Bukan kematian benar yang menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu Dan duka maha tuan bertahta
Itu adalah satu dari sekian banyak syair chairil Anwar yang jadi favoritku....masih banyak lagi syair- syairnya yang aku kagumi. Mulai dari kedalam maknanya hingga kata-katanya yang tetap up to date seakan akan baru ditulis kemarin.. Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri. Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi Siapa sangka syair ini ditulis tahun 40 an ?... salam Ben/27 ***** Mengenang 59 Tahun Wafatnya Chairil Anwar, "Penyair Besar itu Orang Luhak Limopuluah" Senin, 28 April 2008 "Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang" Bagi Anda penikmat sastra, deretan kata-kata lugas, solid dan kuat di atas, tentu sudah tidak asing lagi. Itulah "AKU", satu dari 74 puisi karya penyair Indonesia Chairil Anwar yang tidak pernah lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas. Toh buktinya, meski Chairil telah meninggal di CBZ Jakarta (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangkusumo) 59 tahun lalu, tepatnya tanggal 28 April 1949, namun karyanya tetap abadi. Bahkan selama tiga hari terakhir, ratusan kepala di Nagari Taeh, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, dengan 'khusuk' membaca, menyigi, pun menikmati kata demi kata yang diciptakan penyair 'gila' buku itu. Apa yang dilakukan ratusan kepala terhadap Chairil, tentu tidak sekadar mengenang kembali kematian ujung tombak Angkatan 45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi. Tidak juga untuk mengingat 'perlawanan' Chairil terhadap penyair angkatan terdahulunya (Pujangga Baru) yang cenderung mendayu-dayu dan romantis. Namun lebih dari itu, ada semacam hasrat untuk merajut romantisme dan sekat masa lalu. Ya, ratusan kepala yang berkumpul di nagari Taeh mulai dari anak sekolah, mahasiswa, guru, dosen, penyair, pejabat, sampai warga biasa, seakan ingin berpesan kepada dunia, bahwa penyair sekelas Chairil Anwar adalah permata dari ranah mereka. Pesan itu tentu penting diteriakkan. Sebab selama ini banyak orang cuma tahu, Chairil lahir di Medan 26 Juni 1922 dan memiliki darah Minang. Padahal, Chairil tidak sekedar memiliki darah Minang, tapi dia benar-benar "Si Padang" tulen. Ayanya yang bernama Toeloes dan bekerja sebagai pamong praja adalah putra Taeh. Sedangkan ibunya Saleha adalah wanita asal Situjuah Limo Nagari. Jadi, jika ditarik dari garis keturunan manapun, baik patrilineal (ayah) maupun matrilineal (ibu), Chairul jelas putra Minang! "Sampai sekarangpun, rumah kediaman orang tua Chairil Anwar masih ada. Baik di Taeh, maupun di Situjuah. Cuma untuk peringatan, memang sering digelar di Taeh,"kata Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Limapuluh Kota Muhammad Yunus, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu. Berharap Chairil Baru Terlepas dari romantisme Chairil sebagai putra Minang tadi. Yang jelas, kehadiran acara "Mengenang Chairil" di Taeh Baruah sejak tiga hari terakhir, setidaknya juga melahirkan harapan akan datangnya Chairil-Chairil baru dari Luhak Limopuluah ataupun ranah Minang. Karena berjujur dengan kata, selama ini Luhak Limopuluah (Baca: Payakumbuh/Limapuluh Kota-red) memang telah memiliki penyair dan cerpenis beken. Sebut saja itu Gus Tf Sakai, Adri Sandra, Iyut Fitra ataupun Dahmuri Muhammad. Namun, buah pena mereka agaknya perlu menandingi semangat kebangsaan dalam puisi Chairil, seperti dalam "Aku", "Diponegoro", "Siap Sedia", "Kerawang-Bekasi", dan "Persetujuan dengan Bung Karno". Makanya, merindukan kehadiran Chairil-Chairil baru di tengah semarak acara mengenang 59 tahun Wafatnya Chairil Anwar, mungkin dianggap sebuah sikap tepat. Apalagi jika kita melihat kecendrungan hidup yang makin pragmatis, penyair hari ini kesannya berada di menara gading. Mereka asyik dengan 'bintang, bulan, dan dunia' sendiri. Sehingga tidak menyentuh masyarakat sekitar. Tidak membumi! Padahal, puisi- puisi penyair terutama yang memiliki roh kebangsaan seperti karya Chairil Anwar, amat dibutuhkan. Bukankah mantan Presiden Amerika Serikat Jhon F Kennedy pernah bilang, jika politik bengkok maka puisi bisa meluruskan. Puisi bisa menjadi tiang sandaran atas sebuah nurani. Tak percaya? Baca dan kenanglah Chairil Anwar sekali lagi! (***) --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet. - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting. - Hapus footer & bagian tidak perlu, jika melakukan reply. - Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi. - Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku. =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---