Utk di kalangan Kyai spt ini, bgmn di kalangan tukang kaba, ulama, niniak 
mamak, bundo kanduang, di Ranah? 


Berani beda, berani benar! (www.indrapiliang.com)

-----Original Message-----
From: korandigital <korandigi...@gmail.com>

Date: Thu, 13 Aug 2009 09:34:28 
To: koran-digi...@googlegroups.com<koran-digi...@googlegroups.com>
Subject: [Koran-Digital] Afifuddin Muhajir: Politik, Pemilihan Langsung, dan
 Peranan Kiai



  Politik, Pemilihan Langsung, dan Peranan Kiai
Oleh KH Afifuddin Muhajir Pengasuh Ma'had Aly Asembagus Situbondo, Jawa 
Timur


SALAH satu ciri khas agama Islam yang sangat menonjol adalah 
keterpaduannya antara ketegasan dan kelenturan yang tersebar dalam 
petunjuk-petunjuknya. Pada umumnya, ketegasan terdapat dalam halhal yang 
menjadi tujuan (ghayat), sedangkan kelenturan menyangkut cara atau 
sarana mencapai tujuan (wasilah). Masalah kepemimpinan termasuk 
kepemimpinan politik bisa dikemukakan sebagai contoh konkret bagi ciri 
khas Islam tersebut.

Dalam hal ini, sekurangnya ada tiga ranah, yaitu tujuan pokok, tujuan 
perantara, dan cara mencapai tujuan. Tegaknya keadilan, terwujudnya 
kesejahteraan, dan ketenteraman merupakan tujuan pokok adanya 
kepemimpinan. Sementara itu, tegaknya kepemimpinan yang berkeadilan 
adalah tujuan antara yang bisa mengantarkan kepada tujuan pokok 
tersebut. Sementara itu, mekanisme pengangkatan pemimpin adalah cara 
mencapai tujuan. Dalam ranah yang terakhir itulah, Islam memberi ruang 
gerak dan keleluasaan bagi umatnya untuk berijtihad dan memilih cara 
yang sesuai dengan perkem bangan kehidupan.

Dalam banyak literatur fikih siyasah (fikih politik), dikemukakan 
beberapa cara pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi dalam sejarah 
kepemimpinan Islam. Salah satunya adalah melalui mekanisme ikhtiar 
(pemilihan), tapi hak memilih hanya dimiliki oleh ahlu al-halli wa 
al-'aqdi (tokoh-tokoh masyarakat) yang memenuhi beberapa syarat penting, 
yaitu memiliki pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kandidat yang 
akan dipilih; memiliki sifat `adalah' (keadilan) dan memiliki kebijakan 
yang bisa mengantarkan kepada terpilihnya pemimpin yang ideal. Hal itu 
berbeda dengan pemilihan dalam sistem demokrasi langsung yang memberikan 
hak pilih kepada setiap warga negara yang telah cukup umur. Di sini 
tidak ada perbedaan antara yang alim dan yang awam, antara kiai dan 
santri, antara pejabat puncak dan pengayuh becak, antara suara seorang 
profesor dan suara tukang cukur, dan seterusnya.

Pada dasarnya, sistem pemilihan langsung itu baik, bahkan ideal karena 
memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memilih pemimpin yang 
disukai dan dicintai. Dalam hadis Riwayat Muslim dijelaskan bahwa 
sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang mencintai rakyat dan dicintai 
rakyat, dan sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpin yang membenci rakyat 
dan dibenci rakyat. Akan tetapi, di Indonesia, sistem pemilihan 
langsung, baik Pilkada, pilpres, maupun pileg, banyak menghadapi kendala.

Kendala utama pemilihan langsung dalam konteks keindonesiaan adalah 
keawaman, kebutahurufan, dan kemiskinan sebagian masyarakat.
Tampaknya masyarakat Indonesia sebagian besar buta politik dan tidak 
mengetahui syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin, sedangkan yang 
memiliki pengetahuan sering kali tidak menjatuhkan pilihan sesuai dengan 
hati nuraninya.
Faktor kemiskinan dari para pemilih menyebabkan suara mereka mudah 
dibeli dengan harga yang sangat murah. Oleh karena itu, demokrasi harus 
dibangun beriringan dengan peningkatan pendidikan dan pembangunan 
ekonomi masyarakat.

Selama kondisi kita masih seperti sekarang ini, ada sebuah pertanyaan 
yang perlu dijawab, perlukah taujihat (arahan) dari tokoh masyarakat, 
terutama tokoh agama dan para kiai sebagai pengawal moral untuk anggota 
masyarakat yang dianggap awam, dengan tujuan agar mereka memilih calon 
pemimpin yang dinilai memiliki atau lebih memiliki integritas dan 
kapabilitas?
Ataukah, sebaiknya mereka dilepas dan dibiarkan mengikuti kehendak 
masing-masing?
Jawabannya, tergantung situasi dan kondisi, terutama kondisi para 
kandidat. Arahan dan fatwa politik kiai itu menjadi perlu, bahkan wajib 
bila masyarakat dihadapkan pada pilihan antara pemimpin yang baik dan 
yang buruk menurut pandangan para tokoh yang berkompeten. Dalam konteks 
yang lain, arahan politik dari para kiai bisa tidak diperlukan misalnya 
bila pilihan-pilihan yang ada masih dalam kategori syubuhat 
(remang-remang), tidak jelas halalharamnya atau baik-buruknya, karena 
persoalan yang masih syubuhat pada umumnya menjadi ajang terwujudnya 
khilaf (perbedaan) di antara para tokoh sendiri yang sangat potensial 
bagi terjadinya benturan dan disharmoni. Faktor syubuhat itulah yang 
menyebabkan terjadinya ketegangan di antara para kiai seperti tampak 
dalam beberapa kali pilkada, pileg, dan pilpres.
Walau tak bisa ditutupi pula, ketegangan politik di antara para kiai 
kerap bukan karena dilatari perbedaan ijtihad politik, melainkan karena 
motif duniawi lainnya. Ini yang memprihatinkan.

Dengan demikian, ketika arahan politik itu diperlukan, kejujuran dan 
keikhlasan merupakan modal utama bagi tokoh-tokoh agama dan para kiai di 
dalam memberikan fatwa politik.
Kita sangat ber-husnu al-zhan (berbaik sangka) bahkan yakin bahwa tak 
sedikit dari para kiai yang memiliki modal itu. Itu terbukti dengan 
banyaknya kiai yang lebih suka mendukung calon pemimpin hanya karena 
diyakini memiliki integritas dan kapabilitas dari calon lain yang 
diyakini akan memberikan keuntungan duniawi yang melimpah.

Oleh karena itu, fatwa politik (sebagian) kiai didasarkan pada 
pertimbangan etik-moral dan bukan pada kekuasaan. Mereka ingin 
mengarahkan dukungan kepada kandidat yang paling memenuhi kualifikasi 
dan standar, seperti yang mereka yakini. Na mun, dukungan para kiai itu 
sekali lagi kerap kandas ketika berhadapan dengan politik uang. Fatwa 
kiai itu tak lagi diden gar karena sebagian masyarakat terutama yang 
miskin lebih mendahulukan dan memilih kandidat yang memberi bantuan 
finansial, sembako, dan lain-lain.

Ke depan, saya kira itu membahayakan. Sebab, hanya orang-orang yang 
berkantong tebal yang akan menjadi pemimpin. Sementara itu, mereka yang 
memiliki sumber dana terbatas tapi mempunyai kualifikasi pemimpin tak 
akan punya peluang untuk memimpin, baik di pusat maupun di daerah.
Kiai sebagai tokoh agama bertugas mengembalikan arah politik dari 
politik kekuasaan yang bersandar pada uang dan kapital semata-mata 
kepada politik kekuasaan yang bertunjang pada etika, moral, dan 
integritas. Publik secara umum perlu disadarkan bahwa pemimpin yang 
kuat, jujur, dan kapabel lebih didahulukan daripada pemimpin yang tidak 
jujur, berintegritas rendah dan melakukan politik uang.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/13/ArticleHtmls/13_08_2009_023_002.shtml?Mode=0


“Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang 
sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan.” -- Otto Von 
Bismarck
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke