Sinar Harapan, Rabu, 06 Agustus 2008 Pasar Mesias Oleh Trisno S Sutanto
Seorang teman, pengamat politik yang dikenal tajam dan bernas, suatu waktu mengirim surat elektronik pada saya. Ia mohon pamit, karena akan meninggalkan posisinya sebagai pengamat politik, dan mohon doa restu karena akan terjun bergabung dengan partai politik untuk mencalonkan dirinya. Saya memberinya restu dan berharap ia bisa memperjuangkan apa yang ditulisnya selama ini. Dinamika keterbukaan politik akhir-akhir ini memang mengejutkan, apalagi di negara yang belum pernah memiliki tradisi pencalonan diri secara terbuka, dan masih tertatih-tatih di dalam menjalani transisi yang seperti lorong tanpa akhir. Oleh karena itu, ketika sebagian aktivis atau pengamat, seperti teman saya, memutuskan untuk maju dan mencalonkan diri, reaksi yang timbul amat beragam. Ada yang menyambutnya sebagai terobosan penting, dan karena itu layak didukung penuh semangat; ada pula yang sangat sinis, dan melihatnya tidak lebih sebagai bagian dari opera sabun kontemporer. Saya sendiri berada dalam posisi serbataksa. Pada satu pihak, meyakini bahwa langkah teman saya (dan banyak yang lain, yang saya kenal secara pribadi) memang merupakan terobosan penting di tengah kebekuan sistem politik sekarang yang hanya akan memungkinkan para tokoh lama muncul lagi. Itu sebabnya inisiatif untuk memulai tradisi pencalonan diri memang perlu dihargai. Akan tetapi, pada pihak lain, saya juga skeptis sampai sejauh mana terobosan itu akan berdampak, dan mampu menggairahkan kembali sistem politik yang sudah membeku, atau bahkan bangkrut ini. Ilusi Mediatik Maraknya pencalonan yang sekarang terjadi, saya khawatir, lebih didorong oleh revolusi mediatik yang kerap menimbulkan ilusi berbahaya. Anda tahu, dunia politik dewasa ini, di tengah kemahakuasaan media massa, adalah persoalan bagaimana membungkus citra dan penampilan, bukan soal program yang teruji mampu mengatasi persoalan konkret. Singkatnya: politik kontemporer tidak ada bedanya dengan iklan. Tidak ada contoh yang lebih bagus tentang soal ini kecuali fenomena Barrack Obama di panggung politik AS. Kepiawaian Obama mengelola media, dan kepiawaian raksasa media untuk menjadikan Obama sebagai icon baru, harus diakui nyaris sempurna. Obama telah berhasil menimbulkan "demam" yang membuat perpolitikan di AS yang biasanya ditanggapi dengan dingin tiba-tiba penuh gairah. Harap dicatat, memang tidak salah jika politikus memakai (dan dipakai) media. Setiap calon selalu butuh mesin kampanye. Dan media massa adalah sarana kampanye paling mujarab di zaman serba-virtual sekarang. Karena itu, siapapun kandidat yang punya kepiawaian mengelola media (dan memang cukup sexy bagi kepentingan media juga!), maka dia akan memperoleh senjata ampuh untuk memasarkan citra dirinya. Persoalannya, citra itu selalu "lebih indah dari warna aslinya", seperti iklan suatu produk film. Malah kerap kali membuat pribadi riil-konkret yang dicitrakan menjadi tidak lagi berarti. Di situ, kata Jean Baudrillard, filsuf Prancis yang paling mumpuni dalam soal politik pencitraan post-modern, simulasi menggantikan realitas. Tidak ada lagi realitas, yang ada hanyalah hyper-realitas yang penuh seduksi, penuh godaan yang ilusif. Iklan adalah contoh par excellence bagaimana realitas digantikan hyper-realitas dan seduksi menimbulkan hasrat bagi konsumsi tanpa batas. Jika Anda membeli produk shampoo tertentu, misalnya, rambut Anda akan berkilau seperti sang bintang film yang mengiklankan produk tersebut. Maka orang layak bertanya, apakah dia membeli produk shampoo itu karena kebutuhan, atau lebih karena godaan menjadi citra yang ditampilkannya. Dalam dunia yang makin virtual karena kemahakuasaan media, seperti sudah saya katakan di atas, politik tidak lebih dari iklan. Politik adalah soal pencitraan, bukan soal bagaimana memecahkan persoalan konkret dan menciptakan tatanan hidup bersama yang lebih beradab. Cita-cita politik yang "klasik" itu hanya tinggal sebagai bahan kuliah dan obrolan di kalangan mahasiswa filsafat. Mesianisme Politis Itulah alasannya mengapa masih banyak orang yang sampai sekarang meragukan pencalonan Obama. Pesona medianya memang sungguh membius. Tetapi, jika direnungkan dengan jernih, rekam jejak yang ditinggalkan Obama, yang nyaris tak dikenal sebelum pencalonannya menyedot perhatian media, masih membuat orang ragu apakah ia layak dan mampu menjabat kekuasaan tertinggi di negara adikuasa yang nantinya juga akan sangat menentukan nasib dunia. Dan "demam Obama" itu sudah menjangkiti kita. Ada aspek lain yang menentukan bagi kemunculan fenomenal Obama. Saya yakin, sebagian terbesar faktor yang memungkinkan Obama melaju cepat, adalah warisan kebangkrutan pengelolaan politik rezim Bush yang sudah membuat banyak kalangan marah. Seorang ahli strategi partai Republik malah pernah mengakui, kebijakan salah kaprah Bush, khususnya dalam Perang Irak, telah menyeret partai itu ke pinggir jurang berbahaya. Situasi ini jelas menguntungkan kampanye Obama yang memusatkan citranya pada tuntutan perubahan. We can change! Semboyan itu bagaikan mantra yang mampu membangkitkan gairah untuk "menyudahi" rezim Bush, the old establishment itu, dan memulai segalanya serbabaru. Obama, tak pelak lagi, bagaikan sang mesias yang dinanti-nanti. Saya kira semangat "mesianisme politis" yang sama juga merebak akhir-akhir ini di tanah air. Tuntutan bagi perubahan mendasar, dan kepemimpinan baru dari kalangan muda, semakin nyaring disuarakan. Ini, sudah pasti, akan makin meramaikan bursa "pasar mesias" menjelang pemilu mendatang, yang gejalanya sudah nampak sekarang. Tiba-tiba kita menemukan begitu banyak orang yang merasa yakin, lalu beriklan diri di media televisi, bahwa dia adalah "sang pemimpin" yang diharapkan masyarakat tanpa rekam jejak memadai. Memang, di tengah gelora tuntutan bagi perubahan dan kemahakuasaan politik pencitraan lewat media, yang paling dibutuhkan adalah nalar jernih untuk menentukan pilihan. Dan skeptisisime dalam dosis yang sehat, seperti pernah diingatkan alm. Jospeh Brodsky, adalah senjata ampuh untuk itu. *Penulis adalah mahasiswa STF "Driyarkara" bekerja di MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama).* http://www.sinarharapan.co.id/berita/0808/06/opi01.html --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---