Selamat dan Terima kasih Bung Indra J. Piliang

Ambo Sangat tertarik dan mendukung sekali dengan rencana penerbitan catatatn 
harian dari Bung IJP, beberapa catatan sejarah memang perlu di sampaikan kepada 
rakyat Indonesia ini sebagai bagian dari pembelajaran dan pendidikan politik 
rakyat Indonesia (selama ini beberapa fakta belum teruangkap dengan 
sejujur-jujurnya dan selengkap-lengkapnya) mungkin karena ada pertimbangan dan 
kepentingan sekelompok atau pihak-pihak tertentu.  Selama ini rakyat Indonesia 
di ajarkan bahwa nasionalisme lebih di ukur dari orasi-orasi yang disampaikan 
secara berapi-api di depan rakyat kita, bukan dari tujuan di balik Sepakterjang 
(pemikiran dan tindakan-tindakan nyata) yang dilakukan yang menyebabkan 
kontroversi yang di "opinikan" menjadi suaranya Rakyat.  

Sekali lagi Selamat Bung IJP dan Maju Terus, Semoga hari esok jauh lebih baik 
dari sekarang

salam


Damsir Chaniago - Jambi

--- On Mon, 7/13/09, Indra Jaya Piliang <pi_li...@yahoo.com> wrote:

> From: Indra Jaya Piliang <pi_li...@yahoo.com>
> Subject: [...@ntau-net] Indra J. Piliang: Pak Wiranto yang Saya Kenal
> To: RantauNet@googlegroups.com
> Date: Monday, July 13, 2009, 1:01 AM
> 
> 
> Indra J. Piliang: Pak Wiranto yang Saya Kenal 
> 
> Sebagai aktivis mahasiswa, sejak masuk UI tahun 1991, saya
> mengenal Wiranto sudah lama. Ya, hanya mengenal. Ketika
> menjadi wartawan kampus, Majalah Suara Mahasiswa UI, kami
> sempat mewawancarai Hendro Priyono, Pangdam Jaya. Waktu
> Wiranto menjadi Kasdam. Kalau saya tidak salah ingat,
> Wiranto waktu itu berdiri di belakang Hendro. 
> 
> Di kalangan aktivis mahasiswa waktu itu berkembang dua
> versi tentara. Satu kelompok adalah tentara merah putih
> dengan Wiranto sebagai dedengkot. Satu lagi adalah tentara
> hijau yang didedengkoti oleh Hartono. Pada waktu gerakan
> mahasiswa 1998, kelompok Wiranto di mata mahasiswa
> berhadapan dengan kelompok Prabowo Subianto. 
> 
> Yang banyak berhubungan dengan para jenderal ini adalah
> Fadli Zon. Dia teman baik saya di kampus. Tetapi, ketika dia
> bergabung dengan Hartono dan Prabowo membuat sebuah lembaga
> think tank, kami tidak pernah lagi berhubungan. Lebih dari
> lima tahun. Saya baru bertemu Fadli lagi ketika menikah
> tahun 2002. 
> 
> Sebagai aktivis, saya ikut dengan berbagai aktivitas, baik
> di kampus, atau di jalanan. Di jalanan, ada banyak
> demonstrasi yang kami lakukan, misalnya soal buruh Ganda
> Guna Indonesia, tentang Palestina, Libya, Chechnya,
> pembreidelan pers, kasus 27 Juli, sampai terakhir bermuara
> dengan aksi-aksi mahasiswa 1998 yang sebetulnya tidak
> seperti yang dibayangkan banyak orang. Suatu hari, catatan
> harian saya akan terbit soal ini. 
> 
> Terus terang, saya tidak menyukai Wiranto atau lebih-lebih
> lagi tentara, dibandingkan dengan penghargaan saya kepada
> kelompok intelektual. Bukan karena “benci” atau
> sejenisnya, melainkan karena didikan ayah saya. Ayah saya
> tidak menyukai anak-anaknya menjadi tentara atau pegawai
> negeri sipil. Setelah saya pelajari dengan baik, itu
> disebabkan oleh satu fakta dalam sejarah Minangkabau.
> Kerajaan Pagaruyung tidak mengenal tentara. Tentara, kurang
> lebih di mata ayah saya, adalah orang yang dirampas hak
> hidupnya oleh negara, lebih menyerupai kelas masyarakat
> bayaran. 
> 
> Tetapi, saya membaca buku-buku militer, sejarah militer,
> kisah para jenderal, sejak zaman Romawi sampai zaman
> Indonesia. Tidak banyak yang menarik perhatian saya. Dan
> hampir saya tidak mengingat banyak hal, termasuk buku-buku
> yang ditulis oleh almarhum AH Nasution, dllnya. Kalau
> dosen-dosen sejarah militer masuk kelas, biasanya saya tidak
> antusias untuk berdiskusi. 
> 
> Karena itu juga, saya bermasalah dengan sosok tentara di
> partai politik, termasuk dengan tentara-tentara yang masuk
> PAN, partai yang sempat saya masuki selama 3 tahun lebih.
> Ketika memutuskan masuk Partai Golkar, Juli 2008, Wiranto
> dan Prabowo sudah keluar. Itu saya katakan secara terbuka di
> media massa. 
> 
> Ketika kemudian Pak JK memutuskan menggandeng Pak Wiranto
> menjadi pasangannya, saya begitu gelisah. Keputusan itu
> diambil dengan banyak alasan. 
> 
> Pertama, SBY sedang mewacanakan capres tunggal lewat Perpu.
> Ini adalah keadaan yang jauh lebih berbahaya, mirip dengan
> Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Kalau ini yang
> terjadi, maka demokrasi tidak akan bisa diselamatkan lagi.
> Hal ini harus dicegah. Sayang sekali, tidak ada para ahli
> yang mempersoalkan ini, karena terpengaruh dengan bombardir
> pemberitaan bahwa Partai Golkar kalah, dan Partai Demokrat
> menang. 
> 
> Kedua, PG tidak memiliki kursi yang memenuhi syarat 20% di
> DPR RI hasil pemilu 2009. suara pemilihnya lebih kecil lagi.
> Mau tidak mau, PG hanya punya tiga pilihan: (1) Bergabung
> dengan Partai Demokrat; (2) Bergabung dengan PDI Perjuangan
> atau (3) Bergabung dengan Partai Hanura atau Partai
> Gerindra. Tiga kali Pak JK bertanya ke Pak SBY soal pilihan
> (1), tetapi tidak ada jawaban. Karena itu, dengan
> pertimbangan harus ada capres alternatif dan belum pastinya
> pencapresan Megawati, maka pilihan bergabung dengan Hanura
> menjadi realistik. 
> 
> Ketiga, Pak Wiranto bersedia untuk menurunkan tawarannya
> dengan menerima posisi sebagai cawapres, bukan sebagai
> Capres. Padahal, dalam pilpres 2004, Pak Wiranto muncul
> sebagai capres. Karena itu pula, tentu saya tidak ingin
> menjadi egois, apalagi suara saya di partai tidak ada.
> Keputusan diambil oleh Pak JK dan fungsionaris Partai
> Golkar. Saya mulai belajar untuk menerima kompromi dalam
> dunia politik, karena hukum besi pileg yang memang tidak
> memungkinkan PG maju sendirian. 
> 
> Karena itu pula saya belajar tentang Pak Wiranto. Saya
> berhubungan lagi dengan teman-teman di Partai Hanura yang
> dalam debat partai dalam pileg adalah “musuh” saya. Saya
> juga menegur Pak Wiranto, berusaha untuk mendebatnya, juga
> kalau perlu membuat dia ingat tentang saya. Kalau saya ada
> dalam posisi Pak Wir, tentu saya akan berpikir: “Ini nih,
> anak muda PG dan punya banyak kawan di LSM dan kaum
> intelektual yang selalu mengajukan penolakan atas saya.”
> Agak lama memang saya mencoba mencairkan diri dengan Pak
> Wir. 
> 
> Kesempatan mencairkan diri itu datang juga, justru ketika
> ada acara live di Metro TV dan TV One. Di ruang tamu Metro,
> saya mencoba mendiskusikan sejumlah hal dengannya, termasuk
> soal hati nurani, budaya Jawa, bahasa Jawa, dan lain-lain.
> Di acara TV One, yang disiarkan secara live, saya bicara
> BUKAN SEBAGAI TIMSES, tetapi sebagai aktivis yang ada di
> jalanan pada Mei 1998. Saya katakan kesaksian saya betapa
> sedikit sekali tentara di Universitas Trisaksi pada tanggal
> 13 Mei, ketika saya ada di sana, lalu melihat kerusuhan
> merangkak di Jakarta. 
> 
> Pak Wir tidak bisa menutupi kekecewaannya atas saya. Usai
> acara, kami duduk di meja. Lalu, terjadilah dialog kecil. 
> 
> Pak Wir : “Kenapa kamu masih tanyakan soal itu?”
> IJP : “Saya ingin Bpk bercerita apa adanya?” 
> Pak Wir : “Tapi kan terlalu jauh di belakang. Kan
> sebaiknya bicara soal pertahanan, militer, jumlah tentara,
> dllnya?”
> IJP : “Justru itu maksud saya, karena itu bidang Bpk.”
> 
> Pak Wir terlihat masih kesal. Sayapun tidak tahan lagi. 
> 
> IJP : “Pak, Bpk tahu saya ada di jalanan. Terus terang,
> Pak, saya kehilangan banyak sekali sahabat, ketika saya
> mendukung Bpk.” 
> 
> Pak Wir melunak, “Ya, saya tahu itu.” Pak Wir seperti
> tercenung. Untunglah, beberapa temannya di sekolah dasar
> dulu datang bergabung. Suasanapun mencair. 
> 
> Ya, saya kehilangan banyak sekali sahabat, termasuk yang
> dulu sama-sama saya di jalanan pada 1998. Mereka mengirimkan
> sms yang intinya menyayangkan kenapa saya mendukung
> JK-Wiranto. Perdebatan via sms itu berlangsung dengan
> beberapa orang. Kalaupun saya jelaskan bahwa PG tidak cukup
> kursi maju sendirian, lalu sebagai partai nomor urut 2 dalam
> pileg harus memajukan capres, sebagai konvensi politik ke
> depan, tetap saja mereka tidak mau mengerti. 
> 
> Sejak dialog itu, hubungan saya dengan Pak Wir menjadi
> cair. Sayapun mensmsnya beberapa kali. Namun, praktis selama
> kampanye, saya tidak bersamanya, sebagaimana juga saya
> jarang bersama dengan Pak JK. Hanya di Tugu Proklamasi kami
> bertemu, di Padang, lalu dalam beberapa kali rapat dengan
> begitu banyak orang. 
> 
> Sayapun kembali mempelajari budaya Jawa. Saya pelajari
> ucapan-ucapan Pak Wir atas Pak JK. Saya pelajari body
> languagenya ketika bersama Pak JK: begitu dekat, begitu
> intim dan begitu tulus. Saya pelajari keluarganya. Saya
> jumpai orang-orang terdekatnya sekarang, sejumlah anak-anak
> muda seusia saya. Saya sadari: Pak Wir benar-benar sudah
> menjadi manusia biasa, memiliki kebijakan, serta berusaha
> untuk masuk ke kehidupan politik, dengan maksud untuk
> membiasakan diri dengan demokrasi. 
> 
> Dunia dan masyarakat terlalu keras kepadanya. Termasuk
> saya, salah satunya. Dalam peristiwa Timor Leste, kita tahu
> bahwa pasukan TNI diperbantukan kepada pasukan PBB yang
> didominasi oleh tentara Australia, Portugal, dan sejumlah
> negara lain, untuk menjaga keamanan pas jajak pendapat.
> Timor Leste, ketika jajak pendapat digelar, adalah daerah
> PBB, bukan daerah Indonesia yang bisa dikontrol penuh oleh
> aparat sipil dan militer. Kini Timor Leste sudah menjadi
> sebuah negara sahabat, serta mendapatkan bantuan yang layak
> dari Indonesia. Sejumlah tentara sudah masuk ke penjara,
> karena ditetapkan bersalah oleh pengadilan, atas peristiwa
> HAM di sana. 
> 
> Saya sadar, betapa kita lebih baik dalam memahami Amerika
> Serikat, ketimbang negara kita sendiri. Saya tidak pernah
> dapat catatan, bahwa ada Panglima Tinggi Pasukan Gabungan
> Amerika Serikat yang dituduh bersalah dalam peristiwa HAM,
> ketika banyak penduduk sipil mati dibunuh di dalam perang
> Korea, perang Vietnam, perang Irak, dan perang-perang kaum
> cowboys itu di banyak negara. Anak-anak muda Indonesia
> begitu fasih bicara tentang kejahatan HAM di dalam negeri,
> tetapi tidak memiliki sikap kritis atas masalah HAM di
> negara lain yang dilakukan oleh tentara-tentara Amerika
> Serikat. Begitu banyak dana digelontorkan dari Amerika
> Serikat ke Indonesia, untuk digunakan bagi advokasi HAM
> orang-orang Indonesia. 
> 
> Iran, Thailand dan China kini berhadapan dengan tuduhan
> pelanggaran HAM serupa. Pemberitaannya muncul dari
> lembaga-lembaga yang berdiri di negara-negara yang dulunya
> adalah negara-negara kolonial yang hampir seluruhnya pernah
> menjajah Indonesia. di negara-negara itu, banyak sekali
> artefak-artefak budaya Indonesia, kekayaan kerajaan-kerajaan
> Indonesia dulu, disimpan dalam museum-museum dan rumah-rumah
> pejabatnya. 
> 
> Saya tidak akan membela Pak Wir. Tetapi bagi saya, dia
> telah banyak berpikir tentang Indonesia yang lebih baik.
> Dalam sepuluh tahun terakhir ini, dia juga bekerja untuk
> bangsa ini, sesuai dengan kapasitasnya. Dia menolak
> mengambil alih kekuasaan pada 1998, ketika anak buahnya
> (yang kini sangat terkenal), memberikan usulan itu. Dia
> mencabut status Daerah Operasi Militer terhadap Aceh. Dia
> mendirikan partai politik. Di Amerika Latin, sikap ini
> dihargai, tetapi di Indonesia, tidak ada penghargaan besar.
> 
> 
> Saya mendukung JK-Wiranto, karena Pak Wir merasa dirinya
> sebagai kelas ksatria dalam budaya Jawa. Ksatria hanya
> tunduk kepada kelas Brahmana. Saya tahu, tanpa perlu dia
> menyebut, bahwa di matanya Pak JK telah masuk kategori kelas
> Brahmana itu. 
> 
> Saya mendukung JK-Wiranto, karena JK bukanlah berasal dari
> kalangan militer atau mantan militer. Dari dulu, saya
> berjuang dengan pena agar supremasi sipil ditegakkan. Ketika
> Pak Wir mau menjadi wakil Pak JK, dalam realitas konkrit,
> “supremasi sipil atas militer” itu sudah sesuai dengan
> yang saya harapkan. Saya tahu, jauh lebih berbahaya bagi
> sosok militer berbaju sipil seperti yang kita dulu lihat
> dalam diri Soeharto, karena bisa melanggengkan kekuasaan
> selama mungkin dengan korban yang tidak sedikit di kalangan
> kawulo alit. Begitu juga, berbahaya juga sosol sipil berbaju
> militer, sebagaimana kita lihat dalam pakaian kebasaran
> Soekarno pasca Dekrit 5 Juli 1959. 
> 
> Kalau karena sikap itu saya dianggap teman-teman saya
> sebagai: “turut berduka cita atas matinya Indra J
> Piliang!” atau “kembalikan Indra J Piliangku!”, dalam
> pesan-pesan yang mereka kirim, saya anggap itulah resiko
> dari sebuah sikap. Minimal, saya sudah menjelaskan. Dan saya
> tidak menyesalinya.
> 
> Jakarta, 12 Jul 2009. 
> 
> 
> 
>       
> 
> > 
> 


      

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke