Naskah, Sumber Ilmu yang Terlupakan Oleh AYATROHAEDI
HEINRICH Schliemann anak seorang saudagar kaya Jerman sudah sejak di sekolah dasar ia mendengar dan kemudian membaca sendiri kisah Perang Troya sebagai warisan budaya dari kurun yang sudah lama berlalu. Kisah itu termasuk salah satu kisah yang menarik dalam mitologi Yunani. Heinrich berbeda anggapan dari orang lain dalam hal kisah Perang Troya itu. Menurut anggapannya, kisah itu tentulah bukan asal dongeng untuk ngabobodo budak cengeng. Haruslah terdapat suatu kenyataan di balik semua itu dan ia bertekad membuktikan bahwa anggapannya benar. Untuk itu, ia berusaha mengumpulkan uang agar dapat berangkat ke Yunani dan membuktikan apakah anggapannya benar atau salah. Dalam satu hal ia sudah berhasil menjadi saudagar kaya seperti orang tuanya sehingga untuk pembuktian itu ia tidak memerlukan lagi dana dari luar. Setelah dananya cukup, termasuk sumbangan dari orang tuanya, dan juga orang yang bersedia membantunya siap (termasuk istrinya), mereka berangkat ke Yunani, lalu menuju tempat yang diperkirakannya sebagai letak Kota Troya. Di situ ia menggali dan menggali, sampai akhirnya...kita tahu semua: Kota Troya muncul dari timbunan tanah yang menutupinya entah sudah berapa lama. Dengan itu pula, ilmu yang kemudian dikenal dengan istilah arkeologi atau widyapruba pun lahir menjelang pertengahan abad ke-19. Dari kisah itu, kiranya jelas bahwa ternyata naskah (dan tradisi lisan) sebenarnya memegang peranan penting dalam perkembangan pengetahuan. Tanpa Heinrich yang tergila-gila pada kisah Perang Troya, barangkali hingga sekarang widyapurba tidak akan pernah lahir atau sekurang-kurangnya proses kelahirannya berbeda. Di Indonesia pun peranan naskah yang besar itu pernah sepenuhnya disadari oleh para pelopor bangsa ita. Setelah membaca naskah "Nagarakretagama" atau "Desawarnana" yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam tahun 1365, misalnya, Muhammad Yamin menulis (drama) "Gajahmada" dan "Saptaparwa", bahkan sampai pada simpulan bahwa di nusantara pernah ada dua "negara kesatuan" sebelum Republik Indonesia, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Kisah sejarah beberapa daerah lain pun tidak jarang yang modal awal penyusunannya berupa naskah lama yang ditulis, baik pada masa yang muasir maupun (agak) lama setelah peristiwanya terjadi. Naskah "Carita Parahyangan" menjadi modal awal penulisan sejarah Tatar Sunda, "Sejarah Melayu" untuk sejarah daerah Melayu, "Hikayat Banjar" dijadikan modal awal menyusun kisah sejarah daerah Banjar (Kalimantan Selatan), dan "Babad Tanah Jawa" dianggap cukup sahih untuk dijadikan modal awal penyusunan kisah sejarah Tanah Jawa. Beragamnya embaran yang terkandung dalam naskah, antara lain diperlihatkan dalam salah satu mahakarya Pigeaud, "Literature of Java" (3 jilid, 1968) setelah sebelumnya kita diperkenalkan dengan isi sejumlah naskah berbahasa Jawa oleh Purbacaraka melalui karyanya "Kapustakan Jawi" (1952). Dalam hubungannya dengan naskah yang dihasilkan oleh masyarakat di wilayah budaya Sunda, ketekunan Edi S. Ekajati dan kawan-kawan telah menghasilkan beberapa buah katalogus naskah. Tampaknya, karya mereka terakhir hingga saat ini, Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga (1999), masih menjanjikan terbitan lainnya. Akan dapat kia simak bahwa kandungan naskah lama sangat beragam, mulai dari masalah keagamaan, pendidikan, akhlak, kesehatan, sejarah, undang-undang, adat-istiadat, perbintangan, perundagian, ilmu, bahasa, kesenian, mitologi, bahkan juga perjodohan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kandungan naskah lama mencakup semua hal yang berkenaan dengan kebudayaan dalam maknanya yang paling luas. Mengapa "terlupakan"? Pemerntah Hindia-Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Eropa yang memiliki dasar, kegiatan, dan tujuan yang berbeda dengan sistem pendidikan yang berlaku sebelumnya, baik di mandala yang berlatar Hindu Buda, maupun pasantren yang berlatar Islam. Pengertian yang berkenaan dengan masalah ilmiah, mantik, sistmatis, dan lain-lain, didasarkan pada acuan dan pengertian yang berlaku di Eropa. Akibatnya, semua hal yang tidak sesuai dengan apa yang berlaku di Eropa menjadi tidak ilmiah, tidak mantik, tidak sistematis, dan semua ketidakan yang lainnya. Dalam upaya menjadi orang yang lebih maju, lebih beradab, dan lebih sopan pun, perhatian dipusatkan ke Eropa, dan kemudian ke Amerika (Serikat). Jika ingin menjadi orang, masyarakat, atau bangsa yang modern, ikutilah apa yang berlaku di Eropa (pada mulanya melalui Belanda, kemudian mengembang menjadi Eropa Barat), dan tinggalkanlah semua yang berbau pribumi! Hasilnya kita rasakan sekarang ini: berbagai kemajuan yang kita capai adalah kemajuan menurut cara pandang dan gagasan Eropa dan Amerika karena itulah satu-satunya acuan yang dapat kita ikuti atau kita anut. Cara pandang gagasan pribumi tidak lagi kita perhatikan berdasarkan berbagai alasan yang sebenarnya bukan alasan. Alasan yang sangat lazim diajukan untuk membela diri mengenai ketidaktahuan tenang khazanah budaya pribumi adalah kesukaran memelajari bahasa dan aksara daerah. Alasan itu sebenarnya berlaku juga sebagai kendala kita memelajari kebudayaan dan teknologi asing. Apakah mempelajari bahasa Jerman, Rusia, dan sekarang juga Jepang, tidak lebih sukar daripada mempelajari bahasa Batak, Jawa, Sunda, Bugis, atau Aceh? Sebenarnya kesukarannya sama, karena mempelajari bahasa asing apa pun menuntut syarat yang sama: ketekunan dan keyakinan bahwa apa yang kita pelajari itu akan besar gunanya bagi diri kita. Keyakinan itulah yang tidak ada jika kita mempelajari bahasa dan kebudayaan daerah. Bahkan, para pemimpin pun tidak berusaha meyakinkan kita agar mendalami karya daerah. Berulang kali mereka menganjurkan agar kia mempelajari bahasa asing (terutama Inggris) agar kia dapat mengejar ketertinggalan kita di bidang ilmu dan teknologi. Hampir tidak pernah kita mendengar ada di antara para pemimpin itu yang mengimbau agar kita mempelajari bahasa dan kebudayaan daerah karena dengan bekal itu kita akan dapat juga mengejar ketertinggalan di bidang ilmu dan teknologi. Bahkan, tidak sedikit yang berpendapat bahwa mempelajari bahasa dan kebudayaan daerah adalah suatu kesia-siaan! Sikap dan pandangan itulah yang sebenarnya pertama kali harus diubah. Namun, tentu saja jika para pemimpin itu menyadari pentingnya bahasa dan kebudayaan daerah, ia sendiri harus yakin pula bahwa dengan mempelajari bahasa dan kebudayaan daerah kita akan memeroleh manfaat. Berbagai kegiatan, terutama yang menyangkut ilmu dan teknologi, untuk dan karena kebudayan daerah, harus mewarnai kehidupan kita. Hal itu bukan urusan memeh mumuluk sebelum sarapan. Pada tahap awal, diperlukan sekurang-kurangnya berbagai tindakan yang mendukung gagasan ini. Tindakan-tindakan itu antara lain berupa: a. Pencarian naskah dalam bahasa dan aksara daerah untuk menambah khazanah budaya daerah dan nasional. b. Pengalihaksaraan naskah beraksara daerah ke dalam aksara Latin; c. Penerjemahan naskah berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia; d. Pemaparan isi khazanah budaya daerah agar diketahui secara merata; e. Pencatatan naskah (dan karya lain) daerah secara sistematis dan ilmiah; f. Penyelenggaraan pusat embaran kebudayaan daerah di daerahnya masing-masing; g. Pelatihan, penataran, penyuluhan, dan kursus mengenai kebudayaan daerah; dan h. Tindakan lain yang diperlukan dalam hal yang bersifat darurat atau mendadak. Dari berbagai kegiatan itu, terutama kegiatan d, kita akan memperoleh gambaran umum mengenai apa saja yang sebenarnya merupakan milik kita, namun yang selama ini terlupakan. Kemudian, kita akan dapat menyaringnya dan kemungkinan melakukan berbagai temubaruan (=inovasi) dari gagasan lama, disesuaikan dengan tuntutan dan keperluan masyarakat kita masa kini, terutama yang berkenan dengan tuntutan ilmu dan teknologi, di samping demi kepentingan para pelakunya sendiri. Dengan mengkaji bahasa dan kebudayaan daerah, sebenarnya kita sama sekali tidak tertinggal baik dalam ilmu maupun teknologi. Bukankah untuk mendalami masalah jamu, orang asing terpaksa mendalami bahasa dan kebudayaan Jawa? Bukankah pemerintah Hindia-Belanda secara khusus menugasi Snouck Hurgronje mendalami Islam, bahasa Arab, serta bahasa dan kebudayaan Aceh agar berhasil mengalahkan Aceh?*** Artikel Senin, 20 Januari 2003 --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---