MASYARAKAT MINANGKABAU DI KAMPUNG DAN DI RANTAU: MAU KE MANA KITA? Mochtar Naim
Disampaikan pada "Sipasan '08" Silaturrahmi Perantau Agam Se-Nusantara 2008 di Maninjau, 7-9 Oktober 2008, I P ERISTIWA PRRI hanyalah sebuah pemicu (casus belli) terjadinya rentetan perubahan besar dalam masyarakat Minangkabau kontemporer. Sebelumnya proses pengeroposan dari dalam maupun serangan dan ancaman dari luar secara bertubi-tubi pun telah terjadi. Masyarakat tradisional di manapun dihajar oleh badai perubahan karena tuntutan zaman. Masyarakat-masyarakat tradisional harus berubah, dari lambat menjadi cepat, dan cepat sekali. Kalau tidak masyarakat itu akan tergilas oleh roda sejarah dan mati. Betapa banyak sudah puing-puing kuburan dari masyarakat-masyarakat yang telah ditelan oleh sejarah karena menentang perubahan dan tidak bisa bertahan. Sejarah itu punya hukum sendiri. Hukumnya adalah perubahan. Dan kaedah sejarah ini dinyatakan secara gamblang sekali oleh Sang Pencipta dan Pengatur sejarah itu sendiri: "Wa tilkal ayyāmu nudāwiluhā bainan nās." Dan hari-hari itu Kami peredarkan di antara manusia-manusia (Āli 'Imrān 140). Tak terkecuali, masyarakat Minang harus berubah, untuk tidak digilas oleh roda sejarah itu. Perubahan yang diharapkan tentu saja yang bisa menjawab tuntutan dan tantangan zaman, dengan fondasi yang kuat dan diperkuat. Misalnya dari masyarakat yang statis-tradisional-konservatif berorientasi masa lalu, seperti sekarang ini, ke yang dinamis-moderen, melihat ke depan, yang kita harapkan. Dan dari yang rural- agraris-teknologi sederhana, yang sekarang kita miliki, ke yang urban-industrial-teknologi maju, global, yang kita tuju. Sementara fondasinya tetap utuh, dan harus tetap utuh. Orang Minang, seperti Melayu lainnya, memilih filosofi hidup ABS-SBK (Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah) yang sifatnya sintetis-integral-komprehensif, tidak sinkretis gado-gado campur-sari. Implikasinya, hubungan antara adat dan syarak tidaklah horizontal, tetapi vertikal, dengan menempatkan syarak di atas adat, di mana syarak mengata, adat memakai. Syarak berbuhul mati, adat berbuhul sintak. Dengan demikian adat tidak jalan sendiri, tetapi selalu berorientasi kepada dan serasi dengan syarak. Masyarakat Minang selama ini, secara sosiologis, bagaimanapun, selalu bersifat mendua, cenderung bahkan hipokrit. Iyokan nan di urang, lalukan nan di awak. Tidak pernah mengatakan, nan iyo, iyo, nan indak, indak. Tidak pernah tegas, dan bertegas-tegas, sehingga sama yang di dalam dengan yang di luar. Karenanya satu kata dengan perbuatan. Namun dalam praktek jarang terjadi. Masyarakat Minang masa kini cenderung mendahulukan taktik dan strategi, tetapi dengan sering menggadaikan atau menutupi prinsip. Orang yang tegar dengan prinsip dianggap kaku, koppig, tidak pandai main. Maunya, walau harimau nan di dalam, kambing jua yang keluar. Dengan mendahulukan taktik dan strategi ini, sekali selip dan tergelincir, lalu terjelapak, dan tidak bangkit lagi. Karena belangnya ketahuan. Inilah yang membedakan generasi kita sekarang ini dengan generasi pendahulu kita, yang suka berterus terang, dan jelas ke mana mereka mau pergi. Masa-masa pasca PRRI yang telah berjalan tidak kurang dari setengah abad (1958-2008), atau dua generasi sudah berlalu, adalah masa-masa diaspora bergalau tak menentu bagi masyarakat Minang. Mereka bagaikan ummat Nabi Musa yang ditinggalkan berkeliaran di gurun pasir Sinai tanpa tentu arah dan tanpa pemimpin. Sikap mendua yang diperlihatkan oleh masyarakat Minang selama ini adalah terhadap adat dan agamanya sendiri. Walau sejak dari Bukit Marapalam di awal abad ke 19 sudah dilafalkan ABS-SBK itu, namun antara praktik dan prinsip tidak sejalan. Yang didahulukan selalu adalah taktik, sementara yang dimolorkan untuk disesuaikan selalu adalah prinsip. Keharusan untuk cari selamat ini, secara sosio-psikologis adalah juga sifat bawaan dari sukubangsa yang merasa diri minder sebagai minoritas berhadapan dengan sukubangsa lawan yang dianggap mayoritas dan berkuasa. Orang Minang, katanya, harus survive, karena berhadapan dengan raksasa yang jadi lawan ideologi dan filosofi cara berfikirnya. Sebuah pengulangan sejarah dari legenda adu kerbau pun terjadi. Namun sekarang yang menang bukan anak kerbau karena kelicikannya, tetapi kerbau jantan yang berbadan besar dan bertanduk runcing, seperti yang diperlihatkan dengan penumpasan terhadap PRRI itu. Semua yang berbeda disapu habis. Yang ditonjolkan adalah keseragaman, dan keserasian dalam keseragaman, dengan pola patron-klien menurut acuan yang ditentukan sendiri, dan dalam kerangka budaya paternalisme, feodalisme dan etatisme, yang sempat diperlakukan oleh regim-regim otoriter sebelumnya secara bernegara dan berbangsa di bumi tanah air ini. Bukan keserasian dalam keragaman yang menjadi patokan formal kita dalam bernegara dan berbangsa selama ini. Bhinneka Tunggal Ika hanyalah lambang kesatuan untuk ditonjolkan sebagai perisai tetapi bukan untuk dipraktekkan. Begitu juga dengan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan YME, tetapi yang tri-esa, yang poli-esa, atau yang tak tahu esa-tidaknya pun juga diakui dan dianggap sama benarnya (Jawanya: Sadoyo agami sami kemawon). Pada hal yang benar-benar taat asas dengan Ketuhanan Yang Maha Esa hanyalah agama yang satu itu, yang jadi agama panutan satu-satunya oleh orang Minang dan orang Melayu umumnya. Yaitu Islam. Begitu pula dengan sila-sila yang lainnya, yang bisa dipelintir ke sana ke mari dengan sistem multi-tafsir, sebagai akibat dari tiadanya, atau tidak boleh adanya, tafsir yang autentik terhadap Pancasila yang menjadi dasar negara itu. Tidak adanya kaedah dan parameter untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, maka kata-kata keramat yang tertuang ke dalam sila-sila yang lainnya itupun tinggal jadi azimat tanpa diketahui secara jelas apa arti dan tolok ukur masing-masingnya. Sebutlah, "kedaulatan rakyat, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," dsb. Orang Minang pun telah ikut-ikut pula latah masuk ke dalam pusaran kata yang tidak jelas ujung-pangkal arti dan tolok-ukurnya itu. Pada hal, semula, orang Minang telah dibekali dengan pusaka budaya yang menempatkan Kitabullah sebagai acuan pokok dan utama dalam berpikir dan bertindak. Tidak ada yang boleh bertentangan dan keluar dari itu. Adatnya bukan adat yang liar, yang multi tafsir, yang bisa dibawa ke sana ke mari, yang sinkretik, tetapi adat yang bersendikan syarak, dan syarak bersendi Kitabullah. Adat yang dipakai itu adalah adat yang kawi, yang islami, sementara yang jahili dibuang, dan dibuang jauh. Orang Minang tidak boleh berdua hati dan segan-segan membuang jauh adat yang jahili, primordial-animistik maupun pluralistik-sekuler-nisbi-kontemporer, yang jelas-jelas tidak serasi dengan syarak, khususnya yang merusak keimanan dan ketauhidan. Ketidak tegaran menunjukkan jati diri yang sesungguhnya telah membawa hanyut masyarakat Minang jauh ke hilir. Sampai hari ini belum kelihatan akan terjadi gerakan kesadaran kembali dalam rangka menemukan jati diri itu. Yang kelihatan baru igauan, terasa ada terkatakan tidak. Pertemuan silaturrahmi kita sekarang inipun baru berupa igauan tanpa diketahui secara jelas kemana kita akan menuju. Oleh karena itu, marilah pada kesempatan yang baik ini kita perjelas apa yang kita mau dan ke mana kita mau menuju. Dan kita bicara tentang masa depan kita, apa yang mau kita kerjakan, sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Selama ini kita baru bicara sebagai obyek, sebagai bagian dari keseluruhan, tetapi tidak sebagai subyek, dan subyek yang ikut menentukan, bukan ditentukan. II Masyarakat Minangkabau di kampung maupun di rantau sampai sekarang masih dalam keadaan diaspora, dalam kebingungan dan kegalauan, bahkan kehilangan arah. Serta ketiadaan pemimpin yang muncul. Masyarakat Minang sekarang ini benar-benar ketiadaan pemimpin, setelah yang lama, satu per satu, pergi untuk selamanya dan tidak berganti. Yang ada hanyalah pejabat dan penguasa, di samping anggota yang terhormat, yang tidak memikirkan rakyat tetapi hanya memikirkan diri. Sementara di perusahaan, swasta maupun negara, yang ada hanyalah bos dan bawahan, majikan dan buruh, yang semua urusan ditentukan dan didekte secara sepihak oleh bos, dari atas. Tidak heran kalau korupsi dan penyalah-gunaan kekuasaan merajalela, dari pusat sampai ke daerah. Tidak terkecualinya, daerah ini sendiri. Sehingga Indonesia pun dicap sebagai negara termasuk terkorup di dunia, dengan disiplin kerja yang rendah, dan dengan indeks produktivitas dan capaian prestasi yang rendah. Pada hal dua generasi telah berlalu sejak PRRI itu. Ke depan, oleh karena itu, perlu ada ketegasan sikap, mau ke mana kita sesungguhnya. Quo Vadis? Aina mafarr? Jawabnya mestinya sudah harus jelas. Hemat saya, secara global, kita menuju dalam mencari keridhaan-Nya. Di dunia ini, untuk menjadi bekal ke akhirat nanti. Untuk itu syariat-Nya harus ditegakkan. Dan ABS-SBK tidak hanya sekadar slogan, dan slogan kosong, tetapi benar-benar dilaksanakan, dan diimplementasikan. Dalam berbagai segi kehidupan. Dalam ekonomi, politik, hukum, sosial-budaya, pendidikan, sampai kesenian dan olah raga sekalipun. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dalam bermasyarakat dan bernegara. Secara terprogram dan bersasaran, sehingga tahu, dan tahu persis, ke mana kita akan melangkah, dalam waktu yang berjangka-jangka, sepuluh, dua puluh, sampai ke ujung abad ke 21 Miladiyah atau abad ke 15 Hijriyah ini, dst. Oleh karena Allah telah menyediakan segala sesuatu yang ada di bumi dan langit ini untuk kita manusia bersama, maka kewajiban kita adalah untuk memanfaatkannya secara optimal dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Dalam rangka memanfaatkan pemberian Allah yang tak terpermanai inilah kita perlu mengejar segala ketinggalan kita. Kita harus banyak belajar kepada bangsa-bangsa yang sudah lebih duluan maju, di mana letak kekuatan dan kelemahan mereka. Yang baik kita ambil dan pakai, yang buruk kita buang. Ahli-ahli sains pembangunan (development science) di era 60-an dan 70-an dulu sudah juga mengindentifikasikan sejumlah syarat-syarat untuk maju itu, seperti yang sekarang juga diikuti oleh raksasa-raksasa baru dunia yang sedang muncul, yaitu Cina dan India, dan yang sebelumnya, Jepang dan Korea, dan sebelumnya lagi, negara-negara di Eropah, Amerika dan Australia. Mereka tidak akan mungkin maju tanpa memiliki prasyarat yang sifatnya global dan universal itu. Syarat-syarat dasar berupa prakondisi itu, jika dirinci, tidak lain dari: (-) Kepribadian yang tangguh, tanggap dan tahan uji; (-) Etos kerja yang kuat, ulet, sabar, berdisiplin dan tahan banting; (-) Visi dan visionari yang jauh ke depan; (-) Hidup berperhitungan dengan missi yang jelas dan terjabarkan; (-) Berani menghadapi tantangan dan risiko yang bisa diperhitungkan; (-) Bekerja berjaringan dengan organisasi yang rapi dan selalu siap memperbaiki kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan; (-) Memanfaatkan sains dan teknologi secara optimal dan selalu gandrung dengan ilmu pengetahuan dan sesuatu yang baru; dan di atas semua itu, sebagai insan muslim: (-) Menserasikan antara tuntutan kebutuhan Emosi, Inteligensi dan Spiritual; (-) Selalu berserah diri kepada Allah, dengan selalu mengharapkan ma'unah dan ridha-Nya, dengan niat mengerjakan semuanya itu sebagai amal-ibadah dan panggilan hidup (calling, beruf), dan dengan selalu berpedoman kepada ajaran dan petunjuk-Nya. Dengan semangat hidup yang seluruhnya islami ini secara tegar kita lalu merubah semua yang tidak berkenan dengan petunjuk-petunjuk itu yang selama ini menjadi bahagian dari pola budaya dan prilaku kita. Pembersihan, dan sekaligus revitalisasi dan pembaharuan kembali, sebagai konsekuensinya, harus dilakukan, terhadap diri, lingkungan keluarga, masyarakat berkampung, bernagari, berluhak, berdaerah, dan bernegara. Semua secara simultan dan bersinergi. Yang satu saling mendukung yang lainnya. Dan yang satu saling mengingatkan yang lainnya. Bukan sebaliknya. III Reformasi total dimaksud sudah barang tentu haruslah dengan mengindahkan serta melaksanakan segala nilai-nilai hakiki yang sifatnya universal dan datang dari atas melalui wahyu, yaitu Kitabullah Al Qur'an, dan melalui petunjuk pelaksanaannya, Al Hadits, dari Rasulullah saw. Kemudian juga melalui bimbingan dan arahan dari para ulama dan zuama serta cerdik-cendekia. Dengan demikian masyarakat itu tidaklah liar, mencari jalan sendiri-sendiri, tetapi hidup bersama secara kolektif berjamaah dan berimamah, berpemimpin. Pemimpin yang arif bijaksana, yang mendahulukan kepentingan bersama secara sentrifugal, bukan sentripetal. Artinya, diri untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk diri. Diri yang terakhir, masyarakat yang utama. Modernisasi tidak untuk dihindarkan tetapi untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Modernisasi adalah bagai pisau tajam, tergantung kepada bagaimana dan untuk apa kita pakai. Modernisasi tidak untuk melibas nilai-nilai hakiki yang berlaku secara universal. Modernisasi justeru memanfaatkan nilai-nilai hakiki itu untuk tujuan pencapaian sasaran yang optimal. Karenanya antara adat, Islam dan modernisasi tidak harus dipertentangkan, tetapi berjalan secara serasi, dan dukung-mendukung. Pengertian-pengertian dasar tentang adat, Islam dan modernisasi ini, oleh karena itu, harus masuk ke dalam pemahaman masyarakat, dan masuk ke dalam proses pembelajaran dan penghayatan melalui sekolah-sekolah dan institusi kemasyarakatan lainnya. IV Arahan dan guidelines serta gugahan semacam ini mungkin kita perlukan untuk sesegera mungkin kita keluar dari kegalauan setelah cukup lama berdiaspora setelah PRRI itu. Adalah tugas dari ulama, zuama (formal: pejabat dan tradisional: ninik-mamak) dan cerdik-cendekia dalam kerangka kepemimpinan TTS (Tungku Nan Tigo Sajarangan) untuk merumuskan langkah-langkah ke depan yang tertuang ke dalam program dan arahan serta petunjuk pelaksanaannya. *** Pada 10 Oktober 2008 06:33, Mochtar Naim <[EMAIL PROTECTED]> menulis: > KAWAN2, TERLAMPIR SAYA KIRIMKAN MAKALAH YG SAYA SAMPAIKAN PADA PERTEMUAN > SILATURRAHMI PERANTAU AGAM SE NUSANTARA (SIPASAN) 2008 DI MANINJAU, 7-9 OKT > 2008 KEMARIN. SILAHKAN BACA DAN KOMENTARI DI MANA DIPERLUKAN. > TERIRING SALAM SYAWAL 1429 H > > > > -- Z Chaniago - Palai Rinuak HbH Ikatan Keluarga Maninjau - Jabotabek, tanggal 26 Oktober 2008 di Aula Buya HAMKA , Masjid Al Azhar Jl Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta Selatan --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---