Ramadhan di Layar Kaca  Dikutip dari Harian Republika

Oleh: Danang Sangga Buwana
(peneliti The Icon Institute)

Bulan suci Ramadhan merupakan keistimewaan tahunan bagi umat Muslim. Di
Indonesia, aura Ramadhan terasa sedemikian berbeda dengan bulan-bulan lain.
Semua umat Muslim yang berjumlah mayoritas merayakan bulan ini dengan
pelbagai peningkatan keimanan. Puasa, tarawih, tadarus, dan bentuk amaliah
lainnya menjadi bagian tak terpisahkan. Tak hanya aktivitas keagamaan,
hampir semua level kehidupan menyatu dalam ritmis Ramadhan. Di sektor
ekonomi, mulai dari pasar tradisional hingga pasar swalayan, menyediakan
menu buka puasa dan sahur. Tak jarang bermunculan pasar 'dadakan' di
pinggiran jalan dengan pelbagai menu khas masing-masing.

Seolah tak ingin kalah, dunia media juga ikut meramaikan kehadiran Ramadhan.
Pelbagai koran harian dan majalah mingguan menyediakan *space* khusus
peliputan tentang Ramadhan. Demikian halnya layar kaca. Beragam sajian layar
kaca tampak lebih Islami dibandingkan bulan-bulan biasa. Sebut saja sinetron
Islami, komedi ringan disertai kuis interaktif, dan ceramah rohani pendek
merupakan jenis acara yang kerap ditemui di berbagai stasiun televisi. Semua
tayangan itu melegitimasi aspek religiositas nilai keimanan sebagai bagian
dari napas bulan suci. Benarkah demikian?

*Ideologi layar kaca*
Pertanyaan di atas merupakan sebuah kecurigaan wajar jika dialamatkan kepada
pelbagai acara, yang digelar stasiun televisi swasta nasional. Jauh hari
seorang profesor dan pengamat media, Dedi N Hidayat, mengingatkan bahwa
dunia media tak dapat dilepaskan dari logika  *never ending of circuit
capital accumulation* (perputaran akumulasi kapital yang tak pernah usai).
Di sini, sang Profesor memaksudkan bahwa apa pun motif tayangan televisi dan
berita, ia tak dapat lepas dari orientasi akumulasi kapital ( *profit
oriented* ). Pernyataan itu didukung oleh fakta pergeseran ideologis
pertelevisian nasional. Jika sebelumnya masih tersisa idealisme berupa
'kejernihan berita' dan 'pencerdasan masyarakat', kini setidaknya hampir
satu dasa warsa mengudara ideologi televisi bergeser kearah perolehan
'rating-share'.

*Rating-share* dimaksudkan sebagai tolak ukur kepeminatan pemirsa terhadap
sebuah tayangan televisi. Demi peningkatkan kepeminatan, televisi akan
melakukan pelbagai cara, kreasi, dan inovasi bahkan hingga menembus batas
normatif. Di titik ini, televisi berposisi di antara dua pilihan simalakama.
Pilihan pertama, agar rating naik, upaya apa pun harus dilakukan hingga
kadar tayangan yang paling kontroversial. Pada posisi demikian, tak jarang
televisi telah menerobos aturan baku etis penayangan berita ataupun hiburan.
Pilihan kedua, mempertahankan idealitas baku (sesuai normalitas standar
pemberitaan dan hiburan), yang seringkali dianggap sebagai batu penghalang
bagi perlombaan mendulang pemirsa.

Faktanya, hampir semua televisi memilih yang pertama. Lantas muncul apologi
pilihan ketiga, yaitu tetap berpretensi menaikkan rating, namun tetap berada
pada jalur normatif penyiaran.
Bagi penulis, apa pun alasannya, pendek kata layar kaca kita saat ini telah
mempunyai ideologi baru bernama 'rating-share'. Mengapa harus  *rating-share
* ? Karena hanya dengan tingginya angka rating, akan didapatkan keuntungan
melimpah. Berdasarkan konstruksi fakta ini, kecurigaan yang dialamatkan
kepada tayangan spesial Ramadhan yang disajikan oleh semua televisi swasta
nasional, layak dikemukakan dan diapresiasi.

<B>*Bisnis Ramadhan<*B>
Tayangan televisi memang kreatif, cerdas, dan inovatif. Buktinya, sajian
keagamaan dapat dikemas sedemikian rupa menjadi tayangan menarik untuk
sebuah hiburan. Secara sepintas, seolah televisi telah berperan menjadi
media peningkatan aspek religiositas dibulan Ramadhan. Memang ada beberapa
*space* khusus dakwah para dai. Namun, lebih banyak acara dakwah itu diramu
dalam sebuah komedi maupun sinetron, termasuk kuis. Maka sebenarnya,
religiositas itu hanya sebatas  *preface religiosity* . Sebuah religiositas
sebatas permukaan, yang lebih dominan menonjolkan aspek hiburan.

Jika diamati lebih jeli, terdapat perpindahan program unggulan ( *prime time
* ) ke jam tayang waktu sahur, alasannya untuk menghormati dan menyemarakkan
Ramadhan. Padahal faktanya, pergantian jam tayang itu sangat efektif
menaikkan  *rating* . Bahkan, di bulan suci ini stasiun televisi akan
mendapatkan keuntungan yang berlipat. Contohnya, jika waktu  *prime
time*(18.00-22.00 WIB) dibulan non-Ramadhan hanya sekali, di bulan
Ramadhan bisa
dua kali, yakni pada waktu sahur antara pukul 02.00-05.00 WIB. Data dari
pemeringkat  *rating* ternama menyebutkan, jumlah penonton di waktu sahur
mengalami peningkatan di atas seribu persen jika dibandingkan bulan biasa di
waktu yang sama. Jadi,  *prime time* ganda inilah yang mendulang kantong
industri layar kaca.

Selain itu, secara keseluruhan potensi audiensi di bulan Ramadhan meningkat
hingga 30 persen, jumlah yang cukup signifikan bagi  *performance* program
televisi yang berujung pada meningkatnya pendapatan iklan. Dengan demikian,
bisa jadi  *rate card* iklan juga mengalami perubahan jika program-program
Ramadhan dikemas secara khusus (spesial). Mengutip pernyataan Pengasuh
Pesantren Tebuireng, Jombang, KH Solahuddin Wahid (Gus Solah). Baginya,
program Ramadhan di televisi masih menjadi bagian dari 'bisnis Ramadhan'.

Maraknya tayangan kuis dan sinetron Ramadhan kian kentara aspek
'pembisnisan' Ramadhan untuk meraup iklan sebanyak mungkin. Tayangan
Ramadhan seringkali mengurangi nilai Ramadhan, karena menghilangkan waktu
untuk menyempatkan umat Islam melakukan tadarus Alquran dan tarawih. Bahkan,
KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menyebutkan, ada 450 adegan yang tidak
layak tayang pada program Ramadhan. Adegan tersebut mengandung unsur
kekerasan dan pelecehan dalam lelucon yang ditampilkannya.

Bisnis Ramadhan televisi dapat diamati dari aspek keseragaman tayangan.
Sinetron Islami, komedi ringan disertai kuis interaktif menjadi fenomena
keseragaman tayangan Ramadhan di negeri ini. Keseragaman ini adalah suatu
bentuk konformitas. Konformitas dalam hal ini merupakan kesamaan dalam
mengunggulkan acara-acara yang diperkirakan dapat meningkatkan minat
masyarakat untuk menonton acara tersebut. Ada semacam kelatahan dari
pengelola acara-acara televisi untuk melihat keberhasilan suatu acara,
kemudian diikuti. Keberhasilan suatu acara akan memberi keuntungan yang
besar kepada pengelola acara televisi tersebut. Hal ini sesuai dengan ide
kapitalisme.

Ide kapitalisme ini juga terkait dengan mayoritas penduduk Indonesia yang
beragama Islam. Eksploitasi umat mayoritas inilah yang dimanfaatkan
pengelola media untuk meraih keuntungan sebesar mungkin. Pengelola media
berusaha memperoleh simpati masyarakat, dengan menghadirkan acara-acara yang
sesuai dengan  *event* yang sedang berlangsung, terutama bagi masyarakat
yang dominan. Acara-acara sesuai  *event* yang ditayangkan, diharapkan akan
banyak diminati oleh masyarakat yang berujung pada keuntungan hasil tayang
iklan.

Di atas segalanya, pelbagai faktor yang melatari acara televisi di bulan
Ramadhan niscaya menjadi koreksi tersendiri bagi industri media, sekaligus
menjadi catatan bagi para pemirsa. Memang tak ada salahnya Ramadhan menjadi
momen mengembangkan bisnis tayangan layar kaca. Namun, alangkah baiknya jika
dalam waktu satu bulan ini semua pihak ikut berpuasa. Tak sekadar menahan
lapar dan dahaga dari Subuh hingga Maghrib, namun menahan segenap gairah dan
tujuan duniawi meningkatkan  *rating* . Sebab, apa pun bentuk legitimasi
religiusnya, tayangan televisi tak lebih dari sekadar memberikan
sebentuk  *preface
religiosity* . Barangkali memang sebatas itulah penampakan Ramadhan di layar
kaca!

Kini, pelaku industri televisi sebaiknya duduk bersama membuat sebuah
moratorium agar pemirsa terbiasa, dengan program yang cerdas dan
mencerahkan. Sehingga, idiom klasik 'mengikuti selera pasar' bisa dibalik
dan di- *drive* oleh para pelaku industri TV, dengan komitmen tinggi
terhadap konsepsi mencerdaskan bangsa. Jika ini bisa terwujud, atau
setidaknya terpikirkan sejak awal, televisi sebagai entitas industri akan
maksimal dalam mewujudkan misinya untuk menyajikan tayangan-tayangan yang
mendidik, tanpa mengganggu kepentingan bisnisnya.
(-)

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke