Minggu, 21 Desember 2008        

Oleh  : Puti Reno Raudha Thaib, BUDAYAWAN

Pemikiran yang mencoba membuat pembedaan antara Hak Asasi Manusia  dan Hak
Asasi Perempuan. Apapun alasannya pembedaan itu telah membuat garis pemisah
antara manusia dan perempuan. Pertanyaan yang timbul dari pembedaan ini
adalah;  Apa beda manusia dengan perempuan?. Siapakah manusia dan siapakah
perempuan?. Untuk apa perempuan dipisahkan dengan manusia?.Tidakkah dengan
melakukan pemisahan tersebut, telah melakukan diskriminasi terhadap
perempuan itu sendiri? Mendeskritkan bahwa; perempuan berbeda dengan
manusia. 

Jika terjadi pelanggaran terhadap hak asasi perempuan, bukankah hal itu sama
dengan pelanggaran atas hak asasi manusia?. Persoalan lanjutannya adalah;
tidakkah dengan membenturkan hak asasi manusia dengan hak asasi perempuan
tersebut disengajakan untuk menimbulkan efek politik tertentu; bahwa
perempuan harus lebih diberi peluang dan hak-hak istimewa lagi dari yang
sudah-sudah. Jika memang ke sana arahnya,  bukankah hal demikian sebuah
diskriminasi baru pula yang diterapkan kepada perempuan itu sendiri? . 

Jika pembedaan ini untuk kepentingan politik tertentu seperti; masalah
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, di lembaga eksekutif dan
lembaga-lembaga lainnya, tidak perlu meubah tatanan pengertian kebahasaan.
Tidak perlu membuat pembedaan manusia dan perempuan. Islam tidak mengajarkan
pembedaan antara manusia dan perempuan, begitu juga dalam adat dan budaya
Minangkabau. 

Pembagian pekerjaan ditentukan oleh fungsi, peranan dan kesepakatan/
konsensus antara kedua belah pihak, tidak memerlukan suatu ketetapan
pemerintah yang hanya digunakan untuk mengatur pembagian rezeki. Dengan
pembedaan yang dilakukan tersebut, perempuan tidak akan semakin mandiri,
justru akan semakin keropos, karena mereka selalu didiskiriminasi dengan
berbagai cara dan redaksional yang menjanjikan. 

Memosisikan perempuan di dalam adat dan budaya Minangkabau adalah istilah
yang tepat dibanding dengan Hak Asasi Perempuan. Perempuan diposisikan,
diberi hak, dan fungsi sesuai dengan kebutuhan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. Dengan arti kata, bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai tugas,
fungsi dan wewenang yang satu sama lain tidak saling meniadakan eksistensi
yang lain. 

Pemosisian perempuan di dalam tatanan sosial masyarakatnya, bukan
berdasarkan penderitaan yang dialami perempuan akibat ulah laki-laki,
sebagaimana kecenderungan orang melihat persoalan penderitaan perempuan.
Pemosisian tersebut berdasarkan kebutuhan, harkat, kecenderungan dan apa
yang diperlukan oleh perempuan itu sendiri. 

Bagaimana adat dan budaya Minangkabau dalam pemosisikan kaum perempuannya.
Menurut adat Minangkabau, tanah pusaka (sesuatu yang sakral dan merupakan
roh dari sistem matrilineal itu sendiri) tidak boleh dijual. Hanya boleh
digadai, untuk kepentingan tiga hal,  yaitu: Gadih gadang indak balaki, maik
tabujua tangah rumah dan rumah gadang katirisan. 

Kenapa harus gadih gadang indak balaki yang sangat dipermasalahkan dan
bahkan boleh menggadai tanah pusako? Dari apa yang diajarkan adat
Minangkabau tersebut, pemosisian perempuan dilakukan berdasarkan berbagai
pertimbangan sosial, kebutuhan biologis, ekonomi, marwah dan keturunan. 

1) Perempuan harus mempunyai suami, untuk mencegah terjadinya berbagai
penyakit masyarakat dalam masalah penyimpangan seksual. Baik dilakukan oleh
laki-laki maupun perempuan. 

2) Masyarakat Minangkabau memerlukan keturunuan yang sah, sehat dan jelas
asal muasalnya. Perkawinan, adalah jalan satu-satunya yang dibenarkan oleh
adat dan agama untuk penentuan dimaksud. Di dalam masyarakat Minangkabau,
anak yang tidak babapak, adalah sebuah aib besar bagi sebuah kaum. 

3) Perempuan dijaga dan terjaga dalam sebuah tatanan yang jelas tanpa
penghulu-penghulunya harus mengajukan trik-trik politik untuk mendorong
pemerintah membuat keputusan bagi kepentingan kebutuhan perempuan. Ajaran
adat dan budaya Minangkabau berikutnya tentang keberadaan/pemosisian
perempuan maupun laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama
dalam kehidupan sosial masyarakatnya. 

Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak bakampuang mamaga kampuang
Tagak banagari mamaga nagari
Ajaran ini adalah ajaran tentang tanggung jawab yang sama yang harus dipikul
laki laki dan perempuan Minangkabau dalam kehidupan sosialnya. Berikutnya;
Kaluak paku kacang balimbiang
Tampuruang lenggang-lenggangkan
Bao manurun ka Saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Jago adat jaan binaso 

Dari ajaran adat yang dianggap demikian "kampungan", "kuno"nya, namun siapa
yang sanggup membantah bahwa ajaran adat tersebut menempatkan kaum laki-laki
dan perempuan harus memikul beban sosial yang sama, seimbang, berimbang
tanpa harus dijelaskan lagi; ini tugas perempuan, dan ini tugas laki-laki. 

Banyak lagi contoh-contoh dari ajaran adat dan budaya Minangkabau tentang
tidak berbedanya tugas, fungsi, keberadaan dan posisi antara laki-laki dan
perempuan.Yang membedakan antara laki-laki dan perempuan tetap dilihat dalam
konteks fitrahnya suatu ciptaan yang Maha Kuasa, bahwa laki-laki dan
perempuan berbeda, karena jenis kelamin dan bawaan-bawaan tertentu. 

Di dalam ajaran Islam, Tuhan tidak menjadikan perempuan menjadi eksklusif.
Tetapi adalah pasangan dari laki-laki. Jika Tuhan Yang Maha Pencipta saja
tidak menjadikan perempuan makhluk ekslusif, kenapa kita harus bertindak
lebih dari kerja Tuhan? Memisahkan perempuan dari manusia. Membenturkan
keberadaan laki-laki dan perempuan?. 

Kesimpulannya: Ajaran Islam dan adat budaya Minangkabau tidak membenturkan
dan berusaha saling meniadakan keberadaan perempuan di tengah keberadaan
manusia. Keberadaan perempuan dan laki-laki tidak perlu dibentur-benturkan
dengan alasan apapun, apalagi untuk kepentingan-kepentingan politik
tertentu. Masalah kekerasan dan penderitaan yang sering dijadikan kambing
hitam persoalan untuk memojokkan laki-laki sekaligus membuat diskriminasi
baru terhadap perempuan, tidak dapat digeneralisir begitu saja. 

Masalah kekerasan atau penderitaan perempuan  harus secara jujur melihat dan
mencermati nilai-nilai agama dan budaya yang berlaku dalam masyarakat
tersebut:1) Konsep keyakinan dan kepercayaan yang dianut masyarakat
tersebut, 2) Konsep kebahagiaan dan pengabdian yang dianut masyarakat
tersebut, 3) Visi dan misi dari sebuah perkawinan dalam kehidupan masyarakat
berbudaya dan beragama tertentu dan 4) konsep penciptaan manusia oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta. 

Jika keempat rujukan di atas dikesampingkan dan hanya dengan mangajukan
keberatan-keberatan saja terhadap kasus-perkasus dari apa yang dialami
perempuan. Untuk hal ini harus dilihat secara objektif; bahwa kekerasan
demikian tidak hanya berlaku terhadap perempuan saja, tetapi juga berlaku
dari perempuan kepada laki-laki.  Oleh karena itu, jika ada Hak Asasi
Perempuan, juga harus diimbangi dengan adanya Hak Asasi Laki-laki?. (***) 

 
http://www.padangekspres.co.id/content/view/26224/55/

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke