Ada saatnya kepentingan dan ideologi sektoral berhenti ketika kepentingan 
nasional yang lebih besar harus dimulai.

Dalam mosi integralnya di depan parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), 
Mohammad Natsir berkata, "Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah 
dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa pemerintah 
terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang. Dengan begitu mungkin timbul 
satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional 
yang baharu, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan 
gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan 
untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi suasana nasional 
dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, 
federalisme, dan proporsionalisme".

Dalam "Mosi Integral Natsir" ini, jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI 
ditempuh dengan mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme 
atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir 
menyerukan agar tak memaksa negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat 
kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya 
adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik.

Kepentingan bangsa

Dalam menggagas mosi ini, Natsir sebagai pemimpin partai terbesar, Masjumi, 
terlebih dulu melakukan penjajakan. Di Negara Pasundan, ia menemui Sekarmadji 
Kartosuwirjo agar tidak memproklamasikan Darul Islam. Di parlemen ia berunding 
dengan IJ Kasimo dari Partai Katolik, AM Tambunan dari Partai Kristen, dan Mr 
Hardi dari PNI.

Hal ini membuktikan manusia selalu lebih kaya daripada suatu kategori. Ketika 
suatu kategori dipaksakan untuk merepresentasikan seseorang, selalu ada luberan 
yang tak tertampung oleh kategori itu. Terlebih jika seseorang itu manusia 
besar, yang selalu lebih besar dari diri sendiri. Seorang Natsir, yang 
dikategorikan sebagai figur "Islamis", yang secara stereotip dihadapkan dengan 
"nasionalis", dalam momen-momen kritis yang mengancam kelangsungan bangsa, 
lebih mengedepankan kepentingan nasional ketimbang kepentingan dan ideologi 
partainya.

Pengalaman traumatik pencoretan Piagam Jakarta segera dilupakan ketika 
panggilan revolusi harus diutamakan. Natsir berkata, "Di Yogyakarta selama 
revolusi kemerdekaan, saya adalah salah satu di antara menteri yang memiliki 
hubungan paling dekat dengan Soekarno.... Polemik-polemik yang tajam di antara 
kami pada tahun 1930-an mengenai dasar negara Indonesia merdeka telah 
terlupakan".

Ditunjuk menjadi perdana menteri pada September 1950, sebagai bentuk 
penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tak sungkan membentuk kabinet 
koalisi, melibatkan unsur-unsur non-Muslim dan nasionalisâ€"Partai Katolik, 
Partai Kristen Indonesia, PSI, dan PIR.

Selama lima tahun (1950-1955) dominasi Muslim dalam kepemimpinan politik 
nasional, partai-partai Islam menjunjung tinggi prinsip demokrasi sambil 
menidurkan obsesinya terhadap politik identitas.

Sebagai perdana menteri, Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia 
percaya konsep negara Islam merupakan suatu yang ideal, yang tidak bisa diraih 
melalui kekerasan. Saat yang sama, dia menegaskan, kaum Muslim harus 
memperjuangkan tata politik yang demokratis. "Sejauh terkait (pilihan) kaum 
Muslim, demokrasilah yang diutamakan karena Islam hanya bisa berkembang dalam 
sistem yang demokratis".

Ketika Masjumi berkuasa, Natsir tak ragu mengakui Pancasila sebagai dasar 
negara Indonesia. Dalam pidato di Pakistan Institute of World Affairs, 1952, ia 
membela Pancasila yang dinilai selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan 
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama, lima sila itu dipandang menjadi 
dasar etika, moral, dan
spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid.

Hal serupa ia utarakan pada peringatan Nuzulul Quran, 1954: "Rumusan Pancasila 
merupakan hasil pertimbangan yang mendalam di kalangan pemimpin nasional selama 
puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Saya percaya dalam momen 
yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasional yang sebagian besar 
beragama Islam tidak akan menyetujui setiap rumusan yang dalam pandangan mereka 
bertentangan dengan prinsip dan doktrin Islam".

Klaim-klaim keislaman atas politik Indonesia dihidupkan kembali oleh partai 
Islam selama dan setelah kampanye Pemilu 1955. Dalam menghadapi persaingan 
politik yang sengit, terutama dengan kebangkitan kembali komunisme, politik 
identitas diaktifkan kembali dalam rangka memobilisasi dukungan.

Meski persidangan Konstituante berhasil menyepakati semua pasal yang bersifat 
substantif, ia gagal mencapai kompromi menyangkut dasar negara. Terhadap semua 
pasal yang telah disepakati itu, "Kubu Islam" ingin menutupnya dengan 
mencantumkan Islam sebagai dasar negara. Sedangkan "Kubu Pancasila" ingin 
menutupnya dengan dasar Pancasila.

Prawoto Mangkusasmito menyebut kedua kubu itu sebagai "kubu Pancasila" versus 
"kubu non/anti-Pancasila" sebenarnya tidak tepat. Menurut dia, kubu Islam pun 
sebenarnya setuju dengan seluruh sila Pancasila. Masalahnya cuma ingin 
mempertahankan "tujuh kata" Piagam Jakarta setelah frase "Ketuhanan yang Maha 
Esa". Bagi kubu Islam, hal ini penting untuk memberi tanda bahwa Islam yang 
sepanjang masa kolonial terus dimarjinalkan mendapat tempat yang layak dalam 
Indonesia merdeka. Hal ini menjadi lebih penting dihadapkan ancaman PKI yang 
bermaksud mengubah sila pertama menjadi sila kebebasan beragama/tidak beragama.

Alhasil, tuntutan terhadap negara Islam, termasuk Piagam Jakarta, bukan sesuatu 
yang esensial yang tak bisa dipengaruhi perubahan "cuaca", tetapi ditentukan 
oleh struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang ada. 
Terbukti, antara tahun 1950 hingga awal 1955 "saat politik Islam berkuasa" 
tuntutan ke arah itu mereda.
Sebaliknya, ketika politik Islam goyah selepas Pemilu 1955, isu negara Islam 
dan Piagam Jakarta kembali hidup.

Kini, saat struktur kesempatan politik memberi keluasan bagi pengembangan 
Islam, bahkan partai-partai nasionalis pun mengakomodasi aktivis dan sayap 
Islam, obsesi terhadap politik identitas sebenarnya bersifat anakronistik. 
Ketika kehidupan nasional dilanda krisis berkepanjangan, saatnya aktivis Islam 
meniru keteladanan Natsir: mencurahkan perhatian pada hal-hal substantif demi 
kepentingan nasional yang lebih luas ketimbang kepentingan golongan dan 
perseorangan.

Dalam peringatan 100 tahun Natsir, semoga kebesaran jiwanya menyirami jiwa para 
pemimpin yang kerdil.

Oleh Yudi Latif
 <http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/16/00301099/sisi.nasionalis.natsir> 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/16/00301099/sisi.nasionalis.natsir

Yudi Latif Dewan Ahli Nurcholish Madjid Society; Direktur Eksekutif Reform 
Institute
 
 

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke