Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta, Saya percaya bahwa para sanak sekalian telah membaca di media massa bahwa pada hari Sabtu tanggal 10 Januari 2009 yang lalu bahwa Pemangku Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung mewakili seluruh Pucuak Adat Alam Minangkabau yang tergabung dalam Limbago Tertinggi Pucuak Adat Alam Minangkabau, telah menganugerahkan gelar Sangsako Adat kepada sembilan orang tokoh nasional, baik yang berasal dari daerah Sumatera Barat maupun yang bukan. Dua orang memperoleh gelar Yang Dipertuan Temenggung Diraja,yaitu Prof Drs H. Soetan Al Rasyid Zein Datuk Sinaro dan Prof Dr. Emil Salim; enam orang mendapat gelar Tuanku Pujangga Diraja, yaitu Mr. H. Des Alwi, Prof Dr. H Hasjim Djalal, M.A; DR (h.c) Taufiq Ismail; Prof Dr. H. Taufik Abdullah; Ir. H Januar Muin; dan Brigjen Pur Dr H. Saafroedin Bahar; dan satu orang mendapat gelar Tuanku Muda Pujangga Diraja, yaitu H. Fadli Zon, SS,M.Sc. Oleh karena Prof Drs Harun Al Rasyid Zein Dt Sinaro berhalangan hadir karena gangguan kesehatan, maka destar tanda penghargaan kepada beliau akan diantarkan panitia ke kediaman beliau di Jakarta. Acara ini selain dihadiri oleh para anggota Limbago Pucuak Adat Alam Minangkabau tersebut, juga dihadiri oleh Wakil Ketua MPR RI Drs A.M Fatwa, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat mewakili Gubernur Gamawan Fauzi, pengurus LKAAM dan Bundo Kanduang Sumatera Barat, Bupati Tanah Datar, dan Bupati Padang Pariaman. Alasan pemberian gelar -- disertai riwayat hidup masing-masing penerima gelar -- tercantum dalam sebuah booklet berjudul “ Penganugerahan Gelar Sangsako Adat di Rumah Gadang Yang Dipertuan Gadih Istano Di Linduang Bulan, Pagaruyung, Batu Sangkar, Sumatera Barat, 10 Januari 2009.”. [Sekedar catatan: keterbukaan seperti itu amat bagus, karena seingat saya belum pernah terjadi dalam pemberian tanda penghargaan oleh Pemerintah Pusat sendiri.]. Satu penjelasan penting dalam booklet ini – yang kemudian diulas secara lisan oleh H.Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH sebagai Tuanku Muda Mahkota Alam -- adalah sebagai berikut: “ Penganugerahan gelar sangsako adat kepada sembilan orang tokoh tersebut bukanlah mengurangi penghargaan kita kepada jasa-jasa dan pengabdian tokoh-tokoh nasional lainnya, yang pada waktunya nanti, Insya Allah akan kita anugerahi pula gelar sangsako adat secara bertahap”.(cursief dari penulis). Anak kalimat terakhir tersebut merupakan sinyal bahwa penganugerahan ini adalah merupakan ‘kloter pertama’ dari rangkaian penganugerahan gelar sangsako adat kepada tokoh-tokoh nasional lainnya. Sudah barang tentu saya sangat senang sekali membaca pernyataan ini, bukan saja oleh karena pernyataan tersebut merupakan ‘lampu hijau’ terhadap gagasan saya agar Pagaruyuang mengambil prakarsa dalam mempersatukan seluruh orang Minangkabau pada tataran lintas-nagari di Sumatera Barat, tetapi ternyata juga berani merintis suatu pendekatan baru bagi kegiatan nation-building, tidak saja berupa pemberian bintang dan tanda jasa oleh Negara seperti selama ini, tetapi justru oleh masyarakat sendiri. Tidak top-down, tapi bottom-up.Tidak vertikal, tapi horizontal. Ini jelas merupakan suatu terobosan baru. Ada dua pokok penting dalam kata sambutan Prof Dr Emil Salim – anggota Dewan Pertimbangan Presiden – yang mewakili para penerima gelar sangsako adat dari Pemangku Daulat Raja Alam Pagaruyung dalam upacara adat tersebut, sebagai berikut. Pertama, beliau menyatakan, antara lain, bahwa: “ kami sama sekali tidak menduga akan menerima penghargaan setinggii itu, khususnya oleh karena kami sebagian besar berkiprah di luar Sumatera Barat, dan tidak banyak memahami adat Minangkabau”. Kedua, dalam kemajemukan Bangsa Indonesia setiap suku bangsa selain memelihara baik-baik identitas kebudayaannya, juga perlu membuka hubungan dengan suku-suku bangsa lainnya. Dalam suasana informal pasca upacara penganugerahan gelar sangsako tersebut saya membisikkan kepada Sanak H.Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH dan Dr Ir Puti Raudhah Thaib, agar pada suatu saat harus ada tokoh nasional yang berasal dari Papua yang memperoleh kehormatan tersebut. Secara spontan Sanak H.Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH merespons bahwa beliau mempunyai seorang calon, yaitu Gubernur Papua Bas Suebu, dahulu sesama aktivis pemuda di KNPI. Saya manggut-manggut setuju. Dalam wacana di RantauNet sebelum ini telah timbul wacana agar Pagaruyung memberikan gelar-gelar sangsako kepada tokoh-tokoh alim ulama, para cendekiawan, tokoh-tokoh perempuan Minangkabau, antara lain kepada Buya Mas’oed Abidin, Prof Dr K Suheimi, Suryadi, dan tentunya kepada tokoh-tokoh lain yang tak kurang perannya bagi pembangunan Minangkabau dan Sumatera Barat. Dalam pertemuan di Fakultas Sastra Universitas Andalas beberapa hari kemudian saya mendengar beberapa nama guru besar dan peneliti yang telah menghasilkan karya-karya besar, yang layak diberi penghargaan, baik oleh Negara maupun oleh Masyarakat, dalam hal ini termasuk oleh Pagaruyung. Saya sangat mendukung gagasan ini, oleh karena baik langsung maupun tak langsung hal itu akan mempererat persatuan sesama orang Minangkabau. Namun, ada empat pertanyaan yang menggelitik mengenai pemberian gelar sangsako adat oleh kerabat Pagaruyung ini, yaitu : 1) apakah sesungguhnya gelar sangsako adat itu, dan apa yang membedakannya dengan gelar sako ? 2) untuk apakah gelar bagi para tokoh ini ?, 3) apakah kerajaan Pagaruyung itu dan 4) apa posisinya dalam keminangkabauan masa kini dan masa depan ?. Berikut ini adalah pemahaman saya secara pribadi. Gelar sangsako adat adalah suatu gelar kehormatan adat untuk seseorang, dan tidak ada kaitannya dengan gelar sako, dan pusako. Gelar sako menunjukkan posisi formal dan struktural seseorang dengan suatu kekerabatan matrilineal serta dengan harta pusaka yang dimiliki oleh kaum atau suku di nagari-nagari. Demikianlah, tidak ada gelar sako kehormatan. Sebaliknya, sifat gelar sangsako adat lebih pribadi, lebih terbuka, dan bisa bersifat lintas nagari, seperti ternyata dalam proses pembahasan yang berlangsung sebelum upacara pemberian gelar ini. Dengan kata lain, seseorang yang sudah mempunyai gelar sako – seperti yang dipunyai oleh hampir setiap orang laki-laki Minangkabau dan para urang sumando – juga dapat diberi gelar sangsako adat sebagai kehormatan, seperti halnya dengan Prof Drs Harun al Rasyid Zein yang sudah mempunyai gelar sako Datuk Sinaro. [Saya sendiri menyandang gelar sako Soetan Madjolelo dari suku Tanjuang, Kampung Dalam, Pariaman.] Kelihatannya tradisi pemberian gelar kehormatan ini juga dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia. Kalau saya tidak salah, seorang tokoh pengusaha dari Batak yang bermarga Sinambela pernah diberi gelar kehormatan Kanjeng Ratu Tumenggung dari keraton Solo. Pemberian gelar kehormatan seperti ini juga terdapat dalam bidang-bidang kehidupan lain. Dalam dunia akademik, tradisi pemberian gelar kehormatan seperti ini dikenal dengan pemberian gelar doctor honoris causa. Dalam dunia militer, pemberian gelar kehormatan seperti ini dikenal dengan pemberian pangkat titulair. Tidak persis sama, namun pemberian tanda penghargaan Bintang Mahaputra, Hadiah Nobel, Hadiah Magsaysay, atau pemberian Piala Oscar – misalnya – bisa dimasukkan dalam kategori ini. Saya percaya bahwa para penerima gelar sangsako adat ini, yang sebagian besar sudah menyelesaikan karirnya di tingkat nasional dengan baik dan sudah hidup nyaman di Rantau, secara pribadi tidak memerlukannya. Beberapa di antara beliau-beliau bahkan sudah menerima tanda penghargaan Negara yang cukup tinggi, seperti Bintang Mahaputra. Prof Dr Emil Salim bahkan menyatakan sama sekali tidak menduga akan mendapat gelar sangsako tersebut. Namun sudah barang tentu mereka senang dengan penghargaan dan penghormatan masyarakat terhadap kinerja mereka sebelum itu. Hal itu sungguh manusiawi. Kalau saya tidak salah ingat, rasanya gejala kebangkitan perhatian pada institusi tradisional seperti ini juga terdapat pada banyak negara-negara baru di dunia, yang disebut oleh Ann-Ruth Willner sebagai post-independence neo-traditional accommodation. Namun, apakah kerajaan Pagaruyung itu dan apakah posisinya dalam keminangkabauan masa lampau dan keminangkabauan masa kini ? Sayang, sampai saat ini belum ada suatu buku baku yang menerangkan sejarahnya. Oleh karena itu, dengan tidak bosan-bosannya secara pribadi saya mendorong berbagai fihak untuk menuliskan sejarah kerajaan ini, yang bagaimanapun juga telah memegang peranan dalam sejarah Minangkabau dan daerah-daerah sekitarnya selama tujuh abad, antara abad ke 14 sampai dengan abad 21 ini. Syukur Alhamdulillah himbauan ini didukung oleh Prof Dr Taufik Abdullah dan telah direspons oleh Prof Dr Gusti Asnan -- guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas – yang akan mengerahkan para mahasiswa beliau untuk melakukan penelitian. Saya percaya bahwa buku sejarah kerajaan Pagaruyung ini akan selesai dalam dua atau tiga tahun lagi, mengingat bahwa Prof Gusti Asnan sudah banyak menulis buku sejarah Minangkabau ini. Lebih dari itu, pada tanggal 14 Januari 2009 telah diadakan pertemuan informal di Fakultas Sastra Universitas Andalas di Limau Manih untuk menyusun sebuah buku sejarah Minangkabau yang lebih komprehensif, yang meliputi baik sejarah nagari-nagari yang dipimpin oleh para penghulu, maupun sejarah kerajaan-kerajaan di Minangkabau, yang menurut pemahaman saya bersifat ekstra struktural terhadap nagari-nagari, dan terutama berpengaruh di daerah rantau dan pesisir. Dengan semangat intelektual yang tinggi, telah disetujui terbentuknya sebuah tim penulisan, yang terdiri dari Nopriyasman selaku koordinator yang sekaligus akan menulis sejarah kerajaan-kerajaan di Minangkabau, dengan anggota Zuriatin yang akan menulis tentang nagari-nagari, didukung oleh Prof Gusti Asnan, Ph D, Drs M.Yusuf, M.Hum, Dr. Anatona, M.Hum, Fitra Alida, dan Prof Dr.Nadra,M.A. Sudah barang tentu setelah manuskrip bisa disusun, masalah berikutnya adalah mencari dana untuk menerbitkannya. Dalam hubungan ini saya pernah diberi informasi oleh Dr Fasli Jalal, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, bahwa Depdiknas mempunyai anggaran untuk penerbitan buku-buku, yang kiranya bisa dimanfaatkan. Syukur Alhamdulillah. Mendahului selesainya buku tersebut, secara pribadi saya melihat ada tiga gelombang kerajaan Pagaruyung, yaitu Pagaruyung/1 yang Hindu Budha; Pararuyung/2 yang Islam; dan Pagaruyung/3 – sekarang ini – yang lebih bersifat kultural. Seperti saya tulis di atas, seluruhnya berada di luar struktur nagari-nagari yang merupakan desa-desa pertanian dan [dahulu] dikelola oleh para penghulu. Bersama dengan berbagai kerajaan dan keraton lainnya di Indonesia, Pagaruyung/3 masih dapat berperan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007, yaitu dalam pelestarian identitas kultural masyarakat hukum adat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti yang sudah dilakukannya pada tanggal 10 Januari 2009 yang lalu. Dalam hubungan ini utusan berbagai asosiasi keraton dan kerajaan di Indonesia telah ikut aktif dalam Sarasehan Nasional Masyarakat Hukum Adat yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 13-14 Desember 2008 yang lalu. Walaupun peran kultural dari kerajaan Pagaruyung ini juga bisa diemban oleh para pemangku adat – khususnya yang sudah bergabung dalam LKAAM dan Bundo Kanduang – namun karena struktur yang sangat terfragmentasi -- sesuai dengan kaidah ‘adat salingka nagari’ -- peran tersebut sampai saat ini belum dapat dilaksanakan oleh beliau-beliau. Kalaupun ada yang melaksanakan peran tersebut, kegiatan tersebut sifatnya sangat pribadi dan bukan bersifat kelembagaan, seperti yang dilakukan oleh Idrus Hakimy Dt Rajo Penghulu (almarhum), Amir M.S. Dt Manggung nan Sati, atau Yus Dt Parpatiah Guguak. Menurut penglihatan saya, kerabat Pagaruyung/3 ini cukup tanggap dengan semangat zaman, yang terlihat dalam prakarsanya memberikan gelar sangsako adat tersebut, baik yang telah diberikan kepada sembilan orang tokoh nasional tersebut, maupun rencananya lebih lanjut untuk memberikan gelar yang sama kepada tokoh-tokoh nasional lainnya, baik yang berasal dari Minangkabau maupun yang bukan. Dengan demikian, kerabat Pararuyung ini telah menempatkan dirinya sebagai salah satu kekuatan kebangsaan yang bertekad untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan dari bangsa yang bermasyarakat majemuk ini. Dapat diduga bahwa pengalaman pribadi Sanak H.Sutan Muhammad Taufiq Thaib SH, yang selain cukup lama berkiprah di organisasi kepemudaan KNPI dan berpengalaman selama dua periode sebagai anggota DPR RI, cukup berperan dalam kebijaksanaan ini. Suatu pertanyaan yang cukup menggelitik untuk dibahas lebih lanjut adalah: apakah peran kelembagaan – dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan -- yang akan diemban oleh para pemangku adat yang menyandang gelar sako dan menjadi pengelola pusako, baik yang bermukim di nagari-nagari maupun yang lumayan banyak bermukim di Rantau ? Saya tidak mempunyai bahan yang cukup untuk menjawab pertanyaan ini dan senang sekali sewaktu mengetahui – dalam kesempatan sosialisasi Tim Perumus ABS SBK di Jakarta beberapa waktu yang lalu-- bahwa masalah ini sedang diteliti oleh seorang mahasiswa S2 Universitas Andalas. Jadi, dalam dua tiga tahun lagi kita akan mendapat gambaran yang agak komprehensif dan aktual mengenai sistem nilai dan struktur sosial Minangkabau serta perannya dalam Minangkabau masa kini, yang selama ini hanya bersandar pada rangkaian asumsi belaka. Sekali lagi, syukur Alhamdulillah. Wassalam, Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta) Alternate e-mail address: saaf10...@gmail.com; saafroedin.ba...@rantaunet.org
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned: - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama - DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---