Aroma Perdesaan Cerpen Darman Moenir Oleh Adek Alwi
Sabtu, 12 April 2008 BEDA dari cerpen-cerpen AA Navis, juga Harris Effendi Thahar, yang umumnya berlokasi di perkotaan Sumatera Barat (Ranah Minang) dengan obyek manusia kota serta persoalannya, oleh Darman Moenir kita kerap disajikan cerpen berwarna pedesaan daerah itu. Begitu kerap hingga saya condong menyebut bahwa di antara pengarang asal Minang Darman Moenir terbilang paling banyak, detil, juga hidup menampilkan cerpen jenis ini. Hal itu terlihat misalnya pada sejumlah cerpennya dalam kumpulan Jelaga Pusaka Tinggi (Angkasa, Bandung, 1997). Warna pedesaan itu tidak hanya berjejak pada alam atau lokasi cerita, juga tema, manusia/tokoh; lengkap dengan masalah, kebiasaan, dan falsafah hidupnya. Lokasi-tema-tokoh ini berpalun merebakkan aroma pedesaan itu; dan di beberapa cerpen malah begitu menawan, hidup, seolah lahir melalui proses mengalami seperti karya-karya Hemingway. Tema kehidupan petani, misalnya, hadir lewat cerpen Tali Bandar dan Amri, Sang Pahlawan, sedangkan cerpen /Niyan/ dan Uwo mengenai hubungan kekerabatan. Bayang dan Senandung Usang soal kesetiaan juga pada kampung halaman; Perburuan mengenai kebiasaan/tradisi berburu serta hidup berpoligami; dan Pusaka Tinggi soal tata pewarisan harta. Adapun cerpen Panorama yang Lain, juga Lagu Tanah Pusaka, mengusung tema perubahan buruk yang masuk ke desa, menggetarkan sendi-sendi yang sudah melembaga. Pendeknya semua tema yang tersua, dan tetap dihargai di desa. Pun yang mengancam tata kehidupan di desa. Sementara tokoh atau manusia tipikal desa di Ranah Minang kelihatan pada Amri (Amri, Sang Pahlawan). Amri, digambarkan biasa minum kopi, makan ketan dan pisang goreng di lepau sebelum menjalani aktivitas harian: mengurus ternak dan pergi ke sawah. Kita tahu lepau sarana sosial, wadah informasi/komunikasi kaum lelaki di desa. Perilaku khas itu diperkuat pengarang dengan melukiskan alam pikiran Amri dan juga Kakek (Tali Bandar), yang tak mangunana aneh-aneh; fokus saja ke sawah, ternak dan keluarga. Dengan alam pikiran ala desa itu juga terjelaskan, kenapa Kak Nian alias Sjafniar (/Niyan/), perempuan tani "anak tertua dari kakak laki-laki ayahku" yang susah hidupnya, banyak anak pula, selalu meluang waktu bertandang bila tokoh Aku pulang ke kampung. Dan, tidak pernah lupa Niyan mengoleh-olehi Aku setiap hendak kembali ke kota; walau hanya sekadar hasil ladang, seperti durian. Bila Niyan saja (yang dalam sistem kekerabatan matrilineal Minang tak tergolong dekat) berlaku serupa itu, apalagi tokoh Aku adik-beradik terhadap Uwo (cerpen Uwo). Meski pusing menghadapi perangai Uwo tetap saja mereka rawat dan urus perempuan tua itu. Sebab, Uwo saparuik, mande, kakak perempuan ibu Aku adik-beradik. Tak terlintas, misalnya di pikiran mereka untuk mengirim Uwo ke panti jompo, karena yang demikian bukan alam pikiran desa. Begitulah, nilai-nilai seperti itu terjaga di desa. Kewajiban menjaganya berjalan begitu saja, tak berat, malah mungkin nikmat; bikin orang terkadang gamang tinggalkan desa, rumah gadang. Hal terakhir ini dialami Hindun, yang menolak ajakan anak-anaknya pindah-menetap di kota, selain karena hasrat yang belum pudur kepada almarhum suami (cerpen Bayang). Nilai-nilai itu pun tak otomatis lenyap bahkan di saat orang sudah hidup di rantau. Pudar mungkin, serupa baju di bawah matahari; aus tergosok kehidupan kota. Tapi hilang tidak. Karena itu, misalnya, orang Minang mengenal aktivitas pulang basamo. Lebih luas lagi, arak-arakan akbar nasional mudik-lebaran. Keduanya manifestasi kerinduan kaum urban kota, pencarian terhadap nilai yang tidak mereka dapatkan di kota, hanya ada, dan terawat di desa. Hal itu yang menggalau pikiran Aku menerima pemberian-pemberian Kak Niyan, sebab belum dapat berbuat untuk anak Kak Niyan yang juga kemanakan dalam hubungan kekerabatan yang luas. Pun, nilai itu yang dirindu "laki-laki itu" dalam cerpen Senandung Usang sehingga ia akhirnya pulang kampung setelah dua puluh tahun merantau, menikah dengan perempuan tak sekampung; yang melahirkan rasa bersalah, dan menjadikan rindu itu hamil selama bertahun-tahun. Bagaimana alam, atau lokasi cerita? Dalam hal ini pun Darman Moenir terampil. Ia mendeskripsikan alam pedesaan hingga detil, bahkan perilaku hewan. Kita terbuai, dan kadang tak sadar konflik tak dia cuatkan benar dalam cerita (Amri, Sang Pahlawan). Atau bak bukan prioritas sehingga disinggung saja di ujung cerpen (Tali Bandar). Tali Bandar, yang dikisahkan lewat kacamata seorang anak/Aku sebetulnya cerita tentang kekerasan khas petani, yang lazim terjadi sewaktu mengalirkan air ke sawah. Saat begitulah, dulu, ayah Aku yang menggantikan Kakek ke sawah terbunuh. Si pembunuh sebelumnya bertengkar dengan Kakek. Tetapi, membaca Tali Bandar fokus kita justru ke aktivitas Kakek: sejak bangun dinihari, perjalanan, dan yang dia lakukan sejak dari rumah guna memasukkan air ke sawah. Semua kita peroleh lewat laporan pandangan mata Aku. Cermat, dan hidup sekali Aku melapor, hingga kita merasakan cuaca dinihari, rumput di pematang, embun. Begitupun dalam Amri, Sang Pahlawan. Kita hanyut oleh lukisan hubungan Amri dengan lembunya, aktivitas Amri mengolah sawah, harapan atas sawah. Pengenalan Amri terhadap lembu, bagi saya tak tertandingi dokter hewan. Pengetahuannya terhadap sawah, pertanian, melebihi insinyur pertanian. Juga Tan Tejo, mengenal lingkungannya termasuk hewan (Pusaka Tinggi) dengan baik. Dia pasang katuk-katuk bila musim durian-manggis tiba. Dengan alat itu, sambil leha-leha di dangau, bisa dia usir tupai yang menggerogoti. Sawah, parak durian, manusia, rumput, prilaku hewan, detil dilukiskan pengarang menjadi lansekap pedesaan. Dunia yang (aromanya) memang desa, bukan kota. Maka, konflik dalam Tali Bandar, juga Amri, Sang Pahlawan, bisa jadi bukan tak dicuatkan atau bukan tidak prioritas, tetapi dapat pula dilihat dalam konteks upaya tokoh memperjuangkan hidup di tengah lingkungannya. Dan konflik dalam pengertian benturan pandangan, sikap, terlihat pada cerpen Perburuan, Panorama yang Lain, Pusaka Tinggi, Lagu Tanah Pusaka. * * * BAGI saya, cerpen-cerpen Darman Moenir itu sangat menarik. Pertama, karena penguasaan pengarang terhadap obyek (daerah budaya dan manusianya), dan telaah yang menukik pada kedua aspek itu dan diekspresikan dalam konteks kekinian. Dengan begitu, kalaupun ada kritik terhadap budaya/tradisi dan manusianya, kritik didasari pemakluman atas suatu yang telah berakar, perlu waktu berubah; dan pasti berubah. Juga keberpihakan atau simpati, tak hadir telanjang tapi muncul dalam rasa gamang, kalau-kalau perubahan yang niscaya akan menggerus atau bahkan menggilas yang dianggap baik. Pengarang tak hantam-kromo mengeritik (sebutlah bak kecenderungan pangarang asal Minang angkatan Balai Pustaka). Juga tak membabibuta memuji. Kedua, cerpen-cerpen yang pun acap disebut berwarna lokal ini lebih menemukan maknanya di masa sekarang, saat penyeragaman berlangsung di segala aspek kehidupan akibat terbuka, mengglobal, satunya dunia oleh teknologi informasi-komunikasi. Dalam situasi itu hal-hal spesifik, khas, menemukan arti yang signifikan sekaligus dirindukan. Kesadaran ini melanda siapapun termasuk penyelenggara budaya massa pop. Ingat kontes Miss Universe 2007 yang mewajibkan peserta pada satu sesi berpakaian tradisi/nasional masing-masing. Dalam sastra terlihat pada sambutan publik yang antusias kepada cerpen, juga novel para pengarang asal India seperti Jhumpa Lahiri, Kiran Desai, dan sebagainya. Dengan begitu cerpen/novel jenis ini besar pula artinya pada konteks kepentingan bangsa-negara. Ia tidak sekadar ciri atau identitas suatu bangsa, karya-karya ini berperan strategis menjadikan bangsa itu ikut-serta mewarnai corak peradaban dunia. Sekaligus terhindar dari status penonton atau konsumen belaka. Lain waktu, lebih sedap jika Darman Moenir menghimpun cerpen-cerpen sejenis dalam satu, dua, tiga buku (sebab tentu banyak lagi yang bertaburan di pelbagai media).*** * ADEK ALWI, pengarang dan Wartawan. Kini mengajar mata kuliah penulisan fiksi pada jurusan Pemberitaan dan Grafika Politeknik Universitas Indonesia. Copy Right ©2000 Suara Karya Online Powered by Hanoman-i --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet. - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting. - Hapus footer & bagian tidak perlu, jika melakukan reply. - Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi. - Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku. =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---