Dari Harian Haluan kito baco: Ayo Berbahasa Minangkabau Selasa,21 Maret 2017 - 16:15:47 WIB [image: Ayo Berbahasa Minangkabau] Dokumentasi Haluan
Oleh: Agus Sri Danardana (Kepala Balai Bahasa Sumatra Barat) Kamis, 16 Maret 2017, situs *www.cendananews.com › Lintas Nusa › Sumatera Barat *memberitakan bahwa Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (melalui Dinas Kebudayaan Sumatra Barat) akan membuat kebijakan tentang penggunaan bahasa Minangkabau (BM) dalam rumah tangga. Kebijakan yang berkemungkinan akan menjadi perda/pergub itu berkemungkinan pula menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, seperti yang sudah dirisaukan Kepala Dinas Kebudayaan (Taufik Effendi), apakah kebijakan ini tidak bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM)? Kedua, sudah benar-benar mengkhawatirkankah keberadaan BM sehingga harus diupayakan pemertahanannya? Ketiga, betulkah kebijakan itu benar-benar mampu menjadikan masyarakat (utamanya, generasi muda) Sumatra Barat bersikap positif terhadap BM? Tulisan ini tak hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tulisan ini hanya ingin memberi gambaran tentang penanganan masalah kebahasaan semata. Penanganan masalah kebahasaan (bahasa Indonesia, BI) secara terencana sudah lama dipraktikkan di Indonesia, setidak-tidaknya sejak awal abad kedua puluh. Pendirian Balai Pustaka sebagai badan penerbit bacaan yang dengan sengaja menyunting naskah yang akan diterbitkan dapat dipandang sebagai upaya untuk menciptakan model bahasa standar. Di bidang kosakata, penciptaan istilah oleh komisi yang dibentuk menyusul pelarangan penggunaan bahasa Belanda oleh Tentara Pendudukan Jepang telah mengisi rumpang leksikal yang sangat krusial. Pembaruan ejaan pada tahun 1972 juga merupakan upaya besar bagi pemodernan BI. Berbagai upaya lain terus dilanjutkan hingga kini, dikemas dalam program pembinaan dan pengembangan bahasa. Status BI sebagai bahasa nasional, yang ditetapkan dalam Sumpah Pemuda, diperkuat sebagai bahasa negara pada Undang-Undang Dasar 1945. Sumpah Pemuda dan Undang-Undang Dasar 1945, masing-masing secara tersirat dan tersurat, menjamin penggunaan bahasa yang lain selain BI. Oleh sebab itu, masalah kebahasaan yang dihadapi bangsa ini bukan hanya yang berhubungan dengan BI, tetapi juga bahasa-bahasa lain yang digunakan di Indonesia. Kesadaran ini dipertegas dengan perumusan politik bahasa pada tahun 1975 yang mengalokasikan fungsi pada bahasa-bahasa di Indonesia berdasarkan statusnya: bahasa nasional/negara, bahasa daerah, dan bahasa asing. Selain Politik Bahasa yang menjadi landasan dalam upaya penanganan masalah kebahasaan, di sejumlah provinsi juga diterbitkan peraturan daerah (perda) tentang kebahasaan yang menjadi acuan kerja di tingkat daerah. Bahkan, ada perda yang mendasari pembentukan badan kebahasaan oleh pemerintah provinsi. Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Peraturan Mendagri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Peraturan Mendagri itu, antara lain, juga mengatur agar lembaga daerah yang sudah ada bekerja sama dengan instansi vertikal—balai dan kantor bahasa termasuk di sini—yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Produk hukum lain yang dapat menjadi acuan adalah peraturan kebahasaan yang termuat di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Kepunahan bahasa akhir-akhir ini sudah mencemaskan banyak pihak. Oleh sebab itu, sejak tahun 1991 UNESCO menetapkan Hari Bahasa Ibu Sedunia yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Peringatan itu dimaksudkan untuk senantiasa menyadarkan kita akan pentingnya mempertahankan bahasa ibu dan mengupayakan terhindarnya kepunahan yang, jika tidak dicegah, cenderung kian laju prosesnya. Tulisan Andrew Dalby, *Language in Danger* (2003) menyebutkan bahwa setiap dua minggu dunia kehilangan satu bahasa. Separuh dari 5.000 bahasa di dunia saat ini akan lenyap dalam satu abad ke depan. Dia mengingatkan bahwa kepunahan bahasa berarti hilangnya khazanah ungkapan yang mencerminkan cara pandang penuturnya terhadap dunia. Contoh yang dirujuk Dalby tersebut adalah fakta sejarah di benua Amerika. Melalui kebijakan yang keras, penduduk asli dipaksa mempelajari bahasa Inggris. Belakangan ada gugatan atas pemaksaan itu karena banyak dari generasi baru penduduk pribumi itu yang tidak lagi memahami bahasa ibunya. Mereka mengalami keterasingan. Termasuk dalam hal pendidikan, banyak anak pribumi yang mengalami kesulitan karena dipaksa untuk berpikir tidak dengan bahasa ibunya. Harus diakui, perbedaan status bahasa berkonsekuensi pada besarnya perhatian yang dicurahkan. Pengembangan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa negara menjadi prioritas, sedangkan pengembangan bahasa daerah pada urutan berikutnya. Hal itu sedikit banyak berdampak pada perkembangan bahasa daerah. Selain itu, perbedaan kondisi bahasa daerah yang satu dengan yang lain yang sangat mencolok menyebabkan penanganan bahasa daerah sangat pelik Namun, pernyataan itu tidak untuk menafikan perlunya penanganan bahasa daerah secara serius. Dalam menangani bahasa daerah perlu diperhatikan semangat undang-undang tentang otonomi daerah yang mengimplikasikan bahwa pemerintah daerah sepenuhnya bertanggung jawab atas masalah itu. Pemerintah daerah dapat berkoordinasi dengan lembaga pusat, dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang menangani masalah kebahasaan secara nasional. Perencanaan bahasa daerah dapat dilakukan secara lebih intensif dan sesuai degan kebutuhan. Namun, sejauh yang dapat diamati, belum banyak pemerintah daerah yang secara serius melakukan perencanaan bahasa. Padahal, seiring dengan merebaknya isu kepunahan bahasa, di banyak daerah juga sudah terdengar keluhan bahwa generasi muda sudah mulai meninggalkan bahasa ibunya, tak terkecuali di Sumatra Barat. Alasan penutur meninggalkan bahasa ibunya biasanya bersifat pragmatis, bukan politis. Di pihak yang satu, orang tidak merasakan kerugian jika tidak menguasai bahasa ibunya dan di pihak yang lain ia merasakan keuntungan jika dapat bertutur dalam bahasa yang lebih dominan. Ruang pemakaian bahasa ibu pun semakin menyempit, hanya terbatas pada masalah yang bersifat lokal, tradisional. Jadi, kuncinya adalah pemberian ruang yang lebih banyak untuk pemakaian bahasa ibu. Hal itu sesuai dengan tujuan dan harapan ditetapkannya Hari Bahasa Ibu Sedunia yang tentunya tidak sekadar untuk menghitung berapa bahasa ibu yang masih tersisa dan memperkirakan kapan matinya. Pemakaian bahasa ibu, dengan demikian, harus didorong agar lebih intensif. Di banyak tempat sudah ada penggalakan pemakaian aksara setempat berdampingan dengan aksara Latin pada nama jalan, nama bangunan dan gedung-gedung pemerintah, dan petunjuk di tempat umum. Namun, umumnya yang terjadi hanya sebatas penggunaan aksara, bukan bahasa. Upaya itu pun masih sangat minim dan lemah di tengah-tengah gegap gempita pajanan bahasa asing. Upaya penerjemahan undang-undang dasar dan dokumen lain ke dalam bahasa daerah yang sudah dimulai oleh Mahkamah Konstitusi merupakan terobosan penting. Pemerintah daerah kiranya dapat lebih proaktif dengan melanjutkan dan memperluas penerjemahan itu ke bahasa-bahasa yang digunakan di wilayahnya. Demikian juga naskah dokumen yang dikeluarkan pemerintah daerah perlu disertai terjemahannya dalam bahasa daerah. Perlu diciptakan rasa bangga berbahasa ibu. Kebanggaan itu harus diwujudkan, bukan sekadar dipidatokan. Wujud nyatanya adalah menggunaan bahasa daerah untuk nama tempat, gedung, peristiwa (misalnya, kegiatan kesenian atau olahraga), dan apa saja yang menjadi buah karya aktivitas kita sebagai manusia modern. Penerjemahan buku, film, karya sastra, atau karya yang lain—tidak hanya dari bahasa asing, tetapi juga dari BI—yang dianggap penting ke dalam bahasa daerah juga digalakkan. Untuk meningkatkan minat baca dan sekaligus minat untuk menggunakan bahasa ibu, perlu banyak disediakan bacaan yang menarik dan terpahami untuk kalangan muda dan anak-anak. Media audiovisual dan multimedia perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Semua itu tentu mengandaikan bahwa bahasa ibu yang akan dipromosikan sudah terkodifikasi dengan baik. Kamus sederhana dan praktis harus ada dengan harga yang terjangkau. Salah satu syarat suatu bahasa akan lestari adalah pemakaian di berbagai ranah. Salah satu ranah yang sangat strategis adalah ranah pendidikan. Bahasa daerah, dengan demikian, harus difungsikan sebagai bahasa pengantar pada lembaga pendidikan yang khas kedaerahan (bandingkan dengan pendidikan yang khas keagamaan yang pada praktiknya boleh menggunakan bahasa selain Indonesia). Untuk memperluas ruang pemakaiannya, bahasa daerah juga dapat difungsikan sebagai (1) bahasa resmi pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang berasal dari dan berkembang di daerah dan (2) bahasa media massa yang khas kedaerahan. Dalam konteks kenegaraan, bahasa daerah juga dapat digunakan untuk menerjemahkan peraturan dan dokumen kenegaraan seperti diuraikan di atas untuk kepentingan literasi masyarakat. Pengembangan bahasa daerah sering dikhawatirkan oleh perencana bahasa akan menghambat pengembangan BI, bahkan bisa ”menuangkan minyak ke api” sparatisme. Jika alasan kecurigaan itu benar, terlalu banyak masyarakat dwibahasawan di dunia ini yang potensial bermasalah. Namun, jika orang dapat melihat kedwibahasaan sebagai hal yang positif, potensi itu tentu juga dapat dicarikan upaya peredamannya. Minyak tidak akan membakar jika tidak ada api. Sebaliknya, api dapat membesar tidak hanya karena minyak. Jika BI dan bahasa daerah dapat dikembangkan secara serasi, hubungan antarbahasa di Indonesia dapat digambarkan sebagai konstruksi cakar ayam: bahasa daerah adalah kolom-kolom vertikal yang mencengkeram bumi, sedangkan BI adalah kolom-kolom horizontal yang menautkan (penutur) bahasa daerah yang satu dengan yang lain. Kepunahan bahasa daerah harus dianggap kehilangan kolom penopang yang merugikan BI. Pengembangan BI tidak perlu menjadi hambatan bagi pengembangan bahasa daerah dan sebaliknya. Hal ini sebenarnya sudah tecermin pada perubahan sikap yang tertuang dalam Politik Bahasa. Dalam Politik Bahasa 1975, kontribusi dalam pengembangan bahasa hanya dinyatakan dari bahasa daerah ke BI. Sementara itu, pada pernyataan Politik Bahasa 2000, BI diakui juga sebagai sumber pemerkaya bahasa daerah. Kedwibahasaan membuka peluang untuk pemerkayaan timbalbalik (*mutual*). Atas dasar itu, langkah Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (melalui Dinas Kebudayaan Sumatra Barat) akan membuat kebijakan tentang penggunaan BM dalam rumah tangga harus disambut dengan baik. Jika dipandang perlu, Pemerintah Provinsi Sumatra Barat dapat menetapkan politik bahasa secara lokal yang dikompromikan dengan politik bahasa secara nasional. Adanya politik bahasa lokal mengandaikan perlunya intervensi pemerintah. Dalam banyak kasus, perencanaan bahasa yang mengupayakan perkembangan bahasa ke arah yang dikehendaki memerlukan keterlibatan pemerintah.*** -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.