*Si Jalai, si Orang Rimba dan Senja di Selat Bosforus ; * *Catatan Perjalanan Ke Jambi*
* * Andiko Sutan Mancayo Apakah dunia selalu hitam dan putih ?. Ada kegelisahan terwakili pada kedua warna ini, yang ketika dicampur akan melahirkan sebuah warna kelabu, muram dan mewakili ketidak konsistenan, selalu begitukah ?. Barangkali rasa yang sama membuat seorang Orhan Pamuk, novelis peraih nobel, duduk termangu dari jendela rumahnya yang buram di sisi selat Bosforus-Turki, yang membelah timur dan barat. Timur dan Barat sebagaimana kutukan yang ditanggung oleh hitam dan putih merupakan sebuah garis imaginer yang telah menorehkan banyak hal pada lembar-lembar lipatan sejarah. Mengapa dua kutub ini tidak berhenti berperang ?. Kenapa persandingan antara sebuah tradisonalitas dengan kemodernan harus bermandikan air mata dan Bosforus yang keemasan ketika senja menikam pedangnya membelah kegelapan malam menjadi garis geografis pembeda untuk itu. Indah sekaligus mengenaskan. Begitu juga barangkali si Jalai, dia orang rimba. Si Jalai terlahir dalam pelukan rimba raya yang orang-orangnya meramu dan berburu. Sehingga untuk itu hanya dibutuhkan cawat tidak jas beserta dasi untuk mendinding malu. Rimba raya adalah istananya tempat peradaban mereka dibangun, diukir dan begitu juga mereka telah mengisi bilik-bilik sejarah yang kadang kala isinya tak terduga. Cawat bagi Jalai adalah pakaian paling fungsional diantara sulur-sulur rotan yang harus dia lintasi sepanjang hari. Cawat baginya adalah buah dari percintaan rasa dan karsa ketika dia dan orang-orangnya bersekutu dan berintim-intim dengan alam. Mereka anak-anak alam dan mereka juga akan mati ditengah itu. Jalai menyebut orang diluarnya sebagai “Orang Terang” dan orang terang menyebutnya sebagai “Orang Kubu”. Orang terang berabad mencirikan diri dengan yang berpakaian dan berbahasa Melayu pasar atau Melayu Tinggi. Maka disanalah satu pintu pemaknaan tentang hitam dan putih, tentang barat dan timur yang mewakili tradisonalitas dan kemodernan membelah. Pakaian, meskipun terdiri dari potongan kain yang dihubungkan dengan benang ataupun yang yang terbentuk atas pengolahan kayu kapuak atau batang torok di Minangkabau, ketika melekat pada manusia, maka terpelesetlah ia pada keliaran pemaknaan. Dan ketika pakaian sejenis dengan segala macam atribut, bergerak masal dan seragam maka ia akan digayuti kekuatan yang akan melindas, tandas apa yang dianggab beda. Begitulah sumpah uniformnitas. Seragam sebagai sebuah atribut masal dan massif berdekatan dengan pemaksaan dan kekerasan. Begitu juga ketika apa yang disebut dengan tradisonalitas dan kemoderenan menjadi satu pemikiran tunggal dengan kata harus yang ditekankan dalam tanda seru, maka bergelimpanganlah korban. Maka tergiringlah kita pada lautan ketidak adilan. Titik awal dari semua ketidak adilan adalah soal paradigm dan pandangan. Paradigma dan pandangan ini dapat berupa pandangan tentang hak yaitu yang menyatakan bahwa satu kelompok adalah yang paling berhak dan kelompok lain tidak berhak atau pandangan tentang manajemen, bahwa satu manajemen lebih baik daripada manajemen lainnya. Akan tetapi pandangan ini menguat dan terdorong pada mengerikan, ketika dia bersekutu dengan kuasa, kekuasaan. Kekuasaan dapat berasal dari apa saja, apakah itu dari posisi politik, legitimasi hokum bahkan akhir-akhir ini kekuasaan kembali pada dasar legitimasi tua, yaitu apa yang disebut dengan “atas nama Tuhan”. Karena itulah dalam perspektif Orang Terang, si Jalai beserta segala macam atribut ketradisonalannya dengan bahasa yang hanya dipahami oleh “Jenang” si penghubung dengan kekuasaan, mereka harus dientaskan dari kemiskinan dan ketertinggalannya. Sebab pada titik transformasi kebudayaan manusia, orang kubu telah stagnan pada jalan linear perubahan. Mereka telah terbelenggu pada satu tahapan berburu dan meramu dan harus diberangkatkan segera pada titik kemodernan yang diwakili oleh pertumbuhan, akumulasi modal dan transformasi sosial, serta industrialisasilah ritual yang akan memberangkatkan mereka para surga yang bernama kemajuan. Keadaan kemudian diperparah ketika ayat-ayat kemajuan itu bertiwikrama pada mantra deregulasi, privatisasi dan liberalisasi, mantra hitam bernama neo liberalism. Lalu apakah kita akan tergagap-gagap ketika si Jalai bercelana jeans, berbaju dengan lambang café mahal Planet Hollywood di dadanya, beserta dengan hand pone Nokia 330, berhalo-halo ria…Pada titik itu si Jalai merasa dirinya bagian dari arus utama, bergengsi dan sekaligus terkucil dalam dunia yang bergerak seperti mesin, tampa rasa. Tercerabutkah ia ?. Sehingga seperti domba-domba mereka harus diging kembali pada kandang ketradisionalan atau pada bahasa yang lebih halus disebut sebagai kearifan dalam perspektif orang terang, bahkan jika perlu dengan dengan pecutan kekuasaan. Pada sisi itulah kembali otak berpusing dan bertanya-tanya, apakah hitam dan putih itu. Pada titik apakah hitam dan putih menjadi harmoni bukan ironi atau tirani. Pada titik apakah timur dan barat tidak mewakili agresi, tetapi sebuah perpaduan sehingga batas tentang orang rimba dan orang terang itu bukan dalam relasi saling mengalahkan. Begitulah semestinya selat Bosforus menandai senja diantara bitang-bintang yang berpelukan, pelukan timur dan barat. Lalu, apakah sejatinya si Jalai anak Orang Rimba ada ditepi sejarahnya ?, bagi saya tidak, mereka sedang mengukir sejarahnya, tapi masalahnya adalah bagaimana dan kearah mana mereka meniti pematang sejarah itu dan tentunya teramat penting mengkaji siapa yang menskenariokan sejarah itu, apakah si Jalai ataukah para pemenang. Tentulah terlepas dari arogansi pemaknaan, dan symbol-simbol yang mendapat energy dari brutalnya kekuasaan. Sejatinya, kita adalah tonggak-tonggak dalam panggung sejarah peradaban, apakah tonggak itu akan berlumur air mata ataukah ia akan cahaya damai dalam terang yang menghangatkan. Itu semua berpulang pada bagaimana kita melekatkan nilai pada perbedaan. Nilai dan perspektif akan menentukan tindak dan prilaku, karena itulah kemudian kehidupan tidak hanya sekeras hitam dan putih, barat atau timur, ia akan menjadi catatan yang akan mempertinggi mutu peradaban atas fitrah yang disandang, bahwa kitalah kafilah di muka bumi ini. Karena itukah Obama, seorang hitam yang berabad terhina di jantung demokrasi, saat ini terpilih menjadi symbol demokrasi itu, apakah ini paradok dunia, ataukah dunia semakin cepat berubah. Si Jalai, si orang rimba atau seorang Orhan Pamuk tentu memiliki cara yang berbeda memaknai semuanya. Pondok Labu 15 Desember 2008. *˜**™**˜**™*** --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned: - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama - DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---