Assalammu alaikum warahmatulLahhi wabarokatuh,

Pengunjung Pelanta RN dan dun sanak yang di muliakan.

Di antara ramai historical figure Indonesia peribadi dan ketokohan Pak Muhammad 
Natsir sudah lebeh dari patut di jadikan sebagai insan mithali/role model bagi 
generasi muda Indonesia. 

Generasi muda (termasuk yang muda, muda remaja/teenager dan pemuda/i atau 
kaum  belia) memerlukan contoh nyata untuk di lihat, dirujuk dan di 
gunakan sebagai manusia contoh dalam pertumbuhan pemikiran muda/i remaja 
Indonesia. 

Activism dan
 intellectualism Dr.
 Muhammad Natsir cukup
 berimbang. Keimbangan fikrah
 berpolitik Pak Muhammad Natsir nampak nyata. Bang Yusril Ihza Mahendra 
memaparkan sejarah Pak Natsir bertajuk Combining Activism and Intellectualism: 
The Biography of Muhammad Natsir (1908-1993) dan boleh di akses di website 
beliau di http://yusril.ihzamahendra.com/

Artikel bertajuk Masyarakat Tamaddun Menurut Muhammad Natsir membantu pemahaman 
saya tentang sumbangan Pak Natsir di Ranah.  Artikel ini boleh di baca di 
website blogging kepunyaan  Buya Masoeddin Abidin di  
http://masoedabidin.blogspot.com/ 

Di bawah ini saya kembarkan satu makalah tentang pemikiran Muhammad Natsir 
tentang Agama dan Negara. Makalah ini boleh di lihat semula di website ABIM di 
http://www.abim.org.my/minda_madani/content/view/37/8/

Fikrah Pak Muhammad Natsir bertunjang deeply rooted in the Islamic intellectual 
tradition.


Selamat membaca.



Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama dan Negara

   

Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari
negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian
integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai
falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis.
Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam
(yang artinya), "Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk
mengabdi kepada-Ku." (51: 56). Bertitik tolak dari dasar idiologi
Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini
hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat
kelak. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).



Untuk mencapai predikat "hamba Allah" tersebut, Allah memberikan
aturan kepada manusia. "Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan
Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama
manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan
sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama
makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat,
dan hak serta kewajipan masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak
lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan
kenegaraan." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).
 

Menurut Natsir, ketidakfahaman terhadap negara Islam, negara
yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan
memahami gambaran pemerintahan Islam. "Kalau kita terangkan, bahwa agama
dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody
fool) duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh "haremnya" menonton
tari "dayang-dayang". Terbayang olehnya yang duduk mengepalai
"kementerian kerajaan", beberapa orang tua bangka memegang hoga.
Sebab memang beginilah gambaran 'pemerintahan Islam' yang digambarkan dalam
kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat
selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah =
Harem; Islam = poligami." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438). 

   

Natsir berkata bahwa bila ingin memahami agama dan negara
dalam Islam secara jernih, hendaknya kita mampu menghapuskan gambaran keliru
tentang negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran
"negara Islam" seperti inilah yang terdapat dalam pandangan Soekarno
maupun Kemal. 



Turki pada masa pemerintahan para sultan dan kekhalifahan Usmaniyah terakhir
bukanlah negara atau pemerintahan Islam, sebab para pemimpinnya menindas dan
membiarkan rakyatnya bodoh dengan memakai Islam dan segala bentuk
ibadah-ibadahnya sebagai tameng belaka. 



Jadi, Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana diduga
Soekarno maupun Kemal.Dengan logika seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap
mendukung Soekarno terhadap gagasan pemisahan agama dari negara tidak tepat.
Kata Natsir lebih lanjut, "Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang
zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah
yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan
negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat
diperbaiki dengan "memisahkan agama" daripadanya seperti dikatakan
Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam
itu." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440). 



Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam melainkan hanya alat
merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Alquran dan sunah. Semua
aturan-aturan Islam itu, Natsir menyebutkan di antaranya kewajiban belajar,
kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan, dan lain-lain, tidak ada artinya
manakala tidak ada negara. Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai
tujuan "kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan
dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota
masyarakat." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 442). 



Menanggapi pernyataan Soekarno yang menyatakan tidak ada ijma ulama yang
memerintahkan membentuk negara, Natsir secara tersirat menilai Soekarno tidak
objektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab, di satu pihak ia menganjurkan
agar umat Islam membuang "warisan tradisional" gedachte traditie. 



Tetapi, di lain pihak ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional,
bahwa tidak ada ijma tentang persatuan agama dengan negara. Natsir kemudian
menyatakan, "Bagaimanakah, kalau andaikata, kita beri keterangan bahwa
sesungguhnya ada ijma ulama yang berkata begitu? Apakah Ir. Soekarno akan
menerima keputusan ijma ulama itu, ataukah tidak? Atau nanti beliau akan 
berkataL
'Ya, itu cuma satu ijma ulama, satu gedachte traditie', dan bukanlah saya sudah
bilang bahwa semua 'gedachte traditie' itu harus dilempar jauh-jauh."
(Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 434). 



Natsir menganggap ijma ulama itu hanyalah pengertian "karet", satu
rekbaar begrip yang tak tentu ujung pangkalnya. Artinya, konsep itu dapat
digunakan untuk membenarkan gagasan pemisahan maupun persatuan agama dengan
negara. Dengan demikian, menurut Natsir, pengutipan konsep ijma ulama tentang
masalah ini oleh Soekarno, hanya mempersulit persoalan. Ada atau tidak ada 
Islam, menurut Natsir,
eksistensi negara merupakan suatu keharusan di dunia ini, di zaman apa pun.
"Memang negara tidak perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan
atau tidak dengan Islam, negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri
sebelum dan sesudah Islam, di mana saja ada segolongan manusia yang hidup
bersama-sama dalam satu masyarakat. 



Di zaman onta, sebagaimana yang munasabah dengan masa itu dan negara di zaman
kapal terbang, sebagaimana yang munasabah dengan zaman kapal terbang pula.
Tentang ada negara yang teratur, dan ada yang kurang teratur, adalah soal
biasa. Tapi bagaimanapun juga, kedua-duanya adalah negara. Dengan atau tidak
dengan Islam! (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 442--443).

   

Dengan pernyataan ini, Natsir bermaksud membantah dan
mempertanyakan pandangan Ali Abdur Raziq. Ia ragu bila ulama Al-Azhar itu
berpendapat bahwa Nabi hanyalah mendakwahkan agama dan tidak menyuruh
mendirikan negara, tetapi sekalipun demikian, hal itu bukan sesuatu yang
mengherankan. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 443, 481--488). 



Kemudian, menyinggung soal nama penguasa negara Islam, Natsir tidak bersikeras
menamakannya "Chalifah": "Titel Chalifah bukan menjadi syarat
mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine quo non. Cuma saja yang
menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan
peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan
baik dalam kaedah maupun dalam praktik." (Muhammad Natsir, Capita Selekta,
hlm. 443). 



Yang menjadi syarat untuk menjadi kepala negara Islam adalah, "Agamanya,
sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang
diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata
inteleknya saja." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 448). 



Terhadap penguasa negara terpilih, umat mempunyai kewajiban mengikutinya selama
ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan
koreksi atau mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini, Islam menekankan
kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang
dikuasai. Prinsip musyawarah dalam Islam, menurut Natsir, nampaknya tidak
selalu identik dengan asas demokrasi. 



Hal ini terlihat saat Natsir menanggapi pernyataan Soekarno yang menghendaki
agar demokrasi dijadikan alternatif bila timbul persoalan tentang berpisahnya
agama dan negara. Natsir mengemukakan bahwa Islam anti-istibdad (despotisme),
anti-absolutisme dan kesewenang-wenangan. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa
dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan
musyawarah Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh
dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam),
tetapi bukan dasar pemerintahannya. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm.
452). 



Natsir mengakui demokrasi itu baik, tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah
mengandalkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, sebab demokrasi tidak
kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa
perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya
yang baik. Akan tetapi, demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai
sifat-sifat berbahaya. 



Dengan tegas pula Natsir mengemukakan bahwa Islam adalah suatu pengertian,
suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula.
Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu ... yah
Islam. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453).

   

Berbeda dengan Soekarno yang menganggap Turki demokratis
pada masa pemerintahan Kemal, Natsir justru berpendapat Turki masa Kemal
sebagai diktator. Pada masa pemerintahan Kemal, kata Natsir, tidak ada
kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan kebebasan membentuk partai oposisi.
Juga, Islam hanya ditoleransi untuk berkembang sejauh menyangkut aspek-aspek
tertentu saja, Islam Im Schutzscahft. Tidak ada kemerdekaan bagi Islam di tanah
Turki merdeka ...." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 456--470). 



Menolak pandangan Soekarno bahwa caesaro-papisme identik dengan pemerintahan
Islam kekhalifahan Usmaniyah terakhir, Natsir dengan tegas menyatakan bahwa
lembaga caesaro-papisme bukan sistem kenegaraan Islam. Teori kenegaraan ini
hanya terdapat di negara yang menganut asas pemisahan agama dari negara.
"Islam tidak kenal kepada 'Kepala Agama' seperti Paus atau Patriarch.
Islam hanya mengenal satu 'Kepala Agama', ialah Muhammad Rasulullah saw. Beliau
sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. 'Kepala Agama'
yang bernama Muhammad ini telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam,
yang harus dijalankan oleh kaum muslimin, dan harus dipelihara dan dijaga
supaya dijalankan 'kepala-kepala keduniaan' (bergelar raja, chalifah, presiden,
atau lain-lain) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin.
Sahabat-sahabat Nabi yang pernah memegang kekuasaan negara sesudah Rasulullah
saw. seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi 'Kepala
Agama'. Mereka itu hanyalah 'kepala keduniaan' yang menjadikan pemerintahannya
menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh 'Kepala Agama', yaitu oleh Muhammad
Rasulullah yang penghabisan itu, lain tidak!" (Muhammad Natsir, Capita
Selekta, hlm. 470).

   

Dalam artikel penutupnya, Natsir kembali menyangkal
pandangan Soekarno yang menyandarkan kebenaran tindakan Kemal pada sejarah.
Natsir berpendapat bahwa Kemal sebenarnya telah tersesat, sebab: "...
tidak reel tidak berurat berakar dalam kultur rakyat Turki, malah dalam
beberapa hal dia mencabut jiwa Turki dari tradisi dan kulturnya (lihat Chalide
Edib Hanoum: Turkey Faces West). Ini sudah dibuktikan dalam masa yang
akhir-akhir ini, lantaran sesudahnya Kemal meninggal, maka berangsur-angsur
kebudayaan Turki lama merebut tempatnya kembali, baik tentang agama ataupun
hal-hal di luar agama." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 489). 



Kemudian, Natsir mengimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah persatuan
dan pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan "sejarah menjadi
ukuran" kebenaran terakhir. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 489).

   

 

 

Membaca gagasan-gagasan Soekarno dan Muhammad Natsir di atas
memberikan kesan adanya pertentangan gagasan tajam di antara kedua tokoh
tersebut. Soekarno, berdasarkan analisis perkembangan sejarah, berkesimpulan
bahwa agama dan negara tidak dapat disatukan. Keduanya harus dipisahkan.
Sementara, Natsir menilai bahwa agama dan negara dapat dan harus disatukan,
sebab Islam tidak seperti agama-agama lainnya, merupakan agama yang serba
mencakup (komprehensif). Persoalan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian 
dari
dan diatur Islam. 



Sumber: Diadaptasi dari Fenomena Demokrasi: Studi Analisis Perpolitikan
Dunia Islam, terjemahan dari Mu'assasah al-Mu'taman, Abdul Ghany bin Muhammad
ar-Rahhal

-- On Tue, 6/3/08, Arnoldison
 <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From:
 Arnoldison <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [EMAIL PROTECTED] Muhammad Natsir Ditulis
To: RantauNet@googlegroups.com
Cc: [EMAIL PROTECTED]
Date: Tuesday, June 3, 2008, 6:35 AM

Muhammad Natsir Ditulis
29 Februari 2008

-------~----~----~----~------~----~------~--~---


      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke