Kekalahan JK-Wiranto: Sebuah Penjelasan Awal 
Oleh
Indra J. Piliang
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto  

Hasil quick count, sebagai indicator awal hasil pilpres 2009, telah diumumkan. 
Sebagaimana diumumkan oleh Lembaga Survei Indonesia, pasangan SBY-Boediono 
mendapatkan 60.85%; Mega-Prabowo 26.56% dan JK-Wiranto 12.58%. Kalau 
diperhatikan, berdasarkan hasil survey LSI pada 25-30 Mei 2009, sebulan 
menjelang pilpres, perolehan suara SBY-Boediono 71%, Mega-Prabowo 16% dan 
JK-Wiranto 7%. Sebanyak 5% pemilih belum menentukan pilihannya. 

Berarti, kalau dibuatkan, SBY-Boediono kehilangan suara sebanyak 10%, 
Mega-Prabowo naik sebesar 11% dan JK-Wiranto naik sebesar 6%. Pemilih lain 
tidak beranjak pilihannya kepada ketiga kandidat atau berpindah ke kandidat 
lain. Dengan demikian, selama pilpres berlangsung, pasangan Mega-Prabowo tampil 
sebagai pemenang pertama, JK-Wiranto muncul sebagai pemenang kedua, serta 
SBY-Boediono justru kehilangan banyak suara pemilih. 

Kenapa argument “ganjil” ini diberikan? Terutama untuk menguji sejauh mana 
kampanye pilpres berpengaruh terhadap preferensi pemilih. Ternyata, hanya 
kurang dari 20% pemilih yang mengubah pilihannya sepanjang kampanye pilpres 
digelar, sementara 80% lebih tetap dengan pilihannya. Waktu yang terbatas dalam 
melakukan kampanye menunjukkan juga betapa rekam jejak sebelum kampanye digelar 
jauh lebih berpengaruh, ketimbang masa-masa kampanye yang gemuruh. 

Sedikitnya pemilih yang mengubah pilihannya selama kampanye digelar menunjukkan 
sedikitnya perhatian atas isu-isu yang digelar ke hadapan public. Sebagai 
anggota tim kampanye, saya merasa manajemen kampanye memang masih terkesan 
amatiran di semua kandidat. Tim kampanye harus dipaksa mengambil keputusan 
tepat, di tengah waktu yang memburu. Seleksi atas kegiatan juga menjadi 
penting: apakah akan hadir di komunitas Tionghoa ataukah menemui 
kelompok-kelompok yang melakukan advokasi atas korupsi, lingkungan hidup dan 
hak asasi manusia? 

Sedari awal, sekalipun saya usahakan untuk dilakukan, Tim Kampanye Nasional 
JK-Wiranto tidak menggunakan lembaga survey untuk melihat arah preferensi 
public atas kinerja Tim Kampanye Nasional. Ibarat mobil, tim berjalan tanpa 
peta yang jelas. Hal ini juga terkait dengan posisi politik Pak Jusuf Kalla 
sebagai Wakil Presiden RI yang masih menjabat. 

Seingat saya, Pak JK hanya mengajukan cuti sebanyak 4 hari selama pilpres 
digelar. Kalaupun ada kunjungan ke daerah, itu lebih dalam rangka memenuhi 
undangan-undangan anggota-anggota organisasi social kemasyarakatan dan 
pemerintah, baik pusat atau daerah. Kesan yang dimunculkan media betapa Pak JK 
banyak menemui komunitas ulama tidak sepenuhnya salah, tetapi juga kurang 
tepat. Mengapa? Karena “legitimasi” kehadiran dalam kapasitas sebagai Wakil 
Presiden tentunya terkait dengan undangan yang diterima dari organisasi social 
kemasyarakatan dan pemerintah. Kalaupun kemudian hadir dalam acara-acara 
internal, misalnya menemui kelompok pendukung Capres-Cawapres, waktunya sangat 
terbatas. 

“Belenggu” sebagai Wapres RI itulah yang menjadi penyebab kenapa Pak JK tampil 
tidak begitu “lepas” sebagai penantang. Hal itu juga berpengaruh besar dalam 
konsolidasi yang dilakukan di kalangan tim sukses di daerah-daerah. Hal yang 
sama juga terjadi di SBY-Boediono. Rombongan besar yang dibawa SBY ke setiap 
kunjungan ke daerah, sebagian besar tidak dapat dipisahkan dari kedudukan 
mereka yang sekaligus sebagai pejabat Negara, pimpinan partai politik dan tim 
sukses, terutama di jajaran menteri. Kalaupun di kubu JK-Wiranto tendapat 
nama-nama Yuddy Chrisnandi, Ali Mochtar Ngabalin dan Drajat Wibowo, dalam 
catatan di secretariat kantor wakil presiden, mereka adalah anggota DPR RI yang 
sedang menjabat. 

Dilema serupa juga terjadi di kalangan pendukung dan fungsionaris Partai Golkar 
di daerah. Bagaimanapun, mereka sebagian besar adalah kepala-kepala daerah yang 
sedang menjabat. Beberapa kepala daerah lebih banyak hadir dalam 
kegiatan-kegiatan yang dihadiri oleh SBY dan tim kampanyenya, ketimbang 
kehadiran JK dan tim kampanyenya. Dukungan secara terbuka juga jarang 
dilakukan, mengingat mereka harus menjadi pihak yang netral dalam kegiatan 
kampanye. Hanya beberapa kepala daerah yang berani memasang gambarnya bersama 
JK-Wiranto, selebihnya lebih memilih mensosialisasikan pilpres dengan 
menggunakan seragam resmi sebagai kepala daerah. Dilemma rangkap jabatan 
menjadi hal yang menyulitkan dalam pilpres. 

Bagi kepala-kepala daerah yang berasal dari 24 partai politik pendukung 
SBY-Boediono juga muncul dilemma serupa. Jangankan untuk menyatakan dukungan 
kepada pasangan JK-Wiranto, bahkan untuk datang menyambut saja di bandara 
jarang sekali dilakukan. Mereka memilih untuk menggelar kegiatan lain atau 
berkunjung ke Jakarta dengan alas an dinas. Media local yang sepenuhnya juga 
tergantung kepada iklan-iklan pemerintahan daerah juga mengambil sikap serupa. 
Porsi pemberitaan terhadap pasangan JK-Wiranto terlihat minim di media local. 

Jadi, pada prinsipnya, kampanye hanya berlangsung di dalam ruang yang terbatas: 
media massa nasional, terutama televise. Makanya, Pak JK-Wiranto jarang menolak 
undangan televise manapun. Dalam ucapan Pak JK: “Mumpung masih gratis, kenapa 
ditolak!”, maka media televise menjadi ajang untuk menampilkan Pak JK-Wiranto 
dalam skala luas. Walaupun kita sepenuhnya sadar bahwa masyarakat bisa saja 
jenuh, mengingat sejumlah acara terkesan hanya mengonfitmasi framing dan agenda 
setting yang sudah disiapkan oleh televise yang bersangkutan. Belum lagi 
iklan-iklan yang berjubel. Kerjasama dengan televise paling-paling penampilan 
iklan yang kita buat dalam acara yang dihadiri oleh Pak JK-Wiranto. 

Begitulah. Sebagai tim kampanye nasional, kami tidak merasa gagal. Kenaikan 
tingkat elektabilitas JK-Wiranto, bersama Mega-Prabowo, serta penurunan 
elektabilitas SBY-Boediono, menunjukkan betapa masa kampanye pilpres telah 
digunakan semaksimal mungkin oleh tim kami. Waktu yang kemudian menjadi 
kendala, di samping memang keterikatan Pak JK sebagai Wakil Presiden. 

Suatu malam, saya sempat bertanya kepada Pak JK, ketika isu agar JK lebih baik 
mundur muncul di banyak media dari para pengamat dan tim sukses SBY-Boediono. 

“Pak, kenapa tidak mundur saja dari posisi Wapres? Kan sudah banyak yang 
menuntut itu?” tanya saya. 

Pak JK menjawab, disertai senyumnya: “ Bagaimana saya bisa mundur?  Dulu 
pasangan SBY-JK dipilih secara bersama, dalam pilpres 2004. Lagipula, ada 
ketentuan di UUD bahwa kekosongan posisi Wapres bisa berbahaya bagi Negara. 
Kalau terjadi apa-apa dengan Presiden bagaimana?” 
 
Ada penjelasan Pak JK lainnya yang saya lupa. Di dalam hati, saya hanya bisa 
menggerutu: “Bapak ini setia betul dengan SBY?” Belakangan saya  menyadari 
bahwa keputusan untuk tidak mundur itulah yang terbaik buat Pak JK. Kenapa? 
Karena Pak JK setia kepada Negara sebagai Wapres RI. Dia tetap sebagai 
negarawan. Andai Pak JK mundur, apa jadinya dengan Indonesia sekarang? 

Kesetiaan itu juga yang ditunjukkan oleh Pak JK dengan mengatakan bahwa Partai 
Golkar tetap sebagai partai pemerintah, sampai 20 Oktober 2009. Padahal saya 
tahu bahwa ketika anggota DPR 2009-2014 dilantik pada 1 Oktber 2009 nanti, peta 
politik di DPR RI akan berubah. Akan ada 20 hari yang mungkin penting untuk 
melihat wajah Partai Golkar ke depan, yakni pertarungan antar parpol di DPR RI 
dan MPR RI pada tanggal 1-20 Oktober 2009 nanti. Kita lihat saja. 

Jakarta, 15 Juli 2009. 



      

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke