Selasa, 24/11/2009 12:27 WIB Oleh: Suryadi <http://padang-today.com/foto/artikel/SURYADI.jpg> klik untuk melihat foto
“Tiap-tiap tahun banyak yang haji / Setengahnya kasad [niat] karena puji...” (Syekh Daud Sunur) Implikasi sosial dari bertambahnya orang yang bergelar haji dalam masyarakat tampaknya masih jauh dari harapan. Setiap tahun ribuan orang Indonesia naik haji, menghabiskan waktu, tenaga, dan uang milyaran rupiah. Dan jika dilihat dari segi historis, orang dari kepulauan Nusantara sudah sejak abad ke-17 naik haji, dan jumlahnya cenderung meningkat tiap tahun, seperti dapat dibaca dalam studi Martin van Bruinessen, “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji” (1997). Di musim haji 2009 ini ratusan ribu orang Indonesia lagi pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji. Khusus jemaah haji dari Sumatra Barat, mereka berangkat dalam suasana keprihatinan karena kampung halaman mereka yang masih porak poranda akibat dilanda gempa. Pendek kata, keinginan orang untuk naik haji tidak dapat dihalangi oleh apapun. Namun demikian, efek positif ibadah haji itu, baik secara psikologis maupun sosiologis, bagi peningkatan kualitas keagamaan dalam membangun masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik masih belum terasa. Tanpa mengabaikan adanya pengecualian, umumnya aktualisasi makna kehajian itu, dalam wujud sikap dan tingkah laku, hanya kentara di tahun (-tahun) awal sepulangnya seseorang dari menunaikan ibadah haji. Semakin lama aktualisasi kehajian itu cenderung menurun. Apa sebabnya terjadi hal yang demikian itu? Salah satu sebabnya, menurut hemat saya, karena kebanyakan jemaah haji Indonesia berasal dari kalangan yang ber-uang tapi kualitas pendidikannya rendah. Bahkan tidak sedikit yang buta huruf. Orang yang pendidikannya rendah, apalagi buta huruf, akan sulit mencari makna yang jauh tersimpan di balik prosesi keagamaan seperti ibadah haji. Ibadah haji jelas menghendaki pemahaman individual para pelakunya, karena rangkaian prosesi yang dilakukan selama menjalankan ibadah haji penuh simbol. Seorang calon haji yang buta huruf akan lebih merasakan sebuah karnaval keagamaan selama menunaikan ibadah haji. Efek karnaval hanya bersifat temporal dan sebentar. Setelah sang haji sampai di tanah air mereka, efek itu akan cepat menghilang dan kurang membekas dalam jiwanya. Identitas ke-haji-annya hanya tinggal di sorban dan jubah. Sudah sejak dulu muncul kritik terhadap jemaah haji Indonesia yang umumnya berpendidikan rendah itu. Salah seorang di antara pengeritik awal tentang isu ini adalah Syekh Daud, seorang reformist yang terusir dari kampungnya, Sunur Pariaman, karena tidak setuju dengan kaum ortodoks yang mengembangkan “Agama Ulakan” yang berbasiskan paham Martabat Tujuh. Syekh Daud mengemukakan kritiknya itu dalam sebuah karyanya yang terkenal, berjudul Syair Mekah dan Madinah atau Syair Rukun Haji (SRH), yang ditulisnya di Mekah di tahun 1830-an. Salah satu kritik Syekh Daud adalah bahwa jemaah haji dari negerinya (Hindia Belanda pada waktu itu) adalah orang yang agak pemalas dibanding jemaah haji dari negeri lain. Mereka pergi ke Mekah—menghadapi berbagai rintangan alam, perampokan, dan calo—hanya untuk melakukan ibadah haji saja secara taklid, dan kemudian pulang membawa pakaian haji dan tentu saja gelar haji atau hajjah. Bagi mereka hal itu sudah cukup dan mereka sudah merasa puas. Menurut Syekh Daud hal ini disebabkan kurangnya pendidikan jemaah haji kita. Jika pendidikan seseorang kurang, apalagi buta huruf, maka wawasannya juga sempit. Mereka tidak ada ikhtiar dan tidak mau memanfaatkan waktu selama di Tanah Suci untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat selama musim haji, misalnya menuntut ilmu agama dan ilmu-ilmu lain kepada guru-guru dan ulama di Mekah dan Madinah yang—meminjam kata-kata Syekh Daud sendiri—“sukar...membilangnya” karena “beribu2 entah laksanya.” Syekh Daud juga mengeritik orang kita yang menunaikan ibadah haji untuk berdagang (Setengah haji berniat celaka / Pergi ke Mekah hendak berniaga). Ibadah haji itu jadinya bukan tujuan utama. Dalam konteks sekarang, ini mungkin bisa kita bandingkan dengan trend pejabat naik haji. Perlu disangsikan apakah tujuan utamanya memang untuk beribadah atau hanya untuk kepentingan politik, misalnya agar mereka dianggap pemimpin yang saleh dan dapat dipercaya rakyat. Dengan kata lain, Syekh Daud mengingatkan bahwa selama melaksanakan ibadah haji terbuka luas kesempatan untuk belajar, merefleksi diri, dan meningkatkan kualitas keagamaan. Dalam salah satu bait SRH Syekh Daud menulis: Setengah orang yang pergi haji / Tiada perduli hendak mengaji / Disangkanya mudah hukumnya haji / Sorban jubah sudahlah jadi. Faktor pendidikan akan membedakan pemahaman spiritual orang per orang yang telah melakukan ibadah haji. Sulit dibantah bahwa orang yang berpendidikan dan berilmu akan terhindar dari sifat taklid dalam beragama. Namun ini bukan batasan mutlak: banyak juga orang terpelajar pergi naik haji hanya untuk meningkatkan prestise di tengah masyarakat dan untuk kepentingan sosial-politik tertentu. Dalam SRH terdapat kesan kuat bahwa Syekh Daud ingin memajukan cara berpikir jemaah haji sebangsanya, agar mereka dapat memahami Islam dengan benar, khususnya ibadah haji. Beliau menganjurkan orang sebangsanya agar terus belajar dan jangan pilih-pilih tempat untuk menuntut ilmu. Beliau juga berpendapat bahwa orang muslim yang berilmu akan dapat memahami agamanya dengan lebih baik daripada mereka yang bodoh, seperti yang terefleksi dalam bait yang lain dalam SRH: Handai dan tolan baiklah dengarkan / Menuntut ilmu aku kabarkan / Syarat bahagia aku bukakan / Supaya sah ibadat Tuan. Banyak sudah buku petunjuk tentang ibadah haji yang telah diterbitkan dan dilahap oleh calon jemaah haji kita sebelum berangkat menuju Tanah Suci. Di dalam buku-buku itu terselip pula harapan-harapan muluk kepada jemaah haji kita: semoga pedikat “haji” atau “hajjah” yang sudah mereka sandang akan meningkatkan kesalehan kepada Tuhan yang mudah-mudahan tercermin pula dalam hubungan bermasyarakat. Antara 1869 sampai 1889 SRH diterbitkan enam kali di Singapura, kota pelabuhan embarkasi haji Nusantara di abad ke-19 (Proudfoot 1993: 343-44). SRH yang betulisan Arab-Melayu (Jawi) itu menjadi “buku panduan haji” bagi calon haji Nusantara di abad ke-19. Keenam salinan SRH itu, ditambah dengan lebih dari selusin salinan tangan (manuskrip) syair ini, sekarang masih tersimpan di berbagai perpustakaan di Dunia (Suryadi 2001; 2004). Baik RSH maupun buku-buku modern tuntuan haji yang diterbitkan di abad ke-20 semua mengarah ke satu harapan: agar jemaah haji kita semakin berkualitas, dalam statusnya sebagai umat beragama dan sebagai warga negara Indonesia. Namun, harapan itu tidak akan terwujud jika tidak dibarengi pula dengan peningkatan kualitas pendididkan (calon) jemaah haji kita. Dalam arti yang lebih luas, itu berarti bahwa kualitas pemdidikan bangsa ini secara keseluruhan harus ditingkatkan. Tulisan ini lebih memproyeksikan harapan kita semua kepada para haji dan hajjah kita yang baru sedang melaksanakan prosesi ibadah haji di Tanah Suci. Tak ada alasan bahwa sesudah menjadi haji/hajjah lalu seseorang sudah merasa puas dan berhenti belajar. Lebih dari 170 tahun lalu, Syekh Daud sudah mengingatkan orang sebangsanya di Mekah (Jawah Mukim) bahwa haji tanpa ilmu adalah perbuatan yang mendekati sia-sia. Jika tidak, ibadah haji yang telah dilaksanakan itu dikhawatirkan tidak akan memberi pencerahan spiritual. Kita menaruh harapan bahwa jemaah haji kita tahun ini telah belajar—dalam arti tidak sekedar melakukan prosesi ibadah haji saja—selama mereka tinggal di Mekah. Begitu juga setelah mereka kembali ke tanah air. Dan semoga kepulangan rombongan haji kita tahun ini akan dapat menjadi penawar bagi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami degradasi di berbagai bidang. Di awal tulisan ini telah saya kutipkan kritik Syekh Daud kepada (calon) haji kita di abad ke-19. Kata-kata beliau itu agaknya masih relevan untuk direnungkan oleh jemaah haji kita kini. Kepada jemaah haji Indonesia tahun 2009 kita ucapkan selamat menunaikan Rukun Islam yang kelima. Semoga mereka yang pergi haji tahun tidak didorong oleh “kasad (niat) karena puji”. Dan semoga mendapat haji mabrur! Penulis adalah dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda http://padang-today.com/index.php?today=article <http://padang-today.com/index.php?today=article&id=1048> &id=1048 --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ . Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama =========================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
<<inline: image003.jpg>>