Rabu, 30 April 2008.

Setiap pagi dalam perjalanan ke kantor, biasanya saya minta Ridwan 
pengemudi yang biasa menjemput saya, untuk membeli sarapan nasi gurih 
atau lontong sayur di dua tempat favorit saya yang tidak jauh dari 
tempat kos saya di Rawa Sakti, Peniti. Sarapan tersebut biasanya saya 
santap di kantor setelah menulis tugas-tugas hari itu untuk asisten saya 
Ayu, dara manis 21 tahun asal Bireun yang cerdas, kritis sekaligus 
impulsif, dara yang selalu mengenakan busana muslim yang modis dan 
genah. Hari Rabu itu, saya minta Ridwan untuk liwat warung nasi gurih 
langganan saya. Setelah memberi uang sepuluh ribu rupiah untuk membeli 
dua bungkus nasi gurih untuk dia dan saya, saya ikut turun dan minta 
Ridwan memesankan buat saya kopi Aceh pakai susu kental manis.

Kopi dihidangkan di gelas kecil tanpa diaduk, sehingga pembeli dapat 
mengaduk sendiri sesuai dengan kemanisan dan kegurihan yang 
diinginkannya seperti yang saya lakukan ketika itu. Kopi Aceh aromanya 
tidak luar bisa, tetapi ketika kopi yang diproses secara khusus itu 
melewati tenggorokan, kita merasakan kenikmatan yang sukar dilukiskan 
dengan kata-kata. Karena hanya memerlukan separuh dari susu kental yang 
ada di dasar gelas, saya menyuruh Ridwan untuk meminta pemilik warung 
mengisinya kembali dengan kopi, yang sepertinya baru selesai diproses 
sehingga busanya terlihat jelas di permukaan cairan. Setelah saya aduk 
rata dengan susu, dalam bilangn detik saya kembali merasakan sensasi di 
kerongkongan saya.

Kamis, 1 Mei 2008, lewat tengah hari di Bandara Iskandar Muda.

Langit berawan, udara panas di ujung utara pulau Sumatera itu tentu saja 
tidak terasa di ruang tunggu keberangkatan yang ber-AC itu. Angin 
semilir tidak mampu menggerakkan pepohonan di sekitar kawasan Bandara. 
Penumpang pesawat Boeing 737-400 Garuda GA 143 penerbangan Banda 
Aceh-Jakarta lewat Medan terlambat boarding sekitar 20 menit.

Dalam sebuah suratnya kepada saya, Elceem mengibaratkan kehidupan 
bagaikan perjalanan panjang sebuah kereta api jarak jauh. Di setiap 
setasiun, ada yang masih tetap bersama kita, dan ada yang tidak.

Saya boarding dengan “one way ticket”. Artinya kopi Aceh yang saya teguk 
kemarin pagi di warung nasi gurih langganan saya, sangat mungkin 
merupakan kopi Aceh terakhir yang saya nikmati sepanjang hidup di sebuah 
warung kopi di Aceh, dan Aceh, tempat saya bekerja selama lebih sembilan 
bulan terakhir ini, akan merupakan setasiun yang akan segera dilewati 
oleh kereta kehidupan saya. Kecuali beberapa hal yang masih harus saya 
sempurnakan di Jakarta, seluruh tugas-tugas saya di Aceh sudah tuntas. 
Insya Allah, tanggal 1 Juni nanti, sebuah tugas baru menunggu saya di 
Semarang.

Sebagai seorang yang memilih dan menikmati kehidupan asketik, rumah dan 
keluarga adalah tempat yang paling teduh dan damai bagi saya di muka 
bumi ini. Pulang ke rumah untuk cuti atau selesai tugas seperti ini 
adalah saat-saat yang saya tunggu, kadang kala dengan perasaan tidak 
sabar. Tetapi pada saat yang sama hari itu saya juga merasa sedih. Hal 
itu merupakan pertanda saya mencintai Aceh yang mungkin akan saya 
tinggalkan untuk selama-lamanya, perasaan yang sudah ada ada pada saya, 
jauh sebelum saya bertugas di sana, yang tercermin dari posting-posting 
saya sejak enam tahun terakhir ini. Cinta yang tidak berkurang walaupun 
idealisasi saya mengenai peranan Islam di Aceh ada yang perlu saya 
revisi berdasarkan realitas yang saya hadapi sehari-sehari pelaksanaan 
syariat Islam di Provinsi ini yang diformalkan dengan Undang-Undang. 
Walaupun saya bukan orang Aceh, saya termasuk yang gundah terhadap masa 
depan Aceh, terutama setelah para LSM internasional pergi, dan dana 
miliaran dolar berhenti dikucurkan oleh para sponsor dan lembaga donor, 
sementara kehidupan mayoritas warga Aceh tidak banyak mengalami 
perubahan. Hal itu tampak dengan meningkatnya kriminalitas dan perusakan 
lingkungan akibat pembalakan hutan secara liar dan penggalian pasir dari 
sungai secara tidak semena-mena yang juga melibatkan masyarakat 
setempat, yang berakibat menurunnya secara drastis kuantitas dan 
kualitas air baku PDAM-PDAM di sana, terutama PDAM Tirta Daroy di 
Ibukota Provinsi Banda Aceh.

Aceh itu daerah yang kaya SDA, tetapi rakyatnya miskin. Pendapatan 
regional perkapitanya di luar minyak bumi waktu hanya sekitar USD 600, 
atau lebih kurang separuh agak rata-rata Indonesia.

Kecintaan saya kepada Aceh juga akan diikat oleh kenangan terhadap 
indahnya suara azan yang dikumandangkan dari menara-menara mesjid yang 
juga rata-rata agung dan indah, atau kidung salawat kepada Sang 
Junjungan yang dilantunkan dengan aksen lokal dari Masjid belakang rumah 
yang memukau dan mengharukan, atau suara wirid di sebuah Masjid yang 
saya dengar seakan-akan berasal dari alam yang lain.

Kecintaan saya kepada Aceh tentunya juga tidak dapat dipisahkan dengan 
cinta altruistik saya kepada Ayu, yang dengan kecerdasan dan 
sensitvitasnya, saya percaya pada suatu saat akan menjadi salah seorang 
Cut Nyak Dien masa kini yang sangat waktu ini sangat dibutuhkan Aceh

Tidak lama kemudian, saya merasakan pesawat mulai bergerak, tetapi 
berhenti sekitar 10 menit, sebelum masuk landasan pacu. Hal serupa yang 
sering saya alami sebelum ini di Bandara Sukarno-Hatta, sesuatu yang 
sangat mengherankan saya. Kalau pesawat dianggap belum aman untuk 
take-off, mengapa tidak disuruh menunggu di apron saja dulu. Entah 
berapa liter avtur yang disuling dengan biaya mahal dari minyak bumi 
yang bersifat irreversible dan harganya semakin melangit, yang terbuang 
sia-sia saat pesawat harus menunggu sebelum masuk landasan pacu. Pesawat 
udara kan tidak sama dengan mikrolet, yang mesinnya dapat dihidup dan 
dimatikan sang sopir sesuka hatinya.

Kita ini bangsa miskin, tetapi cabar.

Saya memilih seat dekat jendela kiri beberapa baris dari belakang 
sehingga dapat menikmati pemandangan laut dan pulau-pulau kecil di Utara 
Banda Aceh, yang mungkin untuk terakhir kalinya.

Sejak peristiwa terbakarnya bangunan Bandara Polonia beberapa bulan yang 
lalu, penumpang transit Garuda selalu diminta tetap tinggal di pesawat 
selama pesawat berhenti di sana. Tidak lama trdengar suara Pilot dari 
cockpit, yang meminta agar semua penumpang kembali ke tempat duduk tanpa 
memasang sabuk pengaman, karena pesawat akan mengisi avtur. Penumpang 
juga diminta tidak ke kekamar kecil dulu. Tetapi yang terjadi di kabin 
adalah “business as usual”. Seorang penumpang bule justru bangun dari 
tempat duduknya dan bergerak ke kamar kecil tidak lama setelah 
pemberitahuan yang dikumnadangkan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris 
baru saja menghilang dari pendengaran, dan awak kabin terlihat cuek saja 
melihat hal tersebut. Anomali ini juga agaknya mencerminkan budaya dan 
perilaku manusia Indonesia kotemporer. Sang Pemimpin merasa telah 
melakukan tugasnya apabila sudah mengatakan atau memerintahkan sesuatu, 
dan para pejabat di tingkat bawah akan melaksanakan suka-suka sesuai 
dengan kondisi dan “mood”nya. Semua baru ribut dan saling menyalahkan 
jika penyimpangan-penyimpangan di lapangan berakibat fatal.

“Mana mama?” tanya saya kepada anak sulung kami Iben yang mengambil alih 
troli berisi bagasi dari tangan saya begitu saya keluar dari ruang 
kedatangan Bandara Sukarno-Hatta. “Menunggu di depan,” jawab Iben 
singkat. Saya segera sadar, pada usianya yang mendekati 60 tahun serta 
mengidap beberapa penyakit tua, Kur tidak mampu lagi berdiri lama-lama 
di depan kaca pembatas seperti sedia kala. Saya berjalan dengan cepat 
mendahului Iben, dan ketika melihat Kur, dengan setengah berlari saya 
mendekat dan mendekapnya erat-erat untuk melepaskan rindu yang nyaris 
membuat dada saya hampir pecah, serta mencium dengan gemas dan dalam 
pipi perempuan yang sudah hampir 42 tahun menjadi istri, teman dan 
kekasih saya, pipi yang sudah mulai berkerut di makan usia dan 
digelayuti lemak. Tetapi cinta dan rasa sayang kepadanya saat ini jauh 
lebih besar dari pada ketika saya baru menyuntingnya di usianya yang 
baru 17 tahun, atau pada saat tahun berada puncak kecantikan dan 
kematangannya sebagai wanita di usia antara 30 – 40 tahun.

Dan pada saat itu sebuah setasiun, baru saja dilewati kereta kehidupan 
saya.

Wassalam, Darwin
Depok, 4 Mei 2008


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet.
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting.
- Hapus footer & bagian tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur 
pribadi.
- Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta 
maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]

Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke