Iyo, kok ndak ado "Kampung Minang" yo?

Mungkin karano kesannyo "kampung" tu kurang asyik. Tapi kalau "MInangkabau
Village" lai ado, di Padangpanjang.

Riri
Bekasi, L 46



2008/10/24 Nofend Marola <[EMAIL PROTECTED]>

>
>
> Jumat, 24 Oktober 2008
> Oleh : marthias pandoe, wartawan senior
> http://www.padangekspres.co.id/content/view/21230/55/
>
> Saya kebetulan sudah mengunjungi beberapa kota di nusantara ini. Di
> sana-sini terdapat kawasan Kampung Melayu, Kampung Jawa, Kampung Cina,
> Kampung Kaliang (keling), Kampung Ambon, Kampung Makassar, Kampung Bugis
> atau Kampung Banjar. Sama sekali tidak ada Kampung Minang atau
>  Minangkabau.
>
>
> Bernama Kampung Melayu, karena di kawasan ini dominan berdiam  perantau
> suku
> Melayu. Kampung Jawa tempat mengelompok orang-orang asal Jawa, sehingga ada
> ungkapan: "mangan ora mangan, asal ngumpul."
> Kampung Cina ditandai bahwa di kawasan ini terdapat sederetan  toko Cina
> seperti toko perabot, toko sepatu, studio foto, tukang gigi, kedai kopi,
> percetakan, toko makanan, dan sebagainya.
>
> Di Kota Bukittinggi, dewasa ini tidak seberapa lagi toko milik Cina, karena
> sudah pindah ke tangan pribumi. Di Pariaman, dulu ada Kampung Cina tapi
> kini
> tinggal nama saja lagi, tidak seorang pun etnis Cina jadi warga kota ini.
> Kampung Kaliang tempat mengelompok  keturunan India. Kampung ini ada di
> Kota
> Medan, dan Kota Padang
>
> Di Jakarta Timur dekat Bandara Halim Perdanakusuma, terdapat Kampung
> Makassar. Dulu banyak warga asal Sulawesi Selatan  bermukim di sana, tapi
> kini sudah bercampur dengan perantau berbagai suku bangsa Indonesia.
> Demikian pula halnya  Kampung Bugis, tempat mengelompok orang Bugis, juga
> asal Sulawesi Selatan. Di Kampung Banjar terdapat banyak warga asal
> Kalimantan Selatan.
>
> Kok tidak ada Kampung Minang atau Kampung Minangkabau, pada hal warga suku
> ini terkenal sudah merantau konon sejak abad ke-18 ke mana-mana di seantero
> nusantara. Bahkan ke luar negeri antaranya ke jiran Melaysia. Kelompoknya
> yang sudah ramai di sini  berhasil menjadikan pemukimannya jadi salah satu
> negara bagian, Negeri Sembilan namanya. Jadi bukan Kampung Minangkabau.
>
> Di Jakarta waktu ibukota itu bernama Batavia (zaman penjajahan Belanda)
> terdapat empat jalan bergengsi, masing Oranye Boulevart, Nassau Boulevart,
> Van Huetz Boulevart, dan Minangkabau Boulevart. Jalan raya dua jalur dan di
> tengahnya terdapat taman hijau. Kini ke-empatnya  jadi jalan protokol,
> masing-masing bernama Jalan Imam Bonjol, Jalan Diponegoro, Jalan Cut
> Meuthia
> dan Jalan Minangkabau. Lokasi Jalan Minangkabau dekat kawasan Manggarai dan
> Pasar Rumput. Namun di jalan tersebut  terdapat hanya segelintir urang
> awak.
>
>
> Misalnya Mr. Sutan Mohammad Rasjid, mantan Gubernur Sumatera Barat. Rumah
> beliau Jalan Minangkabau No.10. Sebagai zijweg. (jalan sampingnya) terdapat
> Jalan Bukittinggi, Jalan Pariaman, Jalan Sawahlunto, Jalan Payakumbuh, dan
> lain-lain. Orang Minang tidak seberapa di sini. Penghuninya perantau dari
> berbagai daerah  Indonesia. Di samping orang Betawi asli, juga ada orang
> Jawa, Sunda, Batak, Maluku, dan Kalimantan.
>
> Orang Minang merantau tidak mengelompok  di satu kawasan, tapi menyebar
> dengan jarak agak jauh satu sama lain. Ada satu dua kepala keluarga  yang
> kumpul. Mereka yang terpencar sadar dengan posisinya. Sertamerta
> beradaptasi
> dan beralkulturasi (membaur) dengan masyarakat setempat dalam suatu sistem
> hetoregenistik.
>
> Hampir di tiap masjid dan mushalla mereka ikut dalam susunan pengurus rumah
> ibadah itu. Jika pandai mengaji, bisa jadi mubaligh atau guru ngaji.
> Setidaknya imam shalat. Pada suatu malam sekitar  tahun 1955 saya jadi
> makmum shalat maghrib di masjid  Ternate, Maluku Utara. Ternyata yang jadi
> imam urang awak. Besok siangnya saya lihat dia menjual martabak di kota
> tersebut. Banyak pula yang berteriak-teriak menjajakan barang di kaki lima.
>
> Urang awak menggalas barang-barang kebutuhan primer, seperti sayur-mayur,
> keperluan dapur, barang kelontong dan lain-lain di kakilima. Mereka
> sehari-hari berhubungan dekat dengan akar rumput. Tidak banyak menjual
> kebutuhan sekunder untuk orang kelas menengah ke atas. Tidak dipungkiri,
> banyak juga yang jadi pengusaha kuat, mampu menyaingi keuletan pengusaha
> Cina.
>
> Masakan urang awak  sudah jadi makanan nasional. Restoran Padang yang siap
> saji dan murah meriah, ditemukan di tiap pelosok kota besar atau kota
> kecil.
> Hampir seluruh perut orang Indonesia, sudah terbiasa  makan yang serba
> pedas.
>
> Di belakang masjid Sultan North Brigde Road Singapura, banyak perantau asal
> Pariaman berdagang nasi. Dekatnya di Arab Street, orang Kapau jualan
> pakaian
> muslim/muslimah dan alat-alat shalat. Hal serupa saya lihat di Brunai
> Darussalam. Karena menyebar, timbul kesan bahwa orang Minang berkembang
> biak
> di mana- mana. Jika dikumpulkan, lebih banyak dibanding yang menghuni
> kampung leluhur, sekitar empat juta jiwa! ***
>
>
>
>
> >
>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke