Pada  abad  ke  14  (1340-1375)  Kota  Padang,  merupakan perkampungan
nelayan  yang  dikenal  dengan sebutan  Kampung Batung , dengan sistem
pemerintahan  Nagari  yang  diperintah  oleh   Penghulu Delapan Suku .
Kemudian  pada  abad  ke  17  (1667),  VOC  (Vereenigde  Oost-indische
Compagnie)  masuk  ke  kota Padang melalui jalur laut dari tanah Jawa.
VOC  ingin  memperluas  usahanya  di  kota  itu. Penghulu terkemuka di
Kampung  Batung  "Orang  Kayo Kaciak" memberikan izin kepada VOC untuk
mendirikan  Loji  untuk  pertama  kalinya. Muara sungai  Batang Arau ,
sebelumnya   sudah  merupakan  daerah  pelabuhan,  kemudian  oleh  VOC
dijadikan  pelabuhan  bagi kapal-kapal dagang mereka yang akan merapat
di  kampung  itu.  Pembangunan  pelabuhan  ini,  merupakan  titik awal
pertumbuhan  kota  Padang.  Kota  Padang tidak hanya berfungsi sebagai
kota  pelabuhan  tapi  juga  kota  perdagangan.  Banyak pendatang yang
menetap   di   kota  ini.  Pelabuhan  tersebut  terkenal  dengan  nama
 Pelabuhan Muaro  hingga saat kini.


Dalam  perluasan  usahanya,  VOC  tidak  hanya mendapat kemudahan dari
penghulu   dikota   itu,   sebaliknya  VOC  mendapat  perlawanan  dari
masyarakat yang mengerahkan kekuatannya dipinggiran kota Padang, yaitu
di  Pauh  dan Koto Tangah. Mereka tidak suka dengan kehadiran VOC yang
mengganggu   tatanan  kerja  berdasarkan  falsafah  ke  Minangkabauan.
Ditinjau  dari  sosio  ekonomi  corak produksi dan formasi sosial yang
terbentuk di masyarakat ketika itu, produksi hasil alam dicangkok oleh
para  kolonial  Belanda  sebagai bentuk penjarahan terselubung. Ketika
Belanda  datang masyarakat kebingungan hasil alamnya nya diambil semua
dan  masyarakat  hanya  mendapat  bayaran  atas  keringat dan kerjanya
dengan upah(uang).

Pada  tahun  7  Agustus  1669, terjadi pergolakan oleh masyarakat yang
berpusat  di  Pauh  dan  Koto  Tangah  melawan  VOC.  Mereka  berhasil
menguasai  Loji-Loji  VOC  yang  terletak di Muaro, Padang. Kemenangan
masyarakat  menguasai loji-loji VOC tersebut, diabadikan sebagai tahun
lahir kota Padang.

Menghadapi  kenyataan  ini,  pada  tanggal  31  Desember 1799. seluruh
kekuasaan  VOC  diambil  alih  pemerintah  Belanda. Pemerintah Belanda
membentuk   pemerintahan  kolonial  Hindia  Belanda  dan  kota  Padang
dijadikan   sebagai   pusat  pemerintahan.  Wilayah  kota  Padang  dan
sekitarnya  diberi  status   kresidenan  atau kewedanan yang dikepalai
oleh   seorang   regent   atau   seorang   Demang.  Untuk  memperkokoh
kekuasaannya,  maka Pemerintah kolonial menempatkan tokoh dan penghulu
dikota  itu  sebagai  bagian  pejabat  pemerintah kolonial itu. Mereka
diberi  atribut, kedudukan dan status sosial tertentu, serta dihormati
sebagai  aristokrat.  Mereka  mendapat  hak-hak  previlledged (hak-hak
keistimewaan)  bergelar  ningrat,  menguasai  lahan-lahan  yang kosong
untuk  dijadikan  sumber  penghasilan, memperoleh pendidikan yang baik
yang difasilitasi oleh pemerintah kolonial tersebut.

Seperti  halnya  di  wilayah  Sumatera lainnya, Jawa dan Sulawesi, VOC
memilih  untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi
mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu
hanya  berada  di  pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi
para  pegawai  dan  keluarganya  (sumber  :  Wikipedia, Filsafat Kerja
Masyarakat Minangkabau).

Pada tanggal 1 Maret 1906, Lahir ordonansi yang menetapkan Kota Padang
sebagai  daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906.
Cremente  atau  Gemeente  adalah  pembagian administratif pemerintahan
kota,  menurut  ilmu  hukum  tata negara Belanda. Gemeente disetarakan
dengan  "kotamadya".  Selain  digunakan di Belanda, penggunaan istilah
ini  juga (pernah) digunakan di bekas wilayah Belanda lainnya, seperti
daerah lain di Indonesia, Belgia, dan Suriname. (sumber : sejarah Kota
Padang)

Sebagai   pemerintahan   kota  yang  berstatus  kotamadya.  Pemerintah
kolonial memberlakukan pungutan-pungutan yang menjadi pendapatan kota.
Pemerintah  kolonial  membangun  kota  Padang  yang berpusat di daerah
Muaro,  yang  hingga  saat  ini  masih  terlihat  sisa-sisanya suasana
perkembangan kota Padang pada masa itu.

Secara   sosiologis   perkembangan   sejarah   masyarakat  Minangkabau
khususnya di kota Padang, terjadi sesuatu hal yang unik, dimana banyak
asumsi yang menjelaskan bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat
pendatang.  Tidak ada suatu kelompok pendatang atau penduduk asli yang
dominan  terhadap  yang  lainnya. Layaknya tanah merdeka dan ditempati
bersama-sama  oleh  para  pendatang, maka konsep kepemilikan kaum atau
adat di kota ini bersifat komunal.

Situasi  kehidupan  masyarakat dikota Padang dimasa masuknya kekuasaan
pemerintah kolonial, akan tampak pada keadaan dimana, masyarakat hukum
adat  yang  terbiasa  tanpa  dibatasi  yang  strata  sosial  tertentu,
menciptakan formasi sosial yang baru. Keberadaan pemerintahan kolonial
merupakan   sejarah  pertama  yang  kemudian  membentuk  karakteristik
masyarakat  itu. Terciptanya formasi sosial yang baru, kemudian saling
mempunyai   relasi   sosial  dalam  pembentukan  strata  sosial  dalam
masyarakat tersebut.

Ada  dua  tipologi  strata  masyarakat  yang  tercipta di kota Padang,
yaitu;  pertama, adalah hubungan kerja yang koorporatif, dimana antara
tiap-tiap  subjek tidak ada yang saling berposisi sub-ordinasi. Kedua,
adalah  hubungan  yang  menciptakan karakteristik sub-ordinasi pemilik
(the have) terhadap subjek yang menjadi pekerja (the labour). Kelompok
ini  menjadi  dominan  ketika,  pendidikan  diukur dan diarahkan untuk
melahirkan  kelas  elit  masyarakat  yang  dapat  dimanfaatkan sebagai
pendukung  supremasi  politik  dan  ekonomi  pemerintah kolonial. Jadi
secara  tidak  langsung,  Belanda  telah memanfaatkan kelas aristokrat
pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia
pada umumnya dan dikota Padang umumnya..

Menurut   Taufik   Abdullah  ;  Salah  satu  yang  selalu  menarik  di
Minangkabau  ini  ialah  selalu  adanya  usaha  untuk memberikan makna
terhadap kenyataan yang mengitari diri berdasarkan paradigma adat yang
dianggap masih tetap berlaku.

Terimbas  dengan  kondisi  kehidupan yang dicetuskan oleh pemerintahan
Kolonial  itu, kehidupan elite masyarakat di kota ketika itu, berusaha
mencari posisi yang terbaik dalam kehidupan masyarakat. Pada masa ini,
pendidikan   bagi   pribumi   kembali  dirasa  penting  guna  menopang
operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda.

Sejak  tahun  1848,  dengan  keluarnya  Keputusan Raja, diinstruksikan
untuk  mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f.
25.000  setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
mendidik   para   calon  pegawai  negeri.  Sejak  itulah  berdiri  dan
berkembang  sekolah-sekolah  dari  tingkat  dasar  dan lanjutan hingga
tinggi  yang  memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut
menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan,
pemerintah  Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada
tahun  1867.  Perkembangan  ini  kemudian  sempat mengalami kemunduran
karena  krisis  ekonomi  dunia  (malaise) yang berlangsung hampir satu
dekade (1883-1892).


Masyarakat  Minangkabau  pada  umumnya  serta  kota  Padang khususnya,
ditinjau  dalam tinjauan historis feodal-nya, tidaklah merupakan suatu
hal  yang  lahir  dari proses pergeseran pola produksi dari masyarakat
perbudakan,  menuju  kepemilikan tuan-tuan tanah. Feodalisme atau masa
kerajaan di Minangkabau lebih bersifat politis, karena ada penundukkan
daerah atau kawasan oleh Majapahit terhadap wilayah Minangkabau. Dalam
prosesi  inipun  Minangkabau  tidak  ditundukkan dengan per-perang-an,
namun  dengan  negosiasi  politik  yang  melahirkan kekuasaan kerajaan
Pagaruyung.  dan  tidak  bersifat hegemonik. Karena secara kepemilikan
atau sistem kultural masih tetap memakai pola komunal untuk harta kaum
dan  matrilinial  dalam  harta  pusaka.  Sementara itu di kota Padang,
pembentukan  kelompok  aristokrat  oleh  pemerintah  kolonial,  dimana
keberpihakan  kaum  Adat pada pemerintahan VOC, juga bersifat politis.
Yang  kemudian  di  Kota Padang pada masa itu, menimbulkan kontradiksi
yang  memaksa  masyarakat  Minang  untuk  melakukan perlawanan (contoh
perlawanan masyarakat Pauh dan Kota Tangah).

Dalam perspektif geopolitis, kerajaan merupakan sentrum kekuasaan yang
akan  menjadi  titik utama dari pemerintahan, ekonomi, serta interaksi
masyarakat.  Di  Minang  kabau  tidak  terbukti,  dengan demografisnya
kerajaan  Pagaruyung yang jauh terpencil di Batusangkar, kalah populer
dengan  kota-kota  pesisir  seperti  Padang atau Pariaman serta daerah
Luhak  yang jauh di dalam yaitu Bukittinggi. Mengapa demikian?, karena
masyarakat  Minangkabau, tidak melewati fase feodal meloncat pada fase
markantilis atau kapitalisme primitif.

Perlu  dicatat pula pada masa Hindia Belanda itu, bahwa untuk golongan
pribumi  (bumiputera),  secara sosial terstratifikasi sebagai berikut:
(1)  Golongan  bangsawan  (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin
agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.

Secara  umum,  sistem  pendidikan  di  Indonesia  pada masa penjajahan
Belanda  sejak  diterapkannya  Politik  Etis dapat digambarkan sebagai
berikut:  (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar
Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah
(IS,  VS,  VgS),  dan  sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang
meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3)
Pendidikan tinggi.

Di  Kota  Padang,  pada  masa Hindia Belanda itu terdapat dua tipologi
strata  masyarakat,  sebagaimana  yang  telah  diuraikan diatas. Dalam
suasana  kehidupan  masyarakat  seperti inilah kisah   Kasih Baru akan
dimulai     terjadi.  Pengaruhnya  cukup kuat, begitu terjadi benturan
kepentingan  antara  kelompok  masyarakat  yang berpola hubungan kerja
yang koorporatif, dimana antara tiap-tiap subjek tidak ada yang saling
berposisi sub-ordinasi, dengan kelompok yang menciptakan karakteristik
sub-ordinasi  pemilik  (the have) terhadap subjek yang menjadi pekerja
(the  labour).  Keadaan  ini menjadi dominan ketika, manakala martabat
dan  harga  diri menjadi ego manusia ketika diterapkan dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan.

Sumber :
1. Sejarah Kota Padang,
2. Firlsafat kerja Masayarakat Minangkabau
3. Pendidikan di Zaman Belanda
4. Sejarah Indonesia 1930  1940

Puspiptek,Tangerang, 25 September 2007.
Hifni H. Nizhamul




--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke