Engku Jamaluddin yth, saya tertarik dengan kesimpulan awal engku yang 
mengatakan bahwa asas berdemokrasi ala Minang itu hidup dan menghidupkan; dan 
saya sandingkan dengan pituah : singkek bauleh, panjang bakarek, senteng 
babilai, kurang takuak manakuak. Secara khusus komentar dan kesimpulan engku 
perlu pembahasan oleh cerdik pandai, terkait sistem permusyawaratan dan tabligh.
Bila diperkenankan saya coba lanjutkan dengan jawaban pertanyaan no. 4, yang 
sebenarnya sedikit bayang-bayang jawabannya telah sampai.
Terdahulu disampaikan pituah : luhak bapanghulu, yang dimaksudkan seluruh 
negeri di tiga luhak menerapkan sistem kelarasan Dt. Perpatih nan Sabatang, nan 
mambusek dari bumi. Kemudian dilanjutkan dengan pituah: rantau barajo, yang 
dimaksudkan negeri-negeri yang menjadi rantau dari Luhak nan Tigo di sekeliling 
Alam Minangkabau menjalankan sistem kelarasan Dt. Katumanggungan. Negeri-negeri 
ini di masa lampau menjunjung tinggi Daulat Tuanku di Pagaruyung, sehingga 
menjalankan ameh manah tiang bubuq, titahnya dijunjung, adatnya diturut, 
lembaganya dituang, dan cupaknya diisi.
Sesudah Aditiawarman berkedudukan di Pagaruyung, maka hubungan dengan 
negeri-negeri di Jambi diikat dengan perjanjian : undang dari Minang, teliti 
dari Jambi, kilek camin di Sungai Dareh. Perjanjian itu diperteguh di masa 
Cindua Mato menjadi raja, yang dilakukannya di Tanjung Simalidu.
Kolaborasi antara Aditiawarman dan Dt. Katumanggungan melahirkan Kerajaan 
Melayu Pagaruyung. Sedangkan sistem kelarasan Dt. Katumanggungan disebutkan 
titiak dari ateh, atau adatnyo ba-rajo-rajo. Namun terdapat keganjilan terhadap 
Kerajaan Pagaruyung, yaitu lokasinya terletak di antara kumpulan negeri-negeri 
yang berdiri sendiri di atas daerah hukum Luhak, walaupun wilayah pengaruhnya 
terdapat di rantau. Hal ini menjadi suatu kenyataan bahwa pengaruh Dt. Perpatih 
dalam lingkungan hukum Tigo Luhak adalah lebih besar daripada pengaruh Dt. 
Katumanggungan. Sedangkan pengaruh Dt. Katumanggungan meluas di daerah rantau 
sampai ke Jambi. Secara khusus anomali lokasi ini akan coba saya jelaskan kelak 
dari sudut pandang spatial-culture.
Susunan kemasyarakatan dalam sistem kelarasan Dt. Katumanggungan ini dapat 
dilihat dari pituah :
tiap negeri beraja
tiap rantau berjenang
tiap dusun berpenghulu
tiap rumah bertungganai
Setelah sekian waktu Dt. Katumanggungan merasa bila Pagaruyung harus 
diperkuat.  Untuk itu dengan persetujuan Aditiawarman dibentuklah Basa 4 Balai 
(Dewan Menteri) yang diambil dari penghulu terkemuka dari 4 negeri, yaitu :
1. Dt. Bandaharo di negeri Sungai Tarab
2. Dt. Indomo di negeri Suruaso
3. Dt. Makhudum di negeri Sumanik
4. Tuan Gadang di negeri Batipuh.
Oleh Dt. Perpatih pembentukan Basa 4 Balai itu dibiarkan saja, karena dewan ini 
dapat dipakai untuk membatasi wilayah pengaruh Pagaruyung. Sepeninggal 
Aditiawarman, dewan ini ditambah keanggotaannya walaupun tetap bernama Basa 4 
Balai, yaitu :
5. Tuan Kadhi di Padang Ganting
6. Raja Adat di Buo
7. Raja Ibadat di Sumpu Kudus.
Sepeninggal Aditiawarman dilangsungkan sidang Kerapatan Luhak nan Tiga 
bertempat di Tanjung Alam untuk mengambil kata sepakat, tetapi tidak berhasil. 
Kemudian diulang di Tanjung Sungayang, juga belum berhasil. Terakhir 
dilangsungkan di Tanjung Barulak dan berlangsung cukup lama. Wakil yang 
terbanyak hadir adalah dari Luhak Tanah Datar, dan akhirnya tercapai keputusan 
untuk mengangkat raja dengan kata-sepakat dan dalam permusyawaratan. 
Wakil-wakil dari pendukung kelarasan Dt. Perpatih merasa puas, karena dengan 
mengangkat raja seperti itu berarti : “raja berdaulat kepada kata mufakat”, dan 
setiap gantinya harus menurut perintah adat Bodi Caniago :
patah tumbuh hilang baganti
adat pusako baitu pulo
Akan tetapi kemudian pengikut kelarasan Koto Piliang yang telah mundur 
selangkah kemudian menyusun sendiri petitinya :
asa barasa anak puti
sunduik basunduik anak rajo
patah tumbuh hilang baganti
tumbuahnyo disinan juo
Disinilah pangkal permasalahannya keputusan sidang Kerapatan 3 Luhak di Tanjung 
Barulak tidak dimasukkan dalam bab Cupak Usali untuk menjadi pasal 
Undang-undang Alam Minangkabau, karena ‘dalam Barulak barulai pulo’.
Walaupun demikian proses-proses yang telah berlangsung telah menghilangkan 
sanding dari masing-masing kelarasan, yang akhirnya berabad-abad kemudian 
bertaut kembali menyemarakkan adat Minangkabau.
hilang sandiang dek bagisia
hilang biso dek biaso
hilang kasam dek sapo-manyapo.
Demikian sedikit jawaban saya sampaikan, mudah-mudahan dapat ditukuak-tambahkan 
dari nan lain. Puntuang hanyuik api pun padam.
Wassalam,
-datuk endang

--- On Sat, 3/14/09, jamaludin mohyiddin <jmohyid...@yahoo.com> wrote:







Assalamu alaikum warahmatulLahi wabarokatuh,

Yang mulia Datuk Endang, Dun sanak dan pengunjung RN,

Saya ucapkan terima kasih dengan penjelasan yang di muatkan dengan postingan 
balasan pertama dan kedua ini. Sesungguhnya jawapan Datuk Endang jelas dan 
terang benderang. Saya kagum syarat pertama amalan bermasyarakat di Alam Minang 
itu ialah muafakat. Perletakan amalan dan lembaga muafakat di Alam Minang itu 
sendiri menceritakan kepada kita semua bahwa asas berdemokrasi ala Minang itu 
sebenarnya hidup dan menghidupkan. 

Nilai muafakat ini inti dari segala gala nya Minang. Muafakat jua berisi atau 
bernadakan mengizinkan dan menghormati perbedaan pendapat. Muafakat (mengambil 
keputusan muktamat) di Alam Minang mengandungi keimbangan di antara unsur unsur 
keunggulan political pluralism dan political majority as political/governance 
principle. Unsur, nilai dan lembaga muafakat di terapkan dari paling bawah, 
yakni dalam keluarga, sehingga ke yang paling tinggi, yakni di Nagari. 

Nampaknya, berdasarkan bidalan dan pituah yang di tuliskan oleh Datuk Endang, 
unsur dan nilai muafakat sudah di lembagakan di Alam Minang. Unsur dan nilai 
muafakat ini telah bersemadi dan mendarah daging dan berbudaya dari dahulu lagi 
sebelum penyebaran Islam. Lembaga kemuafakatan ala Minang Minang ini, the 
reason d/etre of Minang communitarian democracy, sudah pasti mendapat perhatian 
di kalangan mubaligh mubaligh di peringkat awal penyebaran Islam. Mubaligh 
mubaligh ini mahfum dengan pengertian syura' bainahum. 

Sudah pasti para mubaligh dan aktivis Islam ini telah menilai sejauh mana nilai 
dan lembaga muafakat ini memenuhi tuntutan syura' bainahum ini. Perbahasan 
menyusul bagaimana menjambati permasalahan sehubungan syura' bainahum dengan 
nilai dan lembaga muafakat Minang ini. Adakah telah ada kesefakatan atau 
perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal mengangani hal jalan terbaik 
pengislaman kaedah/modus operandi atau metode muafakat ala Minang ini, saya 
masih belum pasti. Mungkin telah ada penyelidikan ilmiyyah dalam hal ini yang 
saya sendiri belum menekuni dengan baik. 

Konsep, nilai dan lembaga muafakat ini sesungguhnya memerlukan pencernaan 
ilmiyyah nampaknya. 

Terima kasih sekali lagi kepada datuk Endang.    

--- On Fri, 3/13/09, Datuk Endang <datuk_end...@yahoo.com> wrote:







Engku Jamaluddin yth, saya coba lanjutkan lagi: 
2. Pasal tentang kekuasaan politik yang mengikat semua negeri (Alam 
Minangkabau) sebagaimana kita ketahui tidak disebutkan dalam bab Cupak Usali, 
dan tidak tertulis di dalam tambo. Hal ini dikarenakan tidak tercapai kata 
sepakat antara Dt. Perpatih nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan tentang bentuk 
Negara Alam Minangkabau. 
Perbedaan pendapat ini sejak datangnya Aditiawarman dari Darmasraya yang 
berkehendak memindahkan ibu negeri Kerajaan Melayu Lama ke wilayah Minangkabau. 
Dt. Katumanggungan menerima pendapat Aditiawarman bila kedaulatan berada di 
tangan raja, sedangkan Dt. Perpatih nan Sabatang berpendapat tentang beraja 
kepada mufakat, sebab kata semufakatlah yang berdaulat, dan itulah akan ganti 
raja. Untuk mencapai mufakat digunakan sistem perwakilan, karena pituah beliau 
: talampau banyak cadiak, rusak nagari; talampau banyak tukang, binaso kayu. 
Dengan demikian Dt. Perpatiah tetap berpegang kepada bentuk musyawarah 
terpimpin yang sudah tumbuh subur dari bawah, yaitu di nagari-nagari; karena 
sudah berurat-tunggang ke bawah, maka harus berpucuk bulat sampai ke atas. 
Karena pertentangan kedua datuk ini tidak dapat didamaikan maka gagallah 
rencana mempersatukan Alam Minangkabau ke dalam sistem kerajaan. Peristiwa ini 
dibayangkan dalam kata-kata: 
datanglah anggang dari lauik 
ditembak datuak nan baduo 
badie sadatuih duo dantamnyo 
Karena kerajaan berpagar adat ini tidak dapat didirikan, maka didirikan juga 
Kerajaan Melayu yang ‘berpagar ruyung’, yang artinya berpagar kekerasan, sebab 
berdirinya dengan kekerasan hati Dt. Katumanggungan sebagai putera tertua. 
‘Pagar’ artinya ‘tata-aturan’, dan ‘ruyung’ artinya ‘alat kekerasan/kekuasaan’. 
Jadi Kerajaan Pagaruyung artinya ‘Kerajaan Kekuasaan’. Demikian riwayat kenapa 
tidak disebutnya Undang-undang Alam Minangkabau dalam bab Cupak Usali sebagai 
undang-undang ketatanegaraan. Hanya yang telah mencapai kata sepakat kedua 
datuk itu saja yang masuk dalam bab Cupak Usali oleh orang tua-tua pada masa 
dahulu. 
Dengan demikian Kerajaan Pagaruyung tidak dapat disebut sebagai Kerajaan 
Minangkabau, karena kato-pusako menyebutkan : berdiri raja, sekata Alam! 
Pengertiannya: raja/kerajaan baru sah berdiri apabila dengan kata-sepakat 
seluruh negeri-negeri di Alam Minangkabau. Konsekuensinya adalah terbagi duanya 
wilayah hukum Adat Minangkabau yaitu : 
a. Luhak, sistemnya : kelarasan adat Dt. Perpatih, kemudian tersohor dengan 
nama kelarasan Bodi Caniago, 
b. Rantau, sistemnya: kelarasan adat Dt. Katumanggungan, kemudian tersohor 
dengan nama kelarasan Koto-Piliang. 
Kato-pepatahnya: 
luhak ba-panghulu 
rantau ba-rajo 
tagak samo indak tasundak 
malenggang samo indak tapepeh. 
Dalam luhak ba-panghulu dalam barih-balabeh-nya digunakan hirarki political 
alliance-nya sebagaimana diungkapkan terdahulu. Hal ini juga mudah-mudahan 
dapat menjawab pertanyaan no. 3 engku, yaitu adat as governing political 
authority and legitimacy. 
Sementara demikian dulu, tukuak tambah dari yang lain. Untuk pertanyaan 
terakhir saya coba jawab kelak. 
Wassalam, 
-datuk endang

--- On Fri, 3/13/09, Datuk Endang <datuk_end...@yahoo.com> wrote:







Engku Jamaludin yth.
Tanpa maksud mendahului dari yang diharapkan, saya mencoba menjawab beberapa 
pertanyaan engku, mudah-mudahan dapat dilengkapi oleh yang lain lebih lanjut.
Secara umum ada referensi yang tepat menjawab seluruh pertanyaan engku, yaitu 
buku "Seluk-Beluk Adat Minangkabau" karya Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro (1965). 
Saya coba kutipkan sepotong-sepotong sesuai tujuan pertanyaan.
 
1. Konsep nagari didasarkan pada pituah: nagari bakaampek suku, dalam suku 
babuah paruik, kampuang nan batuo, rumah batungganai. Pengertiannya pernah saya 
sampaikan terdahulu.
Political legitimacy disebutkan sebagai: nagari bapaga undang, kampuang bapaga 
cupak. Political legitimacy ini telah dimulai dari pituah terdahulu (kampuang 
nan batuo), yaitu batagak penghulu yang disaksikan oleh kerabat dan tetangga. 
Proses pertumbuhan kampung sendiri disebutkan sebagai : taratak manjadi dusun, 
dusun manjadi koto, koto manjadi nagari.
Pakaian nagari disebutkan : balabuah, batapian, babalai, bamusajik, 
bagalanggang.
Hiasan nagari disebutkan : sawah-ladang berpiring berpematang, rumah-gadang 
berbilik beruang, lumbung-rangkiang tinggi menjulang, emas-perak bertahil 
bertimbang, beras-padi bercupak bergantang.
Untuk political alliance Alam Minangkabau, di masa lampau dikenal sistem 
perwakilan tiga tingkat :
I. Sidang Kerapatan Adat Nagari
II. Sidang Kerapatan Lingkungan Luhak
III. Sidang Kerapatan Luhak Nan Tiga Lingkung.
Pada level ketiga ini pituahnya adalah : pancuang putuih, galangan rabah, indak 
bapucuak bakucambah lai, kato putuih, rundingan sudah, tak batukuak batambah 
lai. Di masa lampau perundingan level ketiga ini sering dilaksanakan di Nagari 
Tanjuang Alam, di Bungo Setangkai (Sungai Tarab), dan di Tanjuang Sungayang 
Batusangkar. Tanjung Alam masuk lingkungan Tanah Datar, namun letaknya 
ditengah-tengah Luhak Nan Tigo, yang disebutkan sebagai : ikua dek Luhak Tanah 
Datar, kapalo dek Luhak Limopuluah, dan rusuak dek Luhak Agam. Sehingga lahir 
pituah : Tanjung Alam, Bungo Satangkai, pamenan urang tigo luhak.
Namun ada satu perundingan yang dilangsungkan di Bukit Marapalam, antara para 
penghulu dan kaum ulama, dan dinamakan Piagam Bukit Marapalam, yang melahirkan 
kato-pusako: adat bapaneh, syarak balinduang; syarak mangato, adat mamakai.
Sistem perwakilan level ketiga ini telah hapus sejak masuknya Belanda, sehingga 
ikatan nagari-nagari menjadi putus. Namun sesungguhnya ikatan adatnya tidak 
putus karena : indak lapuak dek hujan, indak lakang dek paneh. Adat Minang 
dapat bertahan di dalam negeri masing-masing.
 
Sementara demikian dulu engku. Untuk pertanyaan berikutnya saya coba jawab 
kelak.
 
Wassalam,
-datuk endang


--- On Thu, 3/12/09, jamaludin mohyiddin <jmohyid...@yahoo.com> wrote:








 Wa' alaikum salam warahmatulLahi wabarokatuh,
 
Angku Arman, Bunya Mas'oed dan dun sanak yang saya kasihi,
 
Idzinkan saya mencelah untuk bertanya. 
 
1. Di mana letaknya political legitimacy atau governing legitimacy Nagari dalam 
'persekutuan'/federation atau 'persatuan' politik/political alliance Alam 
Minang? Dimana sumber (asli) meng-sah-kan kekuasaaan/authority Nagari.  
 
2. Apa bentuk kekuasaan politik yang mengikat kesemua nagari ini? Fahaman saya 
unit asas pemerintahan beradat di Alam Minang ialah terletak dan bermula di 
Nagari. 
 
3. Ada kah adat Pepatih di Alam Minang hanya berkuasa dalam hal adat sahaja? 
Adakah pengertian dan penghayatan adat Perpatih ini merangkumi hal hal dan 
struktur pentadbiran/political power? Kalau lah pengertian dan penghayatan adat 
merangkumi soal, hal dan struktur kekuasaan, boleh kah kita sebut ini 
pemerintahan beradat? Dalam pergertian lain, adat as governing political 
authority and legitimacy.
 
4. Dalam skima pemikiran dan cara hidup Minang, di mana letaknya kesahihan 
beraja di alam Minang? Adakah sistem berraja itu satu asas atau 
nilai keNaagarian atau keMinangan? Boleh kah kita 
sebutkan kepemerintahan/governance  di wilayah Alam Minang itu satu ke-raja-an? 
 
Pertanyaan di atas bertujuan meningkat kefahaman dan pengetahuan kita tentang 
Alam Minang.
 
Terima kasih.
 
 
--- On Thu, 3/12/09, Arman Bahar <arman_ba...@ymail.com> wrote:








Assalamualaikum ww 
  
Betul da Zul, ada juga yang menyebutnya sebagai pisang timbatu 
  
Pisang sikalek - kalek hutan
Pisang timbatu nan bagatah
Koto Piliang inyo bukan 
Bodi Caniago inyo antah 
  
Tepatnya pantun ini ditujukan kepada Kelarasan atau system pemerintahan adat 
yang dibangun oleh Dt. Nan Ba-nego2 untuk wilayah Pariangan Padang Panjang, Dt 
Nan Ba-nego2 ini juga masih adik dari datuk nan berdua Dt. Katumangguangan dan 
Dt. Parpatiah Nan Sabatang 
  
Kalau Dt. Katumangguangan mendirikan Kelarasan Koto Piliang dengan azas “Titiak 
Dari Langik” atau otoriter dimana semua keputusan yang diambil harus sesuai 
dengan titah raja dan daerah kekuasaan berpusat di Padang Tarab 
  
Dt. Parpatiah Nan Sabatang mendirikan Kelarasan Bodi Caniago dengan azas 
“Mambusek dari Bumi”  yang lebih demokratis karena semua keputusan yang diambil 
harus berdasarkan suara anak kemenakan dari bawah sebagai rakyat badarai sesuai 
dengan pipatah adat “Naiak di-janjang turun di-tanggo”  dan daerah kekuasaannya 
berpusat di Limo Kaum 
  
Sementara Dt. Nan Ba-Nego2 juga mendirikan Kelarasan yang meng-adopsi kedua 
prinsip Koto Piliang dan Bodi Caniago dan daerah kekuasaanya di sealiran Batang 
Bingkaweh Pariangan Padang Panjang, sehingga sulit di-klaim sebagai salah satu 
dari keduanya hingga disebut sebagaimana pantun diatas 
  
Pisang sikalek - kalek hutan
Pisang timbatu nan bagatah
Koto Piliang inyo bukan 
Bodi Caniago inyo antah 
  
Kapan ini terjadi, tentu semasa hidup datuak nan batigo sekitar tahun 1100an 
Masehi sementara diperkirakan setelah zaman Adityawarman sekitar tahun 1300an 
Raja2 Minangkabau mewariskan tahta tidak lagi menurut system Matriachat atau 
turun kepada kamanakan tetapi Patriachat yang turun kepada anak atau nasab 
sebagaimana Mojopahit atau kelaziman lain-nya 
  
Wasalam 
Abp-57
--- On Thu, 12/3/09, zul amry piliang <uda...@plasa.com> wrote:

--- In rantau...@yahoogroups.com, "hambociek" <hamboc...@...>
wrote:
>
> 
> Indak baSuku! 
> Lai tasabuik dalam pantun papatah:
> [lupo sampiran pantunnyo, tolong isi ko ado nan tahu]
> 
> Koto Piliang inyo bukan,
> Bodi Caniago inyo antah ...
> 

Mak Ngah dan sanak Palanta Yth ;

Pantun diateh salangkapnyo babunyi :

Pisang sikalek - kalek hutan
Pisang rajo nan bagatah
Koto Piliang inyo bukan 
Bodi Caniago inyo antah

 salam : zul amry piliang



      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke