Senin, 22 September 2008 | 03:00 WIB

Ninok Leksono

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/22/01095938/natsir.dan.lahirnya.mosi.integral

Rangkaian peringatan 100 tahun Mohammad Natsir telah usai, dipuncaki
dengan peluncuran buku dan situs internet tokoh ini pada Rabu (17/9)
petang lalu.

Salah satu buku itu adalah 100 Tahun Mohammad Natsir-Berdamai dengan
Sejarah yang berisi 38 tulisan kenangan dari berbagai tokoh. Sementara
buku lainnya adalah Capita Selecta 3 yang berisi tulisan dan pidato
Natsir dari tahun 1956 dan 1960. (Catatan: Capita Selecta 1 memuat
tulisan Natsir dalam rentang 1936-1941, berisi pemikiran tentang
kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan, dan politik,
sedangkan Capita Selecta 2 memuat tulisan, pidato, dan wawancara
Natsir dari tahun 1950-1955. Di dalam buku kedua inilah terdapat
pidato monumental Natsir yang dikenal dengan sebutan "Mosi Integral
Natsir".)

Dalam acara yang dihadiri oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan
sekitar 400 undangan, sosok Natsir seolah kembali ke dalam ruangan,
dengan kenangan akan ketokohannya, kejujurannya, dan keteguhannya
terhadap prinsip.

Natsir memang tokoh yang pantas dikagumi. Dari berbagai sisi yang bisa
digali dari tokoh ini, dari buku Berdamai dengan Sejarah ingin
dicuplikkan dua kenangan yang menggugah.

Penampilan di AMS

Setelah menyelesaikan pendidikan MULO (setingkat SMP) di Padang,
Natsir melanjutkan ke sekolah menengah atas di AMS (Algemene Middelbar
School) A-II Westers Klassieke Afdeling di Bandung. Di sini pula,
menurut catatan Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir belajar dari 1926- 1929.
Di sekolah ini, selain harus belajar empat bahasa—Belanda, Inggris,
Perancis, dan Jerman— siswa juga harus mempelajari bahasa Latin
sehingga pelajar sekolah itu disebut juga Latinist.

Natsir, seperti ditulis oleh Taufiq Ismail, adalah pembaca buku yang
sangat tekun, dengan disiplin luar biasa, menyelesaikan satu buku
dalam seminggu. Toh, masih ada seorang guru Belanda yang mengejeknya
karena dalam percakapan Natsir kurang lancar. Natsir jengkel dan
belajar mati-matian sampai akhirnya ia ingin membuktikan diri dalam
satu lomba deklamasi. Yang ia baca adalah syair Multatuli berjudul De
Banjir. Ia mendapat tepuk tangan riuh dan meraih juara pertama. Guru
Belanda tadi juga ikut tepuk tangan meskipun dengan lambat dan enggan.

Di kelas V (setara dengan kelas II SMA kini), Natsir bertemu lagi
dengan guru Belanda tadi yang kini mengajar Ilmu Bumi Ekonomi. Guru
yang sinis terhadap gerakan politik kebangsaan ini menantang murid,
siapa yang berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik
gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Ternyata yang berani angkat tangan
hanya Natsir, yang lalu diberi waktu dua minggu untuk menuliskannya.

Natsir lalu ke perpustakaan Gedung Sate, mencari notulen perdebatan di
Volksraad, menggali majalah kaum pergerakan, dan mengumpulkan
statistik. Setelah jadi makalah, Natsir membacakannya di kelas selama
40 menit. Natsir membuktikan, rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari
pabrik gula, dan yang untung adalah kapitalis Belanda serta para
bupati yang menekan rakyat untuk menyewakan tanah mereka dengan harga
rendah, menjadikan mereka buruh dengan upah rendah, dan membuat mereka
terjerat utang. Kelas sunyi senyap saat Natsir remaja membacakan
makalahnya. Wajah guru Belanda tadi pun suram, tak menyangka ada murid
kelas V AMS bisa membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang
rapi.

Mosi integral

Disinggung oleh berbagai penulis di buku Berdamai dengan Sejarah, mosi
integral Natsir dikemas khusus dalam buku kecil yang dibagikan di
sela-sela acara petang itu. Dalam buku kecil Mosi Integral Natsir:
Dari RIS ke NKRI", Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Natsir, Laode M
Kamaluddin, memberikan catatan ringkas atas mosi ini.

Mosi integral dengan tokoh utamanya Natsir, ia nilai sebagai prestasi
gemilang dan monumental yang pernah dicapai oleh parlemen Indonesia.
Natsir, tulis Kamaluddin, mampu menyatukan kembali Indonesia yang
terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal
buatan Van Mook menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini.

Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen
Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik
kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23
Agustus-2 November 1949. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah
Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar
Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih
berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan
Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak
dimasukkan ke dalam RIS.

Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri
Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai
krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir.
Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di
Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM
Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu
kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk
bersatu dengan Yogya—maksudnya RI—asal jangan disuruh bubar sendiri.

Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan
pendekatannya ke daerah- daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata
"Mosi Integral" dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi
diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan
menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Kisah lain

Tentu belum cukup mengungkapkan sumbangan Natsir hanya melalui uraian
di atas. Masih bisa diceritakan kaitan Natsir dengan PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan
Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi antara 1956 dan 1958. Staf
Ahli Mensesneg Dadan Wildan Annas menyebut "keterlibatan" dalam
peristiwa itulah yang masih mengganjal perjalanan sejarah Natsir untuk
diakui sebagai pahlawan nasional.

Namun, di luar itu, tokoh seperti Natsir telah memberikan sumbangan
berharga kepada perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.
Tokoh itu, menurut Rosihan Anwar, mempunyai sifat tabiat sendiri
dengan keunikannya. Namun, ia adalah putra Indonesia yang patut kita
kenang sepanjang masa dan kita hormati dengan segala khidmat.



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke