Hahahaha, sorylah bung nofrin, mukasuik "kakii baluluak" sabanayo itu bukan 
untuk kasus individu. Iko labiah ke arah sikap budaya masyarakat awak nan 
gejalanya semakin hedonis yang memuja budaya instan,dan cendrung bersikap 
feodal dalam memposisikan dirinya. 
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Y. Napilus" <ynapi...@yahoo.com>

Date: Sat, 29 Aug 2009 10:34:12 
To: <rantaunet@googlegroups.com>
Subject: [...@ntau-net] Re: Pemerintah Tidak Perlihatkan Keberpihakan
 terhadapBudaya


Terima kasih juga Bung Edy atas pencerahannya ini. Ini saya catat ttg 3 
kelompok ini. Semoga kawan2 media jg bisa membantu mendorong Pemda Tingkat 2 
kearah yang dimaksud Bung Edy. Kalau perlu tolong klarifikasi lagi dg Bung Edy 
dg wawancara khusus dan memakai bahasa yang mudah dipahami masyarakat banyak.
Bung Edy, kalau bukan krn masalah ingin baluluak, kita tidak akan 
"memborbardir" promosi acara Pacu Jawi dan Minum Kopi Daun ditengah sawah 
sembari hujan-hujanan. Walaupun bukan ini seni tradisi yg dimaksud itu...:)
Wass,Nofrinswww.west-sumatra.com

--- On Sat, 8/29/09, edyut...@yahoo.com <edyut...@yahoo.com> wrote:

From: edyut...@yahoo.com <edyut...@yahoo.com>
Subject: [...@ntau-net] Re: Pemerintah Tidak Perlihatkan Keberpihakan 
terhadapBudaya
To: rantaunet@googlegroups.com
Date: Saturday, August 29, 2009, 12:56 PM

Bung Nofrins trims responnya terhadap pernyataan saya dan teman budayawan 
ylainnya yg dimuat di Kompas.com. Ada banyak masalah yg memang harus kita 
selesakan dalam  kehidupan seni budaya kita. Persoalan pertama adalah soal 
persepsi kita thdp seni budaya yg pemahamannya menurut saya campur aduk. Kalau 
kita bicara seni budaya tradisi, ini adalah media yg penting dalm sistem sosial 
masyarakat. Ini menyangkut dengn sistem nilai dan melekat dng struktur sosial 
masyarakat pendukungnya. Kalau kita mau mengembangkannya, ini tidak bisa 
dilakukan dgn pendekatan pragmatisme pasar atau kekuasaan. Ia memilik sistem 
dan mekanisme tersendiri, yang menjadi acuan bersma masyarakat pendukungnya. 
Seni budaya tradisi seperti ini antar lain bertungsi sbg media pendidikan 
budaya, media mengembangkan solidaritas dan silaturahmi diantar masyarakat 
pendukung, di samping tetap memiliki aspek hiburannya.
Sedangkan kalau kita bicara soal sanggar atau seniman, spt sanggar syofyani dll 
serta eli kasim, ini kan produk dr masyarakat urban, dan bisa dikelola dng 
pendekatan pragmatisme. Artinya bisa disesuaikan dgn kebutuhan pasar. Mgkn grup 
saya "Talag Buni" mencoba mengisu ruang yang lain, yakni mencoba menafsirkan 
kembali prinsip musikal yg ada dlm musik tradisi Minang, dgn kesadaran tidak 
tergelincir mjd musik pop yg menjamur skrg ini. Menurut pengetahuan dan riset 
saya dan teman2 di talago buni, ada banyak perbedaan yg prinsipil atr musik pop 
yg bersunber dr Barat dng musik tradisi yg ada dalam budaya Minang. Misalnya 
soal sistem harmoni dan tangga nada. Terus terang grup musik spt talago tidak 
bgt laku dalam masyarakat kita yg sudah dilanda budaya pop ini. Grup spt 
ini   daya hidup dan pendanaanya didukung lembaga2 festival baik yg ada di 
dalam maupun luar negeri, cukup banyak grup yg spt ini di Indoesia, yg 
dikategorikan sbg nusik kontemporer berbasis
 budaya etnik, atau sering juga disebut world musik. Ketiga pengelompokan ini 
memiliki petsoalan yg berbeda, dan masalah yg paling krusial adalah di kelompok 
seni budaya tradisi. 
Dari pengalaman 30 tahun berkecimpung dlm budaya tradisi Minang pendakatn yg 
mungkin kit kembangkan adalah pendekatan kultural. Itu kenapa salah satu 
pernyataan saya di kompas saya menganggap penting mendorong¤unculnya kantong2 
seni budaya tradisi. Saya telah mencoba beberapa kali mendorong tumbuhnya 
kantong2 budaya tradisi ini dng menggunakan pendekatan Alek Nagari, ternyata 
bisa jalan dng dukungan semangat dr masyarakat. 
Nah kantong2 seni budaya tradisi inilah yg mungkin perlu kita support, dan 
berharap pemerintah daerah bisa melihat hal ini sebagai sebuah alternaif. Dan 
jika kantong2 ini bisa tumbuh agak 10 buah saja di Sumbar, mgkin para perantau 
yg pulang kampung  jg punya pihan lain menghayati budaya di tingkat akar 
rumput, krn atmosfirnya pasti berbeda jika dihayati di hotel atau gedung 
pertunjukan. "Sakali2 kaki dunsanak di rantau baluluak atau kanai angin malam 
di  kaki gunuang marapi, untuk mancaliak budaya. Minang, mungkin lain pulo 
seronyo"". Salam Edy Utama
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Y. Napilus" <ynapi...@yahoo.com>

Date: Fri, 28 Aug 2009 20:58:33 
To: <rantaunet@googlegroups.com>
Cc: WSTB<w...@googlegroups.com>; Milis SMA1Bkt<sma1...@yahoogroups.com>; Gebu 
Minang<rgm...@yahoogroups.com>; <solok-sela...@yahoogroups.com>; 
IPMPP<ip...@yahoogroups.com>; <minangband...@yahoogroups.com>; Minang 
News<minangn...@gmail.com>; Redaksi MINANGNews<reda...@minangnews.net>
Subject: [...@ntau-net] Re: Pemerintah Tidak Perlihatkan Keberpihakan terhadap
 Budaya


Assalamualaikum ww
Adi Dunsanak,
Saya ikut mendukung pernyataan para budayawan ini. Kalau hanya dilepas 
sepenuhnya ke Masyarakat, tidak mungkin seni budaya ini bisa bertahan apalagi 
berkembang. Dalam hal ini, peran Pemerintah dituntut untuk membantu mendorong 
mereka bertahan dan bertumbuh kembang dg fasilitas yang memadai. Apalagi Seni 
Tradisi, kita tahu semua siapa yg punya keahlian ini dan bagaimana kondisi 
ekonomi mereka...
Adanya Taman Budaya sih sudah bagus. Tapi itu lebih buat orang sekelas Edi 
Utama, Sofyani, Elly Kasim dan bbrp, yg telah mampu menghidupi Group nya. 
Walaupun tidak mudah dan harus total. Tetapi bgmn dg group-group kecil seni 
tradisi masyarakat lainnya? Gak mungkin tanggungjawab tsb diserahkan semua dan 
gak mungkin semua seni tradisi tsb dibebankan ke Edi Utama, Sofyani, Elly Kasim 
saja. 
Contoh yang cukup baik sebetulnya ada di Bukittinggi. Tapi baru satu itu 
doang...! Yaitu Tempat pertunjukkan Kesenian di Gedung Medan Nan Bapaneh, 
dibawah Jam Gadang, sebelah Hotel Jogja. Disubsidi sedikit oleh Pemko. Tiap 
malam dulu selalu ada penampilan Kesenian disana. Setiap malam, selalu group 
yang tampil bergantian, agar kebagian juga yg lain. Mulai dari Pasambahan 
sampai Tarian diatas kaca, dll. Cukup mewakili sebagian kesenian tradisi 
Minang. Setiap saya mampir kesana ngajak kawan2 fotografer yg berbeda, selalu 
mereka sangat senang sekali. Sehingga setiap ke Bukittinggi sudah ada aktifitas 
untuk malam hari yang berbobot dan menarik utk dinikmati. 
Kalau kita menginap di Padang...? Tak satupun tempat yang berani menyajikan 
kesenian tradisional ini. Kenapa Pemerintah tidak mengeluarkan regulasi agar 
Hotel2 berbintang bersedia menampilkan kesenian kita...? Minimal sekali 
seminggu. Maaf buat kawan2 PHRI. Anda tinggal tambahin aja ke harga kamar 
nanti. Tapi harus bersama-sama melakukannya. Ini akan menambah nilai jual Hotel 
juga. Malu dong kita, kalau tamu-tamu datang ke Ranah Minang lalu disuguhkan 
ORGAN TUNGGAL...! Seronok pula lagi. Seolah-olah kita gak punya budaya lokal 
yang bisa dibanggakan...
Kita beraharap, hal-hal seperti ini juga dikembangkan di kota-kota lainnya. Dan 
pasti bukan Edi Utama atau Sofyani yang harus membuat fasilitas dan mensubsidi 
ini... Jadi siapa dong...? Kalau begitu apakah masyarakat bisa dikatakan 
bersalah tidak mengapresiasi seni budaya sendiri..? Kalau untuk bertahan hidup 
aja sudah susah, bgmn mereka bisa menampilkan seni budaya tsb? Udah basi lah 
kalau alasannya gak ada dana. Kenapa dana tsb tidak direncanakan dan 
diajukan...? Kalau memang mau serius... 
Sekarang coba kita tanya saudara-saudara sedarah kita di Malaysia. Dunsanak 
kandung kita di Malaysia. Siapa yang mempromotori dan memfasilitasi seni budaya 
disana? Apakah hanya masyarakat saja atau dukungan kuat berupa fasilitas dari 
Pemerintah...? Mohon kita tidak terjebak dg diskusi soal paten mematen. Tolong 
lihat esensi diskusi kita ini. Krn cukup banyak dunsanak kita dari Malaysia 
yang ada di milis ini dan di west-sumatra.com yang membantu secara intensif 
promosi Pariwisata Ranah Minang. Justru kita perlu bantuan dunsanak-dunsanak 
kita yang telah bergabung dg kita ini utk mengangkat citra Ranah kita. 
Skl lg, mohon maaf sebelumnya. Ini pendapat pribadi saya yang hanya melihat 
dari luar arena saja. Saya yakin banyak masalah internal yang jauh lebih besar 
dari ini yg harus diselesaikan, mungkin... Belum isu Mentawai lagi...:) Maklum, 
penonton selalu merasa lebih tahu dari pemain. Terima kasih.
Wassalam,Nofrinswww.blakitan.west-sumatra.com (foto2 karya Sekretaris 
MENRISTEK, Prof.DR.Ir. Benyamin Lakitan, MSc., asli dr Sum-Sel)


--- On Fri, 8/28/09, Nofend St. Mudo <nof...@rantaunet.org> wrote:

From: Nofend St. Mudo <nof...@rantaunet.org>
Subject: [...@ntau-net] Pemerintah Tidak Perlihatkan Keberpihakan terhadap 
Budaya
To: rantaunet@googlegroups.com
Date: Friday, August 28, 2009, 10:02 PM




 
 







 



 

KOMPAS/HERU SRI KUMORO 

Penari dari Sanggar Tari Soeryo Soemirat Pura Mangkunegaran
Surakartamembawakan tari Batik saat mengikuti Karnaval Budaya di JalanSlamet
Riyadi, Solo, Jawa Tengah, Selasa (18/8). Karnavalyang, antara lain, diikuti
kelompok kesenian, lembaga pendidikan, dan masyarakat umum ini diadakan dalam
rangka peringatan Hari Kemerdekaan Ke-64 RI. 

/ 

Jumat, 28 Agustus 2009 | 21:00 WIB 

JAKARTA, KOMPAS.com — Para budayawan memandang keliru
penilaian Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang mengatakan
kurangnya penghargaan dan apresiasi masyarakat terhadap seni budaya Indonesia.
Justru, pemerintah dinilai budayawan tidak memperlihatkan keberpihakan yang
jelas terhadap budaya tradisi. 

Pemerintah harus mendorong dan membantu secara konkret dan berkelanjutan
bagaimana tumbuh-berkembangnya kantong-kantong kebudayaan di berbagai daerah.
Adalah tanggung jawab pemerintah untuk memberi ruang hidup kepada seni budaya
tradisi. 

Demikian benang merah yang dikemukakan budayawan Radhar Panca Dahana
(Jakarta), Edy Utama (Padang), dan budayawan Suryadi (Belanda), ketika
dihubungi Kompas, Jumat (28/8), menanggapi pernyataan Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, seperti dimuat Kompas edisi
Jumat (28/8), halaman 12. 

Radhar mengatakan, indikator yang menyebabkan Jero Wacik berkesimpulan
demikian tidak jelas dan tidak terukur. "Seni budaya tradisi mengalami
kemajuan yang sangat baik dan juga diapresiasi oleh publik. Hanya apresiasi
oleh pemerintah yang kurang, tidak saja terhadap kesenian itu sendiri tetapi
juga terhadap pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri," katanya. 

Senada dengan itu, Edy Utama menilai pernyataan Jero Wacik tidak sepenuhnya
benar. Begitu banyak kegiatan mandiri masyarakat untuk memelihara dan
meneruskan tradisi budaya yang mereka wariskan. Justru perhatian dan apresiasi
pemerintah yang kurang. "Misalnya seperti di Pariaman, Sumatera Barat,
mereka membuat Alek Nagari, yang bisa berlangsung berhari-hari. Itu semua
merupakan ekspresi kecintaan mereka terhadap seni budaya tradisi yang mereka
warisi. Banyak suku bangsa lain di Indonesia yang berbuat seperti orang
Pariaman," katanya mencontohkan. 

Suryadi, budayawan Indonesia yang jadi peneliti dan dosen di Leiden
University, mengatakan, pemerintah lupa membina berbagai aspek kebudayaan,
termasuk kesenian yang berasal dari kita sendiri. "Unsur pemerintah yang
terkait dengan pembinaan kebudayaan nasional tidak memiliki visi yang jelas.
Tidak mempunyai cetak biru yang implementasinya terlihat dalam praktik. Saya
kira harus ada revolusi dalam kementerian kebudayaan dan pariwisata,"
ungkapnya. 

Beban berat 

Perkembangan pesat kesenian di Indonesia tidak dibarengi kebijakan yang
berpihak kepada seniman. Seniman dengan kreativitas dan kemandiriannya sulit
untuk menampilkan karya-karyanya agar bisa diapresiasi masyarakat. Namun, untuk
ke arah itu seniman harus memikul beban berat. 

Radhar mencontohkan, jika dulu untuk pementasan teater pakai gedung
pertunjukan tak bayar, sekarang jangankan untuk pertunjukan, untuk geladi resik
saja juga harus bayar. Baliho pertunjukan juga demikian. 

Kesenian, seperti seni tari, sastra, teater, dan seni pertunjukan lainnya,
selama ini berkembang tanpa keterlibatan pemerintah. Pemerintah seperti
melepaskan tanggung jawab konstitusional. Bahkan, seniman dan karyanya lebih
banyak dihargai oleh public disbanding dihargai oleh pemerintah. 

Bahkan, di Bukittingi, seperti yang sempat dialami Kompas,
gara-gara jumlah pengunjung tidak menutup biaya produksi, pertunjukan kesenian
tradisional batal dipertunjukkan. "Kita dibebani biaya sewa tempat, bahkan
dari tiket pun dibebani pajak. Mestinya, untuk kepentingan pembinaan dan
pengembangan kesenian, pemerintah memberikan keringanan, bahkan kalau perlu
menyubsidi. Membantu sanggar-sanggar kesenian, yang jelas-jelas peduli
kesenian," kata Adek, seniman di Bukittinggi. 

Edy Utama mengatakan, pemerintah tidak memperlihatkan keberpihakan yang
jelas terhadap budaya tradisi. Pemerintah juga belum memiliki strategi untuk
mengembangkan budaya tradisi yang kita miliki. Karena itu, kalau ada penilaian
bahwa seni budaya tidak berkembang secara baik, terutama pada generasi mudanya,
mungkin ini salah satu kendalanya. 

Meskipun banyak program yang mereka lakukan atas nama budaya tradisi, hal
itu mereka kemas menurut selera birokrasi sehingga budaya tradisi itu selalu
mereka kreasikan dan pengelolaannya diserahkan kepada institusi baru seperti
sanggar. Sementara pelaku dan pemilik budaya tradisi seperti seniman
tradisional tetap saja ditinggalkan. "Akibatnya, semangat budaya yang dimiliki
masyarakat kadang-kadang juga ikut melemah. Begitu juga dengan industri budaya
yang dikembangkan, juga tidak memberikan ruang pada pelaku budaya tradisi itu
sendiri," paparnya. 

Lantas apa yang perlu dilakukan pemerintah? Menurut Edy Utama, pemerintah
harus mendorong dan membantu secara konkret dan berkelanjutan untuk menumbuhkan
dan mengembangkan kantong-kantong budaya tradisi yang ada di dalam masyarakat.
Di kantong-kantong inilah budaya tradisi itu dikelola. 

"Bayangkan kalau kegiatan-kegiatan kesenian dikelola secara otonom oleh
masyarakat di setiap desa atau nagari, atau lagai di Mentawai, misalnya, dan
ini difasilitasi secara baik oleh pemerintah, saya yakin budaya tradisi itu
akan bergairah kembali dan akan diapresiasi oleh masyarakat," tambahnya. 

Untuk itu, menurut Edy Utama, yang mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera
Barat, itu pemerintah harus melepaskan paradigma berpikir mereka yang bersifat
sentralistik dalam pengelolaan budaya tradisi, terutama dalam membuat 
event-event
budaya tradisi itu sendiri. Seharusnya program-program budaya tradisi seperti
festival atau pekan budaya yang banyak dilakukan di berbagai daerah di
Indonesia harus diturunkan menjadi kegiatan masyarakat dan menjadikan
kantong-kantong budaya tersebut sebagai tempat wadah kegiatannya. 

Jadi harus menggeser paradigmanya dari sentralisasi menjadi desentralisasi
kebudayaan sehingga pemilik budaya tradisi tidak lagi menjadi obyek, tetapi
subyek dari kegiatan tersebut. 

Sementara itu, menurut Suryadi, pemerintah membina ruang-ruang publik di mana
seni budaya dapat dipertunjukkan oleh pendukungnya. Dengan cara begitu, secara
langsung atau tidak langsung, masyarakat akan tertarik mengapresiasi seni
budaya sendiri. 

Di Kota Jakarta yang metropolis ini, misalnya, sulit ditemukan ruang-ruang
publik tempat pertunjukan rakyat bisa ditampilkan. Ruang-ruang publik sudah
diokupasi oleh kapitalis pemodal untuk mendirikan gedung-gedung dan mal-mal.
"Dulu di zaman kolonial ada alun-alun kota tempat banyak kelompok seniman
tradisi dapat mempertunjukkan berbagai macam kesenian," katanya. 



NAL  

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/08/28/21002110/Pemerintah.Tidak.Perlihatkan.Keberpihakan.terhadap.Budaya..
 






 







      







      



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke