Assalamualaikjum w.w. para sanak sa palanta,
 
Pengantar
Acara kunjungan rombongan hari Sabtu tanggal 23 Agustus 2008 ini merupakan inti 
dari keseluruhan kunjungan ke Kabupaten Pasaman ini. Baik Dt Endang maupun saya 
sudah membaca baik-baik sebagian besar bahan-bahan tertulis yang terkait dengan 
Perang Paderi ini. Dt Endang sendiri selain  membawa staf perencananya Nina, 
juga membawa peta satelit sekitar Bukik Tajadi dan sebuah GPS untuk memastikan 
lokasi.Dua orang sejarawan Dr Saleh Asad Djamhari dan Amrin Imran akan 
memberikan masukan sekitar aspek kesejarahan pada umumnya dan aspek militer 
pada khususnya. Sedangkan tiga orang arsitek  di bawah pimpinan Ir Doni 
Mudanton dapat memberikan saran mengenai design umum dan design khusus dari 
situs bersejarah ini. Bu Warni Darwis – didukung oleh Mayjen TNI Pur Asril 
Tanjung, Ketua Umum Gebu Minang – dapat memberikan dukungan kelembagaan Gebu 
Minang serta fihak-fihak terkait di tingkat nasional.
Kami berangkat dari Hotel Arumas di Lubuk Sikaping jam 09.00, menuju  ke arah 
Bonjol untuk mengunjungi berturut-turut eks benteng di Bukik Gadang, terus ke 
Museum Tuanku Imam Bonjol di Bonjol, berlanjut meninjau sepucuk meriam tua di 
desa di kaki Bukik Tajadi, lalu mendaki eks Bukik Tajadi, dan setelah selesai 
kembali ke Lubuk Sikaping. Sorenya setelah kembali ke Lubuk Sikaping, kami 
mengunjungi sebuah situs purbakala, dua buah candi Budha. Sekembalinya dari 
kunjungan itu, setelah beristirahat dan makan malam, kami membahas silsilah 
Tuanku Imam Bonjol.
 
Benteng Bukik Gadang,23 Agustus 2008,  jam 09.00 – 10.30.
Ternyata Benteng Bukik Tajadi terdiri dari rangkaian beberapa benteng. Salah 
satu di antaranya adalah di Bukik Gadang, yang tingginya sekitar 200 meter, 
dengan kemiringan sekitar 120 derajat.Walaupun dengan bersusah payah – saya 
sendiri harus diseret dan didorong ke atas, serta di-‘rem’ ke bawah oleh tiga 
personil Kodim – namun akhirnya kami sampai juga ke puncak bukit, yang masih 
terlihat bekas-bekas kubunya.. Eks benteng ini merupakan ulayat suku Jambak. 
Sebagai situs bersejarah, terkesan kurang terpelihara. Penuh dengan pohon-pohon 
dan semak belukar.
 
Museum Tuanku Imam Bonjol, 23 Agustus 2008, jam 11.00-12.00
Di halaman Museum Tuanku Imam Bonjol, rombongan kami ditunggu oleh Dandim 
Pasaman, Camat Bonjol, Dan Ramil Bonjol, petugas-petugas Monumen Equator, serta 
beberapa pemuka masyarakat. 
Di sini rombongan mendapatkan keterangan mengenai adanya dua kali Festival 
Khatulistiwa, pada bulan Maret dan September, pada saat matahari tepat tegak 
lurus di atas garis khatulistiwa, dimana para pengunjung dapat merasakan 
asyiknya berdiri di bawah matahari tanpa adanya bayang-bayang ! Sayangnya, 
festival yang asyik ini kurang diketahui oleh kita semua. Saya percaya bahwa 
jika dikampanyekan, akan banyak pengunjungnya yang akan datang.
Pada Monumen Tuanku Imam Bonjol, pak Sjafnir Abu Nain mengoreksi tahun-tahun 
yang terdapat pada bangunan di bawah patung Tuanku Imam Bonjol, baik mengenai 
tahun lahir dan wafat beliau maupun tentang tahun Perang Paderi di Bonjol. 
Dalam kesempatan itu kepada yang hadir saya menjelaskan informasi yang terdapat 
dalam tentang buku Christine Dobbins, Mei 2008, “ Gejolak Ekonomi, Kebangkitan 
Islam, dan Gerakan Paderi: Minangkabau 1784-1847”, Komunitas Bambu, Depok, dan 
menyarankan kepada yang hadir untuk membaca baik-baik buku tersebut, karena 
memberikan cukup luas latar belakang keseluruhan Gerakan Paderi. [Akibatnya: 
saya diminta untuk memberikan buku tersebut, yang langsung saja saya 
setujui,sebanyak  empat buah, satu untuk Komandan Kodim Letkol Inf Igit 
Donolego, satu untuk Camat Bonjol Djoko Irfanto, S.Sos.M.Si, satu untuk Dan 
Ramil Kapten Inf Juangsyah Sitorus, dan satu untuk Perpustakaan. Akan saya 
kirimkan sekembalinya saya di Jakarta].
Di Museum Tuanku Imam Bonjol rombongan berdiri agak lama membahas silsilah 
Tuanku Imam Bonjol yang tertera di sebuah white board di pintu masuk. Bung Hari 
Ichlas memberikan penjelasan disertai masalah-masalah yang masih perlu dikaji 
lebih lanjut, khususnya oleh karena kurangnya data mengenai keturunan Tuanku 
Imam Bonjol, selain dari dua orang putera yang dibawa beliau ke pembuangan di 
Menado. Pak Sjafnir Abu Nain menambahkan bahan-bahan yang beliau dapat dari 
buku riwayat hidup Tuanku Imam Bonjol yang ditulisnya sendiri dengan hurub Arab 
gundul. 
Sehubungan dengan berbedanya catatan mengenai keturunan Tuanku Imam Bonjol 
dalam garis ibu dan dalam garis bapak – dan belum pernah dicatat secara 
menyeluruh, sehingga besar kemungkinan yang diketahui seseorang hanya 
sepotong-sepotong saja --  saya menyampaikan informasi bahwa masalah ini secara 
umum sudah pernah dibahas dalam Rantau Net beberapa waktu yang lalu, dan secara 
informal sudah disepakati untuk mencatat seluruh keturunan seseorang, baik dari 
garis ibu maupun dari garis bapak, dengan bantuan program komputer Family Tree 
Maker. Setelah terkumpul semua data, beliau-beliau yang memerlukan data tentang 
garis keturunan ibu untuk keperluan ‘sako dan pusako’ silakan memilih jalur 
garis ibu, sedangkan beliau-beliau yang memerlukan bahan mengenai garis bapak 
sesuai dengan ajaran Islam tentang nasab, silakan menelusuri jalur garis bapak. 
Jadi secara teknis sesungguhnya masalah yang selama dipertengkarkan, tidak ada 
kesulitan lagi. Saya percaya
 bahwa jika hal itu dilaksanakan, bukan saja akan dapat dikurangi sengketa 
masalah hukum kekerabatan dan hukum waris  antara sesama orang Minangkabau, 
tetapi juga akan ada landasan yang kuat untuk menggalang rasa kebersamaan dan 
persatuan. Saya menyatakan bersedia mengirimkan program komputer tersebut dan 
jika perlu membuatkan silsilahnya sekalian. 
Setelah pertemuan itu saya baru ingat bahwa daerah Pasaman bukanlah termasuk 
Luhak nan Tigo, tetapi termasuk ikua darek kapalo rantau, dimana kedua jalur 
garis ibu dan garis bapak ini bisa digunakan bersamaan. Saya sangat senang 
dengan disetujuinya gagasan saya untuk mempergunakan program komputer Family 
Tree Makeroleh hadirin yang ada waktu itu 
[Sekedar catatan, dalam buku saya bersama Ir Mohammad Zulfan Tadjoeddin ‘Masih 
Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup Berbangsa dan 
Bernegara’, 2004, secara pribadi saya mempersoalkan ranji Minangkabau yang 
hanya mencatat keturunan dari fihak ibu saja, yang selain dapat menimbulkan 
konsep punah,yang menurut saya bukan saja melanggar kaidah Islam tentang nasab 
tetapi juga berpotensi melanggar Pasal 277 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum 
Pidana tentang ancaman pidana tentang penggelapan garis keturunan seseorang. 
Dalam hubungan ini kadang-kadang timbul  fikiran nakal saya untuk men-test 
konflik kaidah hukum adat Minangkabau dengan hukum Islam dan hukum nasional ini 
dengan mengajukan perkara pidana dalam bentuk kasus mengenai hal  itu ke 
kepolisian dan kejaksaan untuk diadili di pengadilan negeri, demi adanya 
kepastian hukum.]. 
 
Benteng Bukik Tajadi, 23 Agustus 2008,  12.30- 15.30.
Sebelum mendaki eks Benteng Bukik Tajadi, rombongan mengunjungi sebuah bangunan 
kecil di desa di bawah kaki Bukik Tajadi tersebut, berisi sebuah meriam kuno 
yang menurut pak Sjafnir Abu Nain berkaliber 10 pounder, jauh lebih besar dari 
meriam Belanda yang hanya berikuran 3 dan 6 pounder saja. Yang terlihat di atas 
lantai hanya pucuknya saja sepanjang 30 sentimeter, dikelililingi oleh beberapa 
butir peluru meriam berbentuk bulat. Sebagian besar badan meriam masih 
terpendam di bawah lantai, yang terbuat dari porselen. Atas pertanyaan 
rombongan, dijelaskan bahwa sudah pernah diusahakan untuk menggali dan 
mengangkat seluruh pucuk meriam tersebut, bahkan dengan menggunakan excavator, 
namun makin ditarik malah makin merosot ke dalam tanah. 
Setelah selesai di lokasi tersebut, rombongan melanjutkan perjalanan ke Bukik 
Tajadi, sekitar 500 meter dari desa itu, meliwati sebuah kali kecil, yang 
menurut perkiraan Dt Endang dahulu merupakan parit dari benteng  Bukik Tajadi. 
Tinggi benteng ini dua kali lebih tinggi dari benteng di Bukik Gadang – sekitar 
400 meter -- dan hampir sama terjalnya dengan Bukik Gadang. Di bagian timurnya 
malah ada dengan kemiringan 180 derajat. Rombongan mendaki dengan susah payah, 
didahului oleh seorang petani bernama Simas, yang merintis semak-semak berduri 
dengan sebuah parang. Sebagian dari bukit ini sudah menjadi tempat pemakaman 
umum. Sepanjang pendakian tersebut rombongan tidak lagi menemukan batu-batu 
perbentengan seperti diduga semula berdasar laporan fihak  Belanda. Menurut 
perkiraan Dt Endang, kemungkinan hal itu disebabkan kebiasaan Belanda untuk 
menghancurkan sama sekali seluruh benteng-benteng yang ada, termasuk dengan 
menebang aur duri yang mengelilingi
 benteng-benteng yang dikalahkannya.
Sekitar dua pertiga pendakian, bung Simas menyarankan untuk menghentikan 
pendakian, karena diperlukan tiga sampai enam hari untuk membersihkan jalan 
sampai kepuncak. Atas pertanyaan mengapa situs ini seperti tak terpelihara, 
diperoleh keterangan bahwa bantuan anggaran dari Dinas Purbakala yang pernah 
diberikan untuk gaji petugas sudah lama dihentikan. Sayang sekali. Setelah 
berunding sejenak, walaupun semangat masih tinggi, termasuk ibu-ibu, namun 
rombongan memutuskan untuk menyetujui saran tersebut, dengan alasan bahwa 
kunjungan kali ini memang adalah sekedar untuk melihat dengan mata kepala 
sendiri lokasi dan bagaimana wujud umum dari  benteng yang menurut fihak 
Belanda merupakan benteng pribumi yang terkuat di Indonesia. Seperti juga 
dengan sulitnya mendaki, rombongan juga menurun dengan susah payah. 
Ada informasi kecil yang diperoleh dalam pendakian ini, yaitu di puncak Bukik 
Tajadi yang belum kami daki ada dua buah villa milik dua orang kulit putih 
sebagai home stay, untuk meninjau pemandangan yang amat indah. Selain itu juga 
ada sebuah patung berkuda dari Tuanku Imam Bonjol yang dibangun oleh sebuah 
rombongan seniman. Lokasi tersebut dapat dicapai melalui jalan perkebunan yang 
terdapat pada sisi lain Bukik Tajadi.
Setelah menurun bukit tersebut, Dt Endang dengan dukungan foto satelit dari 
daerah itu, bersama Nina dengan GPS-nya, dan pak Sjafnir Abu Nain meneruskan 
perjalanan ke kaki bukit yang merupakan ujung Bukik Tajadi, untuk menentukan 
posisi persis dari benteng tersebut. Beliau-beliau berhasil menentukan posisi 
persis dari ujung benteng itu. 
Sambil berdiri di lapangan, kami berbincang-bincang  mengenai  bagaimana 
langkah selanjutnya yang perlu diambil untuk merestorasi Benteng Bukik Tajadi 
ini. Disadari bahwa restorasi akan merupakan kiprah kolosal yang tidak akan 
mungkin selesai lima sampai sepuluh tahun. Sekitar jam 15.30 rombongan kembali 
ke Hotel Arumas, Lubuk Sikaping. 
Setelah makan siang, rombongan Dr Doni Mudanton berangkat ke Bukit Tinggi untuk 
menghadiri acara National Heritage, yang akan diteruskan ke Sawah Lunto. Datuk 
Endang terus ke Sulit Air untuk menemui keluarga, sedangkan Ajo Indra Jaya 
Piliang pulang ke Piaman Laweh. 
 
Kunjungan ke Candi Budha, di luar Lubuk Sikaping, 23 Agustus 2008,  17.00-18.00
Kunjungan ini merupakan acara tambahan, sekedar untuk tahu bahwa di daerah ini 
ada candi Buddha sekte Bhairawa, seperti yang pernah dianut di Minangkabau. 
Bangunan ini berbentuk pelayaran, setinggi satu setengah meter, terbuat dari 
batu bata. Sebagian besar merbentuk batu bara baru, tapi di bagian bawah masih 
terdapat batu bata asli yang sudah banyak yang rusak. Di atas kedua candi 
berbentu altar ini dibuatkan sebuah atap dengan gonjong.
Di situs ini kami banyak mendapat penjelasan dari Bung Abu Pusponegoro, seorang 
peneliti dari Jawa Timur yang sejak tahun 1996 berselang-seling mengunjungi 
Sumatera Barat untuk  meneliti hal-hal yang terkait dengan Minangkabau dan 
Tuanku Imam Bonjol. Beliau sangat tergugah dengan kenyataan bahwa banyak 
keterangan mengenai Minangkabau ini yang masih bersimpang siur. Saya terkesan 
dengan penjelasan beliau bahwa  Prabu Jayanegara adalah putri Dara Petak, 
sedangkan Adityawarman adalah anak Dara Jingga, dua orang putri Minangkabau 
yang dibawa ke Mojopahit setelah operasi Pamalayu. Mereka berdua merupakan 
panglima perang Mojopahit yang piawai. Adityawarman kemudian kembali ke 
Minangkabau, tanah kelahiran ibunya. Dalam hubungan ini sungguh menarik 
penjelasan beliau, bahwa di pulau Jawa ada dua desa yang bernama Pagaruyung, 
sebuah dekat Ambarawa di Jawa Tengah – kebetulan saya pernah mengunjungi desa 
ini sewaktu saya berdinas di Kowilhan II Jawa Madura di
 Jogyakarta – dan sebuah lagi dekat Mojokerta, pusat kerajaan Mojopahit. Saya 
ikut penasaran dengan kenyataan ini.
Sekedar catatan kecil, Bung Abu Pusponegoro dari Jawa Timur-- yang memimpin doa 
di pekuburan Padang Metinggi -- setelah berbincang-bincang dengan saya, 
ternyata masih terkait ikatan keluarga dengan saya. Mantu saya, Drg R Susanto,  
adalah keluarga beliau dari trah Pusponegoro dari Gresik. Saya langsung 
menyampaikan informasi ini melalui SMS ke putri saya, Drg Dyah Rita Nurpratiwi, 
yang kemudian meneruskannya ke mantu saya, yang kemudian secara langsung 
menilpon bung Abu Pusponegoro dari Surabaya. Dunia memang sudah kecil. Siapa 
yang menyangka ?
 
Pembahasan Silsilah Tuanku Imam Bonjol, 23 Agustus 2008, 19.30-22.30.
            Sekembali ke Hotel Arumas, setelah beristirahat dan makan malam, 
Bung Hari Ichlas beserta dua penelitinya: Bung Abu Pusponegoro dari Jawa Timur 
dan bung Anthonyswan dari Pagaruyung Batu Sangkar, didampingi oleh Datuak 
Buruak, juga keturunan Tuanku Imam Bonjol dari garis ibu, bersama pak Sjafnir 
Abu Nain, Dr Saleh D Djamhari, Amrin Imran, para ibu dan saya, melanjutkan 
pembahasan mengenai silsilah Tuanku Imam Bonjol. Datuak Buruak – orangnya cukup 
cakap walau sudah berumur --  menjelaskan bahwa salah seorang putera Tuanku 
Imam Bonjol kemudian diangkat sebagai regent oleh Belanda, dengan bukti sebuah 
medalion Belanda yang ditunjukkan kepada rombongan. 
            Pembicaraan berjalan cukup lancar, antara lain dengan adanya 
kesepakatan antara Bung Hari Ichlas dengan Dt Buruak untuk menyusun silsilah 
bersama dari keturunan Tuanku Imam Bonjol, yang akan saya bantu dengan program 
Family Tree Maker. Untuk memperoleh data yang otentik, Dr Saleh A Djamhari 
menyarankan agar Bung Hari Ichlas meminta ke Arsip Nasional   copy dokumen 
Belanda tentang keputusan dan pelaksanaan pembuangan Tuanku Imam Bonjol. 
Sebagai tindak lanjut, Bu Warni Darwis akan menghubungi Dra Mona Lohanda dari 
Arsip Nasional untk memperoleh dokumen lengkap tersebut, sedangkan pak Sjafnir 
Abu Nain akan mengunjungi daerah Bone-Takalar di Sulawesi Selatan untuk 
memperoleh informasi lanjutan  dari orang-orang Bugis mengenai Khatib 
Bayanudddin yang juga disebut sebagai Nuruddin bapak Tuanku Imam Bonjol.
            Secara pribadi saya menyarankan, demi kepastian hukum agar setelah 
ada kesepakatan mengenai silsilah Tuanku Imam Bonjol – baik tentang ibu bapak 
maupun keturunannya – agar silsilah yang sudah diintegrasikan tersebut 
diaktenotariskan dengan dukungan dua rang saksi atau lebih. Saya sarankan agar 
saksinya terdiri dari Datuak Buruak dan pak Sjafnir Abu Nain, tentu bisa 
ditambah dengan saksi-saksi lain
            Mengingat demikian banyaknya masalah yang masih perlu digali 
sekitar Gerakan Paderi dan Tuanku Imam Bonjol, serta masih belum jernihnya 
pemahaman mengenai ABS SBK sebagai ‘jati diri Minangkabau’, malam harinya 
timbul gagasan saya untuk mendorong terbentuknya sebuah Lembaga Kajian Gerakan 
Paderi, yang akan menindaklanjuti langkah-langkah awal yang sudah dirintis oleh 
kunjungan ini. Lokasinya sebaiknya di Museum Tuanku Imam Bonjol di Bonjol
            Gagasan saya ini Alhamdulillah disetujui, dengan susunan personalia 
antara lain Bp Sjafnir Abu Nain sebagai Ketua, Sri Raflesia sebagai Sekjen, Dr 
Saleh A Djamhari dan Amrin Imran sebagai Penasehat, serta Abu Pusponegoro dan 
Anthonyswan sebagai anggota. Bisa ditambah dengan tokoh-tokoh lain yang 
berminat. Bu Warni Darwis akan mencari notaris untuk membuatkan akta 
notarisnya. 
Secara pribadi saya berminat untuk menjadi sekedar penggembira dalam lembaga 
kajian baru ini, bukan hanya untuk melanjutkan kajian tentang ABS SBK yang 
sampai sekarang bagaikan tarandam indak basah tarapuang indk hanyuik itu, 
tetapi juga sebagai Dosen Prinsip-prinsip Organisasi dan Manajemen Pertahanan 
dari Program S2 UGM-Lemhannas, yang jelas akan bertumpu pada konsep Sistem 
Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Seperti juga dengan Perang 
Kemerdekaan RI antara tahun 1945-1949, Perang Paderi – khususnya antara tahun 
1833-1838 – merupakan contoh par excellence dari Sishankamrata itu.
 
Kunjungan ke Padang Mentinggi, Rao, 24 Agustus 2008, 06.15- 10.30.
            Kunjungan ini juga merupakan acara tambahan, untuk mengunjungi 
lokasi pertempuran setelah jatuhnya Bonjol. Di lokasi ini terdapat pemakaman 
dari keluarga pimpinan Paderi. Seperti diketahui, sebagian pimpinan Paderi yang 
tidak mau  menyerah kepada Belanda, meneruskan pelarian ke jurusan Riau . 
Daerah Rao ini memang dekat sekali ke daerah Rokan, Riau.  
            Di lokasi pemakaman, kami menyaksikan beberapa pemakaman, yang 
wujudnya aneh karena merupakan bukit-bukit kecil setinggi dua sampai tiga 
meter, berbeda dengan pemakaman umum yang ada di sekitarnya. Menurut 
kepercayaan penduduk, tanah makam tersebut naik sendiri, dan jika akan datang 
musibah akan terdengar getaran dari dalam makam tersebut.
 
Kembali ke Jakarta, 24 Agustus 2008, jam 17.00- 18.30.
            Setelah selesai, jam 10.30 rombongan langsung kembali ke Padang 
dari Padang Mentinggi, Rao, untuk mengejar pesawat sore itu juga. Rombongan 
dari Jakarta berpisah di sebuah warung di Rimbo Panti, setelah melepas haus dan 
makan soto serta nasi goreng untuk mengganjal perut dalam perjalanan panjang ke 
Padang.Kesan saya,s emua anggota rombongan merasa puas, sambil memperbincangkan 
apa yang akan dilakukan setelah perjalanan ini. Di Palupuh, kami sholat di 
mesjid yang menurut sejarah Tuanku Imam Bonjol ditangkap oleh Kapten Belanda 
Steinmetz.
            Jam 16.00 kami sampai di Ketaping, makan dahulu di Restoran Lamunan 
Ombak. Sedang makan tersebut didapat berita bahwa kedatangan pesawat Mandala 
yang akan kami tompangi akan delay sampai jam 21.00 karena faktor cuaca, dan 
sebagai gantinya kami pindah ke pesawat Sriwijaya Air, yang take off jam 17.00. 
Penerbangan BIM – Bandara Soekarno Hatta berjalan normal dan sampai di Jakarta 
jam 18.30.Alhamdulillah
            
            Sampai di sini dahulu. Laporan penutup insya Allah akan saya 
sampaikan setelah ini.         


Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED]



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke