Jakarta, Selasa 29 Juni 1976.
Pukul 19:00, rapat di Sanggar Film Taman Ismail Marzuki (TIM). Yang
mengundang: Sumardjono, sehari-hari Dekan Akademi Sinematografi Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), kali ini dalam kedudukannya selaku
pengurus umum BPPS akademi tersebut.

Hadir malam itu selain Sumardjono, adalah M.D. Aliff, Fakhri Amrullah,
Sutomo, Jimmy. Juga dua mahasiswa, Sentot dan Gde Estu. Sedangkan D.A.
Peransi terlambat. Katanya sih, sakit perut. Pokok perbincangan adalah
mengenai rencana keberangkatan ke Rimbo Bujang di Jambi, untuk membuat
foto-foto mengenai proyek transmigrasi.

Sumardjono mengutarakan bahwa Direktorat Jenderal Transmigrasi meminta jasa
baik Akademi Sinematografi untuk menggarap pemotretan proses transmigrasi.
Ini akan meliputi seluruh provinsi di Indonesia. Mulai dari daerah asal,
proses pemindahan, sampai mencapai tempat tujuan.

Daerah pemotretan kali ini adalah proyek Rimbo Bujang, sebuah perkampungan
baru yang masih dalam tahap siap menerima transmigran. Saya sekaligus dapat
‘titipan’ Gde dan Sentot. Kedua mahasiswa ini duduk di tingkat III. Kepada
saya Sumardjono mengatakan: “Anda itu akan dipandang sebagai ‘dosen tamu’
buat praktikum mereka di lapangan.”

Lebih jauh diterangkannya pula tentang rencana foto-foto itu kelak. Ada yang
akan dihimpun berupa album, atau buku, dan juga bahan pameran. Dengan cara
ini diharapkan ada gambaran yang sebenarnya mengenai seluk-beluk urusan
transmigrasi, baik bagi kalangan Muspida setempat, maupun buat sejumlah
pejabat pada posisi kunci di pusat.

Sentot mencatat bahan apa saja yang diperlukan selama perjalanan. Saya
mengajukan usul agar juga membawa obat dan alat cuci film. Sutomo (dosen
akademi itu) menyatakan keberatan. “Semua negatif itu akan diproses di
Jakarta saja,” katanya. Ia minta harus tersedia 1.000 jepretan.

Artinya, paling sedikit pemotretan meliputi lebih dari 30 rol. Jika begitu
hitungannya, saya bilang, penting membawa perabot cuci film. Saya belum tahu
persis kecakapan dua mahasiswa ini dalam urusan kodak-mengodak. Jadi, perlu
proses uji coba. Bila ternyata ada kekeliruan pembakaran film, bisa
dilakukan koreksi segera. Alasan teknis belaka, memang.

Apa lagi mengingat fotonya kelak akan diperbesar. Jangan sampai terjadi
sosoknya gradakan akibat kesalahan eksposur. Nah, untuk beroleh transparan
yang terjamin itulah, saya perlu melihat hasil pemotretan mereka.

Akhirnya Sumardjono menawarkan jalan tengah: proses di tempat tak usah
dipaksakan semua. Biarkan ada juga yang diproses di Jakarta. Dan kepada dua
mahasiswa tadi, Sumardjono mengingatkan agar “tunduk kepada komandan.” Bukan
main.

Jakarta, Sabtu 3 Juli 1976.
Dengan Fakhri berangkat dari TIM jam 10:00, ke kantor Ditjen Transmigrasi di
dekat patung Pancoran. Pejabat yang akan ditemui adalah Ir. Amir Hasan
Muthalib. Tapi yang bersangkutan, kata bawahannya, sedang ke Hankam, dan
disebut akan kembali satu jam lagi.

Kita pun ke Kebayoran dulu, ke rumah Gatot — keponakan Sumardjono, yang baik
hati mengemudikan mobil itu. Sekembali dari Kebayoran, untung, Amir sudah
ada. Fakhri menerangkan bahwa tim Akademi Sinematografi ini perlu secarik
surat dari kantor pusat.

Tapi surat itu rupanya belum dibuat. Mulanya diatur, surat itu akan diantar
sorenya ke TIM. Pikir punya pikir, sementara kita ngobrol dengan Amir, surat
itu bisa saja ditunggu. Oke.

Amir Hasan — direktur di lingkungan Ditjen Transmigrasi, sosok bersahaja,
duduk di kursinya dalam ruang kerja yang tidak begitu besar. Ia
mengungkapkan, sangat tidak puas dengan foto yang pernah ada. Disebutnya,
terasa ada kepincangan dalam penyajian laporan.

“Buku tebal melulu, bikin bosan,” dia bilang, sambil mencomot sebuah laporan
berbentuk buku nyaris setebal bantal bayi. Isinya tentu berupa laporan beres
saja, statistik yang menggembirakan. Pejabat ini tidak mendustakan adanya
keluhan. Ataupun hal-hal yang belum seluruhnya beres dalam proses
transmigrasi. Cuma ia ingin kalaupun ada kesalahan, bukan melulu ditimpakan
terhadap instansinya. Sebab urusan transmigrasi bukan semata-mata digarap
oleh petugas transmigrasi. Tapi juga, misalnya, menyangkut instansi PU,
perhubungan, dan sebagainya.

Lebih dari itu, menyangkut soal dana. Ia nampaknya kewalahan juga meyakinkan
tampuk pengambil keputusan. Sehingga ia merasa perlu memanfaatkan laporan
secara visual. Dari foto-foto yang bakal dibuat kelak, ia harapkan dapat
muncul gambaran tentang lika-liku permasalahan yang dihadapi instansinya.

“Yang kita urus ini bukan benda mati, melainkan manusia, kok,” ujarnya.
Dibayangkannya, agar penampilan fotografis dalam laporan ini nanti paling
tidak mampu menyuguhkan satu situasi manusiawi. Singkatnya: bukan laporan
a-b-s alias asal bapak senang.

Saya pribadi memahami kebutuhan Amir. Urusan transmigrasi memang tidaklah
peristiwa pemindahan angka-angka belaka. Tapi ada upaya mendorong manusia
untuk memperbaiki nasibnya. Sempat 3/4 jam ngobrol, surat keterangan itu pun
rampung. Ada tiga. Satu untuk proyek di Sumatera Barat, satu untuk Rimbo
Bujang, dan satu lagi buat Akademi Sinematografi LPKJ.

Jakarta-Padang, Minggu 4 Juli 1976.
Sudah kumpul di bandar udara Kemayoran, pukul 05:00. Sentot dan Gde diantar
oleh rekan-rekannya, termasuk sang dosen (Tomo). Minum kopi sebentar di
lantai dua, sementara di kejauhan fajar mulai mengintip.

Pesawat tinggal landas mestinya pukul 06:00. Tapi DC-9 ini rupanya sedang
ngadat. Setengah jam terlambat. Bahkan ketika penumpang sudah duduk di kursi
masing-masing, nampak pintu masih diutak-utik. Macet rupanya. Tentu saja
keadaan ini bikin saya berdebar. Timbul bayangan macam-macam.

Misalnya, bagaimana kalau yang macet itu rodanya ketika pesawat akan turun.
Lambat-laun dag-dig-dug bisa juga diajak damai dengan cara berdoa. Ini sudah
kebiasaan. Ketimbang ngotot nggak keruan, mendingan menyerah saja. Bagian
ini tulen sudah urusan Tuhan Rabbul’alamin, kan?

Dalam pada itu, saya lihat Sentot dan Gde lebih banyak diam. Mungkin mereka
sedang dilanda lamunan pula. Kursi di pesawat tidak penuh, sehingga kita
bisa pindah duduk sederet. Cuma masih belum banyak bahan obrolan. Sembari
memandang kumpulan awan-gumawan, saya bertanya dalam hati: anak yang dua ini
akan saya apakan?

Saya belum kenal sampai di mana kemampuan mereka. Lagi pula ini merupakan
trip pertama mereka Sumatera. Sampai di mana ketahanan fisik dan mental
mereka? Begitu pula soal daya tangkap, dan seterusnya, dan seterusnya.

Alhamdulillah, satu jam kemudian pesawat mendarat dengan mulus di Tabing,
Padang. Tanpa kurang suatu apa, meski saya merasa ada yang kurang. Kawan
yang saya kirimi telegram tiga hari yang lewat, tidak tampak batang
hidungnya. Sehingga kita terpaksa ambil taksi dan minta diantar ke hotel.
Hotel yang baik, disebut sang supir: Mariani.

Kebutuhan pada penginapan yang baik, menyangkut soal keamanan barang-barang
serta ketenteraman untuk bekerja. Dapat satu kamar dengan dua tempat tidur.
Kamar mandi di dalam. Bagus. Artinya, kita bisa kerja mencuci film.

Cuma ketika airnya dites, kotor bukan main. Disaring dengan kaus kaki pun
tidak menolong. Gde saya minta beli air. Ia menyebut pakai aquades saja.
Lalu panggil pelayan untuk membelikan air bersih tersebut. Sementara
istirahat, saya mulai mainkan sebuah cara perkenalan yang khas. Kepada
mereka saya ceritakan sejumlah anekdot alias lelucon pendek.

Ternyata tokcer! Mereka bisa terbahak-bahak seketika, tanpa minta tempo.
Kesimpulan saya: mereka bukanlah anak culun. Langkah pertama boleh
dilanjutkan dengan langkah berikutnya. Mereka saya minta mencuci film
menurut cara yang pernah mereka lakukan atau pelajari. Hasil opname siang
tadi dicuci belum sampai 10 jepretan. Kita potong saja, sisanya bisa dipakai
lagi.

Muncul seluloid dengan pembakaran belang-belonteng. Koreksi pertama saya
lakukan. Yaitu, tentang memahami instruksi pabrik, serta penyesuaiannya
dengan iklim kita. Caranya, dimulai dengan pengukur cahaya (light meter) di
kamera. Khusus untuk hitam putih, gerak jarum atau sinyal meluncur dari
kutub positif ke negatif. Jangan keliwat minus, hingga eksposur bisa normal.
(Lain dengan film berwarna, petunjuk itu harus tepat di tengah).

Berikutnya adalah soal proses pencucian. Di tiap kotak obat pengembang ada
petunjuk berapa menit bisa digunakan dalam suhu tertentu. Misalnya, Microdol
keluaran Kodak, memberi petunjuk: dalam suhu 20 derajat, waktunya sekitar 9
menit. Itu ukuran jika ruangan pakai pesawat pendingin. Obat pengembang ini
hanya tersedia untuk campuran satu galon air.

Kita cukup membawa obat untuk takaran seliter air saja. Micro-MF, namanya.
Di lembar petunjuknya juga disebutkan hitungan waktu untuk ruang bersuhu
dingin. Nah, kamar hotel ini tidak ada AC. Jadi, harus ikut suhu apa adanya.
Padang sebagai kota pantai, rata-rata suhunya 30 derajat Celsius.

Dalam urusan kimia perlu hitungan yang tepat. Petunjuk pabrik menyebut 9
menit dalam ruangan bersuhu 20 derajat. Untuk suhu 30 derajat berarti masa
pencucian dikurangi sepertiga, jadi sekitar 6 menit. Itu masih teori kasar.
Sebab pengalaman membuktikan hasil negatifnya masih kehangusan.

Berdasarkan pengalaman pula, obat takaran seliter itu perlu dijinakkan
dengan campuran dua liter air. Ini saya beritahukan pada Gde dan Sentot.
Biar selamat, mari kita tes lagi dengan sisa film tadi. Masa cucian
diturunkan jadi 7 menit. Masih kehangusan, turunkan lagi jadi 6 menit.
Begitulah uji coba cuci film, cukup dengan satu rol saja.

Koreksi kali ini beroleh hasil normal pada Sentot. Sedangkan dari Gde masih
terjadi hitam putih yang belang. “Light meter gua macet,” katanya. Gde lalu
memperagakan bahwa ia juga membawa light meter Sekonic. Bisa saja sih alat
itu dipakai, saya bilang. Cuma apa bisa buat gerak cepat? Lantaran sibuk
ukur cahaya ke sana ke mari, subjek yang perlu segera dijepret jadi sadar
kehadiran Mat Kodak. Momen penting pun bubar.

Selesai latihan pertama, dilanjutkan dengan obrolan tentang topik utama
perjalanan ini. Sentot dan Gde tampak sudah paham apa yang dimaui pihak
pemesan foto. Bagus. Tapi saya ingatkan juga agar jangan sampai terbelenggu
dengan pra-angan-angan.

Boleh saja, memang, siap dengan rencana atawa pola. Tapi Mat Kodak tetap
harus menata ulang segala prakonsepsi itu ketika berada di gelanggang. Jadi,
secepat kita sampai maka saat itu juga harus mengambil sikap menguasai
medan.

Cara yang biasa saya lakukan ialah bertanya tentang rupa-rupa hal pada orang
yang mengetahui, sementara kita terus memperjeli penglihatan. Dan pemotretan
bisa saja dilakukan dengan cara siluman, atau katakanlah dengan gaya maling.
Atau sebaliknya dengan sistem sutradara. Apa pun cara yang di pakai, tidak
soal, asalkan hasilnya kelak mampu mencerminkan pelbagai faset kehidupan
yang ada, secara wajar.

Padang, Senin 5 Juli 1976.
Kemarin sempat ketemu Chairul Harun di Pusat Kesenian Padang. Kompleks ini
terletak di tepi pantai. Chairul adalah sejawat saya di Tempo, dia
koresponden untuk Sumatera Barat. Disepakati bahwa Senin ini ia akan
menemani kami ke kantor transmigrasi. Katanya, ia punya kenalan di situ.

Pagi ini, dengan taksi yang disewa dari Tabing kemarin, kita pergi ke Kantor
Wilayah Transmigrasi. Surat dari Amir itu mestinya diterima oleh Kepala
Kantor Wilayah. Tapi yang bersangkutan sedang dinas ke luar kota, meninjau
proyek Kinali di Pasaman.

Pujadi, wakilnya, agak termenung juga membaca surat Amir. “Pak Srikaton
sedang ke Pasaman. Bisa tunggu beliau saja Rabu pagi?” Pujadi bertanya. Wah,
saya bilang, kalau mungkin kita bisa berangkat sore ini juga. Tidak mungkin,
rupanya.

Kalau begitu, besok pagi. Atur punya atur, akhirnya disepakati akan dikirim
mobil ke hotel besok pagi. Oke. Lalu dengan Chairul menuju gubernuran.
Rencananya sih ketemu gubernur. Kepada Chairul saya bilang, kali ini trip
saya tak ada urusan Tempo. Tapi tulen urusan transmigrasi. Gubernur ternyata
tidak ada di tempat. Ia sedang di Bukttinggi menghadiri pertemuan Maksi
se-Sumatera.

Jadi, hari itu ada waktu luang, ya apa salahnya jalan-jalan ke Bukittinggi?
Chairul saya ajak. Dia lalu berbisik kepada seorang kawannya. Pinjam mobil.
Seorang di antara kawannya itu, anak pengusaha terkenal — Djohan Djohor,
berbaik hati meminjamkan sebuah sedan Ford mewah. Dengan mobil ini kita ke
Bukittinggi.

Raun ke Danau Maninjau, sempat meninjau proyek PLTA yang tengah dibangun,
dan ketemu pimpinannya Ir. Yanuar Muin. Dari Bukittinggi kita didampingi
Ismed Ramli, kepala humas proyek itu. Balik dari Maninjau singgah sebentar
di kampung saya — Kotogadang, di kaki Gunung Singgalang.

Kembali ke Padang, sudah malam. Sesampainya di hotel, Sentot dan Gde mencuci
film lagi, hasil jepretan selama perjalanan tadi. Eksposurnya sudah bagus.
Obrolan ekstra saya imbuhi lagi dengan sejumlah banyolan. Sentot
terpingkal-pingkal, dan sempat “minta ampun” lantaran perutnya terasa keram.

Setelah suasana normal lagi, Sentot mulai bertanya-tanya tentang oleh-oleh
yang khas Minang. Ditunjukkannya sebuah cincin yang sedang dia pakai.
Jemarinya banyak cincin. Mirip penyanyi pop saja. Kalau di Padang, saya
bilang, ente bisa dikira tukang pedati. Sentot heran.

“Apa lagi kalau pakai sebo, itu kupluk penahan hawa dingin yang biasa
dikenakan kusir bendi atawa tukang pedati. Penggemar akik umumnya dari
kalangan itu….” Mendengar cerita saya, Sentot terkekeh lagi. Cincin itu
banyak, dia bilang, karena ada kawan yang menitip.

“Pokoknya kalau lu lihat ini cincin, lu bakal ingat gua. Artinya, jangan
lupa oleh-oleh,” tutur Sentot, tentang cincinnya itu. Kalau begitu, belikan
saja kerupuk kulit. Di Jakarta memang ada juga kerupuk kulit, tapi yang
datang dari Padang sini gurihnya lain.

Padang—Sijunjung, Selasa 6 Juli 1976.
Pukul 07:30, datang mobil dari kantor transmigrasi. Sentot dan Gde masih
nglingker alias tidur pulas. Rada ruwet juga membangunkan anak muda ini. Apa
mesti kayak membangunkan Minakjinggo (dicabutin dulu bulu kakinya), saya
bilang pada mereka.

Bagusnya, tadi malam mereka sudah berkemas. Sehingga pagi ini tak
pontang-panting lagi. Cara begini saya beritahukan agar diingat jika
melakukan petualangan. Jangan sampai panik. Segalanya diatur untuk siap
menyambut jadwal selanjutnya.

Makan pagi di warung. Pengemudi mobil itu katanya sudah sarapan. Dia hanya
menunggu di mobil. Kendaraan ini berupa jip Landrover. Lumayan tua,
kira-kira sepadan dengan supirnya, mungkin. Ia menceritakan bahwa ini bukan
mobil kantor transmigrasi. “Ini pinjaman dari kantor gubernur,” katanya.
Kantor perwakilan transmigrasi Sumatera Barat hanya punya satu mobil, jip
Toyota. Itu sedang dipakai Srikaton ke Pasaman.

Perjalanan menuju Solok kita minta agar liwat Singkarak, supaya bisa
menikmati pemandangan danau. Pak supir setuju. Padang-Solok bila ditempuh
langsung makan waktu sekitar lima jam. Tapi liwat Singkarak bakal tambah
satu jam.

Di sepanjang jalan, ini jip tua batuk melulu. Asyik juga sih. Maklum, saya
serta Sentot dan Gde baru kali ini melalui jalan itu. Sehingga kesempatan
mogok-mogok ini bisa digunakan memotret, dan menghirup lebih banyak udara
segar (ingat Jakarta yang terasa begitu pengap).

Pak supir rupanya rada nggak enak hati dengan ulah kendaraannya itu. Ia
nampak mulai senewen. Pipi kirinya ikut naik turun ketika mobil itu
tiba-tiba tersendat-sendat. Gde dan Sentot yang duduk di belakang rupanya
sempat pula mengamati wajah supir kita ini. Cuma untuk ketawa, mereka masih
malu.

Lama-lama terasa juga bahwa pak supir ini orangnya kocak, meski tampangnya
sedikit seram.
Yang lebih menggelikan adalah tiap kali pipi kirinya itu bergerak-gerak,
urat bibirnya ikut menjungkit-jungkit, eh itu penghapus kaca mobil (wiper)
juga bergerak-gerak sendiri. Kejadiannya nyaris bersamaan.

Bayangkan, hanya dalam jarak beberapa kilometer jip itu ngadat, dan ngadat
lagi. Berkali-kali pak supir menggili platina. “Saya tahu penyakitnya, tapi
ndak punya alat untuk membetulkannya,” dia menggerutu.

Penyakit jip kakek ini adalah: bensin suka macet di jalan. Tapi
karburatornya otomatis, digerakkan dengan sistem rotor. Bisa dipahami betapa
jengkelnya pak tua kita itu. Begitu pula ketika baru masuk di jalan lintas
Sumatera yang mewah itu. Tak jauh dari truk yang sedang membawa cat
penggaris jalan, jip ini termehong-mehong.

Ah, bikin malu saja ini mobil. Di jalan raya yang begitu mulus, dia malahan
nggak suka jalan. Buset! Muka pak gaek itu sudah bagaikan berlipat tujuh.
Kasihan dia. Agar dia tak tambah linglung, kita biarkan saja dia mengampelas
platina itu lagi.

Sambil menunggu, kita pun memotret kiri kanan. Perbaikan itu akhirnya
sukses. Tujuan adalah ke Sijunjung dulu. Lalu terus ke Sungai Tambangan,
desa transmigrasi — masih di wilayah Sumatera Barat.

Tapi sebelum itu perlu dicatat, tadi waktu belum jauh dari kota Padang, kami
berpapasan dengan Srikaton. Ia baru pulang dari Kinali. Saya menyampaikan
salam dari Ir. Amir serta laporan ala kadarnya. Ia menyatakan heran, mengapa
kita dilepas berjalan tanpa didampingi petugas dari Padang.

“Kita akan singgah dulu di Sijunjung mengambil Pak Karman,” saya mengutip
keterangan supir kita. Srikaton pun mengangguk-angguk. Lalu saya pamit dan
janji menemuinya nanti di Padang.

Sampai di Sijunjung. Waktu menunjukkan pukul 16:30. Ada dua petugas
transmigrasi di sana. Satu di antaranya, Sukarman, seorang drs — seperti
tertera pada tasnya. Ia menceritakan bahwa baru saja pagi tadi Pujadi
muncul. Khusus ngebut dari Padang untuk memberitahu kedatangan kita. Di
Sijunjung mereka bukan berkator, tapi cuma mondok di sebuah penginapan.
Butut.

Menurut Karman, ia pun baru datang jam 03:00 tadi dari Sungai Tambangan.
Rupanya Padang-Sijunjung tidak punya hubungan telepon. Repot juga Pujadi
gara-gara kita. Kasihan!

Karman tampak letih. Tapi ia mencoba berbasa-basi. “Capek di jalan tadi,
istirahat saja dulu di sini. Besok pagi kita terus ke Sungai Tambangan,”
katanya. Menilik kondisi penginapan yang bisa dihitung bakal bikin tidur tak
nyenyak, saya bilang: “Kita terus sekarang aja, deh.”

Orang Jawa yang satu ini sudah 10 tahun dinas di Sumatera Barat. Yah, bisa
jugalah dia dialek setempat, meski pletak-pletok lidahnya masih kentara.
Geli juga kuping saya mendengarnya bicara dalam bahasa Minang.

Dari percakapan dengan Sukarman diketahui bahwa sang supir kita tadi sudah
menjalani tugasnya selama 20 tahun di kantor transmigrasi. Ia menyebutkan
nama supir itu hanya Sutan Rajo Ameh. Sebagai orang Minang, saya paham
sebutan itu bukanlah nama, melainkan gelar. Tapi itu sudah memadai untuk
menyapa secara akrab. Sentot dan Gde malahan menyebutnya “Pak Ameh”.

Kita mulai memasuki jalan menuju Su ngai Tambangan. Sebuah jalan raya minus
aspal. Ini terbilang jalan provinsi, yang menghubungkan Sumatera Barat
dengan Riau. Nah, desa Sungai Tambangan ini terletak di kiri kanan jalan
ini. Perjalanan berakhir di Sungai Tambangan menjelang maghrib.

Istirahat sejenak di sebuah pondok beratap ilalang. Milik seorang
transmigran. Namanya, Mukayat. Ia menyuguhi kami kopi dan kacang rebus.
Sementara Karman minta dipanggilkan kepala proyek. Hamid, namanya.

Sungai Tambangan, Selasa 6 Juli 1976.
Ketika pertama kali masuk desa ini tadi, saya melihat ada sebuah lapangan
bola. Anak-anak tanggung sedang main. Saya lihat matahari tinggal secuil.
Ini berarti tak ada waktu lagi, saya segera melompat sambil memberi kode
pada Gde dan Sentot agar memotret.

Seperti sudah diduga, kamera selalu menarik perhatian. Tak ayal lagi,
anak-anak itu segera pasang aksi serentak mengetahui ada tukang potret
datang. Saya ingatkan Sentot dan Gde untuk sabar sejenak. Biarkan saja
mereka nampang, jangan dipotret. Atau pura-pura saja memotret. Lama-lama
mereka bosan sendiri. Nah, pada saat mereka lengah itulah kita betul-betul
memotret.

Dalam kesempatan singkat ini ternyata banyak hal yang terjadi. Misalnya,
Mukayat sibuk melayani tetamu. Ia memotong ayam perawan dua ekor. Doa
salawatnya begitu mahir saya dengar, sehingga saya perlukan bertanya di mana
dia mempelajarinya. Ternyata ia seorang kadi di desa itu — tukang
mengawinkan orang. Pantas.

Sementara itu, Hamid muncul. Sehari-hari ia juga mantri kesehatan. Entah
dari mana asal-muasal infonya, Karman berkata: “Ini bapak-bapak dari
Jakarta, akan melakukan pemotretan di sini untuk kepentingan kunjungan
presiden.” Rada terkesiap juga saya dibuatnya. Gerah, sih. Sebab, sambutan
tiba-tiba menjadi sangat formal.

Kepada Hamid saya tanyakan apa saja kegiatan sehari-hari di sini. Sungai
Tambangan adalah desa transmigran yang sudah lepas dari pembinaan kantor
transmigrasi. Boleh dikatakan termasuk proyek yang berhasil setelah proyek
lain di Lampung. Hasil buminya berupa sayur-mayur, kedele, malahan sudah
masuk di pasar Sumatera Barat. Begitu menurut penuturan Hamid.

Pertanian memang tulang punggung kehidupan di sini. Dan sesaat sebelum
matahari silam sama sekali, sempat juga Hamid membawa kita berkeliling
kampung. Kehidupan yang tampak sudah macam desa yang layak. Pergaulan begitu
akrab. Sapa-menyapa dengan basa-basi “singgah dulu” sudah jadi adat,
rupanya.

Kita menginap di sebuah bangunan kantor transmigrasi. Tidur di ruangan yang
disulap jadi kamar. Kepada Sentot dan Gde saya jelaskan ‘strategi’ untuk
besok. Kita akan berpencar menjelajahi kampung ini, dengan masing-masing
didampingi seorang warga.

Potret apa saja kegiatan mereka sehari-hari. Ambil wajah-wajah mereka, mulai
dari bocah dalam gendongan, anak-anak, besar kecil, tua, muda. Di ladang, di
sawah, di rumah. Singkatnya, tangkap tiap segi kehidupan yang ada. Sekali
lagi: jangan sampai mereka melihat kamera. Katakan pada mereka, mas, mbakyu,
silakan kerja seperti biasa, jangan lihat saya. Oke?

Sungai Tambangan — Sungai Tenang, Rabu 7 Juli 1976.
Pagi ini ada kesibukan ekstra di Desa Sungai Tambangan. Tapi bukan lantaran
kehadiran kita yang sempat dijuluki “orangnya presiden”, melainkan karena
siang nanti akan ada kunjungan nyonya-nyonya IKKH Sumatera Barat, dipimpin
istri Pangdam 17 Agustus. Kabar ini diterima mendadak. Akibatnya, mereka
jadi gelagapan.

Biasanya, bila ada tamu-tamu penggede — ada kabar atau tidak, sudah jadi
adat menyambutnya secara kehormatan. Kini, waktu begitu singkat untuk
mencanangkan kepada penduduk. Mereka telanjur berangkat ke ladang atau pergi
ke hutan.

Gde dan Sentor beroleh masing-masing seorang pandu. Mereka keliling desa dan
seantero sawah Sungai Tambangan. Sedangkan saya ditemani Hamid dan Karman,
menuju desa jiran: Sungai Tenang. Ini merupakan proyek baru transmigrasi,
baru sekitar satu setengah tahun dihuni. Letaknya 5 km dari Sungai
Tambangan, lazim juga dijuluki sebagai Sungai Tambangan Baru.

Jalan penghubung ke sana masih berupa jalan setapak. Rencananya akan bisa
dilalui mobil. Ada sebuah jembatan peng-hubung yang kini sedang dikerjakan.
Dua bulan lagi diharap rampung, begitu keterangan petugas PU di sana. Mobil
stop di sini, selanjutnya jalan kaki sekitar 3 km lagi. Hutan belum
seluruhnya bersih.

Uap pembakaran hutan menggebu di sana-sini. Tapi rumah-rumah sudah berdiri
di celah reruntuhan pohon hangus itu. Begitu pula rupa-rupa tanaman. Mulai
keladi, singkong, kacang panjang, kedele sampai petak-petak sawah. Panen
rupanya sudah memberi hasil. Di tengah jalan kita berserobok dengan seorang
Ketua RT. Hamid memberi instruksi agar penduduk disuruh datang ke Sungai
Tambangan.

Dari Hamid saya tahu bahwa resminya kunjungan nyonya-nyonya tadi adalah ke
Desa Sungai Tenang. Tapi lantaran jalan belum selesai, para nyonya gedongan
itu enggan jauh berjalan kaki. Mereka akan menyerahkan sejumlah bingkisan
untuk warga Sungai Tenang.

Sementara Hamid bicara dengan Ketua RT, saya juga menyelesaikan sejumlah
pemotretan. Termasuk di rumah-rumah penduduk. Di desa ini ada seorang warga
yang mengerjakan pembuatan genteng. Kita mampir ke sini. Ternyata di rumah
ini juga tersimpan alat-alat reog. Mereka berasal dari Ponorogo.

Penghuninya, lelaki berperawakan gempal, baru saja pulang dari sawah. Masih
berkeringat dia ketika Hamid memperkenalkannya pada saya. Si Mas itu tertawa
lebar, hingga tampak sebutir gigi emas menyelip di barisan giginya.
Gerak-geriknya rada keperempuan-perempuanan. Kaget juga saya ketika ia
mencolek, sambil berkata: “He..he..he., bapak datang juga ke sini, ya.”

Harap jangan salah sangka dulu. Ia ternyata punya istri, waktu itu
menggendong bayi. Di rumah ini mereka juga buka warung kecil-kecilan. Hamid
mengharapkan si Mas segera menghimpun rekan-rekannya, agar bisa memainkan
reognya buat para nyonya pembesar tadi.

Tapi mungkinkah bisa terlaksana? Waktu begitu mepet, sementara banyak orang
masih berada di sawah. Keadaan terasa gawat, ketika muncul utusan camat dari
Sungai Tambangan. Juga ada tentara dari Babinsa.

Mereka menanyakan kenapa belum tiba juga orang dari Sungai Tenang, sedangkan
nyonya-nyonya itu sudah lama menunggu. Karman angkat bicara. Dia bilang,
mestinya para nyonya IKKH itu langsung saja diantar ke Sungai Tenang ini.

“Itu sebabnya kita menunggu mereka di sini,” ujarnya. Tapi seperti disebut
tadi, lantaran jalan tidak bisa dilalui mobil, maka penduduk sajalah yang
harus datang menghadap. Masya Allah!

Sungai Tambangan, Rabu 7 Juli 1976.
Menjelang ‘asar, pemotretan di dua desa ini kita anggap cukup. Pertemuan
penduduk dengan nyonya-nyonya IKKH sudah bubar. Dalam upacara tadi, seperti
biasa: didahului pidato, baru kemudian mereka menyerahkan bingkisan berupa
buku tulis dan tiga petromaks.

Karena barang-barang ini diserahkan di Sungai Tambangan, kabarnya, orang
desa ini ada yang minta bagian. Agar tidak bikin kecil hati, maka Karman
memutuskan membagi buku tulis untuk orang Sungai Tambangan. Berapa
jumlahnya, tidak disebutkan.

Sepulang para nyonya tadi, kita jalan-jalan lagi di Sungai Tambangan. Di
sana ada bangunan pasar. Wah, hampir luput. Kapan sih hari pasarnya? Besok
pagi. Artinya, ya harus menginap semalam lagi. Biarin, deh.

Menjelang maghrib, muncul lagi rombongan tetamu lain. Kali ini seorang
pejabat transmigrasi pusat. Namanya, Suparto. Ia mendampingi seorang pejabat
UNDP, yang datang untuk kedua kalinya ke sini. Orang UNDP itu asal dari Sri
Lanka. Namanya dicatat oleh Sentot. Ia ke Sumatera Barat dalam kaitan
penelitian hukum tanah di Minangkabau.

Mereka menginap di bangunan yang sama dengan kita. Dapat ruangan yang
sehari-harinya digunakan buat kantor. Tidur di dekat meja tulis. Sarapan
sama-sama di rumah Mukayat. Pejabat UNDP itu saya ajak ngobrol sedikit. Ia
tampaknya menaruh perhatian juga pada kerja kodak-mengodak.

“Pemotretan areal yang begini luas mestinya rumit,” komentarnya. Saya
mengangguk. Diceritakannya bahwa ia telah meninjau daerah semacam ini di
Syria. Ia menyarankan agar dibuat foto-foto yang bisa menggugah PBB untuk
memberi dana bagi kepentingan transmigrasi ini. Saya bilang, itu memang
salah satu target yang ingin saya capai.

Tadi di kawasan pasar, ada keramaian. Pedagang obat keliling, bikin
pertunjukan film. Proyektornya mungil, karena filmnya cuma 8 mm saja. Pintar
juga penjual obat itu. Orang berkerumun. Ini sudah cukup untuk melahirkan
pasar kaget, seperti penjual penganan kecil-kecilan.

Menjelang larut malam, Mukayat berbisik pada Karman bahwa ia ada hajatan.
Anggota keluarganya bikin pesta khitanan. Menurut Mukayat, di situ ada reog.
Ternyata kali ini reog Sunda. Kami diundang, termasuk tamu dari UNDP itu.
Begitu melihat ada orang berpotongan Tambi hadir di situ, para pemain reog
kontan menyindir dan memainkan sejumlah lagu-lagu India.

“Saya dari India,” kata mereka, sambil mencoba melucu. Meski berkali-kali
disebut kata India, orang Sri Lanka ini tentu saja tidak tergugah sama
sekali. Apa lagi dia memang tak paham Bahasa Indonesia. Tapi buat basa-basi
ia duduk juga bersama orang ramai di bawah langit terbuka.

Sungai Tambangan — Rimbo Bujang, Kamis 8 Juli 1976.
Ini hari pasar di Sungai Tambangan. Aneka ragam keperluan sehari-hari ada di
sini. Bahan makanan atau pun pakaian, sampai jual beli perhiasan emas. Di
desa ini juga ada kantor BRI, dan nampak ramai. Kaum ibu sembari menenteng
pundi uang masuk ke sana.

Sentot dan Gde saya minta berpencar mengambil pelbagai kegiatan dalam pasar.
Selesai pemotretan di pasar, menjelang pukul 10:00, kita bertolak menuju
Rimbo Bujang di Provinsi Jambi. Karman mengatakan, jalan ke sana cuma makan
waktu sekitar tiga jam. “Dari jalan lintas Sumatera paling hanya masuk dua
kilometer ke dalam,” katanya.

Waktu akan bertolak dari Sungai Tambangan, Rajo Ameh — supir kita,
mengingatkan agar kelambu mobil ditutup. “Banyak abu,” katanya. Penutup
bagian belakang jip itu memang terbuat dari terpal. Itu rupanya yang
disebutnya sebagai kelambu. Kenyataannya, sekalipun sudah ditutup, ya tetap
saja debu berlepotan di rambut dan baju kita.

Di musim panas ini jalan tanah itu mengebul jika dilewati mobil. Perbatasan
Provinsi Sumatera Barat dan Jambi baru saja dilewati. Hamparan aspal yang
membelah bukit, dan meliuk-liuk sepanjang mata memandang, belum juga
mengantarkan kita sampai di Rimbo Bujang.

Matahari kian condong ke barat, ketika jip ini membelok ke sebuah pintu yang
berpalang. Di dekatnya ada gardu dengan pengumuman cukup angker: “Yang tidak
berkepentingan dilarang masuk!” Itulah gerbang sebuah perusahaan
penggergajian kayu milik CV Alas. Melalui pintu yang sama inilah adanya
jalan masuk ke proyek transmigrasi Rimbo Bujang. Karman menemui petugas di
pos keamanan.

Areal transmigrasi ini rupanya masuk daerah konsesi CV Alas. Mereka
merambahi hutan, membuat jalan, melego kayunya. Bahan dari sisa kayu yang
tak sempat diekspor, lalu dibuatkan rumah-rumah untuk transmigran. Jadi, CV
Alas bagai orang membuka dompet, dua tiga untung masuk kantong. Lebih dari
itu, boleh jadi pula bakal dapat nama.

Jalan menuju lokasi transmigrasi ini kondisinya lumayan maut juga.
Berkelok-kelok, naik turun tak kepalang tanggung. Debunya bukan main. Apa
lagi jika berserobok dengan truk penggotong kayu, wah, bisa tidak kelihatan
jalan di depan.

Beberapa kali saya minta Rajo Ameh menghentikan mobil, ya supaya kita bisa
memotret. Rimbo Bujang merupakan daerah paling baru untuk transmigrasi di
Jambi. Calon penghuninya berasal dari Wonogiri. Kabarnya, Presiden Suharto
bakal meninjau, pada akhir Juli ini.

Di kiri kanan jalan lebar yang masih tanah itu terhampar belingkangan pohon
kering. Sayup-sayup tampak bangunan perumahan. Ukurannya 4 x 6 — mirip pas
foto saja. Di Rimbo Bujang inilah — dalam sejarah transmigrasi, kabarnya
kaum transmigran bakal beroleh tempat yang dipandang layak.

Maksudnya, dalam soal tempat berteduh. Rumah berdinding papan, dan beratap
seng. Cuma jarak satu dengan lainnya, belum tampak terbilang ideal.
Rumah-rumah itu dibariskan bagaikan barak, dengan jarak lebih kurang 50
meter. Dibandingkan dengan mutu perkampungan di Sungai Tambangan, maka Rimbo
Bujang belum menjanjikan adanya jaminan bahwa pendatang bakal betah di sini.

Dari segi keamanan, misalnya. Rumah saling berjauhan niscaya rawan. Maklum,
Rimbo Bujang masih berupa belantara yang belum bebas dari hama babi dan
gajah. Mungkin juga harimau. Nah, bagaimana kelak bila sebelum sempat panen,
kebun mereka keduluan dijarah babi hutan?

Begitu pula dari tata pergaulan. Letak rumah yang berjauhan tidak
menciptakan rasa akrab. Suasana persaudaraan inilah yang nampak bisa
diciptakan oleh Desa Sungai Tambangan. Bagaimana sebenarnya pola ideal
pemukiman transmigran, tampaknya tergantung pada rancangan di Jakarta. Dan
orang daerah lebih nyaman menyebut dirinya sebagai pelaksana perintah orang
pusat.

Faktor tata ruang ini rasanya cukup jadi soal buat Rimbo Bujang. Terutama
bila diingat arealnya kelak mencapai 90.000 hektare, dan direncanakan bakal
dihuni 12.000 kepala keluarga. Tentunya tak cukup hanya dengan sekadar main
onggok-onggok. Pokok-e, asalkan orang dari Pulau Jawa bisa dialihkan ke
Sumatera. Sedangkan urusan di Sumatera, itu soal nanti.

Jika demikian sikap para penggede, beralasan untuk bikin tanda tanya besar:
yang dipindahkan itu manusia atawa hanya berupa angka-angka?

Rimbo Bujang, Kamis 8 Juli 1976.
Sampai hari ini, saya ingat dua kali bicara agak keras kepada Sentot dan
Gde. Pertama, ketika masih berada di Sungai Tambangan. Yakni ketika mereka
diminta melakukan pemotretan, sesaat setelah kita disuguhi kopi. Gde tampak
santai saja, karena merasa disambut bagaikan tamu agung.

“De, kita di sini bukan mertamu, tapi untuk bekerja. Ayo, cepat!” saya
bilang. Dia memang harus cepat memotret sesuatu, waktu itu. Yang kedua,
kejadian ketika kita baru masuk Rimbo Bujang. Jip saya minta berhenti, dan
saya turun untuk memotret. Sentot juga turun. Tapi Gde tetap saja ngelenggut
di mobil.

Letih? Ya, siapa sih yang tidak teruk diguncang dalam perjalanan panjang
ini? Saya sampai teriak pada Sentot: “Bilang sama Gde, apa dia mau jadi
turis? Suruh cepat turun. Motret!” Terus-terang, saya tak enak hati sampai
mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi tampaknya ada satu keadaan yang
meminta ucapan itu harus ke luar.

Apa boleh buat. Rencana saya, segalanya akan saya terangkan bila kembali
nanti di Padang. Setiba di kantor petugas transmigrasi Rimbo Bujang,
matahari sudah agak lindap. Dalam hitungan saya, pemotretan yang sudah
dilakukan belumlah memadai.

Rimbo Bujang baru sebagian dihuni, sekitar delapan bulan ini. Kepala Proyek,
Abu Bakar, menyiapkan penginapan. Letaknya sekitar 5 km dari kantor ini. Di
penginapan, saya mendengar cerita seluk-beluk kehidupan yang sudah berjalan
di Rimbo Bujang. Secara kilat kita atur siasat untuk besok. Sentot akan
diboyong dengan motor seorang petugas. Ia memotret penebangan hutan.

“Wah, besok itu Jum’at, nggak ada yang kerja di hutan,” kata seorang
petugas. Saya bilang, “saya nggak tahu cara bagaimana, tapi tolong atur satu
orang menggergaji pohon. Kita perlu foto itu.” Akhirnya mereka setuju.

Saya dan Gde akan meninjau pasar terdekat. Dan yang terdekat untuk penghuni
Rimbo Bujang, bernama Teluk Kuali. Jaraknya sekitar 8 km. Artinya,
bolak-balik sekitar 15 km. Penting dicatat, itu hanya bisa ditempuh dengan
jalan kaki. Belum ada angkutan umum. Seru, pokoknya.

Malam mulai dingin. Para petugas transmigrasi Sumatera Barat dan Jambi itu
rupanya sudah lama tak jumpa. Mereka bercengkerama sampai larut malam.
Karman dengan begitu kian tersiksa. Meski ia sudah makan obat, sang malaria
toh belum mudah dijinakkan.

Sentot pasang sebo membungkus kepala dan daun telinganya. Saya juga. Kecuali
Gde. Dia tidak beli itu kupluk di Padang. Kali ini, kita tidur tanpa melepas
kaus kaki, wwwwh… dingin banget, sih.

Rimbo Bujang, Jumat 9 Juli 1976.
Embun menyelimuti seantero bumi. Dingin mencucuk sumsum. Apa mau dikata, air
mesti ditimba dulu dari sumur. Nekad. Biarin, mandinya di Padang saja nanti.
Sepeda motor yang mesti membawa Sentot mogok pula. Empat orang sibuk
menggili karburatornya. Tetap saja motor itu membatu. Belakangan ketahuan,
motor itu tidak berkutik lantaran bensinnya habis. Untung saja belum banyak
onderdilnya dipreteli. Maklum, montir amatir.

Selesai sarapan nasi goreng, saya dan Gde, Abubakar dan Karman, menuju
pelabuhan CV Alas di tepi Sungai Batanghari. Dari situ perjalanan
dilanjutkan ke Teluk Kuali. Di sepanjang jalan tampak penduduk membawa getah
hasil sadapan semalam.

Teluk Kuali adalah sebuah desa pula, yang terbagi dua oleh sungai. Dari sini
ke Kota Jambi dengan perahu motor makan tempo sekitar sehari semalam. Di
pasar ini ada segala bahan makanan dan keperluan sehari-hari orang Rimbo
Bujang.

Sekembali dari Teluk Kuali, langsung kita memasuki lokasi perumahan itu. Ada
yang sudah menanami pekarangan dengan ubi jalar. Ada juga yang menyemai
benih bayam. Sedikit agak ke sana ada yang bersawah, dan menyemprot hama
tanaman.

Rimbo Bujang masih dalam jaminan kantor transmigrasi. Teorinya sampai empat
bulan lagi. Tapi menilik hasil bumi yang ada, rasanya mustahil melepas
mereka dalam tempo singkat itu. “Sedikitnya dalam waktu dua tahun mereka
masih kritis,” kata Karman.

Ia mengulas pula perkara pasar yang begitu jauh lokasinya. Dia bilang pada
Abubakar, agar segera membuka pasar di Rimbo Bujang. “Jadi mereka tak usah
buang tempo 15 kilo jalan kaki, dan tidak capek lagi sampai di rumah,”
katanya.

Gagasan Karman tampaknya kurang menarik bagi Abu. Dia diam saja. Atau boleh
jadi ia tidak suka daerahnya diatur oleh petugas dari Sumatera Barat. Sampai
di mana keadaan sebenarnya, tentu hanya Abu yang tahu.

Jarum jam menunjukkan pukul 15:05. Roda jip Rajo Ameh mulai bergerak menuju
Padang kembali. Perjalanan langsung ini diperkirakan makan waktu 12 jam.
Rajo Ameh tidak keberatan “tembak langsung”. Anteng saja dia di belakang
kemudi, sementara kaset di tape recorder kecil yang saya bawa, tidak
habis-habisnya memutar lagu berirama keroncong. Menyesal juga saya cuma
mengantongi dua kaset, kalau tahu bahwa kita bakal tua di jalan ……

Catatan Penutup
Setibanya di Padang kembali — sebelum tidur di hotel, saya bolak-balik
catatan kecil selama perjalanan. Terus-terang saya amat terkesan dengan Gde
Estu dan Sentot. Ibarat tanaman, mereka saya lihat merupakan bibit yang
baik.

Foto-foto yang mereka buat mengisyaratkan potensi untuk berkembang di bidang
kerja kreatif ini. Tapi bibit unggul sekalipun, tentu perlu lahan yang juga
unggul serta iklim yang mendukung. Saya harapkan saja mereka tidak salah
memilih lingkungan untuk bisa tumbuh dan berkembang.

Catatan istimewa juga saya torehkan buat dua pendamping lokal dalam trip
ini. Rajo Ameh dan Karman. Mereka mirip ayah dan anak. Rajo Ameh yang
sepintas tampak ‘garang’, ternyata amat penyabar. Sebaliknya dengan Karman.
Ia tak sabaran menyaksikan kita turun naik mobil untuk memotret.

“Kita temui kepala proyeknya dulu, baru nanti kita minta dia menunjukkan
mana yang bagus,” kata Karman — waktu itu. Saya bilang, yang ingin kita
potret bukan melulu yang bagus-bagus. Perkara ketemu kepala proyek, bisa
saja setelah kita memotret sambil jalan ke kantornya.

“Berapa kilo lagi ke sana? Tadi kan disebut cuma dua kilo dari jalan raya,”
saya mengingatkan Karman tentang jarak ke Rimbo Bujang. Dia nyengir.
Sepanjang jalan dia sudah terakuk-akuk mirip ayam sakit. Lalu saya bilang
pada Rajo Ameh, “kalau kudo saroman ko lah ditembak, yo ndak, Pak?!”

Rajo Ameh tertawa. Karman paham Bahasa Minang, senyum-senyum kecut mendengar
olok-olok itu. “Malaria saya kambuh lagi,” dia bergumam. Kasihan saya
melihatnya. Sukar saya membayangkan perasaian Karman ini. Coba saja, sudah
kurang tidur mesti jalan jauh lagi. Dan digerogoti malaria pula. Hebat betul
ini orang bekerja.

“Minta ampun saya sama kerja beginian,” dia bilang. Di luar dugaannya, Rajo
Ameh menimpali: “Saya juga kepingin minta ampun. Tapi sama siapa mesti minta
ampun. Ini tugas kita, kan?”

Saya jadi terbahak mendengar percakapan mereka. Yang terasa ketika itu, gaya
dan nada bicara Rajo Ameh, sungguh bikin saya terpingkal-pingkal.

Tapi, eh… dua kilometer yang disebut Karman, ternyata 20 km. “Ndak banyak
bedanya toh? Cuma tambah nol saja, ndak banyak artinya. Dua ditambahi nol,”
kata Karman. “Kalau saya sebut 20, you itu bisa patah semangat.”

Ajegile! Dari kasihan, diam-diam saya jadi kagum terhadap Karman. Sungguh!
Dalam kondisi kurang sehat pun dia tetap punya rasa humor. Pegawai negeri
semacam Sutan Rajo Ameh dan Karman ini sepatutnya dapat bintang penghargaan.

* Cuplikan buku Mat Kodak Berselancar di Gelombang Cahaya — Kisah Lawatan
Jurnalistik. Kini dalam tahap koreksi final.

written by matkodak
http://edzoelverdi.com/2008/06/01/catatan-harian-trip-rimbo-bujang/


No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG. 
Version: 7.5.552 / Virus Database: 270.9.16/1842 - Release Date: 10-Des-2008
18:53
 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke