Assallamualikum, Inyiak Lako, Pak Saaf, Buya HMA dan Mamak di Palanta
RN,

Ambo satuju jo pamikiran ma-rekosnstruksi-adat ko, karano adat
Minangkabau ko paralu taruih bakambang sasuai jo parubahan zaman,
dari pamikiran nan lah diuleh di milis ko nampak ado nyo ka inginan
nan gadang untuak mambuek Landasan ABS,SBK   (diantaronyo yth Pak
Saaf, Buya HMA, dan lainyo..Apo kito paralu manunggu dulu realisasi
ide Dearah Otonomi Minangkabau sasuai gagasan sanak kito sabalunyo di
Rantau net ko.

Karano adat ko bapusek ka Nagari, iko ambo postingan 'buah pikiran'
anak mudo Minang di ranah manulih 'kegamangan' untuak sistem banagari
nan tantunyo mampangaruhi adat dalam banagari.

mohon maaf dan wassallam,
AZ Dt.Rajo Alam, 37+, baliakpapan
====


“NAGARI KUPAK DI NEGERI KATA-KATA?”

oleh; Muhammad Taufik Tgk.Rajo Mangkuto

PENDAHULUAN
Demokrasi kembali dibuah bibirkan oleh banyak kalangan disaat
formulasi lain dalam bernegara/berpemerintahan tidak mampu lagi
menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan yang terkembang. Begitu juga
sebaliknya di Indonesia, demokrasi menjadi salah satu jalan bahkan
satu-satunya jalan dalam membebaskan dari kerangkeng Negara garong-
otoritarianisme Orde Baru, sebagaimana disaksikan dengan ketelanjangan
mata akhir-akhir ini. Di Indonesia demokrasi tidak hanya dibincangkan
pada aras negara tetapi mengerut sampai pembicaraan lokalitas.
Meskipun demokrasi lokal sesuatu, mungkin, yang muncul tatkala
reformasi ditabuh, namun hasrat untuk memperbincangkan terus saja
mengelinding. Di Sumatera Barat pembicaraan hal semacam di atas juga
terjadi, dalam artian bagaimana demokrasi di Minangkabau
diejawantahkan. Meskipun secara kultural orang Minangkabau sudah lama
mengenal nagari sebagai pranata sosial dalam mengartikulasikan
demokrasi . Tapi sepertinya nagari mengalami pasang surut sesuai
dengan pasang surutnya penguasa yang mengendalikan bangsa ini mulai
dari zaman pra kolonial, kolonial sampai zaman reformasi sekarang.
Sehingga formulasi nagari/demokrasi lokal jamak berganti wajah sesuai
dengan irisan wajah penguasa. Membayangkan nagari dengan tubuh ideal
akan menemukan dilema, sedilema membicarakannya karena menubuhkan
bentuk nagari dalam bingkai demokrasi senyatanya harus meloncat
kebelakang sebelum fese kolonialisasi yang, paling tidak, bisa
menunjukkan secuil sejarah keemasan dalam bernagari, kalaupun itu ada.
Tulisan ini mencoba menjawab perjalan demokrasi Minangkabau pasca Orde
Baru, disaat diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999. Dalam tulisan ini
sebagai bahan kerangka berfikir digunakan penghampiran dalam memahami
demokrasi diantaranya adalah komitmen Negara negara menyediakan a free
public sphere bagi warganya untuk mengartikulasikan dan
mengaktualisasikan hak-hak dasarnya termasuk dalam menentukan pilihan
dalam pemerintahan.

MALANG NIAN NASIB ‘MU’ NAGARI
Tanpa menghakimi terlebih dahulu, sepertinya perubahan paradigma
pemerintah pasca tumbangnya Orde Baru seharusnya memberi peluang
kembalinya kuasa rakyat baik masyarakat lokal/adat atau pranatanya
untuk merancang-bangun kehidupannya berdasarkan hak geneologis dan
adat istiadat setempat. Kisaran paradigma pemerintahan di atas
berbanding lurus dengan perubahan paradigma di tingkat lokal
(Minangkabau). Kisaran tersebut tidak hanya mengendap dalam aspek tata
aturan pemerintah dengan makna kekuasaan tapi juga perubahan aturan
hukum dalam kehidupan masyarakat. Ujungnya di Sumatera
Barat,contohnya, otonomi daerah dijadikan dasar berpijak
mengkonstruksi tata kehidupan masyarakat sesuai dengan adat dan budaya
Minangkabau sesuai dengan Perda No.9/2000 dan Perda Kabupaten yang
mengacu kepada UU dan Perda provinsi tersebut dan selanjutnya Perda
itu mengalami penggantian dengan keluarnya Perada No.2 pada tahun
2007 .
Sekali lagi tanpa berpretensi tamak dan ingin mengatakan nagari adalah
segala-galanya atau nagari adalah pilihan yang sempurna, atau sekali
lagi, nagari adalah mahakarya (magnumopus) masyarakat Minangkabau
dalam membangun demokrasi dalam aras lokal, tapi paling tidak sampai
hari ini nagari bisa dijadikan simbol pengamalan demokrasi lokal
(grass root democracy) di Minangkabau. Kalau ditilik jauh kebelakang
demokrasi di tingkat lokal dalam peta Indonesia sebenarnya tidak
mendapat tempat mulai dari zaman kolonial hingga, mungkin, sekarang.
Nasib demokrasi lokal di Indonesia tidak bernasib mujur seperti
pengalaman demokrasi lokal di Inggris yang dapat mempengaruhi sistem
politIk nasional dan kemudian mengantarkan kerajaan Inggris sebagai
negara demokrasi parlementer. Hal ini berlanjut sampai zaman
kemerdekaan walaupun Hatta mendorong terhadap bangunan otonomi daerah
namun cita-cita itu tidak kesampaian karena masih bertabrakan dengan
kekuatan kolonial, sebagaimana dipaparkan Fakhri Ali (1996:238). Hal
ini berlanjut pada masa Orde Baru yang secara sederhana berwujud dari
penciptaa ketidakpastian dalam membangun tatanan demokrasi. Meskipun
demokrasi selama Orde Baru juga menjadi pembicaraan namun Orde Baru
menciptakan sistem politik hanya menjadi seperangkat konstruksi semu
realitas sosial, dengan memanipulasi makna dan realitas itu sendiri,
sehingga realitas yang diterima oleh masyarakat sebagai suatu
kebenaran sesungguhnya tidak lebih dari sebuah distorsi realitas,
paling tidak itu ungkapan Yasraf Amir Piliang (1999:179). Hal ini
nampak jelas sejak diberlakukan UU Nomor 5 Tahun 1979 yaitu sistem
pemerintahan desa dalam kehidupan nagari di Minangkabau. Alhasil UU
ini telah membawa penyakit yang tidak hanya mematahkan kekuatan elit
tradisonal Minangkabau, bahkan tragisnya adalah tercaik-cabinya
tatanan sosial budaya masyarakat mulai dari nilai sampai dengan
komposisi elit ditingkat nagari. Artinya dominasi dan hegomoni negara
yang sangat kuat membuat masyarakat tidak berdaya karena selalu
dibayang-bayangi oleh kekuatan negara yang koersif dengan kekuatan
militer sebagai the killing machine demi tercapainya stabilitas dari
setiap proyek pembangunan. Sehingga yang nampak dalam permukaan hanya
dominasi dan hegemoni negara (state) vis a vis dengan masyarakat
(society). Contoh dalam skala yang kecil penerapan paradigma
birokratik-otoritarian dengan praktek menghilangkan eksistensi pemuka
adat, tokoh masyarakat, lembaga pemerintahan di tinggat desa seperti
nagari di Minangkabau atau sistem Sabah di Bali, diganti dan dipegang
oleh kepala desa sebagai klien dukungan negara (state backed client)
sehingga institusi-institusi lokal-meminjam istilah Yando “abih
tandeh” tidak tersisa sedikitpun ruang kebebasan untuk berekspresi.
(Baca Abih Tandeh…, 2000) dan (Penaklukan Negara atas Rakyat.., 2000)
serta (Reformasi Tata Pemerintahan Desa…, 2000). Bahkan J. Nasikun
mengungkapkan bahwa integrasi yang diciptakan selama Orde Baru
bukanlah integrasi yang tumbuh atas kesadaran dan motiv yang ada dalam
jiwa masyarakat, tetapi integrasi atau nasionalisme yang dikembangkan
oleh Orde Baru berdasakan atas kekuatan dan mekanisme-mekanisme
“pembinaan” represi atau dominasi. (Nasikun,-makalah- 4/2000).
Kompleksitas ini akhirnya memunculkan tatanan kolonialisasi baru ala
Negara saat itu atau, dalam bahasa lain, neofeodalisme negara. Inilah
mungkin yang dimaksudkan bagaimana kekuatan negara direpresentasikan
dalam masyarakat dengan bentuk UU yang didalamnya otoritas negara
menumpulkan diskursus informasi dan daya kritis dari masyarakat
Minangkabau dengan ideologi pembangunanisme Orde Baru sebagai
tuntunan.
Ditelikung lain, secara filosofis, Minangkabau merupakan suatu paduan
kultural yang dinamis, di dalamnya terdapat suatu sistem kebudayaan
yang mampu mewadahi pluralitas (sub-kultur) yang menjadi realitas dari
anak nagari sendiri “adat salingka nagari, cupak sapanjang batuang,
gadang garundang dikubangan, gadang gajah digadiangnyo”. Begitu juga
dengan nagari dalam tradisi masyarakat Minangkabau merupakan identitas
kultural yang menjadi lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan
makrokosmik yang lebih luas. Di dalam dirinya terkandung sistem yang
memenuhi persyaratan embrional dari sebuah sistem ‘negara’. Nagari
adalah ‘negara’ dalam artian miniatur, dan merupakan ‘republik kecil’
yang sifatnya self-contained, otonom dan mampu membenahi diri sendiri
(Naim dalam Jamra: 2003). Dari nukilan di atas tergambar secara
gamblang bahwa nagari merupakan ekspresi bersama secara kultural anak
nagari dalam memahami kehidupan baik dalam ranah apapun. Satu prinsip
yang mendalam yang dibanguna adalah bahwa keotonomian menjadi bagian
penting dalam bangunan kebudayaan itu sendiri.
Malangnya mengutip Nurchalis Madjid (1999: 263-264), ternyata
sekalipun tendensi ke arah demokratisasi merupakan sesuatu yang
objektif dan alamiah, namun sama sekali tidak berarti, pasti
berlangsung terus secara konsisten menurut garis logikanya sendiri.
Tendensi dan potensi itu dapat dicegat, ditangguhkan, bahkan
dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokratis kalangan tertentu para
pemegang kekuasaan, benar-benar dialami oleh masyarakat Minangkabau.
Gambaran ini bisa ditikam dalam rangkaian sejarah Kolonial Belanda
yang mulai mengusik kehidupan orang Minangkabau dengan dikeluarkannya,
seperti, Agraris Wet (UU Kolonial Belanda) tahun 1870 tentang
penggunaan tanah liar oleh pengusaha swasta untuk jangka waktu selama
75 tahun. Sedangkan untuk tanah yang tidak begitu luas boleh dimiliki
untuk perumahan dan industri. Kemudian berlanjut pada 1960, pemerintah
mengeluarkan sebuah kebijakan secara nasional untuk mengatur persoalan
agrarian, terutama tanah dengan UU No.5 tahun 1960 tentang UU Pokok
Agraria. Pemimggiran ini terus berlanjut dengan keluarnya UU No.56/Prp/
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian terutama pada pasal 7.
Kemudia lahir lagi Peraturan Meneri Dalam Negeri No. 15 tahun 1975 dan
keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 yang kemudia diperbaharui dengan
Perpres No.36 tahun 2005 dan terakhir dengan Perpres No.65 tahun 2006
tentang perubahan atas Perpres No.36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dan juga
tentang Pendaftaran Tanah yang tertuang dalam PP No.24 tahun 1997
(Suara Rakyat, LBH Padang, No.06/2007).
Persoalan inilah, sebagaimana yang disampikan oleh Cak Nur, yang
meluluhlantakkan masyarakat Minangkabau dan begitu juga masyarakat
adat lainnya. Marjinalisasi secara massif dengan proyek homogenitas
dengan puncaknya pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa dan juga beberapa contoh aturan lain sebagaimana di
atas. Dalam aras ini negara membuat aturan sesuai dengan alur
logikanya sendiri tanpa melirik keinginan masyarakat akar rumput.
Inilah yang diidab oleh masyarakat Minangkabau dalam tempo yang cukup
lama . Alhasil pembangunan yang, menurut Habermas, membebaskan manusia
baik dari segi ekonomi dan politik tidak pernah teralisasi dan
pembangunan terjebak dalam dialetika patologi dan jauh dari nilai-
nilai moral (Nugroho, 1997:101-105). Pertanyaan selanjutnya adalah apa
sebenanya keinginan penguasa dengan menerapkan kembali sistem
pemerintahan nagari setelah sekian lama diberhangus?
Untuk menjawab ini menarik kiranya menelusuri apa yang dirisaukan oleh
Jamra (2002). Pertanyaanya adalah apakah perubahan sistem pemerintahan
dari desa ke nagari merupakan perubahan makna, orientasi dan filosofi
dalam artian memperkuat posisi rakyat dan pelembagaan demokrasi atau
hanya sekedar perubahan istilah dalam makna ada sebuah ideologi atau
kepentingan terselubung dibalik ‘kembali ke nagari’, perlu didekati
dengan perspektif pemberdayaan. Jamra dengan mengutip (Satraprateja,
1998) melandasi pikiranya dengan pendekatan pemberdayaan
(empowerment). Ia menyatakan bahwa pemberdayaan sangat erat kaitannya
dengan pengertian power, yaitu kekuatan atau keberdayaan. Empowerment
diartikan sebagai daya untuk berbuat (power to), kekuatan bersama
(power with) dan kekuatan dalam (power within) Dari perspektif ini.
lanjutnya, akan dapat dilihat bahwa suatu kebijakan pada dasarnya
adalah hasil pergumulan dan negosiasi elit dengan rakyat, dan dari
proses tersebut akan terlihat adu siasat dan adu strategi berlangsung.
Hal ini diandaikan bahwa pemberdayaan rakyat akan terlihat dari
sejauhmana rakyat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan
bagaimana proses pelembagaan demokrasi itu sendiri.
Oleh sebab itu lanjut Jamra, dari perspektif di atas, apabila
substansi kembali ke sistem pemerintahan nagari adalah perubahan makna
filososfi, juga bila fokus menjadikan nagari sebagai unit pemerintah
adalah terciptanya kehidupan yang demokratis, partisipatif dan
emansipatif yang bersumber dari otonomi asli, maka pertanyaannya ialah
apa perbedaan substansial antara sistem pemerintahan desa dalam UU No.
22/1999 dengan sistem pemerintahan nagari; bukankah sistem
pemerintahan nagari yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah di Sumatera
Barat tetap merujuk dan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam UU No.
22/1999?. Dan bukankah prinsip-prinsip yang dijadikan dasar berpijak
Pemerintah Daerah Propinsi dalam mengembangkan kehidupan masyarakat
tidak ada bedanya dengan prinsip yang dianut oleh UU No.22/1999.
Alhasil, pemerintahan nagari yang dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau adalah nagari yang sistem, orientasi dan filosofi
pemerintahannya tumbuh dan dibentuk oleh pemerintah pusat; ia berakar
dan berpusat dari kekuasaan pemerintah nasional, bukan tumbuh dan
dibentuk dari bawah, bukan lahir dan berakar dari kesadaran kultural
masyarakat. Hal ini dipertegas bahwa sistem pemerintahan desa atau
nama lain didefenisikan sebagai ‘kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem Pemerintahan Nasional’. Pengertian desa ini kemudian
diterjemahkan oleh Pemerintah Daerah Sumatara Barat dengan nagari
sebagai ‘kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah propinsi Sumatera
Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah
yang tertentu batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan sendiri dan
mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya’.
Dari pengertian istilah desa dan nagari tidak ada bedanya; keduanya
sama-sama mengandung pengertian kesatuan masyarakat hukum yang punya
otoritas politik dan hukum dalam melaksanakan kekuasaannya. Dengan
demikian, orientasi dan filosofi mana yang dimaksud oleh Pemerintah
Daerah?. Nukilan di atas, juga menunjukkan kembalinya nagari sebagai
unit pemerintahan lokal dalam kerangka UU No.22/1999 telah menempatkan
nagari pada posisi yang dilematis; nagari di satu sisi berada dalam
wilayah kultural, milik sah masyarakat, institusi tertinggi secara
sosial dan politik, dan pada sisi inilah nagari dapat menjadi basis
pengembangan kekuatan kultural anak nagari. Namun di pihak lain nagari
juga milik pemerintah, bagian integral dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan menjadi organisasi kekuasaan terendah pemerintah, ini
berarti nagari menempatkan diri sebagai alas kaki pengembangan
kekuasaan nagara. Di sinilah sebenarnya nagari berada dalam posisi
tarik menarik antara kepentingan massa-rakyat dengan kepentingan
negara.
Melihat dasar pertimbangan serta alasan di atas, Jamra dalam sebuah
penelitiannya menyimpulkan ternyata kebijakan ‘kembali ke nagari’
bukanlah kebijakan kultural melainkan kebijakan politik penguasa sebab
sulit mempertemukan antara kebijakan pemerintah dengan keinginan
masyarakat. Soalnya logika pemerintah mengembalikan nagari sebagai
kebijakan kultural akan berbenturan dengan paradigma pemerintah
sendiri, yaitu birokratis-administrasi yang menekankan pada
efektifitas dan efisiensi, sementara kaedah-kaedah budaya dan adat
istiadat selalu menekankan pada nilai dan norma; keduanya memiliki
logika dan tujuan yang berbeda.
Hal ini bisa dipertegas lagi dengan kemunculan Perda No. 2 tahun 2007
sebagai pengganti Perda No.9 tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari
sebagai konsukuensi revisi UU No. 22 Tahun 1999. Banyak hal miris yang
ditemukan, pertama, satu hal yang sangat disayangkan dalam perda ini
adalah pemberlakuan perda ini untuk semua wilayah Sumatera Barat
padahal suku asli yang ada di Sumbar tidak hanya Minangkabau tetapi
juga Mentawai . Oleh sebab itu dalam aspek sosiologis dan filosofis
pembuatan perda ini tercederai. Kedua, pasal-pasal tentang kekayaan
nagari yang dikuasai dan dimiliki secara adat oleh masyarakat dikuasai
oleh pemerintah . Ketiga, masih munculnya kesan bahwa nagari hanya
sebagai pemerintahan administratif belaka dan tidak ada sedikitpun
bagaimana posisi pemerintahan adat. Keempat, kerapatan ada tidak
memiliki kekuatan dan ini jelas pengebirian oleh pemerintah. Karena
mereka hanya diposisikan sebagai lembaga pertimbangan. Kelima,
pertanggungjawaban pemerintahan nagari terhadap kekayaan nagari tidak
terdapat pengaturan. Yang muncul hanya pertanggungjawaban pemerintahan
nagari kepada bupati atau walikota melalui camat.
Disinilah menariknya apabila menganalisis UU No. 22 Tahun 1999 dengan
penghampiran sebagaimana yang pernah diitawarkan oleh Michel Foucault
dalam beberapa karyanya. Dalam bukunya Foucault menganalisasi tentang
teknik kekuasan. Dalam kontek pemahaman perihal UU No. 22 Tahun 1999
ini terasa menarik apabila dihampiri dengan pengampiran Focault ini.
Bagi Foucault teknik kekuasan membidik kepatuhan. Kepatuhan memiliki
makna konkrit, bagaimana secara riil dibentuk subjek-subjek yang
patuh. Dan Focault beranggapan bahwa kedaualatan bukanlah hasil dari
persettujuan individu-individu, tetapi kekuasan membentuk individu.
Selanjutnya disiplin dan kepatuhan ini dikategorikan sebagai salah
satu teknologi kekuasaan masyarakat moderen. Menariknya adalah bahwa
disiplin harus dibedakan dengan norma. Bagi Foucault norma adalah
aturan yang menyatakan nilai bersama yang dihasilkan melalu mekaniskme
acuan diri dan kelompok. Norma memungkinkan untuk perbandingan dan
individualisasi. Sedangkan sasaran disiplin adalah tubuh; disiplin
mengkoreksi dan menididik. Disiplin bisa saja dilaksanakan oleh
institusi-institusi yang sudah terspesialisasi atau institusi yang
menggunakan disiplin sebagai sarana mencapai tujuan, atau oleh
instansi yang menggunakan disiplin sebagai sarana untuk semakin
memperkuat dan mengorganisasi kekuasaan atau oleh aparat yang
menggunakan disiplin sebagai prinsip berfungsinya organisasi.
Yang menjadi objek teknologi politik ini adalah semua yang dihukum,
orang gila, anak-anak, murid-murid, penduduk, mereka yang terlibat di
dalam produksi dan yang semua yang perlu dikontrol. Dan ini dinamakan
dengan metode panoptic. Panoptic adalah gambaran pengawasan menyeluruh
dan total. Jadi dalam kontek ini kuasa tidak berjalan dalam kontek
intimidasi dan ekspresif tetapi pertama-tama berjalan melalui aturan-
aturan dan normalisasi dan kuasa yang lebih ditekankan disini adalah
bagaimana kuasa dipraktekan dan bagaimana kuasa berhubungan erat
dengan pengetahuan. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya
tidak adal kuasa tanpa pengetahuan.(Basis, No.01-02 tahun ke 51,
2002). Dan jangan-jangan, kalau boleh curiga, otonomi daerah
sebenarnya adalah wujudnya sebagaimana yang disampaikan oleh Foucault.
Dalam lokus ini bisa ditarik terhadap penerapan UU No. 22 Tahun 1999,
sebagai sebuah diskursus (discourse). Pengetahuan akan UU tersebut
bukanlah pengetahuan yang objektif dan netral tetapi pengetahuan yang
diproduksi oleh negara demi kepentingan status quo yang bergerak lurus
dengan kepentingan kapitalistik mondial. Melalui penerapan ini Negara
menerapakan sistem kontrolnya pada rakyat demi kepentingan pembangunan
atau kekhawatiran anarkisme pada rakyat yang melakukan unjuk rasa atau
rapat umum. Inilah kemungkina hubungan hegemonik dan domininasi negara
terhadap masyarakat. Makanya segala bentuk diskursus UU No. 22 Tahun
1999 tidak member jaminan dan kekuatan akan terjaminnya kebebasan
berkeskpresi masyarakat malah membuka peluang penghancuran atas segala
hak dasari manusia. Kesimpulanya adalah bahwa diskursus UU No. 22
Tahun 1999 merupakan bentuk pendominasian negara terhadap masyarakat
melalui mekanisme intelektual, politik dan hukum. Berbeda dengan Marx
yang memandang kekuasaan terletak pada negara dan kelas, namun
Foucault lebih cenderung memahami bahwa baginya relasi kekuasaan
terdapat pada setiap nafas kehidupan. Dengan metode yang ditawarkan
Focault ini lebih memberi kemungkinan pada kita membongkar segala
bentuk relasi dan dominasi kekuasan yang terdapat dalam setiap praktek
kehidupan ini yang terejawantah dalam segala bentuk produk hukum.
Karena bagi Foucault jika kita menggambarkan semua fenomena kekuasaan
sebagai sebuah ketergantungan pada aparat negara, ini artinya
menumbuhkan mereka sebagai suatu yang secara esensial represif;
angkatan bersenjata sebagai sebuah kekuaasan yang mematikan, polisi
dan keadilan sebagai instansi-instansi penghukum dan lain sebagainya.
Nah, dalam kontek, tetap mengamini Jamra, kalau nagari dipahami
sebagai instrumen bagi tumbuh dan berkembangnya suatu demokrasi, maka
mengembalikan nagari dalam struktur kekuasaan perlu pendekatan yang
hati-hati. Karena konsep nagari itu sendiri sesungguhnya bukanlah
pengertian dalam bentuk kekuasaan politik seperti negara atau pun
desa. Nagari dalam sejarnya di Minangkabau lebih dekat pada konsep
budaya. Untuk itu dalam mengartikulasikan nagari dalam sebuah
pemerintah tidak melakukannya dengan gegabah, kalau tidak hati-hati,
maka yang akan timbul adalah konflik yang mungkin sulit untuk di
atasi. Dan yang lebih penting lagi adalah agar nagari tidak mejelma
dalam bentuk kekuasaan politis yang akan menghancurkan demokrasi itu
sendiri. Kemungkinan ini bisa saja terjadi, karena nagari dalam
sejarahnya merukan negara kecil yang memiliki otonomi dan tak punya
hirarkhi secara vertikal dengan yang lebih tinggi. Artinya nagari
tidak punya keterkaitan secara politis dengan nagari-nagari yang lain
apa lagi tingkat yang kita kenal dengan istilah dengan kecamatan,
kabupaten atau propinsi.
Dalam hal ini dapat dibenarkan apa yang disampaikan oleh Geoff Mulgan
(Pontoh;vii:2005) terhadap paradok demokrasi. Mulgan menyatakan
Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi.
Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan
oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karir untuk
menambang keuntungan finansial?. Kedua, prinsip-prinsip demokrasi
seperti keterbukaan, kebebasan dan kopentensi juga telah dibajak oleh
kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan
untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan
untuk berinvestasi bagi perusahan multinasional, kompetisi dimaknai
sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya. Ketiga, media
yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihatan media mengemas opini
publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung
menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan
terpinggirnya “partisipasi langsung” dan “kedaulatan langsung” rakyat.
Alhasil negara berada pada posisi dilema, pasar (kapitalisme) mulai
mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi , ia mulai
menyiasati demokrasi. Lalu munculah makhluk lama dengan baju yang
baru: neoliberalisme. Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul, lalu
menjalankan taktik “silent takeover”.
MENGAKHIRI SIKLUS BENTUK NAGARI: MUNGKINKAH?
Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah nagari diasumsikan sebagai
titik akhir dari proses interaksi panjang masyarakat dalam pemenuhuan
kebutuhan mereka atau nagari sebagai produk negara yang setiap masa
akan mengalami perubahan sebagaimana dijelaskan di awal. Padahal
keduanya ‘mengklaim’ atas nama demokrasi. Atau apakah ada alternatif
lain yang terfikirkan yang mencoba keluar system pemerintahan nagari
sebagai satu-satunya jalan dalam mengwujudkan demokrasi baik oleh
rakyat atau oleh negara. Karena ketika kedua belah pihak mengunakan
pardigma yang berbeda dalam melihat sesuatu, alhasil pertikaian dan
konflik yang terjadi. Karena menurut Wahono ( 2000: 38) Jika suatu
lembaga merupakan buah hasil interaksi rakyat, yang akan terjadi
adalah pengkultusan institusi, romantisasi, dan revitalisasi.
Sebaliknya, bila institusi adalah hasil bikinan penguasa, ia tidak
lebih merupakan rekayasa sosial dan akan menjadi objek untuk
pembaharuan. Apalagi hari ini dengan kondisi bangsa sebagaimana yang
disamapaikan oleh Arbi Sanit, dalam suatu pengantar, memaparkan bahwa
trend global dengan mengusung liberalisasi ekonomi di Indonesia masih
merupakan ancaman bagi rakyat yang berkondisi lemah, karena penguasa
dan negara tidak mandiri dan tampil sebagai penkoreksi yang objektif
(adil). Negara malah menikmati sendiri konstribusi permainan kuat
pasar. Karena ketidakmadirian penguasa, pemerintah dan negara itu
tidak saja dalam permainan yang sehat di antara pemain pasar nasional
dengan rakyat, akan tetapi juga antara pemain pasar global dengan
permainan pasar nasional bersama masyarakat. Maka kebebasan bagi
segenab rakyat tidak mampu dijamin dan direalisasikan oleh penguasa
dan pemerintah yang mendominasi negara sekalipun.
Terlebih lagi, khususnya segenerasi dengan penulis, ada mata rantai
yang terputus dalam banagari, dimana satu generasi telah diputus
dengan sistem pemerintah desa. Sehingga genarasi sekarang baru hanya
mendegar cerita tanpa merasakan bagaimana suasana batin bernagari,
atau bagaiamana mekenisme bernagari. Tentu saja mereka tidak tahu
(tidak mau tahu?) persis kerena mereka tumbuh-kembang bukan dalam
sistem pemerintahan nagari. Jadi dalam kondisi ini yang lahir dalam
bernagari adalah ketidakmenentuk dan ketidakjelasan sosok nagari, dan
bagaimana menformulasikan baliak bangari. akibatnya masyarakat
terstruktur dengan pola yang dibuat/ditawarkan oleh pemerintah. Di
timpali oleh sebagaian masyarakat, yang tidak, mengikuti alur pikiran
Yasraf (2005:351), memikirkan bahwa proses kembali kenagari sebagai
sebuah proses perubahan kutural secara lebih luas, sehingga perhatian
dalam bernagari lebih dipusatkan pada bagaimana segmentasi-segmentasi
kekuasaan otonom yang terbentuk mengurusi wilayah dan sember daya
alamnya secara otonom, yaitu dengan membuat rencana pengaturan, dan
manejemen sendiri. Kecenderungan seperti ini mengandung berbagai
bahaya, seperti berkembangnya egoism kelompok, primodialisme sempit,
lunturnya toleransi antar kelompok dan budaya. Inilah ,mungkin, akhir
dari riwayat nagari di masa sekarang. Atau jangan-jangan banagari ini
hanyalah mitos yang mesti dipertahankan karena Tanpa mitos setiap
kebudayaan akan kehilangan kekuatan alami kreativitasnya; hanya sebuah
cakrawala yang dibatasi oleh mitos-mitos yang dapat menuntaskan dan
menyatukan seluruh pergerakan kebudayaan. Hanya mitos yang
menyelamatkan semua imajinasi dan impian Apollonian dari pengembaraan
tak berujung. Paling tidak itu yang disampaikan Friedrich Nietzsche
(dalam Stanley J.Grenz, 2001:152).wallahu’alam bishawab


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke