AsswRwB, Walupun ada sinyalemen pihak tertentu utk mengarahkan pasien utk menuju RS Asing atau sejenis nya, tp sinyalemen ini garus di buktitikan dulu. Dibwah ini juga saya forwarkan keluahan pasien terhadap dokter nya. Bhw kita ketahui masalah kesehatan adalah masalah urgent, yg merupakan kebutuhan kesejahteraan, atau sbg pilar utama utk melakukankegiatan selanjutnya. Pertanyaan : Bisakan pasien(rakyat) mengadukan/melaporkan ke IDI ,seandainya perlakuan yg diterima pasien tidak sesuai dgn pendapat kedua (second opinion).endapat kedua.(Pendapat kedua saya maksudkan, pasien secara diam2 bertanya pada dokter lain atau dokter keluarga ttg treatment/peyalananan dokter semula yg bertentangan atau aneh). Atau adalah lembaga independen yg bisa menilai kinerja/pelayanan dokter, dan bisa diterima secara legal dan standar kedokteran ? Apakah independesi IDI bisa di andalkan dan di percaya, krn akan melibatkan sahabatnya kolega dokter.? Kalau tidak puas dgn keputusan IDI tingkat pemula, apak masih ada wadah utk menindaklanjutkannya pd tingkat yg lbh tinggi, sejenis makamah review prektek kedokteran?
Tanpa banyak bertanya, kenapa banyak orang berduit Indonesia yg berobat ke Malaysia, Singapore, Thailand,??Implikasinya banyak nya terkuras dana kita, dan silahkan brainstorming bgmn kerugian yg kita hadapi pd masa sulit ini. Atau Apakah akibat pelyanan dokter/RS yg bla bla bla....Tanyakan saja kpd rumput yg bergoyng, kata Ebit. Wass. Muzirman Tanjung. SUARA PEMBARUAN DAILY ------------------------------ Pasien Berhak Mendapat Pelayanan secara Manusiawi [image: Istimewa - Zaenal Abidin] *[JAKARTA]* Hak pasien mendapatkan pelayanan kesehatan bermutu dan manusiawi terhambat karena ulah para dokter yang terkesan arogan dan merasa diri paling tahu mengenai dunia kesehatan. Bapak Agus, warga Tanjung Priok, Jakarta, kepada *SP* Jumat (20/3), menceritakan pengalaman kekecewaannya ketika membawa anaknya berobat ke sebuah rumah sakit di Jakarta. "Dokter hanya meraba-raba perut anak saya, lalu membuat resep obat yang sangat mahal dan disuruh pulang. Ketika saya tanya apa sakitnya, dia tidak menjawab dan sibuk menulis sesuatu yang saya tidak mengerti," kata Agus. Ibu Wenny dari Pondok Gede, Jawa Barat, juga mengalami hal yang sama. Dokter yang memeriksa anaknya susah berkomunikasi. Ketika diajak bicara pun, hanya satu dua kata yang dia ucapkan. "Kita juga tidak bodoh-bodoh amat soal kesehatan. Sebelum membawa anak ke dokter, saya selalu membaca referensi penyakit yang diderita anak saya. Makanya, sangat disayangkan kalau dokter tidak mau menjelaskan perihal penyakit yang diderita seorang pasien," katanya. Namun, kata Wenny, banyak juga dokter yang sangat komunikatif. Bahkan, ada dokter yang bersedia meluangkan banyak waktu untuk menjelaskan berbagai penyakit yang diderita anak-anak, dan jenis obat apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi si kecil," katanya. Dari para dokter yang komunikatif itu pula, Wenny mendapatkan informasi bahwa obat antibiotik ternyata tidak harus diberikan kepada pasien. Dan banyak dokter memberikan resep obat dengan obat bermerek hanya ingin mendapat setoran banyak dari perusahaan obat. *Kode Etik Kedokteran *Sementara itu, Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Zaenal Abidin mengatakan, pasien berhak mendapat pelayanan kesehatan bermutu dan manusiawi. Kecenderungan dokter kejar setoran dan mengabaikan komunikasi dengan pasien tidak dibenarkan. Rumah sakit (RS) dan sumber daya manusianya berkewajiban memenuhi hak pasien. Menurutnya, hak pasien yang berhubungan dengan komunikasi informasi diatur dalam Pasal 52 UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, bahwa pasien berhak mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis. Masalah komunikasi juga diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki) yang menyebutkan bahwa hak pasien memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya, hak untuk menolak prosedur diagnostik dan terapi yang direncanakan, dan bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapeutik. Zaenal menyebut, pasien juga berhak memperoleh informasi tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, roentgen, USG, MRI, biaya kamar bedah, biaya bersalin, serta imbal jasa dokter. "Bahwa disinyalir kemampuan berkomunikasi yang persuasif dan efektif sebagai salah satu kelemahan RS nasional, itu bisa terjadi, namun bukan ini penyebab tunggal rakyat berobat ke luar negeri," ucapnya. Dikatakan, IDI kerap melakukan pelatihan agar para dokter memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, tetapi hanya mengandalkan IDI saja tidak cukup. Dana yang dimiliki IDI terbatas. Yang terbaik, menurut Zaenal, memaksimalkan pendidikan komunikasi dan etika berkomunikasi selama menjalani pendidikan di fakultas kedokteran. [N-4/L-8] ------------------------------ *Last modified: 20/3/09* --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned: - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama - DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---