Dalam masyarakat Minang dikenal beberapa ungkapan/mamang: di ma bumi
dipijak/di sinan langik dijunjuang/di sinan aia di sauak;

di kandang kambiang kito mambebek/di kadang harimau kito mangaum; bialah
panguih baluluak/asa tanduak lai makan. Atau ungkapan yang lebih vulgar:
daripado bacakak jo galang-galang/bialah bacakak jo urang atau kalau tapaso
bana hala maambiak arato urang.  


Bagaimana realitas pragmatisme urang Minang kini? Apa juga
menggadaikan/menjual sikap-pendirian, istiqomah/kebersiteguhan atas
sikap-pendirian, dan integritas/harga diri?DALAM pemahaman Cucu Magek Dirih,
di ma bumi di pijak/di sinan langik dijunjuang/di sinan pulo aia disauak (di
mana kita berada, di situ kita berkehidupan, dan mencari rezeki yang halal
dan baik). Ini petuah yang diberikan para tetua kepada anak/kemenakan yang
akan pergi merantau (meninggalkan kampung halaman/manjajak nagari urang),
agar pandai-pandai membawakan diri/mengira-ngira apa yang akan dilakukan.
Ini lebih menekankan prinsip tahu diri dan beradaptasi sebagai bagian upaya
keberadaan dan survive/kelansungan berkehidupan untuk.

Kalau ungkapan "di kandang kambiang mambebek/di kandang harimau mengaum",
adalah bentuk menempatkan diri secara lebih ketat/sempit dengan pilihan yang
terbatas dalam hal memposisikan diri secara dinamis dan mempertimbangkan
ruang/waktu. Di "kandang kambiang" dan atau "di kandang harimau", ungkapan
keterbatasan keberadaan seseorang dalam ruang/waktu/posisi. Sedangkang
ungkapan "bialah panguik baluluak/asa tanduak lai makan" adalah berhadapan
dengan situasi keterpaksaan seseorang demi mencapai tujuan utamanya. Biarlah
bersusah-payah/mengorban sebagian asal "nan dimukasuik sampai/nan di ama
pacah" (maksud yang lebih utama tercapai). Lalu, apakah ungkapan-ungkapan
demikian menggambarkan daya adaptasi etnis Minang sangat maksimal demi
mencapai tujuan!? Apakah hal itu yang disebut para pakar sebagai pragmatisme
etnis Minang!? Apakah pragmatisme Minang itu perbuatan tercela/buruk!?

MUNGKIN istilah pragmatisme ini tidak sepenuhnya tepat dinisbahkan kepada
etnis Minang atau mungkin lebih tepat istilah realistis. Sebagai seorang
Minang Cucu Magek Dirih tak bersenanghati disebut pragmatis dalam bersikap -
mungkin lebih kena dalam pakaian/prakek berdagang/pragmatis sebagai taktis
dan bukan strategi. Saat berdiskusi dengan rekan sekerja semasa masih
bekerja di Harian Pagi Kompas Jakarta (1979-1991), Saudara Maruli U. Tobing,
ketika meliput daerah provinsi Sumatera Barat setelah diumumkan Mendagri
menerima anugerah pembangunan nasional lima tahunan Prasamya Purnakarya
Nugraha dari Presiden Soeharto (1983), kami memperdebatkan istilah
pragmatisme etnis Minang. Salah satu faktor keberhasilan pembangunan di
daerah provinsi Sumatera Barat adalah karena begitu besar dana pusat
mengalir ke daerah ini.

Maruli U. Tobing seorang sosiolog. Wartawan yang satu ini ogah bertemu
dengan pejabat pemerintahan. Ia lebih suka langsung melihat kehidupan rakyat
dan berbicara dengan rakyat. Setelah berbicara dengan sejumlah tokoh -
termasuk tokoh skala nagari, pakar, dan rakyat, di beberapa tempat yang kami
datangi/kungkungi, muncul istilah egaliterian - yang sudah dipopulerkan
sosilog Muchtar Naim Ph.D, dan istilah pragmatisme. Istilah tersebut kami
nisbahkan pada kecenderungan Gubernur Sumatera Barat (waktu itu) Mayjen TNI
Ir. H. Azwar Anas Dt. Rajo Sulaiman yang selalu mengatakan haqqul yaqin
terhadap Pemerintah/Presiden Soeharto, dan karena itu pula daerah Sumatera
Barat mendapat kucuran dana Anggaran Pendaatan dan Belanja Nasional (APBN)
dan Inpres serta bantuan presiden lainnya, yang terbukti
mengakselerasi/mempercepat pembangunan daerah Sumatera Barat.

Sebetulnya, walaupun yang menerima penghargaan tertinggi pembangunan
Indonesia waktu itu adalah Gubernur Azwar Anas, seperti (waktu itu)
dikatakan Prof Hendra Esmara, ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas
Andalas (FE-Unand), kepada Cucu Magek Dirih, di masa pemerintahan Azwara
Anas (1977-1987) terjadi decline pembangunan bila dibandingkan increasi
pembangunan di era Gubernur Harun al-Rasyid Zain Dt. Sinaro (1966-1977).

Sebagai daerah bekas kalah perang pasca Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI), daerah Sumatera Barat hancurlebur - bahkan pikiran/mental
sebagian besar masyarakatnya dihimpit penyakit orang kalah. Wajah tertunduk,
merasa tak lagi punya harapan/khormatan hatta hilang harga diri. Ada
sebagian rakyat mengganti nama anak mereka dengan nama Jawa. Itulah sebab,
Harun Zain menganggkat tema "mambangkik batang tarandam" (membangkit
harkat/martabat/harga diri yang sudah runtuh/terbenam dalam lumpur) dengan
dua pendekatan: kesatu, meyakinkan pemerintah pusat bahwa orang
Minang/Sumatera Barat sudah takluk dan menyerah bulat-bulat; dan kedua,
diam-diam membangkitkan kembali harga diri dengan berbagai cara/pendekatan
pula. Di antaranya, merobohkan simbo-simbol tentara pusat di nagari-nagari
melalui menyuruh rakyat membuatan pagar saat memperingati Proklamasi 17
Agustus dan merobohkan tanda/batas penguasaan tentara pusat di Sumatera
Barat. Memang sampai kini masih tersia sejumlah aset Sumatera Barat yang
masih "dikuasai" tentara pusat.

Begitulah Gubernur Harun Zain Dt. Sinaro akhirnya sukses membangun
kembali/memperbaiki infrastruktur dan merebut dana pusat sebanyak-banyaknya
- bialah panguih baluluak asa tanduak lai makan. Di mata presiden Soeharto
pula, Harun Zain sukses sebagai orang yang dipercayainya. Salah satu
strategi Gubernur Harun Zain, melibatkan kekuatan kepakaran dari
Unand/(waktu itu) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) - kini
Universitas Negeri Padang (UNP)/Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam
Bonjol Padang, bersama berbagai eksponen stake holders di Sumatera Barat
(ulama dan niniak-mamak/cadiakpandai/bundo kanduang). Apa yang dilakukan
Harun Zain masih dilanjutkan oleh kadernya, Gubernur Azwar Anas. Hanya saja,
di masa Gubernur Hasan Basri Durin strategi itu sudah ditinggalkan - sampai
masa pemerintahan Gubernur Gamawan Fauzi sekarang. Buahnya, Prasamya Purna
Karya Nugraha diberikan secara berturut-turut ke Sumatera Barat di masa
pemerintahan gubernur Azwar Anas dan kelanjutannya masa gubernur Hasan Basri
Durin.

PRAGMATISME - apa pun namanya, bagi siapa pun etnis Minang tentu tetap ada
batasan dan harga yang tidak dapat dijual/digadaikan - apalagi bagi mereka
yang berada pada posisi jadi panutan masyarakat banyak/tokoh/pemimpin! Orang
Minang mengutamakan moral (adat basandi Syarak/syarakak basandi
Kitabullah/Syarak mangato/adat mamakaikan. Orang minang juga mementingkan
itegritas/dignitas. Orang Minang, walau pandai
berdiplomasi/mangaliciak/berkelit, tetaplah mementingkan keterpandangan di
tengah masyarakatnya. Keterpandangan atas kebersikapan/keberpendirian dan
kebersiteguhannya pada sikap/pendiriannya. Moralitas/integritas/dignitas
dipandang tinggi/harga seseorang yang tidak boleh terjual/tergadai. Apalagi
soal yang berkaitan dengan agama dan adat nan sabana adaik nan indak lapuak
dek ujan/indak lakang dek paneh. Indak ka tajaua bara pun juo dibali/indak
ka tagadai ba pun juo sulik nyo iduik.

Rupa-rupanya, orang Minang disifatkan dalam empat jenis prediket/memakaikan
perbuatan terkenal dalam masyarakat kita dengan "urang nan ampek jinih":
pangulu; manti; mualim; jo dubalang. Sia nan pangulu, sia nan manti, sia nan
mualim, jo sia nan dubalang? Kita dapat memahaminya, bahkan etnis Minang
memakainkan sifat pangulu walaupun bukan pangulu, sifat manti walaupun ia
bukan menjabat manti, sifat mualim walau ia tak jadi mualim, dan dubalang
walau ia bukan seorang dubalang - posisinya pangulu/manti/mualim menampilkan
pakaian dubalang. Pangulu adalah rajo dalam kaumnya. Manti adalah
cadiak-pandai yang selalu berpikir/memecahkan masalah kaumnya - kata-katanya
berdengar/berpengaruh dan apa yang disarankannya kepada pengulu akan
dilaksanakan dalam kaum. Mualim, suluah bendang dalam nagari. Dubalang
adalah orang-orang nan disuruah/disarayo (melaksanakan perintah pangulu).
Konon, dubalang berasal dari urang (didapat) di jalan, lalu diangkat jadi
kemenakan di bawah lutuik.

Rupa-rupanya, mereka yang melaksanakan perintah - yang berada di bawah raja,
lonjak-lonjaki ndak jadi pangulu dan atau nak jadi manti dan atau nak jadi
mualim - selamanya subalang tidak dapat menjadi panhulu/manti/mualim.
Menjadi perdebatan, apakah pegawai negeri sipil/aparatur adalah dubalang!?
Yang pasti adat panghulu/manti/mualim sama sekali bukan disuruah/disarayo. 

Kalau pun di masa penjajahan belanda panghulu diminta memungut pajak dari
warga kaum, itu justeru dapat dipandang sebagai menghormati posisi penghulu
- penjajah Belanda bermitra dengan niniak-mamak. Pasca kekalahan PRRI,
Kowilhan I SUmatera/Kalbar dan Kodam III 17 Agustus mengakomodasi para ninik
mamak dan ulama dalam satu wadah yang dibuat untuk itu pun masih dapat
dipandang sebagai menghormati posisi para ulama dan posisi niniak-mamak -
sekaligus "mengendalikan/membatasi" mereka.

MUNGKIN, ada saat kita memang memposisikan diri jadi dubalang (orang yang
disuruah/disarayo atau melaksanakan - pegawai/bermental pegawai) yang selalu
ingin naik ke jabatan yang lebih tinggi. Karena itu, kita selalu berharap
untuk mendapat/gamang ka buluih. Dalam keadaan tertentu kita
menjual/menggadai diri - lupa dengan etik/moral dan integritas/dignitas.
Bahkan, sebagian kita akan mencemooh orang-orang yang masih
beretika/bermoral dan masih berintegritas/dignitas. Moral orang
tergadai/terjual, tidak lagi mementingkan etika/moral dan sikap/pendirian
dan kebersikapan serta kebersiteguhan dengan sikap/pendirian - apalagi
dignitas/harga diri. Kita akan memandang tidak perlu lagi memperdebatan
sikap/pendirian, kebersikapan/keberpendirian/bersiteguhan atas sikap
pendirian, dan yang penting mendapatkan apa yang diinginkan (oleh yang
bersangkutan/kelompoknya). Kita mungkin masih orang Minang, tapi, mungkin
sudah tidak tahu di adat!?

Sudah jamak di lingkungan kita, melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan
lagi etika/moral, sikap/pendirian, danistiqomah/bersiteguh dengan sikap dan
pendirian - walau langit akan runtuh, serta integritas/dignitas. Ada yang
berteriak dengan suara keras melalui satu barisan "perjuangan", hanya agar
suaranya didengar dan kemudian mereka berharap kehendaknya dipenuhi. Kalau
sudah dapat - sebetulnya yang bersangkutan bertindak desersi/berkhianat pada
garis/barisan perjuangannya. Toh mereka merasa berhasil/hebat dan tanpa rasa
malu berfoya-foya/menikmati posisinya atau "keberhasilan/kehebatannya".
Tidak terpikir oleh dia/mereka ada perasaan yang terluka/ada korban yang
bergelimpangan. (***)

* H. Sutan Zaili Asril
http://www.padangekspres.co.id/content/view/36778/56/
Minggu, 24 Mei 2009


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Reply via email to