Sata satu tentang topic ini..
 
Gerakan lain dari Kaum  'Aktivis Perempuan' adalah 'kesataraan gender',
apakah kesataraan yang dimaksud adalah perempuan mempunyai kesempatan
yang sama dengan laki, seperti bisa menjadi Kepala Rumah Tangga,
Kedudukan yang sama di berbagai posisi. Tapi mungkin ada yang lupa dari
para penggerak perempuan ini bukankah kesetaraan tidak hanya bercerita
tentang hasil, proses pencapaian pun harus setara. Dalam artian tidak
ada perbedaan dalam pencapian proses antara perempuan dan kaum adam.
Dengan konsep hasil yang setara itu maka perempuan meminta jatah 30%
kursi di DPR misalkan, bukankah pencapain 30% itu bermula dari proses
yang harus dicapai perempuan  untuk mendapatkan dukungan suara, ya bisa
jadi calon legislatif (nomor jadi/urut) ditetapkan oleh partai.
Bagaimana nomor urut (nomor jadi) mau ditetapkan tanpa ketokohan seorang
perempuan. 
 
Dilain hal Aktivis Perempuan tidak mau pula melupakan kodrati
kewanitaannya, lihatlah cuti Hamil-melahirkan (3bulan) diminta, Serikat
Pekerja/Buruh juga memperjuangkan cuti haid untuk perempuan,. Bila
kesetaraan itu berarti keseimbangan atau kesamaan yang tidak serupa itu
diperturutkan, mungkin Para pekerja Laki-laki juga meminta di berlakukan
cuti menemani perempuan melahirkan (sebelum-sesudah) atau cuti 'mimpi
basah' sebagai proses biologis setara dari 'datang bulan' nya seorang
perempuan
 
Namun, mari kita tunggu komentator perempuan dari rantaunet,  supaya
kita juga tercerahi dari ranah pikirnya kaum perempuan
 
 
 
Wallahu'lam
 
Dedi Yusmen
 
-----Original Message-----
From: RantauNet@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
Behalf Of Eddy Piliang
Sent: Friday, May 16, 2008 11:04 AM
To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [Likely [EMAIL PROTECTED] Re: Buat Aktivis Perempuan Minang
 

Menangkap dari apa yang dipaparkan oleh Sutan Indrajaya Piliang,
nampaknya persoalan ini menjadi begitu encer dan clear!. Dengan segala
kepiawaiannya, Sutan Indrajaya Piliang mampu mengupas fenomena ini
sampai ke akar2nya. Tapi yang kemudian singgah dalam pikiran saya
adalah, apabila gerakan perempuan ini menjadi sesuatu yang (dianggap)
membahayakan bagi NKRI, adakah yang berani maju untuk mempelopori
penolakan terhadap gerakan perempuan ini? atau barangkali kita  biarkan
saja gerakan perempuan ini sebagai wujud demokrasi?
 
Eddy Piliang
  _____  

From: [EMAIL PROTECTED]
To: RantauNet@googlegroups.com
Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: Buat Aktivis Perempuan Minang
Date: Thu, 15 May 2008 19:00:08 +0700
Nah, ini satu lagi. Feminisme memang lahir dari beragam akar dan bentuk.
Ada feminisme radikal, marxis, liberal, moderat, atau feminisme yang
menyandarkan diri pada hermeunitika keagamaan. Jelas tidak bisa
dikatakan bahwa feminisme lahir dari neo-lib. Banyak feminis yang
anti-neolib (yakni feminis marxis). 
 
Kemaren saya diundang oleh Kalyana Mitra. Dari 20-an peserta, hanya saya
dan satu lagi yang laki-laki, serta satu orang juru kamera. Saya
berdebat dengan seorang professor UI, ketika saya menjelaskan bahwa kaum
perempuan secara politik berbeda dengan perempuan di Amerika. Bahwa
sampai 70-an perempuan Amerika masih berada pada posisi yang kerdil
secara politik, sementara pemilu 1955 di Indonesia membolehkan perempuan
memilih. Dll. Dll. Professor ini marah-marah dan mengatakan bahwa kaum
perempuan tertindas, dllnya. Ketika saya katakana bahwa hak waris di
Minang milik perempuan, system matrilineal menempatkan perempuan sebagai
tokoh Utama, dllnya, dia tidak bisa menerima. Ketika saya katakana bahwa
mitologi kekuasaan di Indonesia justru berangkat dari ketakutan atas
perempuan dan kedigdayaan kaum perempuan, seperti Nyi Loro Kidul, Ken
Dedes, dllnya, dia mengatakan kebalikannya. 
 
Saya dikeroyok oleh aktivis perempuan yang ada. Termasuk anggota-anggota
DPR perempuan. Namun, bagi saya, feminisme di Indonesia mestinya
beranjak dari nilai-nilai cultural, bukan mengadobsi sedemikian rupa
dari luar negeri sana. Hamper semua menyatakan anti terhadap neo-lib.
 
Tetapi mengatakan bahwa semua yang berkaitan dengan feminisme adalah
bagian dari style global (entah apa maknanya), menurut saya juga
kekeliruan. Apalagi menyebut kaum aktivis perempuan sebagai gadungan,
justru mengherankan. Teori konspirasi sangatlah mudah membakar
masyarakat dan menghanguskan logika, tetapi tidak menyelesaikan apapun.
Bergabunglah dengan milis theory conspiracy, maka setiap hari ada saja
sampah-sampah informasi yang seolah nyata, tetapi terhubung dengan
ketakutan, kebencian, ketidakpercayaan, atas apa yang disebut sebagai
fakta. 
 
Ijp
Pernah menjadi feminis, tetapi tidak sempat menjadi feminin 
 
 
 
  _____  

From: RantauNet@googlegroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On
Behalf Of Eddy Piliang
Sent: 15 Mei 2008 14:43
To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [EMAIL PROTECTED] Re: Buat Aktivis Perempuan Minang
 
Pendapat tentang gerakan perempuan seperti yang dituliskan oleh Adinda
Anggun Gunawan ini sangat jarang terdengar, bahkan nyaris tak pernah
ada. Saya ndak tau, apakah memang ada upaya pembungkaman atau memang
sudah banyak perempuan Indonesia yang keracunan Style Globalism ini. 
Betul dan sangat tepat apa yang diungkapkan oleh Adinda Anggun. Bahkan
kalo boleh Saya menambahkan, bahwa gerakan aktifis perempuan saat ini
tidak semata-mata atau berhenti pada Justifikasi korban kapitalisme,
tapi lebih dari itu, Mereka adalah antek-antek penjajah, Mereka menjajah
melalui segala bidang dan sendi, seperti melalui Issue jender, KDRT,
HAM, porno aksi/porno grafi dll. Selain itu, mereka juga melakukan
penjajahan dengan melalui gaya hidup (pakaian, makanan, hobby, sikap
prilaku), dan tidak kalah penting, menetapkan penggunaan bahasa
inggris/asing yang dikesankan sebagai simbol modernitas dsb.
Untuk semua itu, saya hanya melihat, bahwa dibalik semua ini adalah
gerakan NEOLIB.  Indikasinya sudah terbaca, diantaranya seperti yang
diungkapkan oleh adinda anggun, ditambah lagi dengan tuntutan mereka
soal kawin sejenis, boleh kumpul kebo, perempuan berhak untuk tidak
hamil/tidak menyusui, perempuan menjadi kepala rumah tangga dsb.
Kebebasan yang sebebas-bebasnya adalah cita-cita mereka. Bebas dari
hukum Tuhan, bebas dari etika, tata krama, budaya, nasionalisme dsb. 

Berangkat dari sini, sudah barang tentu hal ini menjadi keprihatinan
tersendiri manakala Tokoh2 cendikiawan, ulama, kaum moralis dll hanya
menutup mata dan pura2 tidak tau.
Terakhir buat Adinda Anggun, bahwa mereka bukanlah aktifis Gadungan,
mereka adalah asli Aktifis, mereka aktifis yang menyusup ke dalam
wilayah kita. Salah satu Indikasinya adalah, mereka dibiayai secara
berlebihan untuk operasional melakukan gerakannya.
 
Wassalam
 
Eddy Piliang
> Date: Mon, 12 May 2008 07:01:23 +0000
> From: [EMAIL PROTECTED]
> To: rantaunet@googlegroups.com
> Subject: [EMAIL PROTECTED] Buat Aktivis Perempuan Minang
> 
> 
> Teristimewa Bagi Aktivis Perempuan
> 
> Zaman saat ini sulit untuk dicerna oleh akal sehat. Banyak hal-hal
> yang sebenarnya aneh namun telah menjadi suatu hal yang biasa
> dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
> Perkembangan pemikiran dewasa ini, juga mendaftarkan suatu pemikiran
> baru yang mencoba untuk mengembalikan hak-hak perempuan yang selama
> ini ditenggarai telah direndahkan dan diabaikan oleh sistem sosial
> yang ada. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan telah mendapat
> perhatian yang cukup besar bagi kalangan aktivis perempuan yang secara
> ideologis terpengaruh oleh paham feminisme.
> 
> Menarik ketika mencermati sepak terjang yang dilakukan oleh aktivis
> perempuan ini. Mereka banyak mengusung wacana kesetaraan jender,
> kekerasan rumah tangga, dan ajaran-ajaran agama yang menurut mereka
> telah melegalisasi penindasan terhadap perempuan. Salah satu kasus
> yang mendapat perhatian sangat intens dari aktivis ini adalah masalah
> poligami. Menurut mereka poligami adalah salah satu bentuk perlakuan
> tidak adil agama terhadap perempuan.
> 
> Namun, ada satu hal yang mungkin dilupakan oleh aktivis perempuan.
> Mereka cendrung menganggap budaya patriakhi sebagai penyebab atas
> penindasan terhadap perempuan. Mereka seakan menutup mata atas suatu
> fenomena yang saat ini luar biasa mengejala di masyarakat perempuan
> terkait dengan masalah pakaian. Sekarang ini kita disungguhnya
> pemandangan yang "menstimulan" syaraf penglihatan oleh
> perempuan-perempuan yang memakai pakaian serba ketat dan serba
> kekurangan. Sehingga kita bisa menyaksikan secara leluasa lekuk tubuh
> dari seorang wanita meskipun oleh mengenakan pakaian. Puser yang
> tampak, celana dalam yang tampak bukanlah suatu yang membuat mereka
> risih. Malah sebaliknya, mereka begitu bangga memperlihatkan tubuh
> mereka kepada siapapun, termasuk laki-laki. Kenyataan ini telah
> mewabah luar biasa.
> 
> Pada dataran yang lebih tinggi, kontes-kontes pemilihan putri
> Indonesia, miss Word, Miss Universe, perlombaan cover girl dan bintang
> media, yang menonjolkan aspek kecantikan seorang wanita menjadi
> sasaran yang dijadikan sebagai jenjang pencapaian oleh para wanita.
> 
> Yang menjadi pertanyaan penulis adalah kenapa para aktivis perempuan
> tidak melihat ini sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan. Tidak
> pernah kita dengar aktivis perempuan melakukan pengkutukkan dan
> perlawanan terhadap kontes-kontes semacam ini dan tetap membiarkan
> produk pakaian kapitalis dan hedonis terus merasuk meninabobokan
> perempuan dalam jerat pamer kecantikan dan keindahan tubuh. Mengapa
> aktivis perempuan tidak melakukan perlawanan terhadap praktek-praktek
> prostitusi dan pacaran yang akan menjadikan perempuan sebagai
> pelampiasan seks para pria. Mengapa aktivis perempuan tidak menyerukan
> penutupan tempat-tempat hiburan yang menjadikan wanita sebagai daya
> tarik dan objek eksploitasi.
> 
> Memang mereka tidak akan bersuara untuk itu. Karena mereka bukanlah
> aktivis perempuan sejati. Mereka hanya menginginkan kepopuleran bukan
> sebuah perbaikan yang signifikan. Mereka menyalahkan sistem, tapi tak
> melakukan upaya penyadaran yang serius terhadap perempuan akan harga
> diri dan martabat mereka. Atau jangan-jangan mereka adalah bagian dari
> kapitalis itu sendiri yang menjadikan agama sebagai musuh utama,
> karena agama telah menghambat laju kapitalis dalam meraih keuntungan.
> Karena agama membuat orang independen dan tidak terpengaruh oleh
> tendensi ekonomi yang itu sangat dibenci oleh kapitalis. Oleh karena
> itu, tidak salah kenapa saat seorang alim ulama kenamaan Indonesia
> melakukan poligami, mereka menyerukan untuk menolak dan mencela pelaku
> poligami. Sedangkan ketika kontes cantik-cantikan mereka diam seribu
> bahasa.
> 
> Akhirnya kita akan mengetahui siapa mereka sebenarnya...
> Mereka hanyalah aktivis perempuan gadungan...
> 
> Oleh: Anggun Gunawan (23th - male)
> Filsafat UGM 
> http://grelovejogja.wordpress.com
> 
> 
> </html

</html

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Hindari penggunaan reply utk topik/subjek baru
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]

Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke