Guru Safedi
by: FARIZAL SIKUMBANG
 
KOMPAS
Minggu, 14 Desember 2008 | 03:00 WIB 

 
Setelah menumpahkan kegundahan hatinya perihal kebutuhan keuangan dalam 
keluarganya, istri Safedi lalu beranjak dan duduk di depan pintu rumah. Kedua 
kakinya diluruskan ke depan. Tatapannya tertekuk ke bawah. Dari atas kursi 
ruang tamu, beberapa saat kemudian Safedi mendengar tangisan istrinya yang 
terisak.
Berhentilah menangis, Aisia. Jika ada orang lewat, malu kita,” kata Safedi.
”Biar saja. Biar orang tahu,” jawab istrinya.
”Tetapi, itu tidak baik. Apa kata orang nanti. Aku tidak mau kita menjadi buah 
bibir pembicaraan orang. Bersabarlah Aisia,” sambung Safedi.
Kali ini istrinya mencoba menahan tangisannya. Mungkin dia mulai agak paham.
Ini entah sudah kali keberapa istri Safedi menumpahkan perasaannya tentang 
biaya hidup yang tak bisa dipenuhi. Pekerjaan sebagai guru honorer, dengan gaji 
sekali tiga bulan yang diterima Safedi, membuat dia kewalahan dalam mengatur 
biaya hidup sehari-hari. Safedi pun paham tentang itu, karena dalam tiga bulan 
itu dia hanya menerima uang sebanyak seratus delapan puluh ribu rupiah. Dengan 
uang sebanyak itu, tentu istrinya sangat sulit mengatur biaya hidup mereka.
Dulu, sebelum ada dana BOS yang diberikan pemerintah kepada sekolah, Safedi 
setiap bulan menerima gaji enam puluh ribu rupiah sebulan. Tetapi, karena dana 
BOS hanya bisa diambil oleh sekolah tiga bulan sekali, Safedi dan guru-guru 
honor lainnya juga ikut peraturan itu.
”Utang kita sudah banyak di kedai Uni Ami, Da. Itu yang membuat Aisia bingung,” 
demikian ucapan istrinya beberapa minggu lalu sehingga membuat hati Safedi 
bagai teriris. Perasaan iba kepada istrinya membuat kulit tubuhnya terasa 
dingin. Perasaan bersalah karena tidak bisa membahagiakan istri juga menyentak 
hatinya.
”Ya Uda tahu. Nanti akan kita angsur,” jawab Safedi kemudian.
”Utang kita sudah dua ratus tujuh puluh lima, Da. Bulan esok Uda hanya menerima 
seratus delapan puluh ribu rupiah. Kalau terus-terus begini, terpaksa Aisia 
akan tetap berutang ke sana-kemari. Aisia ingin Uda mencari usaha lain. Aisia 
tidak tahan bila Uni Ami merungut meminta uangnya terus.”
Lalu Safedi terdiam.
”Ya, Aisia, Uda akan mencoba mencari usaha lain,” katanya pelan dengan nada 
iba. Lalu pikirannya menerawang jauh, memikirkan pekerjaan apa yang akan dia 
lakukan untuk memenuhi tuntutan istrinya itu. Sedangkan dia tahu, mencari 
pekerjaan itu begitu susah. Mungkin teramat susah.
Perkenalkan pembaca, nama tokoh utama dalam cerita ini adalah Safedi, SPd. Dia 
lahir di Padang tanggal 24, tahun 1972, bulan Juni. Gelar kesarjanaan dia 
peroleh dari Universitas Negeri Padang, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. 
Dia menyelesaikan kuliah pada tahun 1998. Kini sudah lima tahun mengajar di 
salah satu sekolah negeri tingkat sekolah menengah pertama di kotanya. Dengan 
status guru honorer. Gaji per bulan enam puluh ribu rupiah. Itu diterima sekali 
tiga bulan. Jadi, totalnya berjumlah seratus delapan puluh ribu rupiah.
Safedi menikah empat tahun setelah menyelesaikan kuliah. Aisia adalah nama 
istrinya. Dia hanya tamat sekolah menengah atas. Usianya tiga tahun lebih muda 
dari Safedi. Tetapi, sampai saat ini, setelah satu tahun menikah dengan Safedi, 
dia belum juga memberi keturunan buat Safedi. Tetapi, Safedi maklum diri dan 
tidak menuntut itu dan ini. Safedi adalah tipikal laki-laki yang baik hati. 
Demikianlah pembaca, perkenalan tokoh utama dalam cerita ini.
Pagi ini Safedi datang ke sekolah lebih awal. Murid-murid masih sedikit yang 
bermunculan. Sebagian asyik bermain riang di taman. Safedi pun tidak mau diam. 
Sesampai di kantor dewan guru dia mengeluarkan dari dalam laci buku-buku 
latihan anak muridnya yang kemarin belum tuntas dia periksa. Dia membolak-balik 
buku itu dengan pelan. Kemarin dia sering kali mengerutkan kening setiap kali 
memeriksa latihan murid-muridnya itu.
”Tak ada yang baik mengarang. Ini tulisan centang-perenang. Ejaannya pun tak 
beraturan,” celotehnya, kali ini dalam hati, ketika memeriksa buku latihan 
salah satu muridnya yang bernama Riski Kurniawan. Dia ingat wajah anak itu. 
”Anak pemalas. Sering cabut. Suka bergaya. Ah, mau jadi apa ini anak,” umpatnya 
lagi.
Dia juga tahu anak itu bukanlah anak orang kaya. Bapaknya bernama Ajo Kurik 
yang kerjanya setiap hari menghela beruk dari satu kampung ke kampung lain 
untuk memanjat buah kelapa orang. Tetapi, anaknya berlagak seperti anak orang 
kota. Suka bergaya. Malah pernah, anak itu kedapatan mewarnai rambutnya dengan 
warna pink. Mengingat itu, betapa Safedi merasa begitu susahnya membina 
anak-anak remaja zaman sekarang. Tidak seperti dirinya ketika remaja dulu.
Begitulah Safedi, dia merasa banyak yang tidak cocok dan tidak sesuai di dalam 
hati. Mulai dari sikap murid-muridnya, kebijakan kepala sekolah, atau tentang 
dunia pendidikan itu sendiri secara lebih luas. Karena itu terkadang dia sering 
dianggap radikal oleh beberapa teman ketika berdiskusi soal pendidikan.
”Tiap sebentar kurikulum diganti-ganti. Kemarin KBK, sekarang KTSP. Tetapi, 
penerapannya tak ada yang sesuai. Ujian nasional diadakan juga. Yang meluluskan 
anak murid bukan gurunya. Ini kurikulum macam apa. Bertumpang tindih,” demikian 
kata Safedi beberapa hari lalu.
”Ini kan demi mencari pendidikan yang ideal,” jawab guru Mahmud yang hampir 
sebaya dengan dia.
”Tetapi, ini malah mengacaukan sistem pendidikan. Lihat, karena ujian nasional, 
para guru-guru memberi kunci jawaban kepada murid-muridnya. Bagaimana ini? 
Dalam kurikulum KBK maupun KTSP itu kan penilaian diberikan tidak hanya pada 
kemampuan daya pikir anak, tetapi juga tingkah mereka. Nah, sedangkan pada 
ujian nasional kelulusan berdasarkan nilai yang diperoleh lewat ujian itu. Ini 
bagaimana bisa dijelaskan dengan akal sehat kita. Iya, kan?” kata Safedi 
berapi-api.
Tepat ketika Safedi menyelesaikan tugas memeriksa latihan murid-muridnya, bel 
sekolah tanda masuk pun berbunyi. Anak-anak yang sedari tadi sibuk bermain di 
halaman terlihat berhamburan menuju ke ruang kelas masing-masing. Tawa riang 
dan suara pekikan anak-anak sekolah itu menggema sampai ke kantor dewan guru.
Safedi pun bersiap-siap memasuki kelas. Sejenak dia memeriksa beberapa buku 
paket yang berada di dalam tas hitamnya yang mulai pudar warna dan 
retsletingnya rusak. Sudah beberapa bulan ini dia selalu berpikir kapan akan 
mengganti tas hitamnya itu dengan tas baru. Tetapi begitulah, sampai sat ini 
dia belum juga bisa melakukannya.
Dia pun sudah tidak sabar akan mengajar hari ini. Suara riang anak-anak yang 
dia dengar sejak tadi membuat semangatnya untuk mengajar begitu menggebu. Dan 
memang begitu, setiap mendengar suara anak-anak di sekolah semangat mengajarnya 
begitu tumbuh, melupakan kesulitan hidup yang mengimpit, juga melupakan 
ceracauan istrinya yang mungkin nanti siang akan kembali dia dengar.
Safedi mulai keluar dari kantor dewan guru itu. Dia lihat anak-anak kelas 
tiga-satu telah berbaris di depan kelas. Lalu satu-satu dari mereka dengan 
teratur memasuki kelas. Sejenak dia tersenyum. Langkah kakinya terasa ringan 
menuju ruang kelas itu.
”Assalamualaikum,” sapa Safedi sambil tersenyum.
”Wa’alaikum salam,” jawab murid-murid serempak.
Dengan langkah pasti Safedi memasuki kelas itu dan duduk di bangku guru. Dia 
membuka tasnya. Mengeluarkan buku paket pelajaran Bahasa Indonesia. Safedi akan 
memerintahkan murid-muridnya untuk memerhatikan kembali pelajaran yang kemarin 
dia berikan, tetapi anak-anak di baris paling belakang terdengar berisik di 
telinganya.
”Ya, aku juga memerhatikannya, sudah tiga hari celana bapak itu masih itu-itu 
juga,” kata Anton Anugrah.
”Ya, ya,” jawab teman sebangkunya. ”Bajunya juga. Kemeja kotak-kotak kuning itu 
kan sering juga dia pakai.”
”Bosan juga kita, ya, melihat orang berpakaian yang sering kita lihat.”
”Ya iyalah.”
”Mata ini kan selalu ingin melihat yang baru.”
”Hus, jangan keras-keras. Itu Pak Safedi melihat ke arah kita,” kali ini Tina 
Agus yang duduk di depan mereka menyanggah pembicaraan kedua murid yang 
terkenal usil di kelas itu.
Sebagian mata anak-anak lain memandang ke arah Anton Anugrah dan temannya yang 
bernama Jamaldi itu.
Safedi terdiam sejenak. Kali ini Safedi benar-benar merasa malu. Dia salah 
tingkah. Semangatnya untuk mengajar hari ini tiba-tiba saja buyar. Tetapi, dia 
tidak mau marah kepada kedua anak muridnya itu. Dia hanya merasa iba hati, pada 
nasib, juga pada dunia pendidikan yang tidak berpihak kepada dirinya.
Hari itu, Safedi mengajar tidak sepenuh hati. Sindiran yang dilontarkan kedua 
muridnya itu benar-benar mengena di hatinya. Sepanjang waktu dia hanya ingat 
kepada istrinya. Juga pada dirinya sendiri yang selama ini tidak bisa membeli 
pakaian baru untuk mengajar ke sekolah. Ah, hari itu Safedi benar-benar merasa 
sangat lelah. Melebihi lelahnya pada hari-hari biasa.
Safedi pun pulang dengan gontai. Seperti biasa, dia pulang dengan berjalan 
kaki. Menyusuri jalan yang berkerikil. Tak ada angkutan. Jalan itu hanya bisa 
dilewati kendaraan roda dua. Dan Safedi tidak memilikinya. Baru berjalan 
beberapa meter, seorang laki-laki separuh baya menegur Safedi.
”Pak guru,” sapa dia.
Dan Safedi berhenti.
”Ada apa?” jawab Safedi mengerutkan kening karena dia tidak mengenal laki-laki 
itu.
”Saya ingin bertanya. Anak saya kan sekolah di tempat Pak Guru mengajar. 
Katanya saya dengar sekarang pendidikan itu gratis, tetapi kenapa ada uang 
juga. Tiap semester katanya kami membayar uang tiga ratus tujuh puluh lima ribu 
rupiah. Bagaimana itu, Pak Guru?” tanya laki-laki itu.
Safedi menyurutkan langkah kaki agak ke belakang. Dia sedang berpikir akan 
memberikan jawaban apa, sebab itu yang tahu hanya kepala sekolah. Sedangkan dia 
hanya guru biasa.
”Saya tidak tahu itu, Pak,” jawabnya asal saja.
”Tidak tahu?”
”Ya.”
”Masak guru tidak tahu. Guru macam apa kamu?”
”Benar, Pak. Saya tidak tahu. Permisi, Pak, ya.”
Safedi pun berlalu meninggalkan laki-laki itu. Sedangkan laki-laki itu seperti 
aneh melihat Safedi. Hari ini Safedi semakin bertambah pusing. Kepalanya mulai 
terasa sakit. Tetapi, dari kejauhan Safedi masih bisa mendengar ketika 
laki-laki itu berkomentar agak kasar.
”Guru kalera. Mungkin dia juga ikut makan uang dari murid-muridnya.”
Sungguh, mendengar kalimat itu, membuat Safedi benar-benar merasa mau pingsan 
saja.
 
Padang 2008
 
Keterangan:
1. KBK = kurikulum berbasis kompetensi
2. KTSP = kurikulum tingkat satuan pendidikan
3. kalera = kata makian


ADELA EKA PUTRA MARZA
(L, 21+)
rang pasisia di USU Medan
> http://kisahmata.blogspot.com
> http://profiles.friendster.com/lakaraza


      Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua teman. Tambahkan mereka 
dari email atau jaringan sosial Anda sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke