REKAMAN ULANG PORNOGRAFI DALAM BUDAYA INDONESIA Tanggapan terhadap ArtikelWahyu Wicaksono3 Februari 2009 di Kompas
| | W | AHYU WICAKSONO, seorangPsikolog Sosial, menanggapi artikel Frans H Winarta (Kompas, 23 Jan 2009), yangdimuat di Kompas 3 Feb 2009. Padagilirannya saya menanggapi artikel Wahyu Wicaksono yang katanya bersumber daristudi Utomo (2002) yang menyoroti sikap atas seksualitas masyarakat Indonesiadari sudut sejarah dan budaya. Kata Wahyu, pendekatan sejarah dan budaya,seperti yang dilakukan oleh Utomo, perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran‘sikap atas seksualitas pada budaya masyarakat Indonesia secara proporsionalmelalui pendekatan sejarah dan budaya.’ ‘Pornogrfi-pornoaksidan seksualitas,’ kata Wahyu, ‘ibarat dua sisi dari satu koin. Di satu sisi,norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang bersifatspesifik secara sejarah dan budaya. Sisi lain, sifat alamiah manusia (fungsibiologis-prokreasi).’ Lalu, dia bilang lagi, ‘Sikap masyarakat Indonesiaterbuka terhadap seksualitas yang mempunyai akar sosiokultural yang berubahdari waktu ke waktu...’ Katakanlahbegitu. Namun, ini yang aneh dansekaligus menarik: Wahyu yang Wicaksono menutup artikelnya itu denganmengatakan ... ‘Ada atau tidak ada UU Pornografi, sexual misconduct dalambentuk apapun akan tetap dan akan terus terjadi atau bahkan tidak pernahterjadi, tergantung dari individu yang memberi nilai, norma, dan pengertianyang dimiliki.’ Dan dia kunci dengan mengatakan, “Serahkan manajemen tubuhberikut persepsinya pada kesadaran diri individu masing-masing, bukan tekanan,keharusan, dan hukuman dari luar.” Wahyuyang tadinya menempatkan diri sebagai seorang pengamat sosial-budaya, yangmelihat gejala-gejala sosial-budaya itu secara apa adanya dan sebagaimana adanya(das Sein), sekarang berbalik menjadiseorang Machiavellian yang secara implisit maupun eksplisit menolak secara das Sollen akan norma-norma sosial yangberlaku dalam masyarakat dan menuntun prilaku kehidupan seksual dari wargamasyarakat itu. Secaraakademik, epistemologi seperti ini tentu saja tidak konsisten. Kalau kita,seperti Utomo, mengandalkannya kepada fenomena sejarah dan budaya, secara apaadanya, biarkanlah sejarah dan budaya itu yang menentukan ke mana kelokloyangnya. Jangan pula diintervensi atau bahkan disabot dengan mengatakan,seperti yang Wahyu katakan itu, ‘serahkan manajemen tubuh berikut persepsinyapada kesadaran diri individu masing-masing, bukan tekanan, keharusan, danhukuman dari luar.’ Fenomena sosial-budaya, yang kemudian direkam oleh sejarah,justeru karena adanya dua sisi dari koin yang sama itu: individu danmasyarakat. Individu yang menurutkan naluri dan kehendak hatinya, secarabiologis, masyarakat yang menuntun individu-individu itu dengan norma-normasosial yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat itu. Melalui tuntunannorma-norma sosial itulah individu menempatkan dirinya dalam masyarakat. Secarabiologik dia tentu saja bisa melanggar norma dan ketentuan yang diacukan olehmasyarakat dengan ‘social behavioralpattern’ yang relatif baku itu. Tetapi pada waktu yang sama diapun sudahharus siap menerima sanksi, apapun bentuknya, yang diberikan oleh masyarakat.Masyarakat tradisional yang relatif tertutup, yang karenanya nilai-nilaiprimordial efektif berlaku, tinggal menyesuaikan diri, ke dalam bentuk polaprilaku normatif mana masyarakat itu mengaturnya. Masyarakat moderen, atau semimoderen, seperti di kota-kota, dan terutama kota-kota besar, memberikankelonggaran untuk menyimpang dari pola prilaku baku itu. Masalahnya, dikota-kota nilai-nilai dan norma-norma sosial tidak lagi monolitik yangbersumber dari satu sumber budaya primordial saja, tetapi pluralistik, yangdatang dari mana-mana. Namun sanksi sosial dari pola budaya yang dominan dan mengakardalam masyarakat tetap berlaku, walau hanya dalam bentuk kerlingan sebelah mataataupun gosip dan ocehan, apalagi kritik-kritik terbuka, apa pula sanksi hukumsegala, seperti halnya UU Pornografi yang baru saja disahkan dan diberlakukanitu. Masyarakat Indonesia kontemporer, dalam menyikapipornografi dan pornoaksi, memang terbelah dua, sesuai dengan pola budaya yangmereka anut. Satu yang berhaluan sintetik, dan yang satu lagi yang berhaluansinkretik. Yang berhaluan sintetik adalah masyarakat-masyarakat yang telahterislamkan secara integral, kaffah, menyeluruh, khususnya masyarakat Melayuyang dunianya lebih luas dari Indonesia ini, di mana juga termasuk Malaysia,Pattani, Brunai, Moro, dsb. Di dunia Melayu ini yang berlaku adalah asasfilosofi: ABS-SBK: Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah. Kendatidi masa pra-Islam, ada daerah-daerah Melayu yang sikap dan normasosial-budayanya terhadap prilaku seksual yang tidak sejalan dengan kaidahsyarak, tetapi melalui proses integrasi yang sifatnya sintetikal ke dalam Islamitu, kebiasaan pra-islamik itu ditinggalkan. Misalnya, tidak ada lagi wanitayang bertelanjang dada, dan tidak ada laki-laki kawin lebih dari empat, padawaktu yang sama, dibanding 450, dan hanya 34 yang dijadikan isteri, di kerajaanJawa yang diceritakan Wahyu itu. Juga, laki-laki Minang yang kata Wahyudipelihara oleh perempuannya untuk semata tujuan prokreatif. Malah oleh Wahyusecara vulgar dikatakan: “Suami tinggal di luar rumah dan sekali-sekalidigunakan untuk kepentingan seks.’ Wahyu juga bilang, ‘Posisi ini lalu dianggappara suami sebagai posisi individu yang tidak memiliki harga diri dan mendorongmereka bermigrasi ke ...”Indochina” [sic.]mencari pekerjaan dan kondisi hidup yang lebih baik.’ Kelemahan pendekatansejarah yang tidak berupaya memenggal-menggal periodisasi sejarah, cenderunguntuk ‘menyapu-rantau’kan apapun yang terjadi walau peristiwanya sudahanakronistik. Dunia Melayu, sejak berlakunya hukum Islam yang menuntunkehidupan sosial mereka, secara sosietal, tunduk kepada hukum syarak Islam. Iniadalah karena mereka menempatkan syarak sebagai tolok ukur dari adat mereka.Adat yang sejalan dengan syarak dipakai, yang tak sejalan, dibuang. Sekalilagi, sifatnya sosietal, kendati penyimpangan secara individual tentu ada, walautetap dibenci dan tak disukai oleh masyarakatnya. Lain dengan dunia bukan-Melayu, secara kultural, walausecara etno-biologik Melayu juga, misalnya Jawa, seperti yang dikatakan Wahyuitu. Di Jawa, terutama yang berorientasi Kejawen, atau Abangan, secarakultural, mereka mentoleransi pengeksposan dada atau bagian dari dada, danmentoleransi tari-tarian eksotik, atau bahkan erotik. Dan juga mentoleransiisteri simpanan atau selir yang jumlahnya bisa tak terbatas, di sampingtoleransi dari para isteri untuk membiarkan atau membolehkan suaminya ‘jajan,’ karena pertimbangan apapun. Berbedadengan dunia Melayu, dunia Jawa menganut budaya sinkretik, tidak sintetik. DiJawa, ada prinsip, ‘sedaya agami samikemawon.’ Walau pengakuan resminya adalah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagaisila pertamanya, tetapi yang tri-esa, poli-esa, dan tanpa-esa sekalipun, diakuidan diterima juga. Yang pokok damai, toleran dan saling menghargai. Makaterjadilah pola budaya sinkretisme yang mentoleransi dan membolehkan apa-apa. Bicara tentang dikotomi dan polarisasi budaya Nusantara initentu akan panjang pula ceritanya. Dan ini tentu akan memancing polemik budayatersendiri. Yang pokok saya melihat keanehan dari cara berfikirakademik dari psikolog sosial kita, Wahyu Wicaksono, yang mencampur-aduk antarapola dan cara berfikir ilmiah sosio-kultural apa adanya, dengan kehendakpribadi yang cenderung Machiavellian itu. *** Mochtar Naim, Sosiolog Ciputat, 4 Feb 2009. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.
~$0204 2 PORNOGRAFI DALAM BUDAYA INDONESIA.doc
Description: MS-Word document
090204 1 PORNOGRAFI DALAM BUDAYA INDONESIA.doc
Description: MS-Word document