Kamis, 22 Mei 2008 http://www.padangekspres.co.id
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa etos merantau orang minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Merantau disini dimaksudkan sebagai orang yang pindah atau migrasi ke luar Sumatra Barat. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim 1973, (Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore), pada tahun 1961 ada sekitar 32 % orang Minang berada di luar Sumatra Barat, tapi pada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 persen. Berarti hampir separuh orang Minang berada di luar Sumatra Barat. Jika hal ini benar, maka berarti ada perubahan cukup besar pada jumlah merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau tertinggi di Indonesia adalah orang Bawean, 35, 9 %, kemudian Sumatra Utara 14,3 %, lalu Banjar 14,2 % dan nomor empat suku Minang 10, 5 %. Beberapa suku yang juga punya etos merantau yang kuat adalah Bugis, Manado dan Ambon. Saya yakin jika dilakukan penelitian saat ini, migrasi orang minangkabau ke luar Sumatra Barat, bisa mencapai 60 persen lebih. Mereka tersebar dari Sabang, Medan, Jawa hingga Marauke, bahkan ke luar negeri. Keluarga saya mungkin bisa diambil sebagai sample. Dari sembilan bersaudara hanya tiga yang berada di kampung, semuanya perempuan, sedang yang lainnya mengadu nasib di negeri orang. Dari 56 cucu nenek saya atau sepupu saya, lebih dari 70 %, mencari hidup, kawin, kemudian punya anak dan cucu di rantau. Jika pada tahun 1970-an, yang merantau kebanyakan kaum lelaki, pada tahun 1980-an, apalagi tahun 1990-an , wanita minangkabau sudah lazim merantau, tak hanya melulu karena alasan ikut suami tapi juga karena alasan berdagang, karir dan pendidikan. Faktor penyebab Ada banyak penjelasan terhadap pertanyaan ini, tapi saya ingin mencari jawabannya dari satu sudut saja yaitu karena sistem kekerabatan yang matrilineal di minangkabau. Sistem ini telah mendorong terjadinya eksodus secara besar besaran kaum lelaki minangkabau keluar dari daerahnya mencari hidup yang lebih baik terutama ketika pertumbuhan penduduk makin bertambah sementara daya dukung alamnya tidak bertambah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup bisa bisa menghidupi keluarga, makin kemudian hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama karena harus dibagi beberapa keluarga. Sawah dan perkebunan yang luas yang dulu menghidupi satu dua keluarga, kini harus menghidupi ratusan kepala keluarga. Karena itu tak ada pilihan lain, laki laki minang harus pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Mengapa laki laki yang eksodus dan bukan perempuan? Suku minangkabau dikenal sebagai satu-satunya suku yang menggunakan sistem matrilinial dalam menentukan garis keturunannya, yaitu penggunaan keturunan ibu, bukan silsilah bapak seperti terdapat di daerah-daerah lain.Walaupun sistem matrinilinial ini makin mengalami modifikasi akibat perubahan zaman, tapi secara budaya ia tetap melembaga dan hidup dalam alam pikiran suku minangkabau. Dalam system ini ibu adalah tempat menarik garis keturunan keluarga. Rumah gadang dibangun berdasarkan berapa jumlah keturunan garis perempuan. Semua kekayaan keluarga akan jatuh kepada keturunan perempuan. Berapa besar jumlah kamar rumah gadang dibuat tergantung kepada berapa jumlah anak gadis mereka. Tak ada kamar yang dibuat untuk laki-laki. Laki laki tidur di ruang tengah, jika sudah agak besar mereka akan menghabiskan waktunya di surau atau lapau atau di masdjid. Anak perempuan yang kawin akan membawa suaminya ke rumah mereka dan tidur di kamar yang sudah disediakan. Di rumah mertuanya, nasib lelaki juga sama; tak punya kekuasaan apa apa karena semua keputusan ada ditangan keluarga perempuan. Bila terjadi konflik dengan isteri atau ibu mertua, laki-laki akan pulang dengan hanya sebungkus pakaian ke rumah orangtuanya, tidak bisa membawa anak atau menuntut harta gono-gini meski si laki laki punya andil besar disitu. Kesadaran seperti inilah yang membangkitkan etos merantau di kalangan laki laki minang. Sebaik baiknya hidup adalah pergi merantau. Karena itu banyak laki laki minang, jika keluarganya tak mampu membiayai, nekad berangkat dengan modal dengkul dan hidup berpahit pahit dirantau agar nasibnya bisa berubah. Sukses tidaknya laki laki minang merantau akan menaikkan atau menurunkan harga diri laki laki itu di kampungnya. Jika sukses, biasanya diukur cukup dengan sering tidaknya dia berkirim uang ke kampungnya. Kalau sering namanya akan terkenal di kampung dan para ibu akan berlomba lomba mengambilnya menjadi menantu. Meski dia tak sukses, tapi bertahan hidup di rantau harganya tetap jauh lebih tinggi dibanding laki laki yang tidak merantau. Di minang di sebagian daerah justru kaum perempuanlah yang melamar laki laki, dan bukan laki laki melamar perempuan seperti di daerah lain. Rumah Gadang: Museum Sejarah? Karena itu tidaklah mengherankan terjadinya eksodus besar besaran kaum laki laki minang dalam tiga empat dasawarsa terahir, terutama sejak modernisasi di kota yang membuka peluang untuk bekerja terutama sebagai pedagang. Perubahan perubahan yang terjadi akibat modernisasi dalam tiga dasawarsa berdampak besar pada sistem kekerabatan matriarkat yang hidup dalam budaya minangkabau. Sewaktu pulang kampung beberapa waktu lalu saya cukup terkejut melihat fenomena yang kini sedang terjadi. Fenomena itu adalah pertama, rumah gadang sebagai simbol sistem budaya minang nampaknya akan kehilangan fungsinya sebagai rumah gadang. Jika dulu rumah kaum itu dihuni banyak keluarga keturunan ibu, kini rumah gadang tersebut banyak yang kosong. Bahkan banyak rumah gadang yang harus mencari penghuni bukan dari kaumnya, supaya ada yang merawat sebab semua kaumnya merantau. Banyak induak induak kesepian di rumahnya, karena semua anaknya pergi merantau. Memang banyak kaum yang merenovasi rumah gadangnya, dibangun yang rancak dan anggun, tapi itu dilakukan bukan untuk ditempati, melainkan hanya sebagai ornamen, sebagai simbol keluarga. Paling sekali dalam setahun, saat lebaran mereka berkumpul di rumah gadang tersebut. Dengan kata lain rumah gadang dikuatirkan menjadi museum suatu keluarga. Fenomena yang kedua, memudarnya peranan ninik mamak sebagai kepala kaum. Terutama di daerah agraris seperti solok-selatan, selain kampung terasa agak lengang, jumlah perempuan jauh lebih banyak dari laki laki. Beberapa keluarga suku atau kaum kesulitan untuk mencari ninik mamak atau pemimpin kaum yang pandai karena putera putera terbaiknya lebih banyak dirantau. Padahal ninik mamak sebagai kepala kaum lazimnya berada di kampung memimpin kaumnya. Karena tak ada pilihan lain, diangkatlah ninik mamak yang sebenarnya kurang punya wibawa di kaumnya. Dulu posisi itu diperebutkan dalam keluarga, karena ninik mamak punya posisi terhormat di masyarakatnya, tapi kini banyak yang enggan memikulnya karena tidak lagi prestisus. Hal ini diperpercepat oleh terjadinya pergeseran tentang apa yang disebut Keluarga. Orang minang bangga menyebut keluarga mereka sebagai keluarga besar. Dalam konsep ini, jika ada seseorang anak- kemenakan, meskipun jauh hubungannya, hidup terlantar maka keluarga besar bertanggung-jawab mendidik dan membesarkannya. Kalau tidak nama keluarga itu akan cacad di masyarakatnya. Karena itu jika ada yang sukses dalam keluarga itu, maka sukses itu juga akan dinikmati oleh semuanya. Jika dia seorang paman dia selain bertanggung-jawab kepada anak isterinya juga membantu menyekolahkan keponakannya. Tapi sekarang konsep itu telah bergeser. Makna dan fungsi keluarga besar mulai rapuh, akibat pengaruh budaya modern. Muncullah apa yang disebut dalam budaya modern yaitu keluarga inti. Keluarga kini terdiri dari orangtua dan anak kandungnya saja, sebagaimana lazimnya masyarakat modern. Kalau ada saudara diluar keluarga inti hidup susah, maka itu akan dilihat sebagai konsekwensi hidup yang harus ditanggung sendiri oleh yang bersangkutan, meski itu adik atau kakak kandungnya. Budaya hidup barat yang menekankan tanggung-jawab pribadi, mulai terasa'dampaknya terutama di rantau. Jika seorang padusi minang tinggal dirantau bersama suaminya yang bukan Orang minanag, tentu ia tak dapat memberi izin pada saudaranya menumpang di rumahnya, tanpa izin suaminya. Fenomena ini saya kira akan berdampak pada terancamnya fungsi dan peran rumah gadang sebagai simbol sistem kekerabatan minangkabau yang dibanggakan itu. Dunia sedang berubah dan suku Minang harus siap menghadapi perubahan. (***) Oleh : Elza Peldi Taher, Direktur Lembaga Kajian Masyarakat Indonesia, Putra Muaralabuh-Solok Selatan --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---