Bung Indra, Pak Saaf, Pak Jamal dan sanak sapalanta, Kasus Cakak antar nagari di Solok seharusnya menjadi 'wake-up call' untuk Minangkabau, terutama yg di ranah. Menurut literatur konflik yg saya baca, ini adalah salah satu ciri keterbelakangan atau langkah menuju keterbelakangan (involusi). Ada yang salah dalam tubuh kita (Minangkabau secara umum, ranah dan rantau). Saya kuatir, nasib 'Minangkabau di Indonesia' akan mengarah seperti keadaan 'Bangladesh di dunia internasional', yaitu: 'diasporanya santiang2, tetapi di kampuang kacau-balau'. Ini tidak berarti saya pesimis, harapan harus tetap ada. Ada paradox yang cukup kasat mata. Disatu sisi Minangkabau boleh bangga dengan budanya-nya yg adi-luhung, kiprah orang2nya di perantauan dan, yg terakhir, Pilkada Sumbar adalah salah satu yg terbaik di Indonesia (artinya cukup matang dalam berdemokrasi di tingkat lokal). Tetapi disisi lain: (1) ekonomi lokal sumbar stagnant (tdk kompetitif walau tingkat regional, lihat sektor industri, pendidikan, pariwisata dll), (2) secara traditional bergantung pada remintance (ini tidak sehat, lihat Phillipines), (3) di dalam terbelah (lihat dikotomi ranah-rantau, saling cemeeh), (4) memiliki banyak dimensi negative atau ambivalence dari budayanya yg perlu di reformasi (kalau memang mau maju), (5) berbagai dimesi kemiskinan semakin tampak (busung lapar, putus sekolah, pengangguran, dll), dan (6) DLL. Semuanya saling terkait. Dan jangan lupa, ekonomi Sumbar sangat tergantung pada sektor pemerintah (APBD) yg sebagian besar berasal dari kasihan ombak Jakarta, ini diukur dengan rasio APBD terdapat PDRB. Sumbar sangat gamang menghadapi desentralisasi. Ini memang bukan pengamatan yg up-to-date, hanya sebatas ota-ota palanta. Tetapi seperti yg Indra katakan, ini persoalan serius. Sayangnya, sejauh ini, persoalan serius ini hanya sebatas ota-ota palanta saja, ini tidak cukup. Belum kelihatan upaya2 serius yg memadai untuk memikirnya. Saya belum pernah membaca semacam kajian political economy of Minangkabau yang mampu membaca persoalan2 ini dari perspektif yang lebih luas (atau mungkin sudah ada?). Pertanyaannya adalah mengapa tidak ada? Bukankah disporanya bertebaran dimana-mana? Bukankah di ranah sendiri banyak profesor dan doktor? Mungkin ada yg bisa memberi pencerahan. Salam Zulfan Tadjoeddin (35) Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> wrote: v\:* {behavior:url(#default#VML);} o\:* {behavior:url(#default#VML);} w\:* {behavior:url(#default#VML);} .shape {behavior:url(#default#VML);} st1\:*{behavior:url(#default#ieooui) } Dear pak jamal. Ini diskusi yang sangat serius, jadinya. Diperlukan para ahli (perencanaan) ekonomi yang handal. Saya setuju dengan kelemahan daya beli masyarakat, karena income per kapita yang rendah. Semakin banyak warung sekarang yang tutup lebih cepat, sekalipun listrik sudah masuk ke pelosok-pelosok. Persoalan terpenting adalah APBD Sumbar, termasuk kabupaten dan kota, terlalu tergantung kepada "subsidi" pusat. Lalu, APBD itu terserap kepada anggaran rutin yang berarti juga dinikmati oleh pegawai negeri sipil. Anggaran itu menjadi tidak produktif. Kemampuan mendatangkan investasi dari luar juga rendah. Saya selalu kesulitan kalau bicara soal investasi di Sumbar ke kalangan investor manapun. Tidak ada lahan luas yang bisa ditanam kebun sawit, misalnya, karena seluruh tanah adalah tanah adat. Teman saya yang bekerja di Coca Cola, misalnya, memindahkan kantor distribusinya ke luar Sumbar, ketika begitu banyak yang harus dipertaruhkan di ranah Minang. Pengusaha hotel yang saya tahu juga kesulitan untuk mencari pegawai-pegawai yang bisa tersenyum, padahal harus ada pegawai lokal. Kualitas air pegunungan di Sumbar itu bagus, untuk menjadi semacam Aqua. Tetapi, lagi-lagi, akan kesulitan sekarang untuk menjaga keberlanjutan proyek seperti itu. Mengapa? Karena pasokan air bersih terus-menerus memerlukan kerjasama yang kohesif di kalangan pengelolanya. Sekali saja air itu dimasuki oleh kerbau atau anjing mati, sulit untuk mencegah efek negatifnya. Orang-orang sekarang dengan mudah mencari ikan di sungai menggunakan strum (listrik), sehingga telor ikanpun mati. Yang lebih parah, pakai racun. Financial system katanya sudah berjalan baik dengan adanya Bank Pengkreditan Rakyat. Tetapi, seberapa banyak yang bisa dicover? Usaha besar jelas membutuhkan sistem perbankan. Tetapi apa yang mau dimasuki oleh pinjaman kredit bank ini, kalau yang punya uang dijadikan sebagai sai perahan atau musuh masyarakat? Tentu keadaannya berbeda dengan masalah nasional. Bagaimanapun, Indonesia adalah pasar yang luas, 230 Juta penduduk. Dan masih banyak daerah-daerah yang kaya dengan sumberdaya alam, seperti Papua dan Aceh. Sekarang ini, semakin banyak orang asing yang mau ambil 1 Juta hektar hutan Aceh, katanya demi perkebunan, nyatanya hanya untuk mengambil kayunya, diseludupkan lewat Malaysia atau Philipina, lalu sampai di China. Jadilah China sebagai eksportis kayu merbau terbesar di dunia dan Malaysia sebagai eksportir kayu gelondongan nomor satu. Padahal, kayu-kayunya dari hutan Indonesia. Secara ekonomi, Sumbar sudah finish! Namun, tidak ada yang mau mengakui itu. Kalau Sumbar mau maju, carilah seorang enterpreneur untuk menjadi pemimpinnya. Tetapi itu saja tidak cukup. Beri ia kebebasan dan dukungan untuk melakukan pekerjaannya. Dulu, masih ada efek dari perantau. Tetapi sejak pasar tanah abang terbakar, juga pasar-pasar tradisional lain hancur, maka efek itu tidak lagi terasa. Uang sulit didapat. Kantor-kantor pos makin kecil dalam menerima wesel-wesel pos tiap lebaran. Bukan tidak ada jalan keluar. Lihat sekeliling: Riau adalah negeri kaya yang sedang membangun. Tetapi Riau tidak memiliki Danau Maninjau, dll. Saya setuju Pak Syaf, pariwisata bisa dimajukan, tetapi didiklah anak-anak gadis dan orang-orang bujang untuk tersenyum. Apa orang Minang mau? Tidak! Pemda malah mengirim satpol-satpol PP menggeledah seluruh hotel untuk tegaknya syariat. Di Aceh saja itu tidak dilakukan, sekalipun mereka menerapkan syariat Islam dan Serambi Mekah. Tentu saya tidak bisa menjawab pertanyaan bapak, karena ini soal serius. Yang diperlukan adalah sejumlah prioritas pembangunan ekonomi, sembari membelakangkan yang lain. Membangun universitas hebat juga salah satu jalan keluar (lihat, bagaimana Australia bergelimang uang dengan kedatangan pelajar-pelajar dari Indonesia, Malaysia atau Thailand). Tetai, apa mau universitas di Minang menaruh dosen-dosen dari luar negeri atau dari luar Minang, karena keminangannya itu? Baik dunia pariwisata atau dunia pendidikan di Minang, selalu saja menghadapi problem "keakuan" dan "keangkuhan" orang Minang. Taufik Rahzen dan Radhar Panca Dahana, dua orang teman saya, ketika Kongres Gebu Minang dulu, sempat menyumbangkan ide menjadikan Sawahlunto sebagai kota wisata tambang se-dunia. Mereka punya kontak di manca-negara. Tinggal mencatatkan di kalender-kalender tahunan wisata di seluruh dunia. Tetapi, apa ide yang disampaikan di depan walikota dan banyak petinggi Minang itu laku? Pak Syaf menjadi saksinya. Silaing Indah bisa juga menjadi arena hiking yang memukau, tinggal dicarikan jalurnya, termasuk untuk outbound dan lain-lain. Kalau kita out bound di puncak kan sekarang makin tidak terasa desir angin, bunyi siamang, atau suara alamnya? Itu beberapa catatan saya. Saya kira, lagi-lagi, dibutuhkan analisis yang lebih serius. Namun saya tetap berpendapat betapa kemajuan atau upaya memajukan Sumbar sangat dipengaruhi oleh hambatan-hambatan budayanya sendiri. Tinggal dicarikan sinerginya. Saya belum pernah ke Negara Arab yang sedang berkembang sekarang. Tetapi yang saya dengar, di Negara itu orangnya tidak peduli dengan bule-bule berbikini, tetapi mereka tidak menanggalkan jilbabnya atau baju kokonya. Kalau memang Sumbar disebut kuat memegang agama dan adat, mengapa takut membuka diri? Ujilah, apakah kuat iman itu? ijp --------------------------------- From: RantauNet@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of jamaludin mohyiddin Sent: 02 Mei 2008 18:44 To: RantauNet@googlegroups.com Subject: [EMAIL PROTECTED] Komentar-Re: [EMAIL PROTECTED] Re: Cakak Antarnagari - PRIHATIN
Saudara Indra jaya Piliang, Assalam mu alaikum wa rahmatul Llah hi wa barokatuh, (Ma'afkan hambo berbahasa Inggeri s) I did read the mentioned newspaper report with interest despite difficulty in Bahasa and very local newscasting. Indeed, It is sad and this trend will continue unabated as you said and pointed out it is part of Geertz's argument for agricultur al involution. I really appreciate if could kindly provide a picture of an updated understanding of contemporary trend of political economy of Minangkabau. You did mention that the main political economic characteristic of Minang is agrarian or ag riculture-based. I inferred from this is that its mode of production and the whole commercial and entrepreunal system are not strong enough or good enough to be competitive either at Indonesian regional level as well as at the higher level involving the outside world. Not knowing precisely the political economy of Minangkabau and I have to acknowledge this fact, somehow I have to agree with you that what really needed in Ranah is economic intervention. You did itemized and emphasized what sort of economic intervention(s) you have in mind. These items are good to begin with. Is it possible you could elaborate further your perception of economic intervention? How about starting the whole economic revitalization program with economic de mocratization and enlarging participatory economics over the existing political economic system of Minangkabau. May be, and I think, the main problem in Ranah is the low purchasing power/ kekecilan daya membeli. Of course, they are (historical) factors that why purchasing power of Minang people remain steady low for long time. Whatever economic programs initiated will be ending up or with the objective of enlarging this individual and collective/aggregate purchasing power within the Ranah. Talking about increasing the overall purchasing power we are precisely talking about banking and financing aspects of the political economy of Minang. In what way and how far modernization of bank ing and financial sectors in Minang have taken place? If it is not, it is extremely difficult for a reformed political economy to deliver Minang to next meaningful level of competitiveness. The idea to have training centers with the objective "u ntuk bisa bersaing di dunia kerja diluar ekonomi agraris" is very timely and appropriate. Are you also factor in the paramount importance and the significance of noneconomic dimensions in your economic renewal project either in Minang as well nationwide ? Could you mention couple of them? --- On Fri, 5/2/08, Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: Cakak Antarnagari - PRIHATIN To: RantauNet@googlegroups.com Date: Friday, May 2, 2008, 5:16 AM Perso alan seperti ini akan terus terjadi. Minang pasti akan mengalami apa yang disebut sebagai involusi pertaniannya Geertz, yakni semakin banyak orang yang memiliki tanah, tetapi lahan semakin kecil dan produksi semakin tipis. Akibatnya, lahan menj adi rebutan. Ini juga menjadi tanda betapa masyarakat di level nagari belum mampu keluar dari ekonomi agraris, lalu masuk ke level ekonomi lain: seperti perdagangan, teknologi, informasi dan jasa. Lahan, lagi-lagi, menjadi persoalan. Kalau di level nagari bacakak memperebutkan tanah atau lahan, maka di level pedagang kaki-lima di tanah abang memperebutkan lapak/tempat. Jangan hanya prihatin. Musywarah untuk mufakat juga tidak akan menyelesaikan masalah di tingkat akar umbi. Yang diperlukan adalah intervensi di bidang ekonomi. Program-program padat karya barangkali bisa memberikan sedikit penghasilan, tetapi yang lebih penting lagi adalah pemberian training-t raining pada level masyarakat, terutama yang berusia produktif, untuk bisa bersaing di dunia kerja diluar ekonomi agraris. Sampai sekarang saya belum mendengar para bupati atau gubernur melakukan program ini. Kalau ada anak-anak minang ke rantau, maka hanya bermodalkan tulang sembilan kerat. Yang diperlukan bukan semacam Minangkabau Center, melainkan semacam "Pusat Pelatihan Menuju Rantau". Modul-modulnya bisa dipikirkan, begitu juga instrukturnya. Kalau menggunakan p endekatan Marxis, maka apa yang terjadi di Silungkang bisa muncul lagi di abad ke-21 ini. ijp -----Original Message----- From: RantauNet@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Sutan Palimo Sent: 02 Mei 2008 15:57 To: RantauNet Subject: [EMAIL PROTECTED] Cakak Antarnagari - PRIHATIN iko ado link di padek hari ko. cakak antarnagari di kab solok. http ://www.padangekspres.co.id/content/view/4670/1/ --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet. - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting. - Hapus footer & bagian tidak perlu, jika melakukan reply. - Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi. - Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku. =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---