He...he... tadi ambo sangko pelakunya dunsanak kito dari suku lain....
Kironyo awak juo....

Dulu awak acok  menganggap suku tetangga kito nan sabana kekeuh jadi
pelaku rentenir...

Kini ateh namo julo-julo lah banyak pulo urang awak nan terlibat....
Baa  lah kolai mambantu kaum  ekonomi lemah nan indak punyo agunan
sarato nan indak bisa maikuti proses nan berlaku diperbankan
konvensional/syariah..

Wass

TR 54+

 

From: rantaunet@googlegroups.com [mailto:rantau...@googlegroups.com] On
Behalf Of Syafroni (Engineering)
Sent: Wednesday, October 07, 2009 11:51 AM
To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [...@ntau-net] Julo-julo Incim

 

Cerpen Ilham Yusardi

(I)
Upik Uban tegak mematung di depan daun pintu rumah Incim. Tak yakin,
tapi dikeraskan juga hatinya mengetuk pintu.
"Assalamualaikum..., Incim!" Suara Parau keringnya bergelegar.
"Ya..., tunggu. Siapa?" Sipongang suara teredam ruangan rumah. Tak lama,
ringkik daun pintu terkuak, seiring muncul perempuan paruh baya, dengan
pakaian rumah seadanya.

"Eee, Upik Uban kiranya. Kabar apa, Pik? Lama tak hinggap kau ke sini.
Ayo masuk" Incim menyila Upik Uban untuk duduk. Upik Uban melangkah
masuk. Beberapa langkah, dengan sedikit sungkan, Upik Uban melorotkan
badannya di sofa yang masih berbungkus plastik.
"Baru sofa, Ncim?" Celetuk Upik Uban, membuka obrolan.

"Seminggu. Tukar tambah" Jawab Incim sekenanya. Bergegas Incim ke
belakang. Upik Uban terkesan dengan ruang itu. Tiga meter dari tempat ia
duduk, tivi layar datar tipis seakan lekat ke dinding. Kiri-kananya
berdiri speker berhias bunga anggrek plastik. Di sudut antara sofa
berdiri guci keramik setinggi orang, bertuliskan kaligrafi.

Dinding kiri tertempel pigura cantik, foto Incim dan suami tersenyum
seukuran tivi.  Pohon anggur plastik, menjalar, berjuntai-juntai di
pembatas ruang yang terbuat dari rotan. Kaki Upik Uban pun tak bisa
membutakan permadani Turki yang tebal dan empuk. Kulit Upik Uban
termanjakan oleh udara sejuk yang disebar pendingin ruangan. Upik Uban
menelan ludah pekatnya. 

Incim keluar dengan napan stainnless steel mengkilap. Di atasnya toples
dan sebuah gelas kristal bertangkai tinggi, berisi air berwaran kuning
pekat (mungkin sirup mahal pikir Upik Uban).

"Senang kau kini, Ncim" Tukas Upik Uban, matanya memperhatikan gerik
Incim yang ringan.
Incim tersenyum lepas, bersambung tawa kecil. "Alah, kau bisa saja. Ada
paha ada kaki, ada usaha ada rejeki. Iya, kan. hehehe?" Incim membuka
tutup toples kristal. Tampak kue kering berwarna cokelat bertabur kacang
mete dan kismis.
"Silahkan dimakan kuenya, Pik!"

Upik Uban merogoh sekeping kue dari botol. Incim sibuk pula memencet
remot tivi. Seketika tivi menyala. Cahaya berlepasan meneranggi ruangan.
Gambarnya sangat jernih. Suaranya bombastis menggeletarkan jantung Upik
Uban. Di tivi tampak gambar seorang ustad kondang berceramah penuh
semangat. Kemudian tertera judul tayangan 'Kala Mayit Tak diterima
Tanah'. Incim mencet remot lagi. Merendahkan volume suara tivi.
"Apa kabar, Pik" Sahut Incim ringan saja. Upik Uban terdiam, tersadar
dari tatapan ke tivi.

"Anu, Ncim. Kalau boleh, awak mau ikut julo-julo tembak lagi dengan
Incim. Lagi butuh uang. Terdesak, Ncim. Keadaan, Ncim. Kredit motor Uda
jatuh tempo. Sebulan menunggak. Kemarin sudah ke rumah orang dealer,
Ncim. Tadi pagi juga. Katanya kalau besok tidak juga dibayar, motor akan
ditarik. Kalau motor ditarik, Ncim, uda awak tidak bisa narik ojek lagi.
Kalau uda tidak ngojek lagi, Ncim, dengan apa belanja harian awak, susu
anak awak. Itulah yang membuat awak kalampasiangan, Ncim." Panjang lebar
bercerita, tersendat-sendat antara sebak dada, dijelaskan jua niatnya
pada Incim. Incim dengan mudah mengerti situasi.

"Saya paham, Pik. Bagi saya tidak masalah. Tapi saya tidak ingin lagi
Upik seperti yang sudah sudah. Kalau bisa bayar harian julo-julonya
rutin. Biar tidak tambah susah kau. Biar cepat tamatnya"
"Iya, Ncim. Jadi"

"Julo-julo berapa yang mau kau ikut." Lanjut Incim seraya menggaruk daki
di lehernya. Upik Uban melihat kalung Incim begerincingan begitu tangan
incim menyentuh leher. Mainannya batu permata sebesar kepala sendok
berkilau, meyilau mata Upik Uban begitu terkena pantuan cahaya tivi.
"Yang hariannya sepuluh ribu saja, Ncim"
"Jadi, kau mau ambil julo-julo tembak sejuta"
"Iya, Ncim" Angguk Upik Uban tegas.
"Baiklah. Kau kutembakkan kenomor satu. Kau bisa dapat uang sekarang. O,
ya, kau sudah tahu kan aturan julo-julo harian ini?

"Sudah, Ncim" Angguk Upik Uban cepat. Incim pun bergegas masuk ke dalam
kamarnya. Terurai jugalah awan mendung yang galaukan hati upik Uban dua
hari ini.
Upik uban tentu sudah tahu betul aturan main julo-julo harian itu. Ia
ambil julo-julo tembak satu juta rupiah. Nantinya akan dibayar rutin
perharinya sepuluh ribu rupiah selama seratus sepuluh hari. Sepuluh hari
terakhir orang kampungnya menyebut hari pencabik kartu. Entah siapa yang
menetapkan undang-undang itu, sudah ada begitu saja turun temurun.
Sepuluh hari itulah upah balas jasa orang menjalankan (kepala) julo-julo
yang dijemput dari kerumah setiap harinya.

Incim keluar dengan beberapa uang bergambar Pak Sukarno dan Pak Hatta.
"Tu, wa, ga, pat, ma, nam, juh, pan, lan..., ini Pik. Sembilan ratus
ribu rupiah. Seratus ribu dipotong untuk mengisi sepuluh hari pertama"
Uang diulurkan ke arah Upik diletakkan di sudut meja, di hadapan lutut
Upik. Lalu, Incim sibuk pula membubuhi tanda paraf sepuluh baris di
kolom pertama kartu julo-julo baru. Tiap-tiap paraf itu kemudian dicap
pula dengan stempel sebesar ujung telunjuk. Kartu diserahkan ke Upik.
"Terima kasih sekali. Awak Pulang dulu, Ncim"
Upik Uban bisa lagi tersenyum.
Incim Pun tersenyum.

(II)
Sore, langit tersapu jingga dari semburat matahari siang menjelang sore.
Sepeda motor bebek Ujang Balam-pembawa motor pribadi Incim dalam
menjemput julo-julo dari pintu ke pintu-berhenti di halaman sebuah rumah
kayu lama. Suara knalpot modifikasi sepeda motor Ujang Balam yang keras
dan khas, sudah hafal oleh telinga perseta julo-julo. Incim turun,
melangkah menghampiri pintu. Sebelum sampai di pintu, dua orang bocah
melongokkan mukanya yang berkabut risau.

"Ibu di Rumah Sakit, Etek" Ujar bocah menyela suara kelotak sepatu
Incim.
"Rumah Sakit? Siapa yang sakit" Kalimat tanya itu habis di pintu. Incim
menguakkan pintu lebar-lebar, melongok ke dalam rumah. Sepi.
"Ayah, Etek. Tadi pagi sepulang dari sawah, tangan kanan, kaki kanan
ayah tidak bisa lagi digerakkan. Uda Pudin melarikannya ke Rumah sakit"
"Stroke?!" Incim tersentak, seakan tidak Percaya.

"Entahlah. Ani ndak tahu, Tek" Ucapan Ani yang terakhir itu bersibuah
dengan sebak. Ani berusaha menyeka cairan hangat yang terbit di sudut
matanya.
Incim mundur. Mengusap kedua kepala anak itu. Ia menarik nafas, kemudian
melangkah ke arah motor Ujang Balam.

Imar, Ibu kedua bocah itu ikut julo-julo incim rutin, putus sambung. Dua
puluh ribu sehari. Menerima dua juta. Uang cabutan sudah diambil untuk
mengganti atap rumah yang semula rumbia dengan seng. Sekarang tinggal
melunasi sepuluh hari Pencabik kartu saja lagi.

(III)
"Naik haji?"
"Iya"
"Kata Siapa?"
"Incim sendiri yang bilang begitu pada saya." Buk Siar, penuh semangat
meyakinkan Buk Yet akan informasinya.

Tangan mereka terus juga memilih terung yang teronggok di meja lapau Buk
Mur. Sedari tadi pilih-memilih terung itu tak kunjung selesai. Obrolan
lebih semangat. Awalnya cuma perkara garin mesjid yang baru suaranya
merdu mengumandangkan azan. Beralih ke Artis Marcella Zalianty masuk
penjara. Lalu pindah pula soal Syekh Puji nikahi perempuan bawah umur.
Bergeser lagi tentang derita Upik Uban yang suaminya ditangkap polisi
karena menjual kupon putih. Entah siapa yang mulai, tersedak saja
obrolan itu pada Incim yang konon akan pergi haji tahun ini.

"Eh, Buk" lanjut Buk Siar mencolek bahu Buk Yet, kemudian merapatkan
muncung ke telinga Buk Yet, "Kalau Incim naik haji, sah nggak sih?"
"Kenapa?"  Tanya itu berbalik ke Buk Siar.
"Julo-julo itu, eng, anu. Riba kan?" Mereka kemudian terdiam. Saling
pandang.
"Yang mana terungnya Buk?" Sahut Buk Mur, pemilik lapau. Menyentak
kesadaran meraka.

(IV)
Incim setengah hati turun dari motor. Cerah langit sore hari itu ak
senada dengan kesumat galau yang membalut hati Incim. Sudah sepuluh
lebih rumah yang ia singgahi. Belum ada hasil sama sekali. Parahnya,
orang-orang yang tak bisa ditagih itu justru peserta dengan jumlah yang
besar. Mak Lena, juragan beras, yang ikut putaran lima puluh ribu
perhari, tidak di rumah. Kata tetangganya, Mak Lena pergi ke Muaro
Kalaban, ke rumah anaknya, meyelenggarakan aqiqah cucunya. Upik Sela,
yang ikut dua puluh ribuan perhari, tidak bisa bayar hari ini. Janji
bayar besok dobel. Mintuo Taci, yang tak lain adalah istri mamaknya,
juga minta ditunggak tiga hari kedapan.

Jelang Tanggal satu. Incim maklum, Uwan, mamaknya itu PNS di Dinas
Kebersihan Pasar. Upik Uban kembali berulah dengan gaya lamanya.
Alasannya kini: udanya masih di kantor polisi. Belum ada kepastian kapan
akan keluar.

Incim berjalan menghampiri pintu rumah Ita Kamek. Ita Kamek sudah
berdiri dengan mengibarkan tiga lembar uang ribuan dan kartu julo-julo
yang sudah lecek. Ita Kamek seangkatan dengan Incim. Lawan barek Konco
Arek, kata orang. Sedari kecil mereka sudah bermain, bergaul bersama.
Sama mengaji, sama sekolah TK, SD, SMP, sampai SMEA mereka tetap sama.

"Jadi Kau naik haji, Ncim" Selorohan setengah kelakar itu keluar lebih
dulu daripada uang julo-julo beralih ke tangan Incim. Incim mengambil
uang itu tanpa peduli dengan pertanyaan Ita Kamek. Dicabiknya kasar
kartu julo-julo. Memang julo-julo Ita Kamek tamat dengan uang tiga ribu
itu.

"Jadi, Ncim?" Ita Kamek meninggikan nada suaranya. Bertanya serius. Ia
tak melihat gelagat gusar dan kerut di kening Incim.
"Eee, Nyinyir! Ndak usah banyak sigi kau lah. Ikut tiga ribu, cuma."
Akhirnya tertumpah jua kegusaran Incim.

Suasana antara keduanya jadi tegang. Dihamburkan sobekan kartu ke arah
Ita Kamek. Lalu secepatnya balik kanan, melangkah ke arah jalan.
"Eh, Ncim. Tiga ribu kali sejuta berapa, ha? Tiga-ribu-juta! Tiga
milyar! Cukup untuk kau naik haji tujuh kali berturut!" Ita Kamek tak
terima pula ia disengat mulut Incim.
"Awas Kau, ya!" Dihentikan langkah. Ditunjuk kidalnya Ita kamek dengan
geram.

(V)
Cahaya yang disemburkan layar televisi berkilasan, kerjap-kerjapan
menerpa ruangan itu. Sebentar-terkilas jam dinding besar, menujukkan
angka enam lewat pada jarum pendeknya. Sebentar-terkilas cahaya televisi
menyapu foto sepasang suami istri yang besar, menyeka guci keramik besar
yang berdiri di kiri kanan. Berkilasan menjelaskan kembang anggur
plastik yang terjuntai di pembatas ruangan. Pada saat tertentu cahaya
yang bersemburat dari televisi menerangi tubuh yang tergolek di sofa
yang masih berplastik itu.

Suara dari speker tivi yang berdiri di kiri kanan hanya sekedarnya saja.
Tidak menggangu telinga perempuan yang tergolek di sofa panjang. Suara
tivi tak ubahnya rintih pedih dari sebuah dunia lain. Terlihat gambar
pejabat menteri ekonomi dikerubuti wartawan dalam persoalan krisis
keuangan global. Kemudian beralih pada gambar gedung-gedung Bank yang
terancam bangkrut. Gambar bursa efek Jakarta yang terpaksa ditutup.
Sungguh perempuan paruh  baya itu tiada pula mengerti dan tak
bersangkut-soal dengan tayangan itu. Kemudian tayangan itu berhenti pada
tulisan huruf kapital di layar telveisi: Menantikan azan Magrib.

Azan Magrib berkumandang lamat-lamat lirih dari kedua speker. Tivi
menampakkan gambar orang-orang berangkat menuju masjid. Ada tulisan arab
dan latin lafalan azan di layar seiring kumandang azan.

Langit makin kelam. Matahari mulai berpejam. Lampu ruangan belum juga
dinyalakan. Sesekali percikan cahaya yang bersemburat dari tivi jatuh di
tubuh  perempuan itu. Ia tidur dengan pergelangan menyilang di atas
kening. Kiri dan kanan kening perempuan itu masing-masing ditempeli koyo
cabe.

"Hayyalal fallah...." Suara dari tivi itu terlalu lamat, terlalu pelan,
mungkin tak sampai menyentuh gendang telinga perempuan yang rebah kuda
di sofa itu.

 



 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke