Dinda IJP (ambo panggia 'Dinda', karano ambo 'anak' kaduo tatuo SMA 2 Pariaman) Ambo kutip kato2 Adinda: "Developmentalisme demokratis adalah rezim yang tidak menggadaikan diri kepada korporasi internasional atau trans-nasional yang hanya mengejar kenaikan grafik atas nilai investasi." Rasonyo iyo agak sulik mancari negara di duya ko kini nan indak kanai imbas korporasi internasional ko (abaiak ateh namo swasta ataupun negara). Timor Leste sajo nan umuanyo baru sataun jaguang lah sajak lamo dicukia2 sumua minyaknyo dek urang putiah nan tinggal di 'Terra Incognita' tu. Chavez di Venezuela indak manarimo perusahaan Minyak Amerika, tapi kapatang nyo di Moscow bapalun2 jo Putin untuak manandotangani kerjasama ekplorasi minyak dan pembelian senjata jo Rusia. Bungkuih e sajo nan babeda, isinyo samo sajo. Bedanyo cuma: ado nan punyo bargaining position nan kuaik, dek ado nan diandalkan, umpamokanlah industri pertanian nan lah rancak, industri pariwisata nan lah tertata, dlsb. Kalau kito, BANGSA GILO PAMAKAI dan PEMBOROS ko (iko bukan mamburuak2an bangso kito, dek ambo lah cukuik jauah juo bajalan, lah banyak juo nan diliek) apo nan bisa kito arokkan? Apokoh kito punyo semacam 'modal' dasar sekedar untuk meng-counter serbuan korporasi2 asiang tu? Mereka tau kelemahan kito: BOROS dan GILO PAMAKAI. Mancaliak contoh ka nan sudah. Kito indak bisa manuduah rezim sajo. REZIM YANG MEMERINTAH SEBUAH NEGARA ADALAH REPRESENTASI MASYARAKATNYA. Labiah dari sekedar itu, manuruik ambo nan daif, rezim "Developmentalisme demokratis"--maminjam istilah Dinda--hanyo mungkin dibantuak apobilo ideologi kapilatisme global ko bisa dipatah'an pucuaknyo. Kalau indak, iyo agak pesimis ambo. Tapi tumbuah pertanyaan: apokoh ado ideologi global alterantif kini? Sajak ideologi komunisme taban, ideologi kapitalsime ko makin manjadi2 parangainyo. Yo...dek lawan nan saimbang indak ado lai. Iko sekedar pandapek ambo nan daif. Labiah elok batanyo awak ka urang pandai di lapau ko. Salam, Suryadi
----- Pesan Asli ---- Dari: Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> Kepada: RantauNet@googlegroups.com Terkirim: Jumat, 25 Juli, 2008 04:59:37 Topik: [EMAIL PROTECTED] Rezim Developmentalisme Demokratis Rezim Developmentalisme Demokratis PadangEkspres, Jumat, 25 Juli 2008 Oleh :Indra J Piliang, The Indonesian Institute, CSIS dan Alumnus SMA 2 Pariaman Pertanyaan terpenting selama 10 tahun terakhir ini adalah apakah demokrasi di Indonesia sudah tumbuh subur? Banyak yang menjawab sudah dengan begitu banyaknya partai politik nasional, ditambah dengan parpol lokal di Aceh. Calon perseorangan juga sudah maju dalam pilkada. Kalangan intelektual bisa maju ke dunia politik, sebagaimana dicoba oleh almarhum Nurcholish Madjid dalam pemilu 2004. Sementara, kalangan politikus juga berhasil menjadi akademisi, seperti yang diraih oleh Akbar Tandjung. Demokrasi menempatkan Indonesia sebagai barometer baru dalam mengendalikan sebuah negara yang dihuni oleh beragam jenis suku, agama, keyakinan, aliran politik, sampai bentuk-bentuk pemikiran di bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya. Indonesia adalah negara yang memang membayar cukup mahal bagi kehadiran demokrasi, seperti sejumlah konflik vertikal dan horizontal sejak 1998. Dalam kondisi tertatih itu, Indonesia mampu menyatukan salah satu pihak yang paling trengginas dalam sejarah perlawanan, Gerakan Aceh Merdeka, sekalipun juga atas nama referendum merelakan Timor Timur menjadi negara Timor Leste. Tetapi, apa yang kurang dalam sepuluh tahun ini? Kesejahteraan. Satu kata itu memang semakin sulit diraih. Demokrasi hanya menyenangkan batin dan pikiran, sementara kebutuhan material menjadi semakin sulit diraih. Kesejahteraan seakan menjauh, ketika demokrasi berdiri gagah dan perkasa. Anak-anak muda kini dengan muka tegak mengiklankan diri untuk membawa harapan baru bagi generasi baru. Mengapa kesejahteraan gagal diraih? Persoalannya adalah ketika demokrasi sedang mengharu biru, pertumbuhan ekonomi sedang sulit. Banyak pemerintahan yang berubah menjadi anti-demokrasi ketika masyarakat kesulitan pangan, sebagaimana terjadi di negara-negara Afrika atau Asia Tengah. Ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah menyebabkan rakyat lebih mudah ditundukkan. Kita bersyukur, Indonesia tidak mengalami itu. Demokrasi mampu meniti buih pada saat rakyat antri mendapatkan minyak tanah. Tentara tidak lagi berhadapan dengan kaum demonstran. Polisi juga semakin kewalahan karena disoroti lampu kamera ketika mengeluarkan senjata atau pentungan menghalau demonstran. Saya sungguh tidak bisa membayangkan apabila demokrasi menjadi hilang, ketika krisis ekonomi melanda. Bisa-bisa negara oleh dikuasai para bandit yang menggunakan seragam resmi. Karena kesejahteraan sedang jauh, maka upaya yang paling realistis adalah bagaimana mengawinkan antara demokrasi dengan kesejahteraan. Rezim developmentalisme adalah satu pilihan yang tersedia. Namun, developmentalisme yang berbeda dengan era sebelumnya yang atas nama developmentalisme melakukan represi atas warga negara dan membelenggu kebebasan. Banyak kaum aktivis dan pemikir yang lahir, ketika rezim developmentalisme represif ini begitu kuat. Developmentalisme demokratis ini adalah rezim yang membangun jembatan ketika musyawarah di kalangan rakyat menghendaki jembatan. Developmentalisme demokratis adalah rezim yang tidak menggadaikan diri kepada korporasi internasional atau trans-nasional yang hanya mengejar kenaikan grafik atas nilai investasi. Developmentalisme demokratis adalah rezim yang bernegosiasi dalam waktu lama dan panjang guna kebutuhan-kebutuhan rakyat, ketimbang hanya tampil baik dan santun demi kepentingan stabilitas semu semata. Karena kepentingan atas rezim developmentalisme demokratis ini, maka kehadiran partai-partai politik dan pemilu menjadi bagian tidak terpisahkan. Akar dan tulang punggung demokrasi Indonesia sudah digerakkan oleh partai-partai politik. Menjadi aneh kalau semangat anti parpol hinggap dalam diri kaum intelektual. Kalau sinisme dan apatisme terhadap parpol hadir di hati rakyat, sebagaimana muncul dalam sejumlah jajak pendapat, hal itu semata-mata karena parpol memang gagal dan gagap dalam menjelaskan makna kehadirannya. Tetapi juga keliru kalau kesimpulannya adalah rakyat anti terhadap demokrasi. Survei Indo Barometer menunjukkan bahwa rakyat siap menerima siapapun parpol yang memenangkan pemilu. Semakin tipisnya konflik ideologis di kalangan parpol menunjukkan bahwa masalah ideologi sudah hampir selesai. Bukan tidak ada, tetapi disimpan untuk menghadapi momentum-momentum penting nanti, seperti amandemen konstitusi. Karena itu pula, parpol punya kesempatan untuk menawarkan alternatif kesejahteraan ketika demokrasi berlangsung. Gerakan revisionis terhadap kegagalan-kegagalan atas pembangunan yang dijalankan selama ini memerlukan tempat yang serius. Sebagai revisi, tidak perlu ada penggantian yang bersifat menyeluruh, tetapi hanya menggantikan kebijakan atau pemikiran yang terbukti tidak sesuai dengan kebutuhan zaman. Dari sisi kepartaian, Partai Golkar berpengalaman dalam melakukan dan menggerakkan rezim developmentalisme, sejak pemilu 1971. Hanya saja, partai ini kelihatan lebih banyak menikmati pertarungan jangka pendek untuk merebut kekuasaan semata. Partai lain, seperti PDI Perjuangan, terus mencoba untuk menegaskan diri sebagai parpol oposisi, seolah oposisi adalah sebuah pilihan ideologis. Padahal tidak. Baik memerintah atau menjadi oposisi hanyalah bagian dari strategi dan taktik perjuangan politik, bukan substansi dari perjuangan politik itu sendiri. Mumpung kampanye berlangsung lama, selayaknya debat substantif sudah dimulai oleh para penggerak masing-masing parpol. Kampanye yang panjang adalah bagian dari proses pendidikan politik. “Laga parlementer” harus benar-benar terjadi, terutama lewat kampanye tertutup dan kampanye media yang sekarang berjalan. Sangat amat disayangkan kalau yang ditayangkan hanyalah slogan-slogan yang mengarah kepada upaya menepuk dada sendiri, tanpa lewat penjabaran yang lebar dan dalam. Kegagalan pemerintahan hasil pemilu 2009 akan langsung terasa, ketika dalam kampanye yang digelar sekarang tidak berhasil merumuskan dengan baik apa yang akan dilakukan ketika memerintah. Era virtual di bidang politik selayaknya dihadapi dengan cara semakin menggiatkan proses perumusan atas kebijakan-kebijakan yang diambil nantinya itu dalam komunikasi antara parpol dengan pemilih. Kalau tidak, lagi-lagi kita akan melihat demokrasi hanya sekadar prosedur, bukan substansi yang serius untuk menggapai tujuan-tujuan berbangsa. Kehadiran rezim developmentalisme demokratis adalah pencapaian yang penting dalam mengambil yang baik di masa lalu, sembari memperkuat yang terbaik di masa kini. *** ___________________________________________________________________________ Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.. http://id.toolbar.yahoo.com/ --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---