Datuk Endang dan para sanak sa palanta, 
Sekedar sebagai tambahan, saya kutipkan halaman 986 alinea 1 dari karangan 
Jeffrey Hadler, yang menjelaskan bahwa momen ditetapkannya ABS SBK tersebut 
memang adalah setelah Tuanku Imam Bonjol mengirim utusan ke Mekkah untuk 
mengetahui perkembangan gerakan Wahabi. Menurut laporan Francis, dalam tahun 
1837 ABS SBK ini sudah dipraktekkan secara luas. Begini bunyi tulisan Hadler 
tentang kebijakan Tuanku Imam Bonjol, bahwa Tuanku Imam Bonjol: : 
  
" ....restores the antebellum status quo, confining religious authority to 
matters of shariah and allowing customary leaders to adjudicate social issues. 
He proclaims that “adat basandi syarak”—shariah will be fundamental, even in 
questions of social custom. In fact, a Dutch administrator would report in 1837 
the widespread acceptance of the formula, “Adat barsan di Sarak dan Sarak 
barsan di Adat,” which asserts that both Islamic law and local custom are 
mutually constituted and interdependent (Francis 1839, 113–14). Imam Bondjol 
claims a kind of victory in his accommodation with the traditionalists. Yet we 
know that he has dismantled the Padri as a Muslim revivalist move ..."
       Amat menarik, bahwa sama sekali tidak ada referensi tentang Bukik 
Marapalam.
 
Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta)
Alternate e-mail address: [EMAIL PROTECTED]


--- On Sun, 8/31/08, Datuk Endang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Datuk Endang <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [EMAIL PROTECTED] (Awal?) ABSSBK
To: RantauNet@googlegroups.com
Cc: [EMAIL PROTECTED]
Date: Sunday, August 31, 2008, 9:59 PM







Sanak yth. 
Sedikit lagi yang mengganjal dalam memasuki bulan Ramadhan ini, setelahnya saya 
akan coba beristirahat. 
  
Melanjutkan polemik mengenai kapan dirumuskannya Sumpah Sakti Bukit Marapalam : 
”Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” (ABSSBK), saya menemukan 
beberapa makalah yang disampaikan pada Seminar Perang Paderi di ANRI awal tahun 
ini. 
  
Dari makalah Bachtiar Abna Dt. Rajo Suleman berdasarkan penelitian de Haan 
disebutkan bila Syekh Burhanuddin Ulakan memprakarsai perjanjian ABSSBK pada 
tahun 1686 untuk menggerakkan politik ekonomi. Sesuatu yang saya ragukan, 
karena seharusnya sumpah itu diprakarsai oleh para pemangku adat. 
  
Berikutnya adalah cuplikan artikel Dr. Soetan Maharadja (Dt. Bangkit), 
1911-1913 dalam koran Oetoesan Melajoe yang menyebutkan tentang ABSSBK. 
  
Kemudian tulisan Syekh Suleiman Ar Rasuly (Inyiak Canduang) pada tanggal 7 Juni 
1964 menyebutkan bila ABSSBK dirumuskan oleh penghulu-penghulu dan alim ulama 
serta pemuka lainnya di Luhak nan Tigo, Lareh nan Duo di Bukit Marapalam, dan 
diikrarkan sebagai berikut : 
- Penghulu rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik, manjua jauh 
manggantung tinggi; 
- Alim ulama suluh bendang dalam nagari, air nan janih sayak nan lancar tempat 
batanyo di Penghulu. 
Dalam pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Panghulu mamarintahkan. 
  
Berikutnya adalah Syekh Jalaluddin (Pakih Saghir), yang disebutkan hadir pada 
awal gerakan Paderi, namun di dalam bukunya tidak ada menyebutkan ABSSBK.. 
  
Bila tidak salah Rusli Amran dalam ”Sumatra Barat hingga Plakat Panjang” 
mengutip tentang surat Residen Francis tidak lama setelah tertangkapnya Tuanku 
Imam Bonjol, bahwa kehidupan masyarakat Minang selanjutnya adalah berdasarkan 
ABSSBK. 
  
Kembali kepada  buku Tuanku Imam Bonjol, hasil alih aksara Syafnir Dt. Kando, 
pada halaman 26 (naskah 41), diungkapkan ucapan Imam Bonjol seperti dulu pernah 
disitir juga oleh sanak Suryadi : ”Ada pun itu, kata Tuanku Kadi Basa, banyak 
lagi nan terlampau hukum kitab oleh kita. Itupun memulangkan kepada tuanku”. 
Dan dijawab oleh Tuanku Imam Bonjol, ”Jika begitu kata Tuanku nan Baduo 
memulangkan kepada hamba pikiran itu dan pabueklah surat kepada Tuanku Tambusai 
dan Tuanku Rao datang ke Bonjol boleh kita mufakat”. 
  
Dan setelah tercapai kata mufakat, ”Baiklah kita suruh anak kemenakana kita 
naik haji ke Mekkah mencari kitabullah nan adil”, kata Tuanku Imam. Dari 
mufakat ini akhirnya berangkat haji Tuanku Tambusai dan anak kemenakannya, 
Tuanku Rao menugaskan kemenakannya bergelar Pakih Sialu, Tuanku Imam Bonjol 
menugaskan kemenakannya bergelar Pakih Muhammad, dan Tuanku Kadi mewakilkan 
kemenakannya bergelar Pakih Malano. Saya dan Dt. Kando sepakat bila hal ini 
merupakan sebuah momentum untuk retrospeksi terhadap gerakan Paderi. 
  
Kejadian ini berlangsung setelah penaklukan Rokan – Bangkinang, tidak 
disebutkan tahunnya, namun saya perkirakan bisa jadi pada tahun 1820an. 
Sebenarnya kurun 1820an ini dapat dikatakan tidak ada kontak bersenjata antara 
Paderi Bonjol dan Tentara Hindia Belanda. Hal ini menurut hemat saya : 
- Peperangan Paderi berlangsung saluhak-saluhak, Tuanku Imam Bonjol dalam 
naskah itu tidak ada disebutkan berperang ke Luhak Agam dan Tanah Datar. Namun 
memang masuk ke wilayah Lima Puluh Kota hingga ke Rokan – Bangkinang, serta ke 
utara sampai ke Natal. Hal ini menunjukkan kesadaran Imam Bonjol terhadap 
’wilayah adat’ di selatannya. 
- Mungkin ada pasukan Bonjol yang membantu ke Luhak nan Tiga, namun tidak 
disebutkan dalam naskah itu. Hal ini mengingat persaudaraan Paderi terdahulu, 
seperti kasus waktu menghadapi Dt. Sati. 
  
Mungkin juga kontak bersenjata Bonjol – Belanda telah berlangsung pada saat 
Belanda menduduki Air Bangis, kemungkinan pada 1821 (catatan Dt. Kando: tahun 
1831). Dalam buku M. Radjab disebutkan persiapan Paderi Bonjol telah dimulai 
April 1823. 
  
Namun bila dilihat dari lembar naskah, kegiatan pulang haji terletak pada 
naskah no. 54, sedangkan cerita tentang pendudukan Simawang oleh Belanda (1821) 
berada pada no. 56. Saya sampaikan momentum berikutnya : yaitu ketika para haji 
pulang dari Mekah dengan membawa gelar baru, disebutkan : ”... maka itulah 
namanya dari tanah Mekah dan terbawa anyolai hukum kitabullah dan terpakailah 
kitabullah anyolai. Jadi pulanglah segala harta rampasan dan kembali anyolai 
kepada segala yang punya ...” Sehingga koreksi terhadap gerakan Paderi dibawa 
oleh para kemenakan yang baru pulang dari Mekah. Dari posisi lembaran, 
sebenarnya ini untuk menunjukkan bahwa perjuangan berikutnya dari Paderi adalah 
’mempertahankan kemerdekaan’. 
  
Saya masuk ke lembar 55, disebutkan : ”... dan pada hari Jum’at dan sekalian 
sudah tiba dalam masjid, antara belum lagi sembahyang, maka beliau Tuanku Imam 
dan memulangkan anyolai masa itu beliau dan sekalian hakim kepada sekalian basa 
dan penghulu dan segala raja-raja dalam negeri ini. ”Dan jikalau ada lagi 
datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan oleh basa dan penghulu. Dan 
saya hendak tinggal dituahnya anyolai dan tidak lagi saya amuah (mau) masuk 
dalam pekerjaan basa dan penghulu di dalam nagari Alahan Panjang ini. Dan 
memulangkanlah saya buruk baik negeri ini,” kata beliau Tuanku Imam adanya. 
Maka menjawablah sekalian basa dan penghulu, ”Sungguhpun demikian kata Tuanku 
kepada kami, melainkan Tuanku juga yang kami harapkan. Adapun Tuanku oleh kami 
akan ganti ninik mamak oleh kami dan kalau sasak (kesulitan) dan sempitnya pada 
kami melainkan tempat mengadu Tuanku juga dan pemelihara Tuanku juga kepada 
kami.” Itulah permintaan
 sekalian basa dan penghulu kepadaTuanku Imam. Dan kemudian itu terpakailah 
hukum nan sepanjang kitabullah dan penghulu dan andiko memakaikan hukum adat 
bersendi syarak. Dan jikalau bersalahan adat pulang kepada basa dan penghulu, 
dan jikalau ada bersalahan kitabullah pulang kepada malin nan berempat.” 
  
Dari kutipan ini sebenarnya telah duduk ABSSBK di Alahan Panjang, yaitu setelah 
Tuanku Imam mendapatkan masukan dari perjalanan haji para anak kemenakannya 
itu. Dengan demikian Tuanku Imam ‘mengembalikan’ kekuasaan adat dan wilayah 
kepada para penghulu, sedangkan kekuasaan agama diserahkan kepada para malin. 
Lafaz kutipan di atas memang tidak persis ABSSBK, sehingga menimbulkan tafsir 
baru tentang ‘kapan’ kejadian sumpah sati di Bukit Marapalam itu. 
  
Momentum di mesjid Bonjol ini pada akhirnya sulit juga ditentukan waktunya, 
apakah sebelum 1821 (naskah 56), ataukah di sekitar tahun 1831-1832, yaitu 
setelah mulai ada penyerangan Belanda ke Manggopoh – Lubuk Basung (naskah 54). 
Saya sedikit berkeyakinan bila hal ini berlangsung pada tahun 1832 itu. 
  
Saya cukupkan demikian dulu, mohon maaf atas kesalahan, terlebih kita dalam 
menghadapi ibadah Ramadhan ini. 
  
Wassalam, 
-datuk endang

--- On Mon, 8/11/08, Datuak Arifz <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Mak Ngah,

Tarimo kasih banyak ateh koreksi MakNgah,
supayo sajarah kito indak kacau babelok pulo.
ambo mohon maaf, karano salah tulih dan kurangnyo pangatahuan tantang
sajarah kito.

kini ambo koreksi baliak :
untuak
no.2  pamikiran sumpah sakti ABS,SBK oleh Tuanku Imam Bonjol
        di Bukik Marapalam (peristiwa parang Padri)

seharusnya ambo tulih :

no.2  peristiwa Sumpah Satie Bukit Marapalam, yang berisikan ABS SBK
pada tahun-tahun akhir
        perang Padri sekitar tahun 1837

wassallam,
AZ Dt RajoAlam (37+)
dibaliakpapan

______________Referensi___Palanta Rantau net.

 Pada hari Selasa, 22 Januari 2008, bertempat di Gedung Arsip Nasional
RI
telah diselenggarakan Diskusi Panel mengenai PERANG PADERI, 1803-1838,
ASPEK
SOSIAL BUDAYA, SOSIAL PSIKOLOGI, AGAMA, DAN MANAJEMEN KONFLIK.
Diskusi ini dapat dikatakan suatu peristiwa yang bersejarah, karena
untuk
pertama kalinya konflik kekerasan yang terjadi di masa lalu yang
melibatkan
tiga etnis/ suku, yaitu Minangkabau, Batak dan Melayu Riau, dibahas
bersama
dalam suasana keakraban dan persaudaraan dengan semangat menjaga
keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mungkin ini dapat menjadi "model penyelesaian" konflik yang terjadi
antar
etnis/suku lain di Indonesia.
Pembukaan oleh Kepala Arsip Nasional, Djoko Utomo
Pembicara:
1) Prof Dr Taufik Abdullah, tentang dinamika konflik dan konsensus
antara
Adat dan Islam di Minangkabau.
2) Prof Dr Franz Magnis Suseno, tentang pengalaman Perang 30 Tahun
antara
penganut Protestan dan Katolik di Eropa Barat, 1618-1648, serta
penyelesaiannya dalam Perjanjian Westphalia.
3) Prof Dr `Azyumardi Azra, M.A tentang aneka makna "Adat Basandi
Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah".
4) Dari MUI, tentang Mazhab Hanbali dan Kaum Wahabi.
Paparan makalah dari masyarakat Minangkabau, baik dari Ranah di
Sumatera
Barat,maupun yang di Rantau, masyarakat Mandailing/Batak di Provinsi
Sumatera Utara, dan masyarakat Melayu Riau di Provinsi Riau.
Makalah dari masyarakat Provinsi Sumatera Barat, disampaikan oleh:
1) Prof Dr. Asmaniar Idris,M.A.
2) Bachtiar Abna, SH, MH, Dt Rajo Penghulu.
3) Drs. H.Sjafnir Aboe Nain.
Makalah dari masyarakat Mandailing/Batak disampaikan oleh:
1) Prof. H. Bismar Siregar, SH.
2) Batara R. Hutagalung.
Makalah yang mewakili Provinsi Riau, disampaikan oleh Prof. Dr.
Suwardi M.S.
Acara ditutup oleh Mayjen TNI (Purn.) Asril Tanjung, Ketua Gebu
Minang
Di bawah ini adalah Kesimpulan sementara dari diskusi panel tersebut.
Arsip Nasional RI akan membukukan semua makalah.
Ringkasan buku Mangaraja Onggang Parlindungan: 'Tuanku Rao. Teror
Agama
Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 - 1833' dan makalah yang
disampaikan oleh Batara R. Hutagalung dalam diskusi panel tersebut,
dapat
dibaca di weblog http://batarahutagalung.blogspot.com.
Batara R. Hutagalung
================================================
TIM PERUMUS
DISKUSI PANEL PERANG PADERI, 1803-1838
ASPEK SOSIAL BUDAYA, SOSIAL PSIKOLOGI, AGAMA,
DAN MANAJEMEN KONFLIK
JAKARTA, 22 JANUARI 2008.
KESIMPULAN SEMENTARA
(Draft awal Kesimpulan Sementara ini disusun oleh Dr. Saafroedin
Bahar, dan
disunting pertama kali oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah. Naskah yang
sudah
disunting ini dibahas lebih lanjut oleh Tim Perumus yang nama-nama
dan
tandatangannya tercantum di bagian akhir naskah ini. Kesimpulan ini
kemudian
dibacakan di depan Sidang Paripurna oleh Bp. H.Azaly Djohan S.H dari
Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, didamping oleh Batara R.
Hutagalung dan Dr. Saafroedin Bahar.)
Suatu benang merah yang terlihat dengan jelas dalam demikian banyak
cerita
rakyat Indonesia di berbagai daerah adalah dambaan akan adanya suatu
masyarakat yang damai, makmur, dan sejahtera dan dipimpin oleh
pemimpin
visioner yang memerintah dengan adil dan bijaksana.
Gerakan Paderi berlangsung selama 35 tahun, 1803-1838, di daerah-
daerah yang
sekarang merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat, Provinsi
Sumatera
Utara, dan Provinsi Riau. Pada dasarnya Gerakan Paderi ini dapat
dipandang
sebagai bagian dari proses panjang penyesuaian antara adat dan budaya
Minangkabau yang bersifat lokal dengan ajaran agama Islam yang
bersifat
universal.
Gerakan Paderi ini mencakup tiga babak, yaitu babak Gerakan Paderi
1803-1821
sebagai gerakan intelektual pemurnian agama Islam dari berbagai
kebiasaan
masyarakat yang dilarang agama; Perang Paderi 1821-1833 merupakan
taraf awal
dari peperangan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda; dan
Perang
Minangkabau, 1833-1838 sewaktu seluruh masyarakat Minangkabau bersatu
untuk
melakukan perlawanan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
Dalam babak ketiga melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini
sangat
terkenal peranan Tuanku Imam Bonjol di daerah Minangkabau dan Tuanku
Tambusai di daerah Riau, sehingga dalam rangka pembangunan semangat
kebangsaan pasca kemerdekaan, kedua beliau tersebut dianugerahi oleh
Pemerintah dengan gelar "Pahlawan Nasional" dan sudah barang tentu
merupakan
kebanggaan dari penduduk di daerah asalnya masing-masing, dan tidak
perlu
dipermasalahkan karena sudah berkekuatan hukum.
Diskusi panel ini adalah upaya pertama kalinya untuk menjernihkan
masalah
kekerasan yang terjadi dalam sejarah masa lampau yang meliputi
masyarakat
beberapa daerah. Walaupun pada mulanya ada kekhawatiran akan
terjadinya
reaksi yang bersifat emosional terhadap beberapa hal yang dirasakan
cukup
peka, namun dari beberapa kali pertemuan pendahuluan yang dilaksanakan
di
beberapa daerah terbukti bahwa bukan saja masyarakat daerah sudah
dapat
bersikap dewasa, tetapi juga telah memberikan penafsiran yang lebih
rasional
- bahkan bantahan -- terhadap pernyataan-pernyataan yang terdapat
dalam
beberapa buku dan artikel mengenai Perang Paderi ini.
Kajian yang dilakukan oleh beberapa pemakalah menunjukkan bahwa pada
awalnya
Gerakan Paderi bukanlah merupakan suatu gerakan bersenjata, tetapi
merupakan
cerminan dari revolusi intelektual yang keras untuk memurnikan
pengamalan
ajaran agama dalam masyarakat yang sudah menganut agama Islam selama
lebih
dari dua abad. Kekerasan yang terjadi kemudian adalah merupakan ekses
dari
fanatisme, yang baru disadari setelah amat terlambat. Dalam hubungan
ini
adalah juga amat menarik untuk diketahui, bahwa sambil melanjutkan
perjuangan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda,
Tuanku
Imam Bonjol dalam buku hariannya ternyata bukan saja mengadakan
renungan
ulang terhadap terjadinya kekerasan sesama penganut agama Islam,
tetapi juga
menyesalinya. Lebih dari itu beliau menyatakan bahwa perampasan,
pembakaran,
dan pembunuhan yang terjadi merupakan suatu hal yang tak diingini dan
dilarang agama Islam terhadap sesama muslim.
(Lihat makalah Drs. H. Sjafnir  Aboe Nain Dt Kando  Marajo, " Posisi
Sumpah Sakti Bukit Marapalam sebagai Kesepakatan Paska
Padri", makalah pada Diskusi Panel Perang Paderi, 22 Januari 2008, h.
7.)
Adapun mengenai kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Bukit Marapalam
atau
Sumpah Satie Bukik Marapalam, yang berisikan ajaran 'Adat Basandi
Syarak
Syarak Basandi Kitabullah' - yang biasa disingkat sebagai ABS SBK dan
biasanya dianggap disepakati pada tahun-tahun terakhir Perang Paderi
sekitar
tahun 1837 - walaupun ada informasi bahwa ajaran tersebut] sudah ada
sejak
tahun 1686, atau 151 tahun sebelumnya. Di Bukit Marapalam ini juga
berlangsung beberapa kali pertemuan dengan tema serupa. (Dengan
demikian,
kelihatannya posisi Bukit Marapalam pada saat itu bagaikan posisi
Jenewa di
zaman sekarang, yaitu sebagai lokasi terjadinya beberapa peristiwa
besar.
Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo, op.cit. h. 2, h.8. Amat
menarik
untuk diperhatikan bahwa masalah yang menjadi pusat perhatian ABS SBK
ini
adalah masalah harta pusaka dan harta pencaharian, yang ternyata
masih
menjadi masalah sampai saat ini.)
Kajian kesejarahan terhadap Perang Paderi ini bukan hanya bermanfaat
untuk
sekedar mengetahui kebenaran fakta-fakta sejarah masa lampau, tetapi
juga
untuk memantapkan identitas masyarakat dari masyarakat yang terkait.
Bagi masyarakat Batak, kajian kesejarahan terhadap Perang Paderi akan
memberikan pencerahan bukan hanya tentang mengapa masyarakat Batak
bagian
utara beragama Kristen dan masyarakat Batak bagian selatan beragama
Islam,
tetapi juga untuk mengambil hikmah dari sejarah ketika kekerasan
dilakukan
atas nama sesuatu yang tidak bisa diperdebatkan.
Bagi masyarakat Minangkabau, kajian terhadap sejarah Gerakan Paderi
ini
bukan hanya menjelaskan tentang adanya tiga babak Gerakan Paderi
tersebut,
tetapi juga kenyataan bahwa adanya kesadaran pimpinan Paderi bahwa
Islam
adalah agama yang membawa kedamaian dan keadilan. Kajian ini memberi
bahan
bagi kaum terpelajar Sumatera Barat untuk membantu menyelesaikan
draft
pertama Kompilasi Hukum ABS SBK yang sudah dikumandangkan sebagai jati
diri Minangkabau.
Pada masyarakat Melayu pada umumnya, kajian terhadap Perang Paderi ini
lebih
mengukuhkan kebanggaan terhadap Tuanku Tambusai, Panglima Perang
Paderi
terakhir, yang telah melanjutkan Perang Paderi dan tidak dapat
ditundukkan
oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Diskusi panel ini bukanlah akhir dari wacana mengenai Perang Paderi
yang
terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Diskusi panel ini merupakan
awal
dari rangkaian kajian pendalaman demi membangun masa depan yang
damai,
makmur, dan sejahtera, sebagai bagian menyeluruh dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang kita bangun dan kembangkan bersama.
Kepada seluruh kalangan yang telah memungkinkan terlaksananya Diskusi
Panel
ini, khususnya kepada pimpinan dan jajaran Arsip Nasional, pimpinan
Gebu
Minang, Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, para panelis,
serta para
donatur, atas nama seluruh peserta Diskusi Panel Tim Perumus
mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya.
Semoga Allah subhana wa taala menganugerahkan taufiq, hidayat, dan
inayah-Nya kepada kita semua.
Jakarta, 22 Januari 2008.
TIM PERUMUS,
1. H.M. Azaly Djohan S.H. Sekr.Nasional M.H.A.
2. Batara R.Hutagalung.
3. Prof. Dr.Suwardi M.S.
4. Bachtiar Abna S.H., M.H. LKAAM Sumbar.
5. R.E.Ermansyah Yamin Gebu Minang
6. Drs. H.Sjafnir Aboe Nain Penulis.
7. H.Mas'oed Abidin PPIM
8. Drs. H. Farhan Moein Dt Bagindo.
9. Prof.Dr. Syafrinaldi, S.H. MCL
10. Amrin Imran.
11. Dr. Saafroedin Bahar

Diketik kembali dengan suntingan redaksional seperlunya oleh
Dr.Saafroedin  Bahar
Jakarta, 23 Januari 2008.







      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke