Kawan2, Tidak usah dibaca lagi kalau sudah pernah membacanya. Tapi kalau mau mengulangi lagi, silahkeun..... Salam Selamat Hari Raya, 1 Syawal 1437 H, MN CATATANDARI TIGA SEMINAR
Kenang-kenangan 70 Tahun Buya HAMKA Mochtar Naim Bukittinggi,September 1977 | W | AKTU seorang sahabat lama yang sekarang menjadi tangankanan dari Jenderal Widodo di Yogya, dan yang sebelumnya menjadi tokohmiliter-intelek penggerak utama dalam kegiatan-kegiatan sospol di Padang,bertanya kepada saya mengenai diri Buya Hamka, saya terus-terang mengatakanbahwa Buya Hamka kita itu tidak ada duanya dalam sejarah Indonesia modern abadke 20 ini. Saya bilang dalam bahasa Inggeris: unique dan outstanding. Setahusaya belum ada satu orangpun yang menandinginya dalam keberbagaian keahlianyang sekali dikuasainya. Buya kita yang satu ini benar-benar unik dan luarbiasa. Apa pula jika mengingatkan bahwa beliau sekolah dasar saja tidak tamat.Berbeda dengan ayah beliau, Inyiak De-er, yang dalam dan keras dalam beragama,dan berbeda pula dengan kebanyakan ulama-ulama di Indonesia, Buya kita inibukan hanya sekedar ulama, tapi segala-gala. Beliau ya pujangga, ya sastrawan,ya penyair, ya wartawan, ya budayawan. Beliau ya orator, ya ahli pidato, yapenulis, ya filasuf. Dan dalam bidang yang hendak saya singgung nanti,beliaupun ya ahli adat, karena beliaupun adalah penghulu dan kepala adat dikampungnya, di samping juga beliau adalah seorang penggemar sejarah, jika tidakakan dikatakan sebagai ahli sejarah. Dalam diri beliau bertemulah berbagaiunsur dan berbagai kelebihan, yang satu saling menupang yang lainnya. MelihatBuya Hamka sekarang ini tak ubahnya seperti membayangkan seorang filasuf dijaman tamaddun Islam dahulu, di mana berbagai macam ilmu keahlian bertumpukpada orang yang satu. Semua dicakup, semua dirangkum, dan semua kait-mengait,kuat-menguatkan. Dalam berdakwah, berpidato di muka umum, dalam memberikanpengajian dari surau ke surau, dari tempat ke tempat, beliaupun mengarang bukuroman dan buku-buku tebal lainnya dalam berbagai ilmu dan fan. Jarang orang didunia ini yang lidahnya sefasih penanya, dan penanya setajam lidahnya, sepertiBuya Hamka ini. Dua-duanya mempesona. Biasanya kalau dia pintar berpidato,tumpul penanya. Kalau dia tajam penanya, kelu lidahnya. Tapi bagi Buya Hamka,dia mampu mempesona berjuta manusia dengan senjatanya itu. Dalam menulis dimajalah dan surat-surat kabar, beliau mempimpin dan ikut aktif dalam organisasisosial dan keagamaan. Beliau di Muhammadiyah adalah tokoh kawakan dan berdiridi barisan muka sejak sebelum perang. Dalam mengajar, menjadi dosen danprofessor di berbagai perguruan tinggi di berbagai kota, beliaupun menjadipolitikus ahli parlemen dari sebuah partai Islam yang beliau cintai. Dansebagai anggota masyarakat insan sosial, beliau bergaul dengan semua lapisanorang, dari si jembel di pedesaan sampai ke presiden di istana negara, dariawak sama awak di dalam negeri ke pentolan-pentolan jagoan di duniainternasional. Sebagai orang yang berdarah Minang, beliaupun suka merantau ataumengembara; bukan hanya ke berbagai pelosok di Indonesia ini, tapi ke berbagaipenjuru dunia di sekeliling jagad ini. Berbahagialah kita di Indonesia iniyang dikaruniai seorang tokoh ulama-pujangga autodidak yang selain mempunyailautan ilmu yang sangat dalam, dalam berbagai segi ilmu keagamaan juga campindalam berbagai bidang ilmu kemanusiaan (humanities) lainnya sekaligus. Dalamsetiap ilmu tersebut beliau terhitung dan diperhitungkan. Buya Hamka khasnya adalahbagai bintang terang di ufuk Timur pada abad ke 20 ini yang namanya pasti akankekal dalam lipatan sejarah Indonesia dan sejarah Islam. Sebagaimana dengan orang-oranglainnya, sayapun bangga untuk menanamkan diri saya sebagai murid dari beliaudan sebagai orang yang sedikit-banyak juga mengenal beliau dari dekat. Sewaktusaya menduduki tingkat doktoral di perguruan tinggi Agama Islam Negeri di Yogyatahun lima puluhan dulu, saya sempat menyauk dari beliau Ilmu Tasawuf dan SejarahKebudayaan Islam yang beliau berikan, karena beliau adalah dosen-terbangwaktu itu. Sewaktu hendak berangkat ke Kanada dalam meneruskan studi saya diMcGill University, tahun 1957, beliau pulalah yang memberikan surat rekomendasiuntuk saya kepada Professor Wilfred Cantwell Smith, yang kebetulan keduanyapuntelah saling kenal mengenal. Sayapun, sebagaimana jutaan orang Indonesia dansaudara-saudara kita di Malaysia, juga membaca buku-buku beliau dan mengikutiserta mendengarkan uraian-uraian beliau di berbagai kesempatan, termasuk di TV danradio. Sayapun, sebagaimana jutaan lainnya, adalah juga pengagum Hamka. Hamkabagi saya adalah guru, orang tua dan panutan dan orang yang sangat saya kagumi.Kalau dia orang yang bersekolah tinggi seperti saya dan seperti tokoh-tokohnasional lainnya, kekaguman saya tidak akan setinggi itu. Keistimewaan Hamkaialah karena ia anak alam dan ia berguru kepada alam. Ia tidak pernah duduk diperguruan tinggi, tapi dia menjadi professor di perguruan tinggi. Bagi sayaBuya Hamka adalah lambang dari kekerasan hati, ketekunan dan keuletan untuksuatu tujuan hidup. Berpantang mundur sebelum yang dicita- cita tercapai. Bagibeliau di dunia ini kelihatannya: esa hilang dua terbilang. Pada tempatnyalah, oleh karena itu,jika dalam menghadapi ulang tahun beliau yang ke 70 ini kita berhenti sejenakuntuk mengingatkan jasa-jasa beliau yang demikian banyak secara bersama-samakita menuliskan kesan-kesan indah tentang beliau dalam lembaran bukukenang-kenangan ini. Bagian saya adalah berupa sekelumit catatan dari tiga Seminaryang secara berturut-turut diadakan setiap tahun dari 1968-1970 di Padang dan Batu Sangkar, dimana saya dan isteri, sekembali dari Amerika, turut aktif menggerakannya, dandi mana Buya Hamka dalam ketiga-tiga Seminar tersebut telah menjadi “bintang”Seminar. Seminar pertama, Juli 1968, di Padang, adalah mengenai Hukum AdatMinangkabau, khususnya mengenai Hukum Tanah dan Hukum Waris. Seminar kedua,Juli 1969, di Padang juga, adalah mengenai Islam di Minangkabau, khususnyamengenai Sejarah masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau. Sedang Seminarketiga, Agustus 1970, di Batu Sangkar,adalah mengenai Sejarah Kebudayaan Minangkabau. Saya rasakan, bagi Buya Hamkapun,tiga Seminar ini mempunyai arti penting. Bukan saja karena rangkaian Seminarini merupakan usaha bersama dalam membangkit batang terendam dan menemukanidentitas dari suatu sukubangsa terpandang di Indonesia ini, tapi juga sebagaitokoh yang dalam pengetahuannya mengenai masalah-masalah yang dibicarakan. BuyaHamka telah berbuat banyak dalam Seminar-seminar tersebut. Pendapat, hujjah danbuah pikiran yang beliau kemukakan malah menjadi buah pikiran Seminar. Beliau,menurut hemat saya, adalah “leading actor”dari Seminar-seminar tersebut.Kehadiran beliau sangat dirasakan. Seminar menjadi terasa berat karenanya.Setiap Buya yang naik ke mimbar, orang dengan khusyu’ mendengarkannya.Orang-orang begitu tekun dan hanyut dibawanya, seolah-olah orang bergantung dibibirnya. Tatapan dari sekian banyak pasang mata seolah-olah tak lepas dan lekatke wajah beliau, dan perasaan hadirin dibawa berlayar oleh turun-naiknyagelombang perasaan beliau sendiri. Soalnya, saya perhatikan, Buya Hamkaberbicara tidak hanya dengan kepalanya, tapi juga dadanya; dan tidak hanya itu,tapi juga sekujur tubuhnya. Sehingga melihat Buya Hamka berpidato sepertimelihat sebuah objek seni sendiri. Orang baru sadar akan dirinya kalau Buyatelah memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia akan mengakhiri pidatonya. Dan gerutudi hati hadirin seolah-olah bisa dibaca. Rahasianya bagi Buya Hamka sendiriagaknya, sedang terlemak dihentikan; karenanya orang tidak pernah bosan denganbeliau. Dan Buya pandai betul dalam mencarikan taiming serta klimaksnya di manapembicaraan harus dihentikan. SeminarAdat Minangkabau Kepulangankami dari Amerika di awal tahun 1968, setelah lebih sepuluh tahun bemukim dibenua sana, termasuk dua tahun di Kanada, rupanya bertepatan dengan sedangdipersiapkannya Seminar Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau di Padang yangdiprakarsai oleh IKAHI. Ikatan Hakim Indonesia ini seolah-olah hendakmengadukan kepada para ninik-mamak pemangku adat di Minangkabau, beserta alim-ulama, cerdikpandai serta para sarjananya, kenapa persoalan tanah dan waris di Minangkabau selamaini kok begitu runyam, sehingga telah menyita sebagian besar perkara yang masukke Pengadilan Perdata di Sumatera Barat, dan memusingkan kepala para hakim. Olehpengambil inisiatif, di mana saya juga begitu tiba telah dimasukkan ke dalampanitia pengarahnya, diundanglah para pemrasaran, yang satu di antaranya adalahBuya Hamka. Serentetan nama-nama terpandang dalam bidang hukum puteraMinangkabau pun diundang, termasuk jagoan-jagoan seperti Prof. Mr. Dr.Hazairin, Prof. Mr. M. Nasroen, Prof. Mr. Harun al Rasjid, Hakim Agung BustanulArifin SH, dan sebagainya. Profesor Nasroen sendiri hanya prasarannya yangsampai, karena beliau dalam keadaan sakit, dan meninggal beberapa bulan sesudahitu. Terhadap tokoh-tokoh hukum adat kenamaan ini tidak terketir perasaanapa-apa kecuali rasa hormat dan kekaguman akan ilmu mereka. Profesor Hazairinsendiri sempat mencuri perhatian Seminar karena caranya yang khas yang sukaberbicara blak-blakan. Saya masih bisa membayangkan, bagaimana beliau dudukbersila di atas kursi berkain sarung di hadapan Seminar dan “mengkuliahi” paraninik mamak dan alim ulama yang hadir agar menukar hokum waris adat yangmatrilineal dan hukum faraidh Islam yang patriarchal ke hukum baru yangparental di mana laki-laki dan perempuan mendapat yang sama. Terhadap Buya Hamka lain lagi halnya.Orang seperti akan menghadapi singa. Orang-orang pada resah dan takut,kalau-kalau singa yang pernah mengkoyak adat Minangkabau ini akan kembali lagimengaum dan memperlihatkan giginya. Tidak lain dari Ketua Lembaga KerapatanAdat Alam Minangkabau (LKAAM) sendiri yang menyuarakan kekhawatiran inikalau-kalau Buya Hamka – dalam istilah tokoh adat itu sendiri – “mambae” (melempar dengan batu) adatMinangkabau seperti yang dilakukan oleh Buya di awal revolusi dulu dalambukunya: Adat Minangkabau MenghadapiRevolusi (1946). Dalam pertarungan antara adat dan agama di Minangkabau,orang semua tahu di mana tempat tegak Buya Hamka, walaupun orang juga tahubahwa yang bernama Haji Abdul Malik Karim Arullah itu adalah juga seorang datukkepala suku di kampungnya, dengan gelar pusaka: Datuk Indomo. Anehnya, berbeda dengan buku kecilyang menghantam habis-habisan adat Minangkabau itu (sebenarnya yang beliaukritik bukan adatnya, tapi praktek adatnya yang beliau katakan sebagai sudah membatu) beliau dalam Seminartersebut bagai singa tak berkuku. Beliau singa, tapi kukunya telah beliauunjukkan sendiri. Yang keluar dari mulutnya adalah rasa damai, rasa hendakmencari persesuaian, mencari titik-titik temu antara adat dan agama, sehinggakedua unsur budaya pokok dalam kehidupan orang Minangkabau ini dapat puladisumbangkan secara positif bagi pembangunan Indonesia sekarang ini. Rasanyabeliau pulalah yang mengusulkan formula jalan tengah dalam menyelesaikansengketa waris bahwa: “Terhadap harta pencarian berlaku Hukum Faraidh,sedangkan terhadap harta pusaka berlaku Hukum Adat.” Soalnya memang, setelahditelungkup-ditelentangkan, harta pusaka bukan si mait yang punya, karena tidakmungkin dibagi-bagi kepada anak dan kemenakan. Harta pusaka adalah wakaf kaumyang boleh dipakai tapi tak boleh dimiliki. Formula ini kebetulan cocok puladengan hasil kesimpulan mufakat dari para ninik-mamak, alim-ulama, dan cerdikpandai Minangkabau bulan Mei 1952 di Bukittinggi, yang antara lain jugadihadiri oleh orang tua kita, H. Agus Salim. Dari Seminar ini orang melihat Hamkabukan hanya sebagai Buya, tapi juga sebagai Datuk yang kedalaman ilmu beliautentang seluk-beluk adat Minangkabau terlihat dalam prasaran beliau yangberjudul: “Adat Minangkabau dan Harta Pusakanya.” Segi lain yang perlu saya catatadalah bahwa kebetulan beliau selama Seminar berlangsung menginap di rumahkami. Karena kami tak mempunyai kamar tamu sendiri, di ruang studi sayalahbeliau tidur dan istirahat. Apa yang kami saksikan setiap malam adalah bahwakami sendiri karena saking capeknya sudah mulai menghasta tempat tidur, tapi,beliau rupanya masih saja ”bersitungkin” mempersiapkan bahan-bahan yang hendakbeliau ketengahkan di Seminar esok harinya. Dari sana saya mengambil pelajaran,pantas kalau Buya Hamka sampai sehebat itu. Tidak ada hal yang dianggapnyaenteng dan semua itu dipersiapkan dengan baik. Dengan bekal ketajaman otak dankekuatan daya ingat yang luar biasa, ditambah pula dengan ketekunan dansemangat tak mau kalah dari orang, makanya beliau bisa menjujut sampai ke atas.Tidak pernahnya beliau memasuki bangku perguruan formil sampai ke perguruantinggi bahkan biasa dianggap blessing indisguise bagi beliau, karena kita yang sudah terlanjur sekolah sampai ketingkat tinggi ini telah diracuni oleh cara belajar yang selalu disuapkan danbersifat nrimo dan mengiakan saja apa yang dikatakan guru. Akibatnya kita inijauh kalah dari Buya yang telah membiasakan diri dari kecil untuk mencarisendiri, sauk air mandikan diri. Seminar Islam di Minangkabau Centerfor Minangkabau Studies yang kami pimpin dan yang dilahirkan pada waktu SeminarAdat Minangkabau di Padang, Juli 1968, meneruskan usaha penggalian unsur-unsurkebudayaan Minangkabau dengan mengadakan berbagai kegiatan penelitian, studidan seminar. Juli 1969 berikutnya, dengan berkerja sama dengan IAIN Imam Bonjoldan berbagai perguruan tinggi berserta instansi pemerintah danorganisasi-organisasi masyarakat lainnya, diselenggarakan seminar kedua denganmengambil tema: “Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau.” Berbedadengan seminar pertama, maka partisipasi dari sarjana-sarjana Minang yangbermukim di Jakarta dan rantau lainnya jauh lebih terasa. Panjang urutan namayang datang , tapi satu di antaranya, di samping Hamka, adalah “our brotherfrom Batak”: Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan, alias Sumarlin, ahli bomtarik, letnan kolonel A.D. Pesiun, Nrp. 13.3.13, pengarang buku TuankuRao yang cukup menggegerkan itu. Sengaja kami undang tokoh misterius inikarena masih di Amerika saya telah membaca buku ini yang menurut hemat sayasangat luar biasa, bukan saja karena buku ini menyajikan versi Sejarah Paderiyang berlainan sama sekali dengan yang pernah saya baca, tapi juga carapenyajiannya yang begitu sensasionil dan berbau porno itu. Adalahpada tempatnya, menurut hemat saya, jika dalam Seminar yang membahas tentangsejarah masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau itu tokoh ini diundang dan dipertemukan dengantokoh-tokoh sejarah lainnya, termasuk penulis buku Parang Paderi, Mohammad Radjab, wartawan kawakan dari Antara, danrekan-rekan sejarawan/dosen sejarah dari IKIP Jakarta dan Padang. Tidakterlintas di pikiran saya waktu itu akan mempertentangkan Buya Hamka denganM.O. Parlindungan. Oleh karena itu yang kami mintakan kepada Buya adalah agarBuya mengemukakan mesalah gerakan pembaharuan di Minangkabau yang kami kirasangat berhubungan erat dengan kehidupan dan sepak terjang perjuangan beliauselama ini. Buya Hamkapun mengemukakan paper mengenai peranan dari dua tokohpembaharu: Syeikh Ahmad Khatib binAbdullatif al Minangkabawi dan Syeikh Ahmad Thaher Jalaluddin al Azhari al Falaki. Yangjusteru saya harapkan untuk saling berhadap-hadapan ialah pengarang Perang Paderi, Mohammad Radjab, danpengarang Tuanku Rao, MangarajaOnggang Parlindungan. Rasa akan seru pertandingan antara kedua jagoan inikarena dua-duanya sama-sama menguasai bahan, walaupun masing-masing berpijakdari sumber pengambilan yang berbeda-beda. Sayangnya, “pertarungan” antarakedua jago ini tidak sampai terjadi. Hemat saya adalah karena Pak Radjab danpun Pak Onggang hanya bertahan pada tema masing-masing, yang satu tak maumengungkit yang lainnya, walaupun Onggang selalu mencibirkan bahwa cara Pak Radjabmenulis sejarah Paderi hanya sekedar membalikkan fakta dengan menjiplakdata-data yang ditulis oleh Belanda sendiri. Pak Radjab ingin membuktikan bahwaPerang Paderi pada hakekatnya adalah perang antara rakyat melawan penguasa, dusmelihatnya dari segi politik penjajahan, sedang Pak Onggang ingin membuktikanbahwa Perang Paderi pada hakekatnya didalangi oleh gerakan Wahhabi yang diaturdari Saudi Arabia melalui ketiga tawanan mereka : Haji Miskin, Haji Piobang,dan Haji Sumanik. BerkataOnggang: “Sebab-sebab timbulnya gerakan Paderi di Minangkabau adalah pelaksanaanperintah-perintah langsung dari Abdullah Ibnu Saud/The New Hamball Master ofMekkah kepada tiga orang tawanannya: Colonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik,dan Haji Miskin the Hermit, yang oleh tentara Wahhabi tertawan di Mekkah 1802,pada waktu tentara Wahhabi merebut Mekkah dari tangan tentara Turki. Merekabertiga tidak turut dihukum mati dan boleh lepas dari tawanan, akan tetapidengan syarat: Bertiga mereka harus kembali ke tanah airnya = Alam Minangkabau,dan memulai cabang dari gerakan Wahhabi di situ.” “Pertempuran”baru terjadi di sidang Kelompok Diskusi B, yaitu yang khusus membahas mengenaisejarah Perang Paderi. Tapi kali ini yang bersua adalah antara “kelompok” BuyaHamka dengan M.O. Parlindungan. Orang-orang sudah merasakan juga bahwakehadiran tokoh M.O. Parlindungan pasti akan hangat dan menarik; malah ada yangmenduga akan “heboh”. Daya tarik pribadinya memang mengesankan. Sehari-hariselama seminar di Padang pakai sarung berkopiah ijuk model Sulawesi,berkacamata kuno bergagang metal model angku-angku dahulu, bertongkat danberpipa cengklong. Ramah, suka berkomunikasi dan sosial pula. Kepada saya diaserahkan uang agar kepada Bapak-bapak diberikan tanda-mata berupa sesuatu dariseminar. Kasihan, katanya; sudahlah bapak-bapak tersebut datang dengan ongkossendiri, tiba di sini (Padang) tak pula diberi uang saku. Dayatarik Onggang terutama dirasakan oleh sarjana-sarjana muda di Padang, karenabuku Tuanku Rao yang begitu asyik dan lengkap dengan angka-angka tahun. Takayal jika Pak Onggang ramai dikerubungi, diminta ceramah di perguruan tinggi(IKIP) dan setiap hari keluar wawancaranya di surat kabar. Sidangpertama di kelompok diskusi B (Perang Paderi), di mana duduk ketiga tokoh:Onggang, Hamka, dan Radjab, ternyata kaku, tidak dapat angin, dan tergenang.Mungkin sudah “merasani” bahwa yang berhadapan adalah tokoh-tokoh berat dengantopik yang berat dan satu waktu pasti akan berlaga. Para mahasiswa dan hadirinlain berat membuka mulut, bukan saja karena berhadapan dengan tokoh-tokohtersebut, tapi juga mungkin karena ingin menyaksikan perdebatan yang bakalseru. Barulahdi sidang kedua dan ketiga di hari berikutnya (Sabtu, 26 Juli 1969) pertempuranbenar-benar terjadi, di mana satu per satu tesis Onggang dipreteli. Dan yangmempereteli adalah Buya Hamka sendiri. Setelah membaca buku tantangan BuyaHamka: Antara Fakta dan Khayal: “Tuanku Rao” (1974), barulah saya tahubahwa rupanya Buya sewaktu diinternir oleh Sukarno di Rumah Sakit Persahabatandi Rawamangun selama 17 bulan (20 Agustus 1964 sampai 23 Januari 1966) telahlumat membaca buku Tuanku Raotersebut dan dengan sendirinya telah mempersiapkan antitesis yang dibawa keSeminar Islam di Padang itu. Jarangsaya memperhatikan di mana forum Seminar sehangat dan seterbuka itu, apalagijika dibandingkan dengan seminar-seminar ala sekarang. Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau Puncakdari kegiatan seminar dalam rangka menggali kebudayaan Minangkabau memangberada pada Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau ini, yang berlangsungdari tanggal 1 s/d 8 Agustus 1970 di Batu Sangkar. Sengaja Seminar diganjur keBatu Sangkar untuk mengingatkan kembali akan kebesaran lama sejarah Pagaruyung.Yang datang ke Seminar jauh lebih banyak lagi dari kedua seminar sebelumnya,yang sekarang, selain Hamka, juga antara lain dihadiri oleh Dr. Mohammad Hatta,Prof. Dr. Bahder Djohan, Dr. Deliar Noer, Dr. Rasyidin, Prof.Dr.Koentjaraningrat, Dr. Soekmono, Mohd. Said, dan bahkan beberapa peninjau asing.Dari tokoh-tokoh sarjana Minang sendiri berdatangan dari berbagai pejururantau, di samping dinanti oleh tokoh-tokoh sarjana dan tokoh-tokoh adat danagama dari daerah sendiri. Bagirakyat Sumatera Barat sendiri, dan bahkan bagi pemerintah daerah, Seminar BatuSangkar benar-benar merupakan peristiwa, karena dari Seminar tersebut merekamelihat kepulangan secara bersama-sama orang-orang besar mereka, yang selamaini “larat” dalam memikirkan masalah besar-besar di rantau, tapi seolah-olahlupa dengan kampung halaman sendiri. Mereka mengharapkan mudah-mudahan denganseminar ini perhatian mereka lebih tertumpah ke kampung halaman sendiri. Daripertama kali turun dari pesawat, kemudian diterima dengan sirih di cerana,dengan tari gelombang, dan dengan segala kebesaran adat, baik di muka Balai KotaPadang, maupun di halaman dan di dalam balairung gadang di Batu Sangkar,benar-benar terasa waktu itu bahwa rakyat Sumatera Barat menyambut kepulanganmereka dengan segala kebesaran dan kegembiraan hati. Selama seminggu berseminardi Batu Sangkar, bukan saja mereka dibawa berkeliling melihat Suruasa, tapijuga disuguhkan dengan keramaian pacu kuda dan dengan sendratari Imam Bonjol dilapangan terbuka yang sangat mengesankan. Sayalihat Buya Hamka waktu itu adalah laksana zamrud di antara batu-batu mutu manikamlainnya yang pernah dihasilkan oleh bumi bertuah: Minangkabau. Dan Buya Hamkapun, dengan caranya yang khas, sambil duduk bersila di atas kurai, telahmempesona para peserta seminar denganuraian-uraiannya. Malah untuk menghangatkan suasana, sengaja kami carikanpembanding prasaran beliau yang tak lain dari Pak Hatta sendiri. Sekadaranekdot mengenai Pak Hatta yang terkenal sangat menjaga waktu ini, kebetulantiba giliran Dr. Deliar Noer, pemimpin sidang pleno. Orang-orang sudah mulaigelisah karena sudah dekat waktunya Pak Hatta belum juga muncul. Tepat padawaktunya Deliar Noer mengetokkan palunya tanda sidang dimulai. Orang-orangtambah resah dan gelisah ada apa dengan Pak Hatta, sebab dengan kehadiran PakHatta ini sidang-sidang dari semula selalu dimulai tepat waktu dan orang-orangjauh-jauh sebelumnya sudah mengambil tempat duduk. Kira-kirasepuluh menit kemudian deru mobil Pak Hatta pun kedengaran dan tak lamabeliaupun masuk. Jelas Deliar Noer ingin mengambil momentum ini untuk sebagaikesempatan untuk “membalaskan kesam” bahwa Pak Hatta bisa gawal dan inginmembuktikan pada sejarah bahwa Pak Hatta pun pernah telat dengan waktu, yaitudi Seminar Batu Sangkar. Darireaksi dan air muka hadirin Pak Hatta cepat membaca apa yang sedang terjadi danapa yang diharap-harapkan oleh hadirin yang melimpah-ruah itu. Begitu duduk PakHatta dengan tenangnya dan seperti acuh tak acuh menjelaskan bahwa ia sepuluhmenit sebelum waktu sidang sudah siap menunggu mobil di depan penginapannya, dirumah kediaman Bupati. Dari rumah ke tempat sidang, Gedung Nasional, bermobilhanya satu menit. “Hanya mobil yang telat menjemput, entah karena apa,” katabeliau kalem. Siapapunbisa merasakan suasana psikologis waktu itu. Orang-orang yang ingin hendakbikin sejarah bahwa Pak Hatta pernah telat, akhirnya melesut bagai balon kempis.Sang Hatta tetap manusia tepat waktu, hanya keadaan sekitar yang sering tidakcukup membantu. Buyakita dibandingkan dengan Hatta jelas lain tipenya, karena Buya besar dandibesarkan dari tengah-tengah masyarakat dan di antara rakyat jelata. Buyabukan tipe elit dan tidak pernahberpretensi begitu. Hatta tidak bisa mengenal kalah. Buya mengenal kalah untukmenang. Dimensi hidup jauh lebih beragam karena lika-liku yang dilaluinyasering harus menyeruak dari tengah-tengah massa yang mempunyai hasrat dankepentingan yang beragam pula. Oleh karena itu bermanis mulut dan bermanis mukadengan senyum dan ketawa dan dengan segala ekspresi air muka dan gerak-gerikyang menarik adalah hiasan Buya Hamka dibalik muka yang bercepuk itu. Bagisaya gambaran Hamka adalah gambaran anak alam yang penuh vitalitas, yang lahirdan dibesarkan ditengah-tengah alam yang indah mempesona. Keindahan alamMinangkabau, dengan danau Maninjau yang begitu syahdu, gunung-gunung yangmenjulang, dengan lembah dan ngarai yang permai, ditambah lagi dengan kekebalanadat yang tidak lekang di panas, tak lapuk di hujan, kekerasan agama dengankemantapan tauhid, kemauan yang menggejolak hendak bebas dan merdeka, itulahyang membentuk Hamka dan Hamka seperti yang kita saksikan dan miliki bersamasekarang ini. SemogaAllah memberi keberkatan atas segala lika-liku perjalanan hidup beliau. Sepertikelapa tua, mudah-mudahan tambah tua tambah berminyak. *** Dimuatdalam Buku Kenang-Kenangan 70 Tahun BuyaHAMKA, hlm 118-124, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, cetakan pertama 1978 -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.