Perempuan Minang: Matriarchs yang ”Berlayar di Arus Deras” 
Selasa, 25 November 2008  
Tanggal 11-12 November lalu Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang
Sumatera Barat mengadakan Seminar Internasional bertema “Seabad
Kebangkitan Nasional: Perlawanan Anti-Belasting dan Gerakan Kemajuan di
Sumatera Barat 1908-2008” di Bukittinggi. Saya yang ikut diundang
sebagai salah satu pembicara dengan alokasi topik makalah “Sumatera
Barat pasca perlawanan anti-belasting” tidak dapat menghadiri seminar
tersebut. Saya coba menebus ketidakhadiran itu dengan menulis artikel
sederhana ini. 
Dalam laporan Padang Ekspres mengenai seminar itu (16/11/2008) banyak
disorot tentang Perang Kamang dan Perang Manggopoh, yang tampaknya
menjadi topik yang mengemuka dalam seminar itu. Tapi “gerakan kemajuan
di Sumatera Barat pasca perang anti belasting”, yang juga menjadi tema
seminar itu, terkesan belum dibahas secara mendalam. 
Tentu tidak mudah memetakan kemajuan Minangkabau, apalagi sampai tahun
2008. Soalnya manusia sering merasa bahwa mereka mengalami kemajuan,
padahal—meminjam kata-kata ahli hikmah—yang mereka alami sesungguhnya
hanyalah perubahan saja.  Minangkabau jelas telah banyak mengalami
‘kemajuan’. Tapi ada yang tetap belum terkikis habis, yaitu sistem
matriarkatnya. Walau mengalami berbagai benturan—dari dalam masyarakat
Minang sendiri maupun dari luar, sejak zaman lampau sampai
sekarang—sistem matriarkat Minangkabau menunjukkan resistensi dan
relatif bertahan. 
Minggu lalu saya menerima buku Muslims and
Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and
Colonialism (Cornell University Press, 2008) dari penulisnya, Jeffrey
Hadler (University of California, Berkeley). Buku itu menggambarkan
betapa hebatnya serangan terhadap sistem matriarkat Minangkabau.
Sebagaimana para Minangkabaunis lainnya, Jeffrey  bertanya mengapa
sistem matriarkat Minangkabau mampu bertahan ketika di berbagai tempat
di Asia sistem itu jadi hancur oleh berbagai kebijakan kolonial dan
negara nasional? (hlm.3). 
Mengapa sistem matriarkat dan Islam dapat hidup berdampingan di Ranah
Minang? Jawaban Jeffrey tentu tidak mengambil jalan penjelasan
sederhana seperti yang sering kita dengar: “karena di Minangkabau adat 
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Jeffrey mencoba menjawab
pertanyaan itu melalui pendekatan historis yang agak langka, yaitu
dengan mempelajari perubahan ide-ide mengenai rumah dan keluarga di
Minangkabau sejak akhir abad ke-19 sampai taun 1930-an, batas periode
kajian Jeffrey. 
Ia menggunakan banyak bahan yang ditulis oleh orang
Minang sendiri, antara lain tumpukan naskah schoolschriften dari mantan
murid-murid Sekolah Raja di Fort de Kock yang kini tersimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden. “Energi” penggerak perubahan ide-ide
itu, menurut Jeffrey, adalah pengalaman masyarakat Minangkabau dalam
perdebatan yang berterusan, bahkan kadang-kadang dengan cara kekerasan,
antara para Muslim reformis dan para pelindung kebudayaan asli
(preservers of indigenous culture). 
Berbicara mengenai rumah dan keluarga, tentu
tersangkut erat dengan kaum perempuan. Untuk pertama kalinya Perang
Paderi, yang mencoba menerapkan konsep Islam ‘murni’ di Minangkabau,
telah menggoyang kedudukan sosial perempuan Minang dalam keluarga yang
sudah lama diatur menurut sistem matriarkat yang melegitimasi garis
keturunan melalui kuasa ibu (perempuan). Usai Perang Paderi serangan
gencar terhadap sistem matriarkat Minangkabau sesungguhnya tidak pernah
reda. 
Orang Minang sendiri, khususnya kelompok Islam
reformis, seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan lain-lain,
memaki-maki sistem matriarkat Minangkabau yang hidup  di Ranah
Bundo-nya  sendiri.  Sementara dari luar, kolonialisme Belanda pasca
Perang Paderi juga menghantam sistem matriarkat Minangkabau (dan sejak
1945 dilanjutkan oleh negara pasca kolonial, Indonesia). Namun, seperti
dikatakan oleh Jeffrey Hadler, sistem matriarkat Minangkabau tetap
resisten dan lolos dari ‘kepunahan’ walau tak dapat dimungkiri ada
unsur-unsurnya yang mengalami pergeseran. 
Orang-orang seperti Syekh Ahmad Khatib selalu
mendapat ‘lawan’ yang seimbang di Minangkabau, yaitu dari mereka yang
mencintai adat Minang dan berjuang untuk mempertahankannya. Salah
seorang yang terkemuka dalam golongan ini adalah Mahyuddin Datuak Sutan
Maharaja yang berpendidikan sekuler dan berpandangan maju. Putra Sulit
Air itu, yang disebut ‘Bapak dari wartawan Melayu’ oleh B.J.O. Schrieke
(1973), tetap mencintai adat Minangkabau namun tidak anti kepada Islam
dan kemajuan. Oleh karena itu ia dijuluki  ‘seorang sphynx dan gila
adat’ oleh lawan-lawannya (Amir 1918:12). 
Berkali-kali Mahyuddin berdebat di koran-koran dengan Syekh Ahmad
Khatib yang ingin membuang jauh menggantung tinggi sistem matriarkat
Minangkabau (Yasrul Huda 2003). Kita tentu masih ingat bagaimana
golongan Islam reformis yang dipimpin Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah
Buya Hamka) juga melarang wanita tampil berpidato di depan corong
mikrofon dalam Muktamar Muhamadiyah di Bukittinggi tahun 1930. 
Pendek kata, dalam arus perubahan zaman usaha kaum
wanita Minang untuk menggapai kemajuan selalu mendapat tantangan di
satu pihak dan dorongan di pihak lain. Tidak sulit menemukan
refleksinya dalam wacana kebudayaan Minagkabau, tak terkecuali dalam
wacana sastranya, misalnya melalui penggambaran negatif terhadap tokoh
Sjamsiar yang terdidik dalam karya Hamka, Angkatan Baroe (1939) (lihat:
Sudarmoko 2008:77-82). 
Namun, dalam ‘pelayaran melewati pusaran arus deras’ itulah lahir Siti
Manggopoh, Syarifah Nawawi, Upiak Hitam (seorang tokoh komunis
perempuan asal Bungo Tanjuang, Padang Panjang), Sa’adah Alim, Rohana
Kudus, Rahmah el-Yunusiyah, Elly Kasim, Huriah Adam, Uni Djan, dan Puti
Reno Raudha Thaib—untuk sekadar menyebut beberapa nama. 
Banyak wanita Minang lainnya—para pengusaha kerajinan dan makanan,
amai-amai para pedagang, guru, pegawai negeri sipil dan pemerintah,
penggerak LSM, mahasiwi, juga mereka yang memilih laki-laki dari etnis
lain sebagai pasangan hidup, dan lain sebagainya—menjalani statusnya
sebagai (calon) matriarchs—meminjam istilah Jeffrey Hadler—dalam
dinamika perubahan dunia  yang cenderung memihak sistem patriarkhat. 
Perdebatan antara kelompok Muslim reformis dan para pelindung
kebudayaan asli di Minangkabau terus beranjut sampai kini. Sistem
matriarkat Minangkabau akan terus diuji. Hal itu akan berdampak kepada
kaum perempuan Minangkabau, pewaris pusako tinggi. Sejarah akan
mencatat apakah sistem itu tetap punya daya resistensi tinggi atau akan
punah dan tinggal nama. (***) Suryadi, dosen dan peneliti Universiteit Leiden, 
Belanda.    



      
___________________________________________________________________________
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke