Tambah pantunyo ciek dari khasanah pantun lamo ambo:

Marakiak Koreta Padang
Manyauik Koreta Solok
Mamakiak Dagang nak pulang
Bajulah barek dek panumbok ...

Salam,
--MakNgah
Sjamsir Sjarif

--- In rantau...@yahoogroups.com, "Nofend St. Mudo" <nof...@...> wrote:
>
> 
> Titipan Kawan (Haris Abang)
> http://www.facebook.com/note.php?note_id=181608075023
> 
> KURETA SOLOK
> 
> Hari ini jam 20:54
> 
> PADA suatu masa, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, lagu-lagu Minang pernah
> berjaya dan menjadi lagu populer di penjuru Tanah Air. Penggemarnya tak
> hanya orang Minang tetapi juga warga provinsi lainnya bahkan sampai ke
> penduduk semenanjung Malaysia. Publik pun dibuat akrab dengan nama-nama Elly
> Kasim, Nuskan Syarief, Lily Syarief atau Tiar Ramon.
> 
> Tentu nama-nama diatas hanya akrab bagi telinga penduduk Sumatera Barat
> saja. Secara nasional, orang hanya mengenal segelintir lagu dan satu dua
> nama penyanyi seperti "Teluk Bayur", sebuah lagu yang dipopulerkan Erni
> Djohan, berkisah tentang seorang yang akan pergi merantau dan harus berpisah
> dengan semua yang dicintainya di pelabuhan Teluk Bayur. Ada juga "Ayam Den
> Lapeh" yang diartikan sebagai kehilangan kekasih dan bisa didengar di corong
> radio-radio Indonesia saat itu lewat suara biduan Elly Kasim. Elly juga
> mahsyur lewat "Barek Solok" yang merupakan testimoni dalam tradisi seni
> bahwa masakan Padang atau beras Solok tak hanya enak dimakan juga enak
> didengar.
> 
> Seperti watak lagu dangdut yang bersedih-sedih sampai mati karena cinta,
> lagu Minang juga terkenal dengan karakter muramnya. Begitu banyak lagu
> diciptakan mengangkat tema kesedihan cinta. seperti lagu "Rintihan di Hari
> Sanjo", ciptaan Rustam Raschani yang dipopulerkan Wati Yusuf di tahun 1978.
> Dalam lagu ini, seorang pendengar bisa mendapatkan bayangan tentang seorang
> pecinta yang hatinya senantiasa terlanda pedih saat hari beranjak senja.
> Saat langit menjadi merah saga karena itu mengingatkannya pada orang yang
> dicintainya.
> 
> Tapi tak semua bertemakan cinta antara anak manusia. Lebih banyak lagi lagu
> yang didedikasikan pada kampung halaman dalam konteks pelepas rindu terutama
> bagi kaum perantau. Dulu semua radio di memutar lagu "Kampuang Nan Jauh Di
> Mato". Lagu yang bercerita tentang kerinduan pada kampung halaman yang telah
> ditinggalkan. Kini lagu ini dengan mudah kita dengar jika naik mobil Patas
> di jalanan Jakarta. Pengamen (atau seniman jalanan) yang cerdik membawakan
> lagu-lagu tradisional daerah untuk mengumpulkan uang lebih banyak lagi
> dengan memanfaatkan perasaan hati kaum perantau yang dilanda rindu kampung
> saat mendengar lagu asal daerah mereka dimainkan.
> 
> Kerinduan pada kampung halaman dalam lagu Minang dilalukan lewat tema-tema
> alam yang permai, gunung yang hijau, sungai tempat mandi dulu atau mande
> (ibunda) di kampung yang menjadi tema abadi sebagai perwujudan perasaan
> terdalam dari semua kerinduan. Siapa sangka dibalik "tema kebanyakan" ini,
> ada lagu yang secara nasional tidak seflamboyan "Kampuang Nan Jauh Di Mato",
> namun kemegahan nostalgis yang dibangkitkannya begitu dalam bagi publik
> Sumatera Barat (urang awak) yang mendengarnya. Lagu itu berjudul "Kureta
> Solok" dan dari judulnya setiap kita bisa menebak ini pasti ada sangkut
> pautnya dengan sosok kereta api.
> 
> Kereta api dalam lagu
> 
> Kureta Solok adalah lagu perpisahan sekaligus kerinduan. Ia bercerita
> sepasang kekasih yang berpisah di stasiun kereta api. Agaknya si gadis yang
> melepas si tuan mudanya. Katanya pada sang penguasa hatinya itu, "Kok isuak
> tuan taragak, Pandanglah langik dihari sanjo" yang kira-kira berarti "Jika
> esok hari Tuan merasa rindu, pandanglah langit di hari senja".
> 
> Seiring kata-kata sang gadis, berpisahlah mereka berdua. Mesin mulai
> berjalan. Bunyinya menderam berat. Peluit masinis menjerit. Asap hitam
> membumbung tinggi ke langit dan kereta batu bara pun mulai berjalan. Stasiun
> adalah tempat berpisah. Perpisahan yang menguji cinta mereka. Cinta yang
> dibawa orang yang pergi.
> 
> Bicara tentang lagu yang ada kereta apinya, paling kita cuma ingat lagu
> kanak-kanak berjudul "Naik Kereta Api". Lagu yang mengingatkan kita pada
> kenangan manis kecil dahulu walaupun pasti ada dari kita yang tak pernah
> naik kereta api di waktu kecil. Secara psikologis, pernah naik atau belum,
> lagu ini mewakili perasaan hati dewasa kita akan momen berbahagia saat masih
> bocah. Saat kita berpesiar bersama orang tua ke Bandung atau Surabaya dan
> siapapun hendak turut, bolehlah ikut dengan percuma karena bahagianya hati
> kita saat itu dan kita ingin seisi dunia juga ikut bahagia.
> 
> Jelas "Naik Kereta Api" adalah sejenis lagu kanak-kanak riang yang bisa kita
> dengar dalam momen-momen seperti acara perpisahan atau ulang tahun seorang
> murid di Taman kanak-Kanak. Sedangkan lagu Kureta Solok adalah adalah lagu
> dewasa yang berat. Kureta Solok adalah lagu yang bercerita di suatu zaman
> saat kereta api masih ada di bumi Minangkabau, digunakan khayalak saat itu
> sebagai alat berpergian. Keberadaan kereta api yang disebut "kureta" oleh
> lidah setempat pun menjadi inspirasi tersendiri oleh seniman Minang untuk
> mengubah lagu yang berlatar kereta api.
> 
> Kureta Solok mengambil waktu di zaman kuno nun jauh ke masa silam. Mendengar
> Kureta Solok kita dapati si gadis yang sedang melepas kekasihnya yang akan
> pergi jauh menumpang naik kereta api disuatu stasiun. Lagu yang berkisah
> tentang peristiwa historis dimana Belanda dulu pernah membangun rute
> kolonial di Sumatera. Rute yang menghubungkan kota Padang, kota terbesar
> koloni Belanda di Minangkabau saat itu ke terminus kota tambang batu bara
> Sawahlunto di pedalaman. Sampai kolonial sudah diusir keluar dari Sumatera,
> Mak Itam tetap dipertahankan untuk melayani masyarakat saat itu bepergian
> dari dan ke beberapa kota Sumatera Barat. Rel yang berjalan dari Padang yang
> terletak di pinggir air lautan di barat sana menuju kota-kota pedalaman yang
> lain seperti Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan Solok.
> 
> Tahun 1982, lengkingan Mak Itam berhenti terdengar. Lokomotif uap yang hitam
> agung itu digantikan oleh kawannya yang lebih modern. Kereta api penumpang
> pun tak ada lagi. Pemerintah Sumatera Barat hanya mengoperasikan satu jenis
> kereta api saja yakni lokomotif diesel yang menjadi alat angkut batubara
> dari Sawahlunto ke Pelabuhan Teluk Bayur Padang untuk selanjutnya di kirim
> ke pabrik Semen Indarung di kota Padang. Mak Itam lalu dikirim ke kota
> bernama Ambarawa nun di Jawa sana. Di tanah asing ia berdiri sedih dan
> menjadi kelabu.
> 
> Rute Mak Itam pun menghilang dimakan waktu. Jika Tuan sudi berjalan dari
> Bukit Tinggi ke Payakumbuh, tampak di sebelah bahu jalan, jalur Mak Itam
> sudah dibongkar habis tak bersisa berubah jadi fondasi rumah penduduk,
> warung kopi atau kios penjaja buah tangan lokal. Dari kota kecil Sicincin
> yang terletak di kaki Gunung Tandikek, besi rel bergigi Mak Itam yang
> menanjak naik ke Padang Panjang di ketinggian sana lenyap di rimbunan rimba
> dan lebat ilalang Lembah Anai. Memasuki stasiun Padang Lua menuju Bukit
> Tinggi, besi relnya hilang sudah diambil maling.
> 
> Kembalinya Mak Itam
> 
> Syukurlah sebagian dari yang hilang itu kini sebagian kembali. Berawal dari
> berdirinya Museum Kereta Api di Sawahlunto dan komitmen memajukan industri
> pariwisata Sumbar, sebuah komunitas yang menamakan diri Masyarakat Peduli
> Kereta Api Sumatra Barat atau MPKAS bersama Pemerintah Kota Sawahlunto,
> sejak empat tahun lalu berjuang mengembalikan Mak Itam kembali ke daerah
> yang dilayaninya. Persetujuan pun datang dari PT Kereta Api dan Propinsi
> Jawa Tengah. Akhirnya setelah lama diam termenung di Museum Kereta Api
> Ambarawa, 4 Desember 2008, seperti perantau urang awak yang lama di tanah
> orang, Mak Itam pulang kampung ke Ranah Minang. Amboi lihatlah Tuan semua,
> Mak Itam sudah segeh (gaya) benar. Pada Sabtu, 21 Februari 2009, Bapak
> Menteri Perhubungan dan serangkaian pejabat dari ibukota berkenan datang
> melihatnya. Tuuiiit tuiiit, terdengar benar senang hati suaranya. Hari itu,
> rute hilang telah dihidupkan kembali.
> 
> Mak Itam bagi orang Minang serupa kain bugis yang tergadai. Lama di tangan
> orang, kini ditebus kembali. Kita lihat hari ini kain yang sudah lama
> dilipat dalam peti dibuka kembali. Dari Simpang Haroe, kain itu dibentangkan
> dan terus membuka sampai ke Stasiun Tabing terus ke Stasiun Loeboek Boeaya
> terus ke Pasa Oesang, berjalan lagi ke Loeboek Aloeng, dari Sicincin naik ke
> Lembah Anai dan sampai ke kota Padang Panjang untuk selanjutnya memutar ke
> kanan menderu khidmat di tepian danau Singkarak yang permai menuju Stasiun
> Kampoeang Teleng, Sawah Loento, terminus di jantung Sumatera. Dalam bahagia
> perasaan, terasa benar megah syair lagu Kureta Solok melihat Mak Itam gagah
> berjalan di atas rel besi. Terkenang kembali suasana zaman tempo dulu. Saat
> anak dara Minang berjanjian di stasiun melepas Uda terkasih (atau Mas
> menurut lidah Jawa) berangkat ke negeri seberang naik kapal laut. Untuk
> mencapai Teluk Bayur, pelabuhan semua orang Minang saat itu, sang Uda pun
> menumpang naik kereta api.
> 
> Semoga dengan dioperasikan kembali rute Padang-Panjang menuju Sawah Lunto,
> sebagian dari kenangan lama ini bangkit kembali. Menginspirasi kaum seniman
> mengubah nyanyian lebih elok lagi dan dengan itu sejuta kenangan pun
> tercipta. Kenangan saat di atas bumi Minangkabau masih berjalan kereta api.
> Secuplik episode dari sejarah panjang perkereta-apian Nusantara, sejarah
> negeri kelahiran yang kita cintai dan Kureta Solok bersaksi untuk semua
> keindahan itu.
> 
> Berikut lirik lagu KURETA SOLOK yang dipopulerkan biduan mahsyur urang awak,
> etek Elly Kasim
> 
> Babunyi kureta Solok
> Manyauik kureta Padang
> Nan pai hati tak elok
> Urang nan tingga darah tak sanang
> 
> Berbunyi kureta Solok
> Menyahut kureta padang
> Yang pergi hatinya tak tenang
> Orang yang tinggal darahnya tak senang
> 
> Badaram badatak datak
> Malapoh bunyi masinnyo
> Kok isuak tuan taragak
> Pandanglah langik dihari sanjo
> 
> Berderam mendetak-detak
> Malapoh bunyi mesinnya
> Jika esok tuan merasa rindu
> Pandanglah langit di hari senja
> 
> Hilang dibaliak bukik
> Asok mambubuang tinggi
> 
> Hilang dibalik bukit
> Asap membumbung tinggi
> 
> Kureta ba batu baro
> Taksiun tampek baranti
> Bapisah mauji cinto
> Cinto dibaok urang nan pai
> 
> Kureta nan membawa batu bara
> Stasiun tempat berhenti
> Berpisah menguji cinta
> Cinta dibawa orang nan pergi
> 
> Hilang dibaliak bukik
> Asok mambubuang tinggi
> 
> Hilang dibalik bukit
> Asap membumbung tinggi
> 
> tulisan ini saya posting disini semoga menjadi sambung rasa antara semua
> pecinta kereta api Nusantara khusunya anggota Kompak dan MPKAs Sumbar
> 
> wassalam
> 
> Haris Abang pada 28 Mei 20:55
> oh iya tulisan ini alhamdulillah dimuat di Majalah Kereta Api-sebuah majalah
> komunitas pecinta kereta api Nusantara edisi Mei 2009



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke