Datuk Endang dan para sanak sa palanta, Sekedar sebagai tambahan, saya kutipkan halaman 986 alinea 1 dari karangan Jeffrey Hadler, yang menjelaskan bahwa momen ditetapkannya ABS SBK tersebut memang adalah setelah Tuanku Imam Bonjol mengirim utusan ke Mekkah untuk mengetahui perkembangan gerakan Wahabi. Menurut laporan Francis, dalam tahun 1837 ABS SBK ini sudah dipraktekkan secara luas. Begini bunyi tulisan Hadler tentang kebijakan Tuanku Imam Bonjol, bahwa Tuanku Imam Bonjol: : " ....restores the antebellum status quo, confining religious authority to matters of shariah and allowing customary leaders to adjudicate social issues. He proclaims that “adat basandi syarak”—shariah will be fundamental, even in questions of social custom. In fact, a Dutch administrator would report in 1837 the widespread acceptance of the formula, “Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di Adat,” which asserts that both Islamic law and local custom are mutually constituted and interdependent (Francis 1839, 113–14). Imam Bondjol claims a kind of victory in his accommodation with the traditionalists. Yet we know that he has dismantled the Padri as a Muslim revivalist move ..." Amat menarik, bahwa sama sekali tidak ada referensi tentang Bukik Marapalam. Wassalam, Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta) Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED]
--- On Sun, 8/31/08, Datuk Endang <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Datuk Endang <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [EMAIL PROTECTED] (Awal?) ABSSBK To: RantauNet@googlegroups.com Cc: [EMAIL PROTECTED] Date: Sunday, August 31, 2008, 9:59 PM Sanak yth. Sedikit lagi yang mengganjal dalam memasuki bulan Ramadhan ini, setelahnya saya akan coba beristirahat. Melanjutkan polemik mengenai kapan dirumuskannya Sumpah Sakti Bukit Marapalam : ”Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” (ABSSBK), saya menemukan beberapa makalah yang disampaikan pada Seminar Perang Paderi di ANRI awal tahun ini. Dari makalah Bachtiar Abna Dt. Rajo Suleman berdasarkan penelitian de Haan disebutkan bila Syekh Burhanuddin Ulakan memprakarsai perjanjian ABSSBK pada tahun 1686 untuk menggerakkan politik ekonomi. Sesuatu yang saya ragukan, karena seharusnya sumpah itu diprakarsai oleh para pemangku adat. Berikutnya adalah cuplikan artikel Dr. Soetan Maharadja (Dt. Bangkit), 1911-1913 dalam koran Oetoesan Melajoe yang menyebutkan tentang ABSSBK. Kemudian tulisan Syekh Suleiman Ar Rasuly (Inyiak Canduang) pada tanggal 7 Juni 1964 menyebutkan bila ABSSBK dirumuskan oleh penghulu-penghulu dan alim ulama serta pemuka lainnya di Luhak nan Tigo, Lareh nan Duo di Bukit Marapalam, dan diikrarkan sebagai berikut : - Penghulu rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik, manjua jauh manggantung tinggi; - Alim ulama suluh bendang dalam nagari, air nan janih sayak nan lancar tempat batanyo di Penghulu. Dalam pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Panghulu mamarintahkan. Berikutnya adalah Syekh Jalaluddin (Pakih Saghir), yang disebutkan hadir pada awal gerakan Paderi, namun di dalam bukunya tidak ada menyebutkan ABSSBK.. Bila tidak salah Rusli Amran dalam ”Sumatra Barat hingga Plakat Panjang” mengutip tentang surat Residen Francis tidak lama setelah tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol, bahwa kehidupan masyarakat Minang selanjutnya adalah berdasarkan ABSSBK. Kembali kepada buku Tuanku Imam Bonjol, hasil alih aksara Syafnir Dt. Kando, pada halaman 26 (naskah 41), diungkapkan ucapan Imam Bonjol seperti dulu pernah disitir juga oleh sanak Suryadi : ”Ada pun itu, kata Tuanku Kadi Basa, banyak lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita. Itupun memulangkan kepada tuanku”. Dan dijawab oleh Tuanku Imam Bonjol, ”Jika begitu kata Tuanku nan Baduo memulangkan kepada hamba pikiran itu dan pabueklah surat kepada Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao datang ke Bonjol boleh kita mufakat”. Dan setelah tercapai kata mufakat, ”Baiklah kita suruh anak kemenakana kita naik haji ke Mekkah mencari kitabullah nan adil”, kata Tuanku Imam. Dari mufakat ini akhirnya berangkat haji Tuanku Tambusai dan anak kemenakannya, Tuanku Rao menugaskan kemenakannya bergelar Pakih Sialu, Tuanku Imam Bonjol menugaskan kemenakannya bergelar Pakih Muhammad, dan Tuanku Kadi mewakilkan kemenakannya bergelar Pakih Malano. Saya dan Dt. Kando sepakat bila hal ini merupakan sebuah momentum untuk retrospeksi terhadap gerakan Paderi. Kejadian ini berlangsung setelah penaklukan Rokan – Bangkinang, tidak disebutkan tahunnya, namun saya perkirakan bisa jadi pada tahun 1820an. Sebenarnya kurun 1820an ini dapat dikatakan tidak ada kontak bersenjata antara Paderi Bonjol dan Tentara Hindia Belanda. Hal ini menurut hemat saya : - Peperangan Paderi berlangsung saluhak-saluhak, Tuanku Imam Bonjol dalam naskah itu tidak ada disebutkan berperang ke Luhak Agam dan Tanah Datar. Namun memang masuk ke wilayah Lima Puluh Kota hingga ke Rokan – Bangkinang, serta ke utara sampai ke Natal. Hal ini menunjukkan kesadaran Imam Bonjol terhadap ’wilayah adat’ di selatannya. - Mungkin ada pasukan Bonjol yang membantu ke Luhak nan Tiga, namun tidak disebutkan dalam naskah itu. Hal ini mengingat persaudaraan Paderi terdahulu, seperti kasus waktu menghadapi Dt. Sati. Mungkin juga kontak bersenjata Bonjol – Belanda telah berlangsung pada saat Belanda menduduki Air Bangis, kemungkinan pada 1821 (catatan Dt. Kando: tahun 1831). Dalam buku M. Radjab disebutkan persiapan Paderi Bonjol telah dimulai April 1823. Namun bila dilihat dari lembar naskah, kegiatan pulang haji terletak pada naskah no. 54, sedangkan cerita tentang pendudukan Simawang oleh Belanda (1821) berada pada no. 56. Saya sampaikan momentum berikutnya : yaitu ketika para haji pulang dari Mekah dengan membawa gelar baru, disebutkan : ”... maka itulah namanya dari tanah Mekah dan terbawa anyolai hukum kitabullah dan terpakailah kitabullah anyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dan kembali anyolai kepada segala yang punya ...” Sehingga koreksi terhadap gerakan Paderi dibawa oleh para kemenakan yang baru pulang dari Mekah. Dari posisi lembaran, sebenarnya ini untuk menunjukkan bahwa perjuangan berikutnya dari Paderi adalah ’mempertahankan kemerdekaan’. Saya masuk ke lembar 55, disebutkan : ”... dan pada hari Jum’at dan sekalian sudah tiba dalam masjid, antara belum lagi sembahyang, maka beliau Tuanku Imam dan memulangkan anyolai masa itu beliau dan sekalian hakim kepada sekalian basa dan penghulu dan segala raja-raja dalam negeri ini. ”Dan jikalau ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan oleh basa dan penghulu. Dan saya hendak tinggal dituahnya anyolai dan tidak lagi saya amuah (mau) masuk dalam pekerjaan basa dan penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan memulangkanlah saya buruk baik negeri ini,” kata beliau Tuanku Imam adanya. Maka menjawablah sekalian basa dan penghulu, ”Sungguhpun demikian kata Tuanku kepada kami, melainkan Tuanku juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kami akan ganti ninik mamak oleh kami dan kalau sasak (kesulitan) dan sempitnya pada kami melainkan tempat mengadu Tuanku juga dan pemelihara Tuanku juga kepada kami.” Itulah permintaan sekalian basa dan penghulu kepadaTuanku Imam. Dan kemudian itu terpakailah hukum nan sepanjang kitabullah dan penghulu dan andiko memakaikan hukum adat bersendi syarak. Dan jikalau bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu, dan jikalau ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan berempat.” Dari kutipan ini sebenarnya telah duduk ABSSBK di Alahan Panjang, yaitu setelah Tuanku Imam mendapatkan masukan dari perjalanan haji para anak kemenakannya itu. Dengan demikian Tuanku Imam ‘mengembalikan’ kekuasaan adat dan wilayah kepada para penghulu, sedangkan kekuasaan agama diserahkan kepada para malin. Lafaz kutipan di atas memang tidak persis ABSSBK, sehingga menimbulkan tafsir baru tentang ‘kapan’ kejadian sumpah sati di Bukit Marapalam itu. Momentum di mesjid Bonjol ini pada akhirnya sulit juga ditentukan waktunya, apakah sebelum 1821 (naskah 56), ataukah di sekitar tahun 1831-1832, yaitu setelah mulai ada penyerangan Belanda ke Manggopoh – Lubuk Basung (naskah 54). Saya sedikit berkeyakinan bila hal ini berlangsung pada tahun 1832 itu. Saya cukupkan demikian dulu, mohon maaf atas kesalahan, terlebih kita dalam menghadapi ibadah Ramadhan ini. Wassalam, -datuk endang --- On Mon, 8/11/08, Datuak Arifz <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Mak Ngah, Tarimo kasih banyak ateh koreksi MakNgah, supayo sajarah kito indak kacau babelok pulo. ambo mohon maaf, karano salah tulih dan kurangnyo pangatahuan tantang sajarah kito. kini ambo koreksi baliak : untuak no.2 pamikiran sumpah sakti ABS,SBK oleh Tuanku Imam Bonjol di Bukik Marapalam (peristiwa parang Padri) seharusnya ambo tulih : no.2 peristiwa Sumpah Satie Bukit Marapalam, yang berisikan ABS SBK pada tahun-tahun akhir perang Padri sekitar tahun 1837 wassallam, AZ Dt RajoAlam (37+) dibaliakpapan ______________Referensi___Palanta Rantau net. Pada hari Selasa, 22 Januari 2008, bertempat di Gedung Arsip Nasional RI telah diselenggarakan Diskusi Panel mengenai PERANG PADERI, 1803-1838, ASPEK SOSIAL BUDAYA, SOSIAL PSIKOLOGI, AGAMA, DAN MANAJEMEN KONFLIK. Diskusi ini dapat dikatakan suatu peristiwa yang bersejarah, karena untuk pertama kalinya konflik kekerasan yang terjadi di masa lalu yang melibatkan tiga etnis/ suku, yaitu Minangkabau, Batak dan Melayu Riau, dibahas bersama dalam suasana keakraban dan persaudaraan dengan semangat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin ini dapat menjadi "model penyelesaian" konflik yang terjadi antar etnis/suku lain di Indonesia. Pembukaan oleh Kepala Arsip Nasional, Djoko Utomo Pembicara: 1) Prof Dr Taufik Abdullah, tentang dinamika konflik dan konsensus antara Adat dan Islam di Minangkabau. 2) Prof Dr Franz Magnis Suseno, tentang pengalaman Perang 30 Tahun antara penganut Protestan dan Katolik di Eropa Barat, 1618-1648, serta penyelesaiannya dalam Perjanjian Westphalia. 3) Prof Dr `Azyumardi Azra, M.A tentang aneka makna "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah". 4) Dari MUI, tentang Mazhab Hanbali dan Kaum Wahabi. Paparan makalah dari masyarakat Minangkabau, baik dari Ranah di Sumatera Barat,maupun yang di Rantau, masyarakat Mandailing/Batak di Provinsi Sumatera Utara, dan masyarakat Melayu Riau di Provinsi Riau. Makalah dari masyarakat Provinsi Sumatera Barat, disampaikan oleh: 1) Prof Dr. Asmaniar Idris,M.A. 2) Bachtiar Abna, SH, MH, Dt Rajo Penghulu. 3) Drs. H.Sjafnir Aboe Nain. Makalah dari masyarakat Mandailing/Batak disampaikan oleh: 1) Prof. H. Bismar Siregar, SH. 2) Batara R. Hutagalung. Makalah yang mewakili Provinsi Riau, disampaikan oleh Prof. Dr. Suwardi M.S. Acara ditutup oleh Mayjen TNI (Purn.) Asril Tanjung, Ketua Gebu Minang Di bawah ini adalah Kesimpulan sementara dari diskusi panel tersebut. Arsip Nasional RI akan membukukan semua makalah. Ringkasan buku Mangaraja Onggang Parlindungan: 'Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 - 1833' dan makalah yang disampaikan oleh Batara R. Hutagalung dalam diskusi panel tersebut, dapat dibaca di weblog http://batarahutagalung.blogspot.com. Batara R. Hutagalung ================================================ TIM PERUMUS DISKUSI PANEL PERANG PADERI, 1803-1838 ASPEK SOSIAL BUDAYA, SOSIAL PSIKOLOGI, AGAMA, DAN MANAJEMEN KONFLIK JAKARTA, 22 JANUARI 2008. KESIMPULAN SEMENTARA (Draft awal Kesimpulan Sementara ini disusun oleh Dr. Saafroedin Bahar, dan disunting pertama kali oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah. Naskah yang sudah disunting ini dibahas lebih lanjut oleh Tim Perumus yang nama-nama dan tandatangannya tercantum di bagian akhir naskah ini. Kesimpulan ini kemudian dibacakan di depan Sidang Paripurna oleh Bp. H.Azaly Djohan S.H dari Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, didamping oleh Batara R. Hutagalung dan Dr. Saafroedin Bahar.) Suatu benang merah yang terlihat dengan jelas dalam demikian banyak cerita rakyat Indonesia di berbagai daerah adalah dambaan akan adanya suatu masyarakat yang damai, makmur, dan sejahtera dan dipimpin oleh pemimpin visioner yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Gerakan Paderi berlangsung selama 35 tahun, 1803-1838, di daerah- daerah yang sekarang merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Riau. Pada dasarnya Gerakan Paderi ini dapat dipandang sebagai bagian dari proses panjang penyesuaian antara adat dan budaya Minangkabau yang bersifat lokal dengan ajaran agama Islam yang bersifat universal. Gerakan Paderi ini mencakup tiga babak, yaitu babak Gerakan Paderi 1803-1821 sebagai gerakan intelektual pemurnian agama Islam dari berbagai kebiasaan masyarakat yang dilarang agama; Perang Paderi 1821-1833 merupakan taraf awal dari peperangan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda; dan Perang Minangkabau, 1833-1838 sewaktu seluruh masyarakat Minangkabau bersatu untuk melakukan perlawanan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dalam babak ketiga melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini sangat terkenal peranan Tuanku Imam Bonjol di daerah Minangkabau dan Tuanku Tambusai di daerah Riau, sehingga dalam rangka pembangunan semangat kebangsaan pasca kemerdekaan, kedua beliau tersebut dianugerahi oleh Pemerintah dengan gelar "Pahlawan Nasional" dan sudah barang tentu merupakan kebanggaan dari penduduk di daerah asalnya masing-masing, dan tidak perlu dipermasalahkan karena sudah berkekuatan hukum. Diskusi panel ini adalah upaya pertama kalinya untuk menjernihkan masalah kekerasan yang terjadi dalam sejarah masa lampau yang meliputi masyarakat beberapa daerah. Walaupun pada mulanya ada kekhawatiran akan terjadinya reaksi yang bersifat emosional terhadap beberapa hal yang dirasakan cukup peka, namun dari beberapa kali pertemuan pendahuluan yang dilaksanakan di beberapa daerah terbukti bahwa bukan saja masyarakat daerah sudah dapat bersikap dewasa, tetapi juga telah memberikan penafsiran yang lebih rasional - bahkan bantahan -- terhadap pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam beberapa buku dan artikel mengenai Perang Paderi ini. Kajian yang dilakukan oleh beberapa pemakalah menunjukkan bahwa pada awalnya Gerakan Paderi bukanlah merupakan suatu gerakan bersenjata, tetapi merupakan cerminan dari revolusi intelektual yang keras untuk memurnikan pengamalan ajaran agama dalam masyarakat yang sudah menganut agama Islam selama lebih dari dua abad. Kekerasan yang terjadi kemudian adalah merupakan ekses dari fanatisme, yang baru disadari setelah amat terlambat. Dalam hubungan ini adalah juga amat menarik untuk diketahui, bahwa sambil melanjutkan perjuangan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Tuanku Imam Bonjol dalam buku hariannya ternyata bukan saja mengadakan renungan ulang terhadap terjadinya kekerasan sesama penganut agama Islam, tetapi juga menyesalinya. Lebih dari itu beliau menyatakan bahwa perampasan, pembakaran, dan pembunuhan yang terjadi merupakan suatu hal yang tak diingini dan dilarang agama Islam terhadap sesama muslim. (Lihat makalah Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo, " Posisi Sumpah Sakti Bukit Marapalam sebagai Kesepakatan Paska Padri", makalah pada Diskusi Panel Perang Paderi, 22 Januari 2008, h. 7.) Adapun mengenai kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Bukit Marapalam atau Sumpah Satie Bukik Marapalam, yang berisikan ajaran 'Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah' - yang biasa disingkat sebagai ABS SBK dan biasanya dianggap disepakati pada tahun-tahun terakhir Perang Paderi sekitar tahun 1837 - walaupun ada informasi bahwa ajaran tersebut] sudah ada sejak tahun 1686, atau 151 tahun sebelumnya. Di Bukit Marapalam ini juga berlangsung beberapa kali pertemuan dengan tema serupa. (Dengan demikian, kelihatannya posisi Bukit Marapalam pada saat itu bagaikan posisi Jenewa di zaman sekarang, yaitu sebagai lokasi terjadinya beberapa peristiwa besar. Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo, op.cit. h. 2, h.8. Amat menarik untuk diperhatikan bahwa masalah yang menjadi pusat perhatian ABS SBK ini adalah masalah harta pusaka dan harta pencaharian, yang ternyata masih menjadi masalah sampai saat ini.) Kajian kesejarahan terhadap Perang Paderi ini bukan hanya bermanfaat untuk sekedar mengetahui kebenaran fakta-fakta sejarah masa lampau, tetapi juga untuk memantapkan identitas masyarakat dari masyarakat yang terkait. Bagi masyarakat Batak, kajian kesejarahan terhadap Perang Paderi akan memberikan pencerahan bukan hanya tentang mengapa masyarakat Batak bagian utara beragama Kristen dan masyarakat Batak bagian selatan beragama Islam, tetapi juga untuk mengambil hikmah dari sejarah ketika kekerasan dilakukan atas nama sesuatu yang tidak bisa diperdebatkan. Bagi masyarakat Minangkabau, kajian terhadap sejarah Gerakan Paderi ini bukan hanya menjelaskan tentang adanya tiga babak Gerakan Paderi tersebut, tetapi juga kenyataan bahwa adanya kesadaran pimpinan Paderi bahwa Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan keadilan. Kajian ini memberi bahan bagi kaum terpelajar Sumatera Barat untuk membantu menyelesaikan draft pertama Kompilasi Hukum ABS SBK yang sudah dikumandangkan sebagai jati diri Minangkabau. Pada masyarakat Melayu pada umumnya, kajian terhadap Perang Paderi ini lebih mengukuhkan kebanggaan terhadap Tuanku Tambusai, Panglima Perang Paderi terakhir, yang telah melanjutkan Perang Paderi dan tidak dapat ditundukkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Diskusi panel ini bukanlah akhir dari wacana mengenai Perang Paderi yang terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Diskusi panel ini merupakan awal dari rangkaian kajian pendalaman demi membangun masa depan yang damai, makmur, dan sejahtera, sebagai bagian menyeluruh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita bangun dan kembangkan bersama. Kepada seluruh kalangan yang telah memungkinkan terlaksananya Diskusi Panel ini, khususnya kepada pimpinan dan jajaran Arsip Nasional, pimpinan Gebu Minang, Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, para panelis, serta para donatur, atas nama seluruh peserta Diskusi Panel Tim Perumus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Semoga Allah subhana wa taala menganugerahkan taufiq, hidayat, dan inayah-Nya kepada kita semua. Jakarta, 22 Januari 2008. TIM PERUMUS, 1. H.M. Azaly Djohan S.H. Sekr.Nasional M.H.A. 2. Batara R.Hutagalung. 3. Prof. Dr.Suwardi M.S. 4. Bachtiar Abna S.H., M.H. LKAAM Sumbar. 5. R.E.Ermansyah Yamin Gebu Minang 6. Drs. H.Sjafnir Aboe Nain Penulis. 7. H.Mas'oed Abidin PPIM 8. Drs. H. Farhan Moein Dt Bagindo. 9. Prof.Dr. Syafrinaldi, S.H. MCL 10. Amrin Imran. 11. Dr. Saafroedin Bahar Diketik kembali dengan suntingan redaksional seperlunya oleh Dr.Saafroedin Bahar Jakarta, 23 Januari 2008. --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---