Surau, dan Kerisauan
Orang Minang
Oleh Nelson Alwi 

Sabtu, 20 September 2008

EKSISTENSI atau pun sumbangsih surau bagi keselarasan (ke)hidup(an)
sosial-keagamaan masyarakat Minang, tak bakalan tergerus dari ingatan.
Ya, surau pernah berperan besar lagi sangat signifikan sekali. Selain
sebagai tempat beribadah, surau berfungsi menampung kakek-kakek uzur
tiada berdaya, para duda, musafir atau anak dagang, apalagi anak-anak
serta remaja yang hendak menuntut ilmu: dunia dan akhirat. 

Di surau, seorang anak -terutama remaja putra akilbalig- tidak hanya
diwajibkan mengaji-mendalami Al-Quran atau mempelajari seluk-beluk agama
Islam, tetapi juga dibekali ilmu bela diri pencak silat maupun kesenian
dan, secara tidak langsung dilatih menyimak dan menuturkan sebuah cerita
berikut berbagai pengalaman sehari-hari di samping belajar mendiskusikan
permasalahan hidup dan kehidupan yang serba komplit. 

Pendek kata memang demikian situasi dan arti keberadaan surau,
setidaknya, pada beberapa dekade akhir abad XIX hingga penggalan kedua
abad ke-20. Tak heran kalau dari surau kemudian muncul banyak tukang
kaba yang piawai berkisah, yang keprofesionalannya diperhitungkan di
berbagai ajang seperti acara "alek nagari", pesta perkawinan, khitanan
dan juga di stasiun-stasiun kereta api atau di lepau-lepau kopi. Artinya
adalah, surau turut serta mengukuhkembangkan tradisi sastra(wan) lisan
Minangkabau. 

Bahkan ada yang mengklaim, bahwa benang merah peralihan dari sastra
lisan ke sastra tulis pada etnik yang tak punya aksara ini, bisa
ditelusuri melalui sejarah pertumbuhan pendidikan surau. Orang-orang
surau, pada kurun tertentu, dengan gemilang berhasil membudidayakan
huruf Arab -menjelma menjadi aksara Arab-Melayu- untuk mengkonkretkan
buah pikiran mereka dalam bentuk tulisan atau buku. Dan sebagaimana
diketahui, setelah mengenal huruf Latin, sederetan panjang (nama)
pengarang asal daerah ini eksis mendominasi paling tidak tiga dekade
awal blantika kesusastraan Indonesia modern. 

Lebih jauh dapat dikatakan, hampir semua tokoh kenamaan di berbagai
bidang mengawali segalanya di dan dari surau. Sebutlah umpamanya para
intelektual (ekonom, ahli hukum, politikus, jurnalis, sejarawan,
negarawan maupun diplomat ulung) sekaliber H Agoes Salim, Bung Hatta, M
Yamin, Adinegoro, Natsir, Hamka dan lain sebagainya. Demikian pula
dengan tokoh pembaharu pelopor Sumatera Thawalib seperti H Abdul Karim
Amrullah alias Inyiak Rasua (yang juga dikenal sebagai Doktor HC pertama
di Indonesia) dan Zainuddin Labay El Yunusi, atau Abdullah Ahmad pendiri
perguruan Adabiah -ketiganya murni berpendidikan surau dan, untuk sekian
lama mengajar atau berkiprah di Surau Jambatan Basi Padang Panjang. 

Ya. Pada masanya, kehidupan institusi (ke)surau(an) di Ranah Minang
tampak begitu bergairah. Surau senantiasa membuka pintu selebar-lebarnya
buat semua orang. Surau berhasil menyalurkan aspirasi para orangtua.
Surau menjadi tumpuan harapan masyarakat Minang. Agaknya, tak ada "urang
awak" yang tak pernah bersentuhan dengan surau. 

Ironinya, kenapa tradisi kesurauan yang terang-terangan bermanfaat dan
berhasil melahirkan sejumlah figur kharismatik bertaraf (inter)nasional
itu sirna dan, tidakkah seyogianya dihidupkan saja kembali? Tak
berlebihan kiranya kalau muncul kesadaran dan pemikiran yang mengusik
seperti itu, yang kemudian mengental setelah melihat kenyataan semakin
minimnya orang Minang yang berprestasi dan sukses di forum-forum
bergengsi lagi menentukan, semakin tipisnya pemahaman (ber)agama dan
kian merosotnya rasa serta nilai-nilai keminangkabauan di tengah
masyarakat. 

Nah. Tetapi menurut hemat saya, kerisauan maupun keprihatinan atau
katakanlah persoalan orang Minang saat ini takkan selesai dengan hanya
mendengung-dengungkan tradisi kesurauan melalui wacana "kembali ke
surau". Dengan kata lain, idiomatik "kembali ke surau" yang beberapa
waktu berselang santer diteriakkan sebagian orang Minang (baca: para
sentimentalis-konservatif) memang tidak lebih dari semacam jargon yang,
kini benar-benar sudah kehilangan gaung. 

Seperti dan atau bagaimana surau yang dimaksud/diprogramkan itu memang
belum jelas rumusan dan duduk-tegaknya. Setidaknya saya membayangkan
sebuah surau yang lengkap dengan fasilitas modern seperti perpustakaan,
sarana dan prasarana olah raga, peralatan musik, televisi, komputer
serta pe-es yang game-gamenya bernuansa Islam(i), sehingga anak-anak
maupun remaja betah. 

Kecuali itu, kalaulah kita mencoba membolik-balik lembaran masa lalu
bangsa ini, akan ditemui sesuatu yang mencengangkan, yang bisa jadi
dicap sebagai tesis atau analisis yang harus dibuktikan kebenarannya. 

Politik atau sistem pemerintahan yang diterapkan kolonialisme Belanda
selama berabad-abad begitu membelenggu bangsa Indonesia, termasuk etnik
Minangkabau. Dan ini, lambat-laun membuat kalangan bernalar tinggi
sadar, bahwa kalau ingin maju dan merdeka kita musti berani menentukan
sikap. Dalam segala hal kita tidak perlu tergantung pada penguasa lalim
yang senantiasa membatasi ruang gerak kita di Tanah Air sendiri,
terutama hak untuk memperoleh pendidikan (formal). 

Lantas, mereka yang memahami pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan
pun melirik dan berbondong-bondong mendayagunakan surau, yang kala itu
merupakan salah sebuah (atau mungkin satu-satunya) alternatif paling
aman. Surau toh merupakan lembaga agama dan produk budaya asli yang
relatif steril dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda. 

Dengan demikian jelaslah, pada satu kurun waktu tertentu orang-orang
sadar, cerdas dan bersemangat pergi dan menimba ilmu di surau-surau.
Komunitas atau masyarakat surau bukan hanya terdiri dari orang-orang
yang "berputus-asa". Pamor surau tidak identik lagi dengan orang tua
uzur, para duda, remaja tanggung, orang kemalaman dan keserbalusuhan
"pakiah" (santri): memakai peci yang sudah memudar, baju gunting cina,
berkain sarung, kemana-mana menyandang buntil(an) beras dan kotak wakaf,
berjalan atau berujar membungkuk-bungkuk dan tidak berani menatap mata
lawan bicara yang kelihatan lebih "wah". 

Jadi, bicara tentang "kejayaan" (pendidikan) surau adalah menyangkut
situasi dan kondisi zaman semata, yang tidak boleh tidak menuntut
konsekuensi logis dalam hal memilih yang dirasa paling baik dan efektif.


Sekadar berargumen, setelah bangsa Belanda angkat kaki dari negeri ini
orang Minang seolah-olah "membelakang" ke surau. Para orangtua, dan
begitu pula dengan anak-anak tergolong pintar punya kecenderungan
kemodernan lahiriah dalam bentuk mengutamakan pendidikan yang
dilaksanakan di gedung-gedung mentereng yang berorientasi ke dunia
belahan Barat yang, walau bagaimanapun, memang lebih menjanjikan dan
menawarkan harapan-harapan (bersifat) duniawi. 

Dan dewasa ini sosok surau mengedepan memperlihatkan wujud dan corak
tersendiri. Di pedesaan surau sering dimanfaatkan oleh para remaja yang
suka begadang. Sementara di wilayah perkotaan, surau pada umumnya
ditangani garin alias mahasiswa "praktik" yang sedang menuntut ilmu di
perguruan tinggi berbasis (agama) Islam untuk kemudian hengkang setelah
meraih gelar sarjana guna mencari pekerjaan yang dipandang lebih baik.
Namun, kendati surau seolah tidak bisa lagi memposisikan diri sebagai
sentra sosio-kultural berorientasi (ke)agama(an), satu hal, surau tetap
merupakan tempat beribadah: sembahyang dan mengaji.*** 

NELSON ALWI, Budayawan, tinggal di Padang

 

Copy Right (c)2000 Suara Karya Online




--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke