> muka orang itu yang berumur sekitar tiga puluh  tahun, yang tersenyum 
> kepadanya. Barudin tidak berprasangka apa-apa. Dia terus melangkah ke lepau.
>  
> Barudin makan enak sampai berpeluh-peluh. Makan dengan gulai cancang kambing. 
> Barulah dia terperangah ketika merogoh saku baju gunting cina untuk membayar. 
> Saku itu sudah kosong melompong.
>  
> Kapundung, katanya dalam hati. Ini rupanya arti tingkah si Kurapai yang 
> membungkuk mengambil saputangan tadi. Uangnya sudah dicopet. Uang seharga 20 
> kilo lado sudah raib digondol si pencopet.
>  
> Barudin tidak mau merisaukan diri gara-gara uangnya dicopet. Dikeluarkannya 
> uang dari puro yang terikat di ikat pinggangnya untuk membayar nasi orang 
> lepau. Uang yang diniatkannya akan diserahkan kepada istrinya. Barudin adalah 
> seorang laki-laki ninik mamak di kampung, yang menenggang dunsanak perempuan 
> dan bertanggung jawab kepada anak istri.
>  
> Dia tidak jadi singgah ke toko yang menjual atap seng. Biarlah besok hari 
> Sabtu saja. Sesudah dia menjual lado pula di hari itu nanti. Dan 
> mudah-mudah-mudahan dia bisa bertemu lagi dengan tukang copet kurapai tadi. 
> Akan dijebaknya manusia jahil itu. Akan ditagihnya piutang kalau orang itu 
> berjumpa lagi. Dia bergegas saja pulang ke kampungnya. Masih banyak kerja 
> yang akan dikerjakan.
>  
>  
>                                                                         ***
>  
> Sesuai rencana hari Sabtu berikutnya Barudin berangkat lagi ke pasar. Panen 
> lado sedang naik. Hari ini hampir lima puluh kilo yang dibawanya. 
> Alhamdulillah harganyapun bertambah elok. Lebih banyak bilangannya dari hari 
> Rabu kemarin untuk sekilo lado. Barudin tidak perduli bahwa harga naik itu 
> karena nilai uang kertas memang merosot terus dari sehari ke sehari. Ketika 
> menerima uang harga lado dilakukannya persis seperti yang dikerjakannya tiga 
> hari yang lalu. Uang itu diperduanya. Separo masuk puro dan separo masuk saku 
> baju gunting cina. Hanya yang terakhir ini, kali ini dimasukkannya dulu ke 
> dalam sebuah amplop. Kantong baju gunting cina menggelembung dengan amplop 
> berisi uang kertas.
>  
> Barudin mampir sebentar ke peturasan di dekat surau di pasar bawah. Seperti 
> orang akan buang air kecil. Di kakus itu dikeluarkannya kembali uang yang di 
> dalam amplop dan dimasukkannya semua ke dalam puro. Amplop itu diisinya 
> dengan kertas sehingga tetap menggelembung dalam sakunya. Barulah dia 
> melangkah keluar.
>  
> Hatinya berdetak bahwa dia sudah diamati orang sejak dia menerima uang 
> pembelian lado tadi. Sekarang dia melangkah menuju jenjang empat puluh. 
> Seperti hari Rabu kemarin. Melalui jalan yang sama. Dia akan menuju lepau 
> yang sama. Persis ketika akan menjejak jenjang empat puluh yang sebenarnya, 
> dia di dahului tiga orang laki-laki. Satu dari ketiga laki-laki itu 
> mengatakan ‘daulu saketek, mak’ (=saya duluan, paman) dengan sopan. Dan orang 
> itu adalah yang waktu itu mengambil saputangan jatuh.
>  
> Barudin bergumam dalam hati. Akan kuterima piutang, katanya.
>  
> Dia sampai di puncak jenjang. Di hadapannya adalah keramaian pasar dengan 
> orang yang sangat banyak. Barudin berjalan saja menekur seperti biasa. Tapi 
> kali ini dia sedang berhitung dan berencana. Akan menagih piutangnya.
>  
> Benar saja. Beberapa langkah menjelang lepau nasi. Di jalan yang sempit 
> seperti kemarin. Tiba-tiba saja Barudin sudah berada di antara dua orang 
> laki-laki. Di depannya adalah orang yang kemarin mengambil saputangan jatuh. 
> Saat ini dia memegang sebungkus rokok Kansas. Di belakangnya terasa ada orang 
> yang menyelingkit-nyelingkit sambil mendorong. Barudin sedang waspada penuh.
>  
> Nah, inilah saatnya. Yang di depan menjatuhkan bungkus rokoknya. Barudin 
> melihat itu dengan jelas karena memang sudah ditunggunya dari tadi. 
> Berikutnya orang itu membungkuk mengambil rokok dengan mukanya seperti 
> kemarin lagi, melengah ke belakang ke arahnya sambil tersenyum. Tangan orang 
> yang di belakangnya secepat itu pula merogoh ke dalam kantong baju gunting 
> cina Barudin. Inilah yang ditunggunya dari tadi. Secepat kilat, tangan yang 
> sedang berada di saku bajunya itu ditangkapnya dengan tangan kanannya. Cap, 
> tertangkap. Orang itu berusaha melepaskan tangannya dengan muka ketakutan. 
> Barudin tidak mengambil banyak tempo. Dengan sekelebatan yang hanya berbilang 
> detik, tangan orang itu dikeripukkannya sampai berbunyi seperti tulang patah. 
> Pada saat yang sama si tukang halang di depannya yang baru bangkit dari 
> mengambil rokok jatuh disepohnya dengan kaki sehingga jatuh terjengkang.
>  
> Si perogoh melolong kesakitan. Telunjuk dan jari tenganya patah 
> terkulai-kulai. Si penghalang yang jatuh terjengkang luka keningnya terhempas 
> ke jalan. Barudin melihat orang ketiga. Dia sudah mengenalinya sejak menaiki 
> jenjang tadi. Dia berbaju berwarna biru. Ketika orang ketiga ini berusaha 
> menghindar, Barudin menarik pinggang celananya. Orang itupun pucat pasi 
> ketika menoleh kepadanya. Dengan gerakan secepat kilat pula diraihnya tangan 
> orang itu dan dipelintirnya dengan gerakan sangat cepat. Terkeripuk pula 
> dengan bunyi tulang patah. Diapun melolong kesakitan.
>  
> Semua itu berlangsung dalam waktu tidak sampai lima belas detik. Orang di 
> tengah balai yang ramai itu terheran-heran menyaksikan dua orang yang 
> meraung-raung kesakitan. Tidak ada seorangpun yang tahu entah apa sebenarnya 
> yang terjadi.
>  
> Barudin mendekat ke si kening berdarah sebelum berlalu. ‘Ba karilahan wak 
> yo,’ (=Saling mengikhlaskan kita, ya) katanya. Si kening berdarah hanya bisa 
> menyeringai. Jual beli itu memang sudah selesai. Barudin mengambil untung 
> sedikit dari ketiga sekawan yang kemarin sudah lebih dulu menerima uangnya. 
> Hari ini giliran Barudin menerima piutang.
>  
> Barudin melanjutkan langkahnya ke lepau nasi. Makan nasi dengan gulai cancang 
> seperti kemarin dulu. Bahkan dua kali bertambuh. Habis juga tenaganya sesudah 
> bersilat tiga jurus tadi. Barulah sesudah itu dia pergi ke toko seng.
>  
>  
>                                                                         *****
>  
> AnwarDjambak
> Alam Takambang Jadikan Guru
> Sent by Maxis from my BlackBerry® smartphone
> 
> -- 
> .
> * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
> wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
> * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
> ===========================================================
> UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
> * DILARANG:
>  1. Email besar dari 200KB;
>  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
>  3. Email One Liner.
> * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
> mengirimkan biodata!
> * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
> * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
> * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
> subjeknya.
> ===========================================================
> Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
> http://groups.google.com/group/RantauNet/
> --- 
> Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
> Grup.
> Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
> email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
> Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Reply via email to