Kawan2, Tidak usah dibaca lagi kalau sudah pernah membacanya. Tapi kalau mau 
mengulangi lagi, silahkeun..... Salam Selamat Hari Raya, 1 Syawal 1437 H, MN
CATATANDARI TIGA SEMINAR

Kenang-kenangan 70 Tahun Buya HAMKA

Mochtar Naim

Bukittinggi,September 1977


 

|  W

  |

AKTU seorang sahabat lama yang sekarang menjadi tangankanan dari Jenderal 
Widodo di Yogya, dan yang sebelumnya menjadi tokohmiliter-intelek penggerak 
utama dalam kegiatan-kegiatan sospol di Padang,bertanya kepada saya mengenai 
diri Buya Hamka, saya terus-terang mengatakanbahwa Buya Hamka kita itu tidak 
ada duanya dalam sejarah Indonesia modern abadke 20 ini. Saya bilang dalam 
bahasa Inggeris: unique dan outstanding. Setahusaya belum ada satu orangpun 
yang menandinginya dalam keberbagaian keahlianyang sekali dikuasainya. Buya 
kita yang satu ini benar-benar unik dan luarbiasa. Apa pula jika mengingatkan 
bahwa beliau sekolah dasar saja tidak tamat.Berbeda dengan ayah beliau, Inyiak 
De-er, yang dalam dan keras dalam beragama,dan berbeda pula dengan kebanyakan 
ulama-ulama di Indonesia, Buya kita inibukan hanya sekedar ulama, tapi 
segala-gala. Beliau ya pujangga, ya sastrawan,ya penyair, ya wartawan, ya 
budayawan. Beliau ya orator, ya ahli pidato, yapenulis, ya filasuf. Dan dalam 
bidang yang hendak saya singgung nanti,beliaupun ya ahli adat, karena beliaupun 
adalah penghulu dan kepala adat dikampungnya, di samping juga beliau adalah 
seorang penggemar sejarah, jika tidakakan dikatakan sebagai ahli sejarah.

Dalam diri beliau bertemulah berbagaiunsur dan berbagai kelebihan, yang satu 
saling menupang yang lainnya. MelihatBuya Hamka sekarang ini tak ubahnya 
seperti membayangkan seorang filasuf dijaman tamaddun Islam dahulu, di mana 
berbagai macam ilmu keahlian bertumpukpada orang yang satu. Semua dicakup, 
semua dirangkum, dan semua kait-mengait,kuat-menguatkan. Dalam berdakwah, 
berpidato di muka umum, dalam memberikanpengajian dari surau ke surau, dari 
tempat ke tempat, beliaupun mengarang bukuroman dan buku-buku tebal lainnya 
dalam berbagai ilmu dan fan. Jarang orang didunia ini yang lidahnya sefasih 
penanya, dan penanya setajam lidahnya, sepertiBuya Hamka ini. Dua-duanya 
mempesona. Biasanya kalau dia pintar berpidato,tumpul penanya. Kalau dia tajam 
penanya, kelu lidahnya. Tapi bagi Buya Hamka,dia mampu mempesona berjuta 
manusia dengan senjatanya itu. Dalam menulis dimajalah dan surat-surat kabar, 
beliau mempimpin dan ikut aktif dalam organisasisosial dan keagamaan. Beliau di 
Muhammadiyah adalah tokoh kawakan dan berdiridi barisan muka sejak sebelum 
perang. Dalam mengajar, menjadi dosen danprofessor di berbagai perguruan tinggi 
di berbagai kota, beliaupun menjadipolitikus ahli parlemen dari sebuah partai 
Islam yang beliau cintai. Dansebagai anggota masyarakat insan sosial, beliau 
bergaul dengan semua lapisanorang, dari si jembel di pedesaan sampai ke 
presiden di istana negara, dariawak sama awak di dalam negeri ke 
pentolan-pentolan jagoan di duniainternasional. Sebagai orang yang berdarah 
Minang, beliaupun suka merantau ataumengembara; bukan hanya ke berbagai pelosok 
di Indonesia ini, tapi ke berbagaipenjuru dunia di sekeliling jagad ini.

Berbahagialah kita di Indonesia iniyang dikaruniai seorang tokoh ulama-pujangga 
autodidak yang selain mempunyailautan ilmu yang sangat dalam, dalam berbagai 
segi ilmu keagamaan juga campindalam berbagai bidang ilmu kemanusiaan 
(humanities) lainnya sekaligus. Dalamsetiap ilmu tersebut beliau terhitung dan 
diperhitungkan. Buya Hamka khasnya adalahbagai bintang terang di ufuk Timur 
pada abad ke 20 ini yang namanya pasti akankekal dalam lipatan sejarah 
Indonesia dan sejarah Islam.

Sebagaimana dengan orang-oranglainnya, sayapun bangga untuk menanamkan diri 
saya sebagai murid dari beliaudan sebagai orang yang sedikit-banyak juga 
mengenal beliau dari dekat. Sewaktusaya menduduki tingkat doktoral di perguruan 
tinggi Agama Islam Negeri di Yogyatahun lima puluhan dulu, saya sempat menyauk 
dari beliau Ilmu Tasawuf dan SejarahKebudayaan Islam yang beliau berikan, 
karena beliau adalah dosen-terbangwaktu itu. Sewaktu hendak berangkat ke Kanada 
dalam meneruskan studi saya diMcGill University, tahun 1957, beliau pulalah 
yang memberikan surat rekomendasiuntuk saya kepada Professor Wilfred Cantwell 
Smith, yang kebetulan keduanyapuntelah saling kenal mengenal. Sayapun, 
sebagaimana jutaan orang Indonesia dansaudara-saudara kita di Malaysia, juga 
membaca buku-buku beliau dan mengikutiserta mendengarkan uraian-uraian beliau 
di berbagai kesempatan, termasuk di TV danradio. Sayapun, sebagaimana jutaan 
lainnya, adalah juga pengagum Hamka. Hamkabagi saya adalah guru, orang tua dan 
panutan dan orang yang sangat saya kagumi.Kalau dia orang yang bersekolah 
tinggi seperti saya dan seperti tokoh-tokohnasional lainnya, kekaguman saya 
tidak akan setinggi itu. Keistimewaan Hamkaialah karena ia anak alam dan ia 
berguru kepada alam. Ia tidak pernah duduk diperguruan tinggi, tapi dia menjadi 
professor di perguruan tinggi. Bagi sayaBuya Hamka adalah lambang dari 
kekerasan hati, ketekunan dan keuletan untuksuatu tujuan hidup. Berpantang 
mundur sebelum yang dicita- cita tercapai. Bagibeliau di dunia ini 
kelihatannya: esa hilang dua terbilang.

Pada tempatnyalah, oleh karena itu,jika dalam menghadapi ulang tahun beliau 
yang ke 70 ini kita berhenti sejenakuntuk mengingatkan jasa-jasa beliau yang 
demikian banyak secara bersama-samakita menuliskan kesan-kesan indah tentang 
beliau dalam lembaran bukukenang-kenangan ini. Bagian saya adalah berupa 
sekelumit catatan dari tiga Seminaryang secara berturut-turut diadakan setiap 
tahun  dari 1968-1970 di Padang dan Batu Sangkar, dimana saya dan isteri, 
sekembali dari Amerika, turut aktif menggerakannya, dandi mana Buya Hamka dalam 
ketiga-tiga Seminar tersebut telah menjadi “bintang”Seminar. Seminar pertama, 
Juli 1968, di Padang, adalah mengenai Hukum AdatMinangkabau, khususnya mengenai 
Hukum Tanah dan Hukum Waris. Seminar kedua,Juli 1969, di Padang juga, adalah 
mengenai Islam di Minangkabau, khususnyamengenai Sejarah masuk dan 
Berkembangnya Islam di Minangkabau. Sedang Seminarketiga, Agustus  1970, di 
Batu Sangkar,adalah mengenai Sejarah Kebudayaan Minangkabau.

Saya rasakan, bagi Buya Hamkapun,tiga Seminar ini mempunyai arti penting. Bukan 
saja karena rangkaian Seminarini merupakan usaha bersama dalam membangkit 
batang terendam dan menemukanidentitas dari suatu sukubangsa terpandang di 
Indonesia ini, tapi juga sebagaitokoh yang dalam pengetahuannya mengenai 
masalah-masalah yang dibicarakan. BuyaHamka telah berbuat banyak dalam 
Seminar-seminar tersebut. Pendapat, hujjah danbuah pikiran yang beliau 
kemukakan malah menjadi buah pikiran Seminar. Beliau,menurut hemat saya, adalah 
“leading actor”dari Seminar-seminar tersebut.Kehadiran beliau sangat dirasakan. 
Seminar menjadi terasa berat karenanya.Setiap Buya yang naik ke mimbar, orang 
dengan khusyu’ mendengarkannya.Orang-orang begitu tekun dan hanyut dibawanya, 
seolah-olah orang bergantung dibibirnya. Tatapan dari sekian banyak pasang mata 
seolah-olah tak lepas dan lekatke wajah beliau, dan perasaan hadirin dibawa 
berlayar oleh turun-naiknyagelombang perasaan beliau sendiri. Soalnya, saya 
perhatikan, Buya Hamkaberbicara tidak hanya dengan kepalanya, tapi juga 
dadanya; dan tidak hanya itu,tapi juga sekujur tubuhnya. Sehingga melihat Buya 
Hamka berpidato sepertimelihat sebuah objek seni sendiri. Orang baru sadar akan 
dirinya kalau Buyatelah memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia akan mengakhiri 
pidatonya. Dan gerutudi hati hadirin seolah-olah bisa dibaca. Rahasianya bagi 
Buya Hamka sendiriagaknya, sedang terlemak dihentikan; karenanya orang tidak 
pernah bosan denganbeliau. Dan Buya pandai betul dalam mencarikan taiming serta 
klimaksnya di manapembicaraan harus dihentikan.

    

SeminarAdat Minangkabau


 
            Kepulangankami dari Amerika di awal tahun 1968, setelah lebih 
sepuluh tahun bemukim dibenua sana, termasuk dua tahun di Kanada, rupanya 
bertepatan dengan sedangdipersiapkannya Seminar Hukum Tanah dan Hukum Waris 
Minangkabau di Padang yangdiprakarsai oleh IKAHI. Ikatan Hakim Indonesia ini 
seolah-olah hendakmengadukan kepada para ninik-mamak pemangku adat di  
Minangkabau, beserta alim-ulama, cerdikpandai serta para sarjananya, kenapa 
persoalan tanah dan waris di Minangkabau selamaini kok begitu runyam, sehingga 
telah menyita sebagian besar perkara yang masukke Pengadilan Perdata di 
Sumatera Barat, dan memusingkan kepala para hakim.

            Olehpengambil inisiatif, di mana saya juga begitu tiba telah 
dimasukkan ke dalampanitia pengarahnya, diundanglah para pemrasaran, yang satu 
di antaranya adalahBuya Hamka. Serentetan nama-nama terpandang dalam bidang 
hukum puteraMinangkabau pun diundang, termasuk jagoan-jagoan seperti Prof. Mr. 
Dr.Hazairin, Prof. Mr. M. Nasroen, Prof. Mr. Harun al Rasjid, Hakim Agung 
BustanulArifin SH, dan sebagainya. Profesor Nasroen sendiri hanya prasarannya 
yangsampai, karena beliau dalam keadaan sakit, dan meninggal beberapa bulan 
sesudahitu. Terhadap tokoh-tokoh hukum adat kenamaan ini tidak terketir 
perasaanapa-apa kecuali rasa hormat dan kekaguman akan ilmu mereka. Profesor 
Hazairinsendiri sempat mencuri perhatian Seminar karena caranya yang khas yang 
sukaberbicara blak-blakan. Saya masih bisa membayangkan, bagaimana beliau 
dudukbersila di atas kursi berkain sarung di hadapan Seminar dan “mengkuliahi” 
paraninik mamak dan alim ulama yang hadir agar menukar hokum waris adat 
yangmatrilineal dan hukum faraidh Islam yang patriarchal ke hukum baru 
yangparental di mana laki-laki dan perempuan mendapat yang sama.

Terhadap Buya Hamka lain lagi halnya.Orang seperti akan menghadapi singa. 
Orang-orang pada resah dan takut,kalau-kalau singa yang pernah mengkoyak adat 
Minangkabau ini akan kembali lagimengaum dan memperlihatkan giginya. Tidak lain 
dari Ketua Lembaga KerapatanAdat Alam Minangkabau (LKAAM) sendiri yang 
menyuarakan kekhawatiran inikalau-kalau Buya Hamka – dalam istilah tokoh adat 
itu sendiri – “mambae” (melempar dengan batu) adatMinangkabau seperti yang 
dilakukan oleh Buya di awal revolusi dulu dalambukunya: Adat Minangkabau 
MenghadapiRevolusi (1946). Dalam pertarungan antara adat dan agama di 
Minangkabau,orang semua tahu di mana tempat tegak Buya Hamka, walaupun orang 
juga tahubahwa yang bernama Haji Abdul Malik Karim Arullah itu adalah juga 
seorang datukkepala suku di kampungnya, dengan gelar pusaka: Datuk Indomo.

Anehnya, berbeda dengan buku kecilyang menghantam habis-habisan adat 
Minangkabau itu (sebenarnya yang beliaukritik bukan adatnya, tapi praktek 
adatnya yang beliau katakan  sebagai sudah membatu) beliau dalam 
Seminartersebut bagai singa tak berkuku. Beliau singa, tapi kukunya telah 
beliauunjukkan sendiri. Yang keluar dari mulutnya adalah rasa damai, rasa 
hendakmencari persesuaian, mencari titik-titik temu antara adat dan agama, 
sehinggakedua unsur budaya pokok dalam kehidupan orang Minangkabau ini dapat 
puladisumbangkan secara positif bagi pembangunan Indonesia sekarang ini. 
Rasanyabeliau pulalah yang mengusulkan formula jalan tengah dalam 
menyelesaikansengketa waris bahwa: “Terhadap harta pencarian berlaku Hukum 
Faraidh,sedangkan terhadap harta pusaka berlaku Hukum Adat.” Soalnya memang, 
setelahditelungkup-ditelentangkan, harta pusaka bukan si mait yang punya, 
karena tidakmungkin dibagi-bagi kepada anak dan kemenakan. Harta pusaka adalah 
wakaf kaumyang boleh dipakai tapi tak boleh dimiliki. Formula ini kebetulan 
cocok puladengan hasil kesimpulan mufakat dari para ninik-mamak, alim-ulama, 
dan cerdikpandai Minangkabau bulan Mei 1952 di Bukittinggi, yang antara lain 
jugadihadiri oleh orang tua kita, H. Agus Salim.

Dari Seminar ini orang melihat Hamkabukan hanya sebagai Buya, tapi juga sebagai 
Datuk yang kedalaman ilmu beliautentang seluk-beluk adat Minangkabau terlihat 
dalam prasaran beliau yangberjudul: “Adat Minangkabau dan Harta Pusakanya.”

Segi lain yang perlu saya catatadalah bahwa kebetulan beliau selama Seminar 
berlangsung menginap di rumahkami. Karena kami tak mempunyai kamar tamu 
sendiri, di ruang studi sayalahbeliau tidur dan istirahat. Apa yang kami 
saksikan setiap malam adalah bahwakami sendiri karena saking capeknya sudah 
mulai menghasta tempat tidur, tapi,beliau rupanya masih saja ”bersitungkin” 
mempersiapkan bahan-bahan yang hendakbeliau ketengahkan di Seminar esok 
harinya. Dari sana saya mengambil pelajaran,pantas kalau Buya Hamka sampai 
sehebat itu. Tidak ada hal yang dianggapnyaenteng dan semua itu dipersiapkan 
dengan baik. Dengan bekal ketajaman otak dankekuatan daya ingat yang luar 
biasa, ditambah pula dengan ketekunan dansemangat tak mau kalah dari orang, 
makanya beliau bisa menjujut sampai ke atas.Tidak pernahnya beliau memasuki 
bangku perguruan formil sampai ke perguruantinggi bahkan biasa dianggap 
blessing indisguise bagi beliau, karena kita yang sudah terlanjur sekolah 
sampai ketingkat tinggi ini telah diracuni oleh cara belajar yang selalu 
disuapkan danbersifat nrimo dan mengiakan saja apa yang dikatakan guru. 
Akibatnya kita inijauh kalah dari Buya yang telah membiasakan diri dari kecil 
untuk mencarisendiri, sauk air mandikan diri.

 

Seminar Islam di Minangkabau 

 

            Centerfor Minangkabau Studies yang kami pimpin dan yang dilahirkan 
pada waktu SeminarAdat Minangkabau di Padang, Juli 1968, meneruskan usaha 
penggalian unsur-unsurkebudayaan Minangkabau dengan mengadakan berbagai 
kegiatan penelitian, studidan seminar. Juli 1969 berikutnya, dengan berkerja 
sama dengan IAIN Imam Bonjoldan berbagai perguruan tinggi berserta instansi 
pemerintah danorganisasi-organisasi masyarakat lainnya, diselenggarakan seminar 
kedua denganmengambil tema: “Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di 
Minangkabau.” Berbedadengan seminar pertama, maka partisipasi dari 
sarjana-sarjana Minang yangbermukim di Jakarta dan rantau lainnya jauh lebih 
terasa. Panjang urutan namayang datang , tapi satu di antaranya, di samping 
Hamka, adalah “our brotherfrom Batak”: Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan, 
alias Sumarlin, ahli bomtarik, letnan kolonel A.D. Pesiun, Nrp. 13.3.13, 
pengarang buku  TuankuRao yang cukup menggegerkan itu. Sengaja kami undang 
tokoh misterius inikarena masih di Amerika saya telah membaca buku ini yang 
menurut hemat sayasangat luar biasa, bukan saja karena buku ini menyajikan 
versi Sejarah Paderiyang berlainan sama sekali dengan yang pernah saya baca, 
tapi juga carapenyajiannya yang begitu sensasionil dan berbau porno itu.

            Adalahpada tempatnya, menurut hemat saya, jika dalam Seminar yang 
membahas tentangsejarah masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau itu  tokoh 
ini diundang dan dipertemukan dengantokoh-tokoh sejarah lainnya, termasuk 
penulis buku Parang Paderi, Mohammad Radjab, wartawan kawakan dari Antara, 
danrekan-rekan sejarawan/dosen sejarah dari IKIP Jakarta dan Padang. 
Tidakterlintas di pikiran saya waktu itu akan mempertentangkan Buya Hamka 
denganM.O. Parlindungan. Oleh karena itu yang kami mintakan kepada Buya adalah 
agarBuya mengemukakan mesalah gerakan pembaharuan di Minangkabau yang kami 
kirasangat berhubungan erat dengan kehidupan dan sepak terjang perjuangan 
beliauselama ini. Buya Hamkapun mengemukakan paper mengenai peranan dari dua 
tokohpembaharu:  Syeikh Ahmad Khatib binAbdullatif al Minangkabawi dan Syeikh 
Ahmad Thaher  Jalaluddin al Azhari al Falaki.

            Yangjusteru saya harapkan untuk saling berhadap-hadapan ialah 
pengarang Perang Paderi, Mohammad Radjab, danpengarang Tuanku Rao, 
MangarajaOnggang Parlindungan. Rasa akan seru pertandingan antara kedua jagoan 
inikarena dua-duanya sama-sama menguasai bahan, walaupun masing-masing 
berpijakdari sumber pengambilan yang berbeda-beda. Sayangnya, “pertarungan” 
antarakedua jago ini tidak sampai terjadi. Hemat saya adalah karena Pak Radjab 
danpun Pak Onggang hanya bertahan pada tema masing-masing, yang satu tak 
maumengungkit yang lainnya, walaupun Onggang selalu mencibirkan bahwa cara Pak 
Radjabmenulis sejarah Paderi hanya sekedar membalikkan fakta dengan 
menjiplakdata-data yang ditulis oleh Belanda sendiri. Pak Radjab ingin 
membuktikan bahwaPerang Paderi pada hakekatnya adalah perang antara rakyat 
melawan penguasa, dusmelihatnya dari segi politik penjajahan, sedang Pak 
Onggang ingin membuktikanbahwa Perang Paderi pada hakekatnya didalangi oleh 
gerakan Wahhabi yang diaturdari Saudi Arabia melalui ketiga tawanan mereka : 
Haji Miskin, Haji Piobang,dan Haji Sumanik.

            BerkataOnggang: “Sebab-sebab timbulnya gerakan Paderi di 
Minangkabau adalah pelaksanaanperintah-perintah langsung dari Abdullah Ibnu 
Saud/The New Hamball Master ofMekkah kepada tiga orang tawanannya: Colonel Haji 
Piobang, Mayor Haji Sumanik,dan Haji Miskin the Hermit, yang oleh tentara 
Wahhabi tertawan di Mekkah 1802,pada waktu tentara Wahhabi merebut Mekkah dari 
tangan tentara Turki. Merekabertiga tidak turut dihukum mati dan boleh lepas 
dari tawanan, akan tetapidengan syarat: Bertiga mereka harus kembali ke tanah 
airnya = Alam Minangkabau,dan memulai cabang dari gerakan Wahhabi di situ.”

            “Pertempuran”baru terjadi di sidang Kelompok Diskusi B, yaitu yang 
khusus membahas mengenaisejarah Perang Paderi. Tapi kali ini yang bersua adalah 
antara “kelompok” BuyaHamka dengan M.O. Parlindungan. Orang-orang sudah 
merasakan juga bahwakehadiran tokoh M.O. Parlindungan pasti akan hangat dan 
menarik; malah ada yangmenduga akan “heboh”. Daya tarik pribadinya memang 
mengesankan. Sehari-hariselama seminar di Padang pakai sarung berkopiah ijuk 
model Sulawesi,berkacamata kuno bergagang metal model angku-angku dahulu, 
bertongkat danberpipa cengklong. Ramah, suka berkomunikasi dan sosial pula. 
Kepada saya diaserahkan uang agar kepada Bapak-bapak diberikan tanda-mata 
berupa sesuatu dariseminar. Kasihan, katanya; sudahlah bapak-bapak tersebut 
datang dengan ongkossendiri, tiba di sini (Padang) tak pula diberi uang saku.

            Dayatarik Onggang terutama dirasakan oleh sarjana-sarjana muda di 
Padang, karenabuku Tuanku Rao yang begitu asyik dan lengkap dengan angka-angka 
tahun. Takayal jika Pak Onggang ramai dikerubungi, diminta ceramah di perguruan 
tinggi(IKIP) dan setiap hari keluar wawancaranya di surat kabar.

            Sidangpertama di kelompok diskusi B (Perang Paderi), di mana duduk 
ketiga tokoh:Onggang, Hamka, dan Radjab, ternyata kaku, tidak dapat angin, dan 
tergenang.Mungkin sudah “merasani” bahwa yang berhadapan adalah tokoh-tokoh 
berat dengantopik yang berat dan satu waktu pasti akan berlaga. Para mahasiswa 
dan hadirinlain berat membuka mulut, bukan saja karena berhadapan dengan 
tokoh-tokohtersebut, tapi juga mungkin karena ingin menyaksikan perdebatan yang 
bakalseru.

            Barulahdi sidang kedua dan ketiga di hari berikutnya (Sabtu, 26 
Juli 1969) pertempuranbenar-benar terjadi, di mana satu per satu tesis Onggang 
dipreteli. Dan yangmempereteli adalah Buya Hamka sendiri. Setelah membaca buku 
tantangan BuyaHamka:  Antara Fakta dan Khayal: “Tuanku Rao” (1974), barulah 
saya tahubahwa rupanya Buya sewaktu diinternir oleh Sukarno di Rumah Sakit 
Persahabatandi Rawamangun selama 17 bulan (20 Agustus 1964 sampai 23 Januari 
1966) telahlumat membaca buku Tuanku Raotersebut dan dengan sendirinya telah 
mempersiapkan antitesis yang dibawa keSeminar Islam di Padang itu.

            Jarangsaya memperhatikan di mana forum Seminar sehangat dan 
seterbuka itu, apalagijika dibandingkan dengan seminar-seminar ala sekarang.


 
Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau


 
            Puncakdari kegiatan seminar dalam rangka menggali kebudayaan 
Minangkabau memangberada pada Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau ini, 
yang berlangsungdari tanggal 1 s/d 8 Agustus 1970 di Batu Sangkar. Sengaja 
Seminar diganjur keBatu Sangkar untuk mengingatkan kembali akan kebesaran lama 
sejarah Pagaruyung.Yang datang ke Seminar jauh lebih banyak lagi dari kedua 
seminar sebelumnya,yang sekarang, selain Hamka, juga antara lain dihadiri oleh 
Dr. Mohammad Hatta,Prof. Dr. Bahder Djohan, Dr. Deliar Noer, Dr. Rasyidin, 
Prof.Dr.Koentjaraningrat, Dr. Soekmono, Mohd. Said, dan bahkan beberapa 
peninjau asing.Dari tokoh-tokoh sarjana Minang sendiri berdatangan dari 
berbagai pejururantau, di samping dinanti oleh tokoh-tokoh sarjana dan 
tokoh-tokoh adat danagama dari daerah sendiri.

            Bagirakyat Sumatera Barat sendiri, dan bahkan bagi pemerintah 
daerah, Seminar BatuSangkar benar-benar merupakan peristiwa, karena dari 
Seminar tersebut merekamelihat kepulangan secara bersama-sama orang-orang besar 
mereka, yang selamaini “larat” dalam memikirkan masalah besar-besar di rantau, 
tapi seolah-olahlupa dengan kampung halaman sendiri. Mereka mengharapkan 
mudah-mudahan denganseminar ini perhatian mereka lebih tertumpah ke kampung 
halaman sendiri.

            Daripertama kali turun dari pesawat, kemudian diterima dengan sirih 
di cerana,dengan tari gelombang, dan dengan segala kebesaran adat, baik di muka 
Balai KotaPadang, maupun di halaman dan di dalam balairung gadang di Batu 
Sangkar,benar-benar terasa waktu itu bahwa rakyat Sumatera Barat menyambut 
kepulanganmereka dengan segala kebesaran dan kegembiraan hati. Selama seminggu 
berseminardi Batu Sangkar, bukan saja mereka dibawa berkeliling melihat 
Suruasa, tapijuga disuguhkan dengan keramaian pacu kuda dan dengan sendratari 
Imam Bonjol dilapangan terbuka yang sangat mengesankan. 

            Sayalihat Buya Hamka waktu itu adalah laksana zamrud di antara 
batu-batu mutu manikamlainnya yang pernah dihasilkan oleh bumi bertuah: 
Minangkabau. Dan Buya Hamkapun, dengan caranya yang khas, sambil duduk bersila 
di atas kurai, telahmempesona para peserta  seminar denganuraian-uraiannya. 
Malah untuk menghangatkan suasana, sengaja kami carikanpembanding prasaran 
beliau yang tak lain dari Pak Hatta sendiri. Sekadaranekdot mengenai Pak Hatta 
yang terkenal sangat menjaga waktu ini, kebetulantiba giliran Dr. Deliar Noer, 
pemimpin sidang pleno. Orang-orang sudah mulaigelisah karena sudah dekat 
waktunya Pak Hatta belum juga muncul. Tepat padawaktunya Deliar Noer 
mengetokkan palunya tanda sidang dimulai. Orang-orangtambah resah dan gelisah 
ada apa dengan Pak Hatta, sebab dengan kehadiran PakHatta ini sidang-sidang 
dari semula selalu dimulai tepat waktu dan orang-orangjauh-jauh sebelumnya 
sudah mengambil tempat duduk.

            Kira-kirasepuluh menit kemudian deru mobil Pak Hatta pun kedengaran 
dan tak lamabeliaupun masuk. Jelas Deliar Noer ingin mengambil momentum ini 
untuk sebagaikesempatan untuk “membalaskan kesam” bahwa Pak Hatta bisa gawal 
dan inginmembuktikan pada sejarah bahwa Pak Hatta pun pernah telat dengan 
waktu, yaitudi Seminar Batu Sangkar.

            Darireaksi dan air muka hadirin Pak Hatta cepat membaca apa yang 
sedang terjadi danapa yang diharap-harapkan oleh hadirin yang melimpah-ruah 
itu. Begitu duduk PakHatta dengan tenangnya dan seperti acuh tak acuh 
menjelaskan bahwa ia sepuluhmenit sebelum waktu sidang sudah siap menunggu 
mobil di depan penginapannya, dirumah kediaman Bupati. Dari rumah ke tempat 
sidang, Gedung Nasional, bermobilhanya satu menit. “Hanya mobil yang telat 
menjemput, entah karena apa,” katabeliau kalem.

            Siapapunbisa merasakan suasana psikologis waktu itu. Orang-orang 
yang ingin hendakbikin sejarah bahwa Pak Hatta pernah telat, akhirnya melesut 
bagai balon kempis.Sang Hatta tetap manusia tepat waktu, hanya keadaan sekitar 
yang sering tidakcukup membantu.

            Buyakita dibandingkan dengan Hatta jelas lain tipenya, karena Buya 
besar dandibesarkan dari tengah-tengah masyarakat dan di antara rakyat jelata. 
Buyabukan tipe elit  dan tidak pernahberpretensi begitu. Hatta tidak bisa 
mengenal kalah. Buya mengenal kalah untukmenang. Dimensi hidup jauh lebih 
beragam karena lika-liku yang dilaluinyasering harus menyeruak dari 
tengah-tengah massa yang mempunyai hasrat dankepentingan yang beragam pula. 
Oleh karena itu bermanis mulut dan bermanis mukadengan senyum dan ketawa dan 
dengan segala ekspresi air muka dan gerak-gerikyang menarik adalah hiasan Buya 
Hamka dibalik muka yang bercepuk itu. 

            Bagisaya gambaran Hamka adalah gambaran anak alam yang penuh 
vitalitas, yang lahirdan dibesarkan ditengah-tengah alam yang indah mempesona. 
Keindahan alamMinangkabau, dengan danau Maninjau yang begitu syahdu, 
gunung-gunung yangmenjulang, dengan lembah dan ngarai yang permai, ditambah 
lagi dengan kekebalanadat yang tidak lekang di panas, tak lapuk di hujan, 
kekerasan agama dengankemantapan tauhid, kemauan yang menggejolak hendak bebas 
dan merdeka, itulahyang membentuk Hamka dan Hamka seperti yang kita saksikan 
dan miliki bersamasekarang ini.

            SemogaAllah memberi keberkatan atas segala lika-liku perjalanan 
hidup beliau. Sepertikelapa tua, mudah-mudahan tambah tua tambah berminyak. ***


 

 
Dimuatdalam Buku Kenang-Kenangan 70 Tahun BuyaHAMKA, hlm 118-124, Yayasan Nurul 
Islam, Jakarta, cetakan pertama 1978     

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke