Jakarta, Selasa 29 Juni 1976. Pukul 19:00, rapat di Sanggar Film Taman Ismail Marzuki (TIM). Yang mengundang: Sumardjono, sehari-hari Dekan Akademi Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), kali ini dalam kedudukannya selaku pengurus umum BPPS akademi tersebut.
Hadir malam itu selain Sumardjono, adalah M.D. Aliff, Fakhri Amrullah, Sutomo, Jimmy. Juga dua mahasiswa, Sentot dan Gde Estu. Sedangkan D.A. Peransi terlambat. Katanya sih, sakit perut. Pokok perbincangan adalah mengenai rencana keberangkatan ke Rimbo Bujang di Jambi, untuk membuat foto-foto mengenai proyek transmigrasi. Sumardjono mengutarakan bahwa Direktorat Jenderal Transmigrasi meminta jasa baik Akademi Sinematografi untuk menggarap pemotretan proses transmigrasi. Ini akan meliputi seluruh provinsi di Indonesia. Mulai dari daerah asal, proses pemindahan, sampai mencapai tempat tujuan. Daerah pemotretan kali ini adalah proyek Rimbo Bujang, sebuah perkampungan baru yang masih dalam tahap siap menerima transmigran. Saya sekaligus dapat ‘titipan’ Gde dan Sentot. Kedua mahasiswa ini duduk di tingkat III. Kepada saya Sumardjono mengatakan: “Anda itu akan dipandang sebagai ‘dosen tamu’ buat praktikum mereka di lapangan.” Lebih jauh diterangkannya pula tentang rencana foto-foto itu kelak. Ada yang akan dihimpun berupa album, atau buku, dan juga bahan pameran. Dengan cara ini diharapkan ada gambaran yang sebenarnya mengenai seluk-beluk urusan transmigrasi, baik bagi kalangan Muspida setempat, maupun buat sejumlah pejabat pada posisi kunci di pusat. Sentot mencatat bahan apa saja yang diperlukan selama perjalanan. Saya mengajukan usul agar juga membawa obat dan alat cuci film. Sutomo (dosen akademi itu) menyatakan keberatan. “Semua negatif itu akan diproses di Jakarta saja,” katanya. Ia minta harus tersedia 1.000 jepretan. Artinya, paling sedikit pemotretan meliputi lebih dari 30 rol. Jika begitu hitungannya, saya bilang, penting membawa perabot cuci film. Saya belum tahu persis kecakapan dua mahasiswa ini dalam urusan kodak-mengodak. Jadi, perlu proses uji coba. Bila ternyata ada kekeliruan pembakaran film, bisa dilakukan koreksi segera. Alasan teknis belaka, memang. Apa lagi mengingat fotonya kelak akan diperbesar. Jangan sampai terjadi sosoknya gradakan akibat kesalahan eksposur. Nah, untuk beroleh transparan yang terjamin itulah, saya perlu melihat hasil pemotretan mereka. Akhirnya Sumardjono menawarkan jalan tengah: proses di tempat tak usah dipaksakan semua. Biarkan ada juga yang diproses di Jakarta. Dan kepada dua mahasiswa tadi, Sumardjono mengingatkan agar “tunduk kepada komandan.” Bukan main. Jakarta, Sabtu 3 Juli 1976. Dengan Fakhri berangkat dari TIM jam 10:00, ke kantor Ditjen Transmigrasi di dekat patung Pancoran. Pejabat yang akan ditemui adalah Ir. Amir Hasan Muthalib. Tapi yang bersangkutan, kata bawahannya, sedang ke Hankam, dan disebut akan kembali satu jam lagi. Kita pun ke Kebayoran dulu, ke rumah Gatot — keponakan Sumardjono, yang baik hati mengemudikan mobil itu. Sekembali dari Kebayoran, untung, Amir sudah ada. Fakhri menerangkan bahwa tim Akademi Sinematografi ini perlu secarik surat dari kantor pusat. Tapi surat itu rupanya belum dibuat. Mulanya diatur, surat itu akan diantar sorenya ke TIM. Pikir punya pikir, sementara kita ngobrol dengan Amir, surat itu bisa saja ditunggu. Oke. Amir Hasan — direktur di lingkungan Ditjen Transmigrasi, sosok bersahaja, duduk di kursinya dalam ruang kerja yang tidak begitu besar. Ia mengungkapkan, sangat tidak puas dengan foto yang pernah ada. Disebutnya, terasa ada kepincangan dalam penyajian laporan. “Buku tebal melulu, bikin bosan,” dia bilang, sambil mencomot sebuah laporan berbentuk buku nyaris setebal bantal bayi. Isinya tentu berupa laporan beres saja, statistik yang menggembirakan. Pejabat ini tidak mendustakan adanya keluhan. Ataupun hal-hal yang belum seluruhnya beres dalam proses transmigrasi. Cuma ia ingin kalaupun ada kesalahan, bukan melulu ditimpakan terhadap instansinya. Sebab urusan transmigrasi bukan semata-mata digarap oleh petugas transmigrasi. Tapi juga, misalnya, menyangkut instansi PU, perhubungan, dan sebagainya. Lebih dari itu, menyangkut soal dana. Ia nampaknya kewalahan juga meyakinkan tampuk pengambil keputusan. Sehingga ia merasa perlu memanfaatkan laporan secara visual. Dari foto-foto yang bakal dibuat kelak, ia harapkan dapat muncul gambaran tentang lika-liku permasalahan yang dihadapi instansinya. “Yang kita urus ini bukan benda mati, melainkan manusia, kok,” ujarnya. Dibayangkannya, agar penampilan fotografis dalam laporan ini nanti paling tidak mampu menyuguhkan satu situasi manusiawi. Singkatnya: bukan laporan a-b-s alias asal bapak senang. Saya pribadi memahami kebutuhan Amir. Urusan transmigrasi memang tidaklah peristiwa pemindahan angka-angka belaka. Tapi ada upaya mendorong manusia untuk memperbaiki nasibnya. Sempat 3/4 jam ngobrol, surat keterangan itu pun rampung. Ada tiga. Satu untuk proyek di Sumatera Barat, satu untuk Rimbo Bujang, dan satu lagi buat Akademi Sinematografi LPKJ. Jakarta-Padang, Minggu 4 Juli 1976. Sudah kumpul di bandar udara Kemayoran, pukul 05:00. Sentot dan Gde diantar oleh rekan-rekannya, termasuk sang dosen (Tomo). Minum kopi sebentar di lantai dua, sementara di kejauhan fajar mulai mengintip. Pesawat tinggal landas mestinya pukul 06:00. Tapi DC-9 ini rupanya sedang ngadat. Setengah jam terlambat. Bahkan ketika penumpang sudah duduk di kursi masing-masing, nampak pintu masih diutak-utik. Macet rupanya. Tentu saja keadaan ini bikin saya berdebar. Timbul bayangan macam-macam. Misalnya, bagaimana kalau yang macet itu rodanya ketika pesawat akan turun. Lambat-laun dag-dig-dug bisa juga diajak damai dengan cara berdoa. Ini sudah kebiasaan. Ketimbang ngotot nggak keruan, mendingan menyerah saja. Bagian ini tulen sudah urusan Tuhan Rabbul’alamin, kan? Dalam pada itu, saya lihat Sentot dan Gde lebih banyak diam. Mungkin mereka sedang dilanda lamunan pula. Kursi di pesawat tidak penuh, sehingga kita bisa pindah duduk sederet. Cuma masih belum banyak bahan obrolan. Sembari memandang kumpulan awan-gumawan, saya bertanya dalam hati: anak yang dua ini akan saya apakan? Saya belum kenal sampai di mana kemampuan mereka. Lagi pula ini merupakan trip pertama mereka Sumatera. Sampai di mana ketahanan fisik dan mental mereka? Begitu pula soal daya tangkap, dan seterusnya, dan seterusnya. Alhamdulillah, satu jam kemudian pesawat mendarat dengan mulus di Tabing, Padang. Tanpa kurang suatu apa, meski saya merasa ada yang kurang. Kawan yang saya kirimi telegram tiga hari yang lewat, tidak tampak batang hidungnya. Sehingga kita terpaksa ambil taksi dan minta diantar ke hotel. Hotel yang baik, disebut sang supir: Mariani. Kebutuhan pada penginapan yang baik, menyangkut soal keamanan barang-barang serta ketenteraman untuk bekerja. Dapat satu kamar dengan dua tempat tidur. Kamar mandi di dalam. Bagus. Artinya, kita bisa kerja mencuci film. Cuma ketika airnya dites, kotor bukan main. Disaring dengan kaus kaki pun tidak menolong. Gde saya minta beli air. Ia menyebut pakai aquades saja. Lalu panggil pelayan untuk membelikan air bersih tersebut. Sementara istirahat, saya mulai mainkan sebuah cara perkenalan yang khas. Kepada mereka saya ceritakan sejumlah anekdot alias lelucon pendek. Ternyata tokcer! Mereka bisa terbahak-bahak seketika, tanpa minta tempo. Kesimpulan saya: mereka bukanlah anak culun. Langkah pertama boleh dilanjutkan dengan langkah berikutnya. Mereka saya minta mencuci film menurut cara yang pernah mereka lakukan atau pelajari. Hasil opname siang tadi dicuci belum sampai 10 jepretan. Kita potong saja, sisanya bisa dipakai lagi. Muncul seluloid dengan pembakaran belang-belonteng. Koreksi pertama saya lakukan. Yaitu, tentang memahami instruksi pabrik, serta penyesuaiannya dengan iklim kita. Caranya, dimulai dengan pengukur cahaya (light meter) di kamera. Khusus untuk hitam putih, gerak jarum atau sinyal meluncur dari kutub positif ke negatif. Jangan keliwat minus, hingga eksposur bisa normal. (Lain dengan film berwarna, petunjuk itu harus tepat di tengah). Berikutnya adalah soal proses pencucian. Di tiap kotak obat pengembang ada petunjuk berapa menit bisa digunakan dalam suhu tertentu. Misalnya, Microdol keluaran Kodak, memberi petunjuk: dalam suhu 20 derajat, waktunya sekitar 9 menit. Itu ukuran jika ruangan pakai pesawat pendingin. Obat pengembang ini hanya tersedia untuk campuran satu galon air. Kita cukup membawa obat untuk takaran seliter air saja. Micro-MF, namanya. Di lembar petunjuknya juga disebutkan hitungan waktu untuk ruang bersuhu dingin. Nah, kamar hotel ini tidak ada AC. Jadi, harus ikut suhu apa adanya. Padang sebagai kota pantai, rata-rata suhunya 30 derajat Celsius. Dalam urusan kimia perlu hitungan yang tepat. Petunjuk pabrik menyebut 9 menit dalam ruangan bersuhu 20 derajat. Untuk suhu 30 derajat berarti masa pencucian dikurangi sepertiga, jadi sekitar 6 menit. Itu masih teori kasar. Sebab pengalaman membuktikan hasil negatifnya masih kehangusan. Berdasarkan pengalaman pula, obat takaran seliter itu perlu dijinakkan dengan campuran dua liter air. Ini saya beritahukan pada Gde dan Sentot. Biar selamat, mari kita tes lagi dengan sisa film tadi. Masa cucian diturunkan jadi 7 menit. Masih kehangusan, turunkan lagi jadi 6 menit. Begitulah uji coba cuci film, cukup dengan satu rol saja. Koreksi kali ini beroleh hasil normal pada Sentot. Sedangkan dari Gde masih terjadi hitam putih yang belang. “Light meter gua macet,” katanya. Gde lalu memperagakan bahwa ia juga membawa light meter Sekonic. Bisa saja sih alat itu dipakai, saya bilang. Cuma apa bisa buat gerak cepat? Lantaran sibuk ukur cahaya ke sana ke mari, subjek yang perlu segera dijepret jadi sadar kehadiran Mat Kodak. Momen penting pun bubar. Selesai latihan pertama, dilanjutkan dengan obrolan tentang topik utama perjalanan ini. Sentot dan Gde tampak sudah paham apa yang dimaui pihak pemesan foto. Bagus. Tapi saya ingatkan juga agar jangan sampai terbelenggu dengan pra-angan-angan. Boleh saja, memang, siap dengan rencana atawa pola. Tapi Mat Kodak tetap harus menata ulang segala prakonsepsi itu ketika berada di gelanggang. Jadi, secepat kita sampai maka saat itu juga harus mengambil sikap menguasai medan. Cara yang biasa saya lakukan ialah bertanya tentang rupa-rupa hal pada orang yang mengetahui, sementara kita terus memperjeli penglihatan. Dan pemotretan bisa saja dilakukan dengan cara siluman, atau katakanlah dengan gaya maling. Atau sebaliknya dengan sistem sutradara. Apa pun cara yang di pakai, tidak soal, asalkan hasilnya kelak mampu mencerminkan pelbagai faset kehidupan yang ada, secara wajar. Padang, Senin 5 Juli 1976. Kemarin sempat ketemu Chairul Harun di Pusat Kesenian Padang. Kompleks ini terletak di tepi pantai. Chairul adalah sejawat saya di Tempo, dia koresponden untuk Sumatera Barat. Disepakati bahwa Senin ini ia akan menemani kami ke kantor transmigrasi. Katanya, ia punya kenalan di situ. Pagi ini, dengan taksi yang disewa dari Tabing kemarin, kita pergi ke Kantor Wilayah Transmigrasi. Surat dari Amir itu mestinya diterima oleh Kepala Kantor Wilayah. Tapi yang bersangkutan sedang dinas ke luar kota, meninjau proyek Kinali di Pasaman. Pujadi, wakilnya, agak termenung juga membaca surat Amir. “Pak Srikaton sedang ke Pasaman. Bisa tunggu beliau saja Rabu pagi?” Pujadi bertanya. Wah, saya bilang, kalau mungkin kita bisa berangkat sore ini juga. Tidak mungkin, rupanya. Kalau begitu, besok pagi. Atur punya atur, akhirnya disepakati akan dikirim mobil ke hotel besok pagi. Oke. Lalu dengan Chairul menuju gubernuran. Rencananya sih ketemu gubernur. Kepada Chairul saya bilang, kali ini trip saya tak ada urusan Tempo. Tapi tulen urusan transmigrasi. Gubernur ternyata tidak ada di tempat. Ia sedang di Bukttinggi menghadiri pertemuan Maksi se-Sumatera. Jadi, hari itu ada waktu luang, ya apa salahnya jalan-jalan ke Bukittinggi? Chairul saya ajak. Dia lalu berbisik kepada seorang kawannya. Pinjam mobil. Seorang di antara kawannya itu, anak pengusaha terkenal — Djohan Djohor, berbaik hati meminjamkan sebuah sedan Ford mewah. Dengan mobil ini kita ke Bukittinggi. Raun ke Danau Maninjau, sempat meninjau proyek PLTA yang tengah dibangun, dan ketemu pimpinannya Ir. Yanuar Muin. Dari Bukittinggi kita didampingi Ismed Ramli, kepala humas proyek itu. Balik dari Maninjau singgah sebentar di kampung saya — Kotogadang, di kaki Gunung Singgalang. Kembali ke Padang, sudah malam. Sesampainya di hotel, Sentot dan Gde mencuci film lagi, hasil jepretan selama perjalanan tadi. Eksposurnya sudah bagus. Obrolan ekstra saya imbuhi lagi dengan sejumlah banyolan. Sentot terpingkal-pingkal, dan sempat “minta ampun” lantaran perutnya terasa keram. Setelah suasana normal lagi, Sentot mulai bertanya-tanya tentang oleh-oleh yang khas Minang. Ditunjukkannya sebuah cincin yang sedang dia pakai. Jemarinya banyak cincin. Mirip penyanyi pop saja. Kalau di Padang, saya bilang, ente bisa dikira tukang pedati. Sentot heran. “Apa lagi kalau pakai sebo, itu kupluk penahan hawa dingin yang biasa dikenakan kusir bendi atawa tukang pedati. Penggemar akik umumnya dari kalangan itu….” Mendengar cerita saya, Sentot terkekeh lagi. Cincin itu banyak, dia bilang, karena ada kawan yang menitip. “Pokoknya kalau lu lihat ini cincin, lu bakal ingat gua. Artinya, jangan lupa oleh-oleh,” tutur Sentot, tentang cincinnya itu. Kalau begitu, belikan saja kerupuk kulit. Di Jakarta memang ada juga kerupuk kulit, tapi yang datang dari Padang sini gurihnya lain. Padang—Sijunjung, Selasa 6 Juli 1976. Pukul 07:30, datang mobil dari kantor transmigrasi. Sentot dan Gde masih nglingker alias tidur pulas. Rada ruwet juga membangunkan anak muda ini. Apa mesti kayak membangunkan Minakjinggo (dicabutin dulu bulu kakinya), saya bilang pada mereka. Bagusnya, tadi malam mereka sudah berkemas. Sehingga pagi ini tak pontang-panting lagi. Cara begini saya beritahukan agar diingat jika melakukan petualangan. Jangan sampai panik. Segalanya diatur untuk siap menyambut jadwal selanjutnya. Makan pagi di warung. Pengemudi mobil itu katanya sudah sarapan. Dia hanya menunggu di mobil. Kendaraan ini berupa jip Landrover. Lumayan tua, kira-kira sepadan dengan supirnya, mungkin. Ia menceritakan bahwa ini bukan mobil kantor transmigrasi. “Ini pinjaman dari kantor gubernur,” katanya. Kantor perwakilan transmigrasi Sumatera Barat hanya punya satu mobil, jip Toyota. Itu sedang dipakai Srikaton ke Pasaman. Perjalanan menuju Solok kita minta agar liwat Singkarak, supaya bisa menikmati pemandangan danau. Pak supir setuju. Padang-Solok bila ditempuh langsung makan waktu sekitar lima jam. Tapi liwat Singkarak bakal tambah satu jam. Di sepanjang jalan, ini jip tua batuk melulu. Asyik juga sih. Maklum, saya serta Sentot dan Gde baru kali ini melalui jalan itu. Sehingga kesempatan mogok-mogok ini bisa digunakan memotret, dan menghirup lebih banyak udara segar (ingat Jakarta yang terasa begitu pengap). Pak supir rupanya rada nggak enak hati dengan ulah kendaraannya itu. Ia nampak mulai senewen. Pipi kirinya ikut naik turun ketika mobil itu tiba-tiba tersendat-sendat. Gde dan Sentot yang duduk di belakang rupanya sempat pula mengamati wajah supir kita ini. Cuma untuk ketawa, mereka masih malu. Lama-lama terasa juga bahwa pak supir ini orangnya kocak, meski tampangnya sedikit seram. Yang lebih menggelikan adalah tiap kali pipi kirinya itu bergerak-gerak, urat bibirnya ikut menjungkit-jungkit, eh itu penghapus kaca mobil (wiper) juga bergerak-gerak sendiri. Kejadiannya nyaris bersamaan. Bayangkan, hanya dalam jarak beberapa kilometer jip itu ngadat, dan ngadat lagi. Berkali-kali pak supir menggili platina. “Saya tahu penyakitnya, tapi ndak punya alat untuk membetulkannya,” dia menggerutu. Penyakit jip kakek ini adalah: bensin suka macet di jalan. Tapi karburatornya otomatis, digerakkan dengan sistem rotor. Bisa dipahami betapa jengkelnya pak tua kita itu. Begitu pula ketika baru masuk di jalan lintas Sumatera yang mewah itu. Tak jauh dari truk yang sedang membawa cat penggaris jalan, jip ini termehong-mehong. Ah, bikin malu saja ini mobil. Di jalan raya yang begitu mulus, dia malahan nggak suka jalan. Buset! Muka pak gaek itu sudah bagaikan berlipat tujuh. Kasihan dia. Agar dia tak tambah linglung, kita biarkan saja dia mengampelas platina itu lagi. Sambil menunggu, kita pun memotret kiri kanan. Perbaikan itu akhirnya sukses. Tujuan adalah ke Sijunjung dulu. Lalu terus ke Sungai Tambangan, desa transmigrasi — masih di wilayah Sumatera Barat. Tapi sebelum itu perlu dicatat, tadi waktu belum jauh dari kota Padang, kami berpapasan dengan Srikaton. Ia baru pulang dari Kinali. Saya menyampaikan salam dari Ir. Amir serta laporan ala kadarnya. Ia menyatakan heran, mengapa kita dilepas berjalan tanpa didampingi petugas dari Padang. “Kita akan singgah dulu di Sijunjung mengambil Pak Karman,” saya mengutip keterangan supir kita. Srikaton pun mengangguk-angguk. Lalu saya pamit dan janji menemuinya nanti di Padang. Sampai di Sijunjung. Waktu menunjukkan pukul 16:30. Ada dua petugas transmigrasi di sana. Satu di antaranya, Sukarman, seorang drs — seperti tertera pada tasnya. Ia menceritakan bahwa baru saja pagi tadi Pujadi muncul. Khusus ngebut dari Padang untuk memberitahu kedatangan kita. Di Sijunjung mereka bukan berkator, tapi cuma mondok di sebuah penginapan. Butut. Menurut Karman, ia pun baru datang jam 03:00 tadi dari Sungai Tambangan. Rupanya Padang-Sijunjung tidak punya hubungan telepon. Repot juga Pujadi gara-gara kita. Kasihan! Karman tampak letih. Tapi ia mencoba berbasa-basi. “Capek di jalan tadi, istirahat saja dulu di sini. Besok pagi kita terus ke Sungai Tambangan,” katanya. Menilik kondisi penginapan yang bisa dihitung bakal bikin tidur tak nyenyak, saya bilang: “Kita terus sekarang aja, deh.” Orang Jawa yang satu ini sudah 10 tahun dinas di Sumatera Barat. Yah, bisa jugalah dia dialek setempat, meski pletak-pletok lidahnya masih kentara. Geli juga kuping saya mendengarnya bicara dalam bahasa Minang. Dari percakapan dengan Sukarman diketahui bahwa sang supir kita tadi sudah menjalani tugasnya selama 20 tahun di kantor transmigrasi. Ia menyebutkan nama supir itu hanya Sutan Rajo Ameh. Sebagai orang Minang, saya paham sebutan itu bukanlah nama, melainkan gelar. Tapi itu sudah memadai untuk menyapa secara akrab. Sentot dan Gde malahan menyebutnya “Pak Ameh”. Kita mulai memasuki jalan menuju Su ngai Tambangan. Sebuah jalan raya minus aspal. Ini terbilang jalan provinsi, yang menghubungkan Sumatera Barat dengan Riau. Nah, desa Sungai Tambangan ini terletak di kiri kanan jalan ini. Perjalanan berakhir di Sungai Tambangan menjelang maghrib. Istirahat sejenak di sebuah pondok beratap ilalang. Milik seorang transmigran. Namanya, Mukayat. Ia menyuguhi kami kopi dan kacang rebus. Sementara Karman minta dipanggilkan kepala proyek. Hamid, namanya. Sungai Tambangan, Selasa 6 Juli 1976. Ketika pertama kali masuk desa ini tadi, saya melihat ada sebuah lapangan bola. Anak-anak tanggung sedang main. Saya lihat matahari tinggal secuil. Ini berarti tak ada waktu lagi, saya segera melompat sambil memberi kode pada Gde dan Sentot agar memotret. Seperti sudah diduga, kamera selalu menarik perhatian. Tak ayal lagi, anak-anak itu segera pasang aksi serentak mengetahui ada tukang potret datang. Saya ingatkan Sentot dan Gde untuk sabar sejenak. Biarkan saja mereka nampang, jangan dipotret. Atau pura-pura saja memotret. Lama-lama mereka bosan sendiri. Nah, pada saat mereka lengah itulah kita betul-betul memotret. Dalam kesempatan singkat ini ternyata banyak hal yang terjadi. Misalnya, Mukayat sibuk melayani tetamu. Ia memotong ayam perawan dua ekor. Doa salawatnya begitu mahir saya dengar, sehingga saya perlukan bertanya di mana dia mempelajarinya. Ternyata ia seorang kadi di desa itu — tukang mengawinkan orang. Pantas. Sementara itu, Hamid muncul. Sehari-hari ia juga mantri kesehatan. Entah dari mana asal-muasal infonya, Karman berkata: “Ini bapak-bapak dari Jakarta, akan melakukan pemotretan di sini untuk kepentingan kunjungan presiden.” Rada terkesiap juga saya dibuatnya. Gerah, sih. Sebab, sambutan tiba-tiba menjadi sangat formal. Kepada Hamid saya tanyakan apa saja kegiatan sehari-hari di sini. Sungai Tambangan adalah desa transmigran yang sudah lepas dari pembinaan kantor transmigrasi. Boleh dikatakan termasuk proyek yang berhasil setelah proyek lain di Lampung. Hasil buminya berupa sayur-mayur, kedele, malahan sudah masuk di pasar Sumatera Barat. Begitu menurut penuturan Hamid. Pertanian memang tulang punggung kehidupan di sini. Dan sesaat sebelum matahari silam sama sekali, sempat juga Hamid membawa kita berkeliling kampung. Kehidupan yang tampak sudah macam desa yang layak. Pergaulan begitu akrab. Sapa-menyapa dengan basa-basi “singgah dulu” sudah jadi adat, rupanya. Kita menginap di sebuah bangunan kantor transmigrasi. Tidur di ruangan yang disulap jadi kamar. Kepada Sentot dan Gde saya jelaskan ‘strategi’ untuk besok. Kita akan berpencar menjelajahi kampung ini, dengan masing-masing didampingi seorang warga. Potret apa saja kegiatan mereka sehari-hari. Ambil wajah-wajah mereka, mulai dari bocah dalam gendongan, anak-anak, besar kecil, tua, muda. Di ladang, di sawah, di rumah. Singkatnya, tangkap tiap segi kehidupan yang ada. Sekali lagi: jangan sampai mereka melihat kamera. Katakan pada mereka, mas, mbakyu, silakan kerja seperti biasa, jangan lihat saya. Oke? Sungai Tambangan — Sungai Tenang, Rabu 7 Juli 1976. Pagi ini ada kesibukan ekstra di Desa Sungai Tambangan. Tapi bukan lantaran kehadiran kita yang sempat dijuluki “orangnya presiden”, melainkan karena siang nanti akan ada kunjungan nyonya-nyonya IKKH Sumatera Barat, dipimpin istri Pangdam 17 Agustus. Kabar ini diterima mendadak. Akibatnya, mereka jadi gelagapan. Biasanya, bila ada tamu-tamu penggede — ada kabar atau tidak, sudah jadi adat menyambutnya secara kehormatan. Kini, waktu begitu singkat untuk mencanangkan kepada penduduk. Mereka telanjur berangkat ke ladang atau pergi ke hutan. Gde dan Sentor beroleh masing-masing seorang pandu. Mereka keliling desa dan seantero sawah Sungai Tambangan. Sedangkan saya ditemani Hamid dan Karman, menuju desa jiran: Sungai Tenang. Ini merupakan proyek baru transmigrasi, baru sekitar satu setengah tahun dihuni. Letaknya 5 km dari Sungai Tambangan, lazim juga dijuluki sebagai Sungai Tambangan Baru. Jalan penghubung ke sana masih berupa jalan setapak. Rencananya akan bisa dilalui mobil. Ada sebuah jembatan peng-hubung yang kini sedang dikerjakan. Dua bulan lagi diharap rampung, begitu keterangan petugas PU di sana. Mobil stop di sini, selanjutnya jalan kaki sekitar 3 km lagi. Hutan belum seluruhnya bersih. Uap pembakaran hutan menggebu di sana-sini. Tapi rumah-rumah sudah berdiri di celah reruntuhan pohon hangus itu. Begitu pula rupa-rupa tanaman. Mulai keladi, singkong, kacang panjang, kedele sampai petak-petak sawah. Panen rupanya sudah memberi hasil. Di tengah jalan kita berserobok dengan seorang Ketua RT. Hamid memberi instruksi agar penduduk disuruh datang ke Sungai Tambangan. Dari Hamid saya tahu bahwa resminya kunjungan nyonya-nyonya tadi adalah ke Desa Sungai Tenang. Tapi lantaran jalan belum selesai, para nyonya gedongan itu enggan jauh berjalan kaki. Mereka akan menyerahkan sejumlah bingkisan untuk warga Sungai Tenang. Sementara Hamid bicara dengan Ketua RT, saya juga menyelesaikan sejumlah pemotretan. Termasuk di rumah-rumah penduduk. Di desa ini ada seorang warga yang mengerjakan pembuatan genteng. Kita mampir ke sini. Ternyata di rumah ini juga tersimpan alat-alat reog. Mereka berasal dari Ponorogo. Penghuninya, lelaki berperawakan gempal, baru saja pulang dari sawah. Masih berkeringat dia ketika Hamid memperkenalkannya pada saya. Si Mas itu tertawa lebar, hingga tampak sebutir gigi emas menyelip di barisan giginya. Gerak-geriknya rada keperempuan-perempuanan. Kaget juga saya ketika ia mencolek, sambil berkata: “He..he..he., bapak datang juga ke sini, ya.” Harap jangan salah sangka dulu. Ia ternyata punya istri, waktu itu menggendong bayi. Di rumah ini mereka juga buka warung kecil-kecilan. Hamid mengharapkan si Mas segera menghimpun rekan-rekannya, agar bisa memainkan reognya buat para nyonya pembesar tadi. Tapi mungkinkah bisa terlaksana? Waktu begitu mepet, sementara banyak orang masih berada di sawah. Keadaan terasa gawat, ketika muncul utusan camat dari Sungai Tambangan. Juga ada tentara dari Babinsa. Mereka menanyakan kenapa belum tiba juga orang dari Sungai Tenang, sedangkan nyonya-nyonya itu sudah lama menunggu. Karman angkat bicara. Dia bilang, mestinya para nyonya IKKH itu langsung saja diantar ke Sungai Tenang ini. “Itu sebabnya kita menunggu mereka di sini,” ujarnya. Tapi seperti disebut tadi, lantaran jalan tidak bisa dilalui mobil, maka penduduk sajalah yang harus datang menghadap. Masya Allah! Sungai Tambangan, Rabu 7 Juli 1976. Menjelang ‘asar, pemotretan di dua desa ini kita anggap cukup. Pertemuan penduduk dengan nyonya-nyonya IKKH sudah bubar. Dalam upacara tadi, seperti biasa: didahului pidato, baru kemudian mereka menyerahkan bingkisan berupa buku tulis dan tiga petromaks. Karena barang-barang ini diserahkan di Sungai Tambangan, kabarnya, orang desa ini ada yang minta bagian. Agar tidak bikin kecil hati, maka Karman memutuskan membagi buku tulis untuk orang Sungai Tambangan. Berapa jumlahnya, tidak disebutkan. Sepulang para nyonya tadi, kita jalan-jalan lagi di Sungai Tambangan. Di sana ada bangunan pasar. Wah, hampir luput. Kapan sih hari pasarnya? Besok pagi. Artinya, ya harus menginap semalam lagi. Biarin, deh. Menjelang maghrib, muncul lagi rombongan tetamu lain. Kali ini seorang pejabat transmigrasi pusat. Namanya, Suparto. Ia mendampingi seorang pejabat UNDP, yang datang untuk kedua kalinya ke sini. Orang UNDP itu asal dari Sri Lanka. Namanya dicatat oleh Sentot. Ia ke Sumatera Barat dalam kaitan penelitian hukum tanah di Minangkabau. Mereka menginap di bangunan yang sama dengan kita. Dapat ruangan yang sehari-harinya digunakan buat kantor. Tidur di dekat meja tulis. Sarapan sama-sama di rumah Mukayat. Pejabat UNDP itu saya ajak ngobrol sedikit. Ia tampaknya menaruh perhatian juga pada kerja kodak-mengodak. “Pemotretan areal yang begini luas mestinya rumit,” komentarnya. Saya mengangguk. Diceritakannya bahwa ia telah meninjau daerah semacam ini di Syria. Ia menyarankan agar dibuat foto-foto yang bisa menggugah PBB untuk memberi dana bagi kepentingan transmigrasi ini. Saya bilang, itu memang salah satu target yang ingin saya capai. Tadi di kawasan pasar, ada keramaian. Pedagang obat keliling, bikin pertunjukan film. Proyektornya mungil, karena filmnya cuma 8 mm saja. Pintar juga penjual obat itu. Orang berkerumun. Ini sudah cukup untuk melahirkan pasar kaget, seperti penjual penganan kecil-kecilan. Menjelang larut malam, Mukayat berbisik pada Karman bahwa ia ada hajatan. Anggota keluarganya bikin pesta khitanan. Menurut Mukayat, di situ ada reog. Ternyata kali ini reog Sunda. Kami diundang, termasuk tamu dari UNDP itu. Begitu melihat ada orang berpotongan Tambi hadir di situ, para pemain reog kontan menyindir dan memainkan sejumlah lagu-lagu India. “Saya dari India,” kata mereka, sambil mencoba melucu. Meski berkali-kali disebut kata India, orang Sri Lanka ini tentu saja tidak tergugah sama sekali. Apa lagi dia memang tak paham Bahasa Indonesia. Tapi buat basa-basi ia duduk juga bersama orang ramai di bawah langit terbuka. Sungai Tambangan — Rimbo Bujang, Kamis 8 Juli 1976. Ini hari pasar di Sungai Tambangan. Aneka ragam keperluan sehari-hari ada di sini. Bahan makanan atau pun pakaian, sampai jual beli perhiasan emas. Di desa ini juga ada kantor BRI, dan nampak ramai. Kaum ibu sembari menenteng pundi uang masuk ke sana. Sentot dan Gde saya minta berpencar mengambil pelbagai kegiatan dalam pasar. Selesai pemotretan di pasar, menjelang pukul 10:00, kita bertolak menuju Rimbo Bujang di Provinsi Jambi. Karman mengatakan, jalan ke sana cuma makan waktu sekitar tiga jam. “Dari jalan lintas Sumatera paling hanya masuk dua kilometer ke dalam,” katanya. Waktu akan bertolak dari Sungai Tambangan, Rajo Ameh — supir kita, mengingatkan agar kelambu mobil ditutup. “Banyak abu,” katanya. Penutup bagian belakang jip itu memang terbuat dari terpal. Itu rupanya yang disebutnya sebagai kelambu. Kenyataannya, sekalipun sudah ditutup, ya tetap saja debu berlepotan di rambut dan baju kita. Di musim panas ini jalan tanah itu mengebul jika dilewati mobil. Perbatasan Provinsi Sumatera Barat dan Jambi baru saja dilewati. Hamparan aspal yang membelah bukit, dan meliuk-liuk sepanjang mata memandang, belum juga mengantarkan kita sampai di Rimbo Bujang. Matahari kian condong ke barat, ketika jip ini membelok ke sebuah pintu yang berpalang. Di dekatnya ada gardu dengan pengumuman cukup angker: “Yang tidak berkepentingan dilarang masuk!” Itulah gerbang sebuah perusahaan penggergajian kayu milik CV Alas. Melalui pintu yang sama inilah adanya jalan masuk ke proyek transmigrasi Rimbo Bujang. Karman menemui petugas di pos keamanan. Areal transmigrasi ini rupanya masuk daerah konsesi CV Alas. Mereka merambahi hutan, membuat jalan, melego kayunya. Bahan dari sisa kayu yang tak sempat diekspor, lalu dibuatkan rumah-rumah untuk transmigran. Jadi, CV Alas bagai orang membuka dompet, dua tiga untung masuk kantong. Lebih dari itu, boleh jadi pula bakal dapat nama. Jalan menuju lokasi transmigrasi ini kondisinya lumayan maut juga. Berkelok-kelok, naik turun tak kepalang tanggung. Debunya bukan main. Apa lagi jika berserobok dengan truk penggotong kayu, wah, bisa tidak kelihatan jalan di depan. Beberapa kali saya minta Rajo Ameh menghentikan mobil, ya supaya kita bisa memotret. Rimbo Bujang merupakan daerah paling baru untuk transmigrasi di Jambi. Calon penghuninya berasal dari Wonogiri. Kabarnya, Presiden Suharto bakal meninjau, pada akhir Juli ini. Di kiri kanan jalan lebar yang masih tanah itu terhampar belingkangan pohon kering. Sayup-sayup tampak bangunan perumahan. Ukurannya 4 x 6 — mirip pas foto saja. Di Rimbo Bujang inilah — dalam sejarah transmigrasi, kabarnya kaum transmigran bakal beroleh tempat yang dipandang layak. Maksudnya, dalam soal tempat berteduh. Rumah berdinding papan, dan beratap seng. Cuma jarak satu dengan lainnya, belum tampak terbilang ideal. Rumah-rumah itu dibariskan bagaikan barak, dengan jarak lebih kurang 50 meter. Dibandingkan dengan mutu perkampungan di Sungai Tambangan, maka Rimbo Bujang belum menjanjikan adanya jaminan bahwa pendatang bakal betah di sini. Dari segi keamanan, misalnya. Rumah saling berjauhan niscaya rawan. Maklum, Rimbo Bujang masih berupa belantara yang belum bebas dari hama babi dan gajah. Mungkin juga harimau. Nah, bagaimana kelak bila sebelum sempat panen, kebun mereka keduluan dijarah babi hutan? Begitu pula dari tata pergaulan. Letak rumah yang berjauhan tidak menciptakan rasa akrab. Suasana persaudaraan inilah yang nampak bisa diciptakan oleh Desa Sungai Tambangan. Bagaimana sebenarnya pola ideal pemukiman transmigran, tampaknya tergantung pada rancangan di Jakarta. Dan orang daerah lebih nyaman menyebut dirinya sebagai pelaksana perintah orang pusat. Faktor tata ruang ini rasanya cukup jadi soal buat Rimbo Bujang. Terutama bila diingat arealnya kelak mencapai 90.000 hektare, dan direncanakan bakal dihuni 12.000 kepala keluarga. Tentunya tak cukup hanya dengan sekadar main onggok-onggok. Pokok-e, asalkan orang dari Pulau Jawa bisa dialihkan ke Sumatera. Sedangkan urusan di Sumatera, itu soal nanti. Jika demikian sikap para penggede, beralasan untuk bikin tanda tanya besar: yang dipindahkan itu manusia atawa hanya berupa angka-angka? Rimbo Bujang, Kamis 8 Juli 1976. Sampai hari ini, saya ingat dua kali bicara agak keras kepada Sentot dan Gde. Pertama, ketika masih berada di Sungai Tambangan. Yakni ketika mereka diminta melakukan pemotretan, sesaat setelah kita disuguhi kopi. Gde tampak santai saja, karena merasa disambut bagaikan tamu agung. “De, kita di sini bukan mertamu, tapi untuk bekerja. Ayo, cepat!” saya bilang. Dia memang harus cepat memotret sesuatu, waktu itu. Yang kedua, kejadian ketika kita baru masuk Rimbo Bujang. Jip saya minta berhenti, dan saya turun untuk memotret. Sentot juga turun. Tapi Gde tetap saja ngelenggut di mobil. Letih? Ya, siapa sih yang tidak teruk diguncang dalam perjalanan panjang ini? Saya sampai teriak pada Sentot: “Bilang sama Gde, apa dia mau jadi turis? Suruh cepat turun. Motret!” Terus-terang, saya tak enak hati sampai mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi tampaknya ada satu keadaan yang meminta ucapan itu harus ke luar. Apa boleh buat. Rencana saya, segalanya akan saya terangkan bila kembali nanti di Padang. Setiba di kantor petugas transmigrasi Rimbo Bujang, matahari sudah agak lindap. Dalam hitungan saya, pemotretan yang sudah dilakukan belumlah memadai. Rimbo Bujang baru sebagian dihuni, sekitar delapan bulan ini. Kepala Proyek, Abu Bakar, menyiapkan penginapan. Letaknya sekitar 5 km dari kantor ini. Di penginapan, saya mendengar cerita seluk-beluk kehidupan yang sudah berjalan di Rimbo Bujang. Secara kilat kita atur siasat untuk besok. Sentot akan diboyong dengan motor seorang petugas. Ia memotret penebangan hutan. “Wah, besok itu Jum’at, nggak ada yang kerja di hutan,” kata seorang petugas. Saya bilang, “saya nggak tahu cara bagaimana, tapi tolong atur satu orang menggergaji pohon. Kita perlu foto itu.” Akhirnya mereka setuju. Saya dan Gde akan meninjau pasar terdekat. Dan yang terdekat untuk penghuni Rimbo Bujang, bernama Teluk Kuali. Jaraknya sekitar 8 km. Artinya, bolak-balik sekitar 15 km. Penting dicatat, itu hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Belum ada angkutan umum. Seru, pokoknya. Malam mulai dingin. Para petugas transmigrasi Sumatera Barat dan Jambi itu rupanya sudah lama tak jumpa. Mereka bercengkerama sampai larut malam. Karman dengan begitu kian tersiksa. Meski ia sudah makan obat, sang malaria toh belum mudah dijinakkan. Sentot pasang sebo membungkus kepala dan daun telinganya. Saya juga. Kecuali Gde. Dia tidak beli itu kupluk di Padang. Kali ini, kita tidur tanpa melepas kaus kaki, wwwwh… dingin banget, sih. Rimbo Bujang, Jumat 9 Juli 1976. Embun menyelimuti seantero bumi. Dingin mencucuk sumsum. Apa mau dikata, air mesti ditimba dulu dari sumur. Nekad. Biarin, mandinya di Padang saja nanti. Sepeda motor yang mesti membawa Sentot mogok pula. Empat orang sibuk menggili karburatornya. Tetap saja motor itu membatu. Belakangan ketahuan, motor itu tidak berkutik lantaran bensinnya habis. Untung saja belum banyak onderdilnya dipreteli. Maklum, montir amatir. Selesai sarapan nasi goreng, saya dan Gde, Abubakar dan Karman, menuju pelabuhan CV Alas di tepi Sungai Batanghari. Dari situ perjalanan dilanjutkan ke Teluk Kuali. Di sepanjang jalan tampak penduduk membawa getah hasil sadapan semalam. Teluk Kuali adalah sebuah desa pula, yang terbagi dua oleh sungai. Dari sini ke Kota Jambi dengan perahu motor makan tempo sekitar sehari semalam. Di pasar ini ada segala bahan makanan dan keperluan sehari-hari orang Rimbo Bujang. Sekembali dari Teluk Kuali, langsung kita memasuki lokasi perumahan itu. Ada yang sudah menanami pekarangan dengan ubi jalar. Ada juga yang menyemai benih bayam. Sedikit agak ke sana ada yang bersawah, dan menyemprot hama tanaman. Rimbo Bujang masih dalam jaminan kantor transmigrasi. Teorinya sampai empat bulan lagi. Tapi menilik hasil bumi yang ada, rasanya mustahil melepas mereka dalam tempo singkat itu. “Sedikitnya dalam waktu dua tahun mereka masih kritis,” kata Karman. Ia mengulas pula perkara pasar yang begitu jauh lokasinya. Dia bilang pada Abubakar, agar segera membuka pasar di Rimbo Bujang. “Jadi mereka tak usah buang tempo 15 kilo jalan kaki, dan tidak capek lagi sampai di rumah,” katanya. Gagasan Karman tampaknya kurang menarik bagi Abu. Dia diam saja. Atau boleh jadi ia tidak suka daerahnya diatur oleh petugas dari Sumatera Barat. Sampai di mana keadaan sebenarnya, tentu hanya Abu yang tahu. Jarum jam menunjukkan pukul 15:05. Roda jip Rajo Ameh mulai bergerak menuju Padang kembali. Perjalanan langsung ini diperkirakan makan waktu 12 jam. Rajo Ameh tidak keberatan “tembak langsung”. Anteng saja dia di belakang kemudi, sementara kaset di tape recorder kecil yang saya bawa, tidak habis-habisnya memutar lagu berirama keroncong. Menyesal juga saya cuma mengantongi dua kaset, kalau tahu bahwa kita bakal tua di jalan …… Catatan Penutup Setibanya di Padang kembali — sebelum tidur di hotel, saya bolak-balik catatan kecil selama perjalanan. Terus-terang saya amat terkesan dengan Gde Estu dan Sentot. Ibarat tanaman, mereka saya lihat merupakan bibit yang baik. Foto-foto yang mereka buat mengisyaratkan potensi untuk berkembang di bidang kerja kreatif ini. Tapi bibit unggul sekalipun, tentu perlu lahan yang juga unggul serta iklim yang mendukung. Saya harapkan saja mereka tidak salah memilih lingkungan untuk bisa tumbuh dan berkembang. Catatan istimewa juga saya torehkan buat dua pendamping lokal dalam trip ini. Rajo Ameh dan Karman. Mereka mirip ayah dan anak. Rajo Ameh yang sepintas tampak ‘garang’, ternyata amat penyabar. Sebaliknya dengan Karman. Ia tak sabaran menyaksikan kita turun naik mobil untuk memotret. “Kita temui kepala proyeknya dulu, baru nanti kita minta dia menunjukkan mana yang bagus,” kata Karman — waktu itu. Saya bilang, yang ingin kita potret bukan melulu yang bagus-bagus. Perkara ketemu kepala proyek, bisa saja setelah kita memotret sambil jalan ke kantornya. “Berapa kilo lagi ke sana? Tadi kan disebut cuma dua kilo dari jalan raya,” saya mengingatkan Karman tentang jarak ke Rimbo Bujang. Dia nyengir. Sepanjang jalan dia sudah terakuk-akuk mirip ayam sakit. Lalu saya bilang pada Rajo Ameh, “kalau kudo saroman ko lah ditembak, yo ndak, Pak?!” Rajo Ameh tertawa. Karman paham Bahasa Minang, senyum-senyum kecut mendengar olok-olok itu. “Malaria saya kambuh lagi,” dia bergumam. Kasihan saya melihatnya. Sukar saya membayangkan perasaian Karman ini. Coba saja, sudah kurang tidur mesti jalan jauh lagi. Dan digerogoti malaria pula. Hebat betul ini orang bekerja. “Minta ampun saya sama kerja beginian,” dia bilang. Di luar dugaannya, Rajo Ameh menimpali: “Saya juga kepingin minta ampun. Tapi sama siapa mesti minta ampun. Ini tugas kita, kan?” Saya jadi terbahak mendengar percakapan mereka. Yang terasa ketika itu, gaya dan nada bicara Rajo Ameh, sungguh bikin saya terpingkal-pingkal. Tapi, eh… dua kilometer yang disebut Karman, ternyata 20 km. “Ndak banyak bedanya toh? Cuma tambah nol saja, ndak banyak artinya. Dua ditambahi nol,” kata Karman. “Kalau saya sebut 20, you itu bisa patah semangat.” Ajegile! Dari kasihan, diam-diam saya jadi kagum terhadap Karman. Sungguh! Dalam kondisi kurang sehat pun dia tetap punya rasa humor. Pegawai negeri semacam Sutan Rajo Ameh dan Karman ini sepatutnya dapat bintang penghargaan. * Cuplikan buku Mat Kodak Berselancar di Gelombang Cahaya — Kisah Lawatan Jurnalistik. Kini dalam tahap koreksi final. written by matkodak http://edzoelverdi.com/2008/06/01/catatan-harian-trip-rimbo-bujang/ No virus found in this outgoing message. Checked by AVG. Version: 7.5.552 / Virus Database: 270.9.16/1842 - Release Date: 10-Des-2008 18:53 --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned: - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama - DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---