Padang Ekspress, Sabtu, 02 Agustus 2008

Syahrir, Rizal Ramli, dan Kita 

Oleh : Indra Jj Piliang, The Indonesian Institute, CSIS dan Alumnus SMA 2
Pariaman
Syahrir adalah ekonom kawakan yang meninggal pekan ini. Dia terkena penyakit
kanker. Ibrahim Zakir alias Bram Zakir, kawan dekatnya, mengatakan bahwa
sekalipun Ciil, panggilan Syahrir, bukan perokok, "Tetapi temannya perokok."
Seluruh kehidupan Syahrir adalah pergerakan, terutama politik dan ekonomi.
Ia adalah maestro yang memiliki kompetensi di bidang ekonomi, tetapi juga
rajin melibatkan diri dalam politik. 

Saya tidak tahu apa yang melatar belakangi itu. "Saya orang Minang juga,"
katanya, suatu hari, ketika saya, Saldi Isra, Yuliandri dan Andrinof
Chaniago bertemu di satu tempat makan di Cikini, Jakarta. Dia sendirian dan
sedang menunggu anaknya. Rupanya dia mengikuti juga di media tentang
"kiprah" anak-anak muda Minang seperti kami. 

Selain Syahrir, ekonom lain yang juga berpolitik adalah Rizal Ramli. Saya
hadir ketika bulan Ramadhan lalu Rizal menceritakan niatnya membuat
organisasi Komite Bangkit Indonesia. Walau saya tidak pernah lagi datang
setelah pertemuan itu, Rizal dengan gagah maju ke Istana Negara, memimpin
aksi kenaikan bahan bakar minyak. Belakangan, organisasinya diperiksa
aparat. Sebagai ekonom, Rizal tentu punya pengetahuan yang baik. Sebagai
politikus, ia selama ini berada di belakang layar. 

Kalau Syahrir menjadi patron bagi mahasiswa pembangkang tahun 1970-an di
Jakarta, maka Rizal adalah patron bagi mahasiswa pembangkang di Bandung.
Syahrir ada di UI dan Rizal ada di ITB. Lagi-lagi saya tidak tahu, dalam
banyak hal keduanya begitu kokoh sebagai karakter personal, lalu mirip dari
segi pergerakan (ingat, Syahrir mendirikan partai politik), sementara tidak
jarang cara mereka memperjuangkan pikiran masing-masing berbeda jalan.
Syahrir bergabung di pemerintahan sebagai Dewan Pertimbangan Presiden,
sementara Rizal memilih di jalanan, sekalipun sempat menjadi komisaris PT
Semen Gresik. 

Banyak yang keliru menilai betapa orang-orang Minang hanya bisa berpolitik
dalam wilayah ideologis, seperti Tan Malaka atau Muhammad Natsir. Atau
paling jauh seperti Muhammad Hatta. Kalau diperhatikan, Tan dan Natsir juga
punya pengetahuan baik di bidang ekonomi yang mungkin dipelajari secara
otodidak, baik berlandaskan Al Qur'an dan Hadist, ataupun lewat
pikiran-pikiran para pemikir seperti Karl Marx. Hatta jelas dikenal sebagai
bapak koperasi, satu julukan yang terdengar sempit. Saya melihat Hatta lebih
menonjolkan sisi humanisme-ekonomi, ketimbang dia berada di aras liberal
atau marxis. 

Barangkali, kita harus bicara soal Sutan Syahrir. Saya melihat Bang Ciil
atau Bang Rizal lebih memainkan peran politik Sutan Syahrir, ketimbang
mereka berinduk kepada pikiran-pikiran Tan Malaka atau Mohammad Hatta. Ciil
menjadi pemimpin Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA), satu organisasi
mahasiswa sosialis yang terkenal dalam akhir tahun 1960-an. Rizal menjadi
tukang kritik paling nyinyir atas model pembangunan ekonomi Orde Baru yang
berlandaskan kepada hutang dan investasi asing. Bahkan juga sampai kini,
Rizal selalu melihat bahwa cawan emas Indonesia dijual terlalu murah kepada
asing. Indonesia adalah negara kaya yang menggunakan kekayaannya untuk
mengemis di fora internasional. 

Sutan Syahrir tentu jarang bicara soal ekonomi. Ketika dalam usia 36 tahun
ia menjadi perdana menteri, pekerjaan yang dia lakukan adalah
mendemokrasikan kemerdekaan. Ia secara cerdas mendisain ulang sistem
ketatanegaraan Indonesia, seolah mirip dengan Amerika Serikat, satu negara
sekutu yang memenangkan Perang Dunia Kedua yang akan datang ke Indonesia.
Dengan desain kemiripan itu, ia bisa mengatakan bahwa Republik Indonesia
bukan negara boneka bikinan Jepang. Demokrasilah yang menjadikan Soekarno
sebagai Presiden, Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden dan dirinya sebagai
Perdana Menteri. 

Dan untung UUD 1945 belum diterjemahkan ke bahasa Inggris. Kalau dokumen itu
diterjemahkan ke bahasa Inggris, pihak Amerika Serikat atau Inggris segera
tahu bahwa model parlemen Indonesia itu tidak ada dalam naskah
konstitusinya. Jabatan perdana menteri tidak ada dalam naskah asli. Ditambah
dengan Maklumat X yang dikeluarkan oleh Muhammad Hatta, jadilah
partai-partai politik tumbuh subur. Partai tunggal ala Soekarno tidak jadi
muncul. 

Lalu bagaimana kita, sekarang? Saya masih menunggu dengan cemas apa yang
dilakukan oleh Bang Rizal. Dua Syahrir sudah meninggal dunia, satu di
penjara Soekarno, satu lagi terkena kanker. Dan jangan lupa, menurut Bram
Zakir, "Syahrir juga nama aslinya Sutan Syahrir. Cuma, Sutannya dia coret."
Wah, ada cerita tentang kemiripan yang tidak diungkapkan kepada publik. 

Para penggagas ekonomi dan politik di Indonesia ternyata banyak terdiri dari
orang-orang Minang. Masih ada yang lain dalam catatan saya, seperti ekonom
kawakan Muhammad Chatib Basri. Namun, Chatib Basri tidak sedrastis dan
sedramatis dua orang seniornya itu, Rizal dan Ciil.  Ia memilih berada di
dalam pemerintahan, mengerjakan soal-soal detil yang nanti menjadi kebijakan
pemerintah. 

Nah, dengan sumberdaya manusia yang baik itu, kenapa Ranah seperti merasa
tidak memiliki kaliber ekonom yang mau menggagas model perekonomian Minang
ke depan? Saya merasa, orang seperti Rizal dan Chatib Basri masih banyak.
Alangkah eloknya model pemikiran nasional mereka ditransformasikan ke dalam
pemikiran lokal, lengkap dengan metode dalam ranah praksis? 

Sampai kini, Minang belum memiliki tim yang kuat untuk memperjuangkan
beragam model kemajuan ekonomi yang digagas oleh pemerintah, kampus atau
kalangan lembaga swadaya masyarakat. Saya merasa ada yang kurang dari sana,
yakni persamaan kepentingan politik. Partai-partai politik di Minang, yakni
para politikusnya, selayaknya menjadikan ranah sebagai prioritas pertama
perjuangan politik, baru dalam urutan berikutnya kepentingan ideologi dan
golongan masing-masing. 

Kita tidak perlu lagi menyadari ini, ketika satu demi satu para tokoh
Minangkabau dari ranah kembali ke tanah. Kita akan menyesalinya, seperti
saya yang begitu sedih, karena janji untuk bertemu Bang Ciil lagi tidak
kesampaian. Dalam buku tamu saya hanya menulis: "Bang, terima kasih atas
kiriman karangan bunganya, ketika saya menikah!" (***)

 

 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke