Kalau kata yang lagi tren sekarang "inilah limbah atau polusi dari kekuasaan 
para elit2 dan politik"

Terasa sekali kezaliman kekuasaan para elit dalam permainan "bank century" ini 
jika kita bandingkan dengan si Minanh tersebut misalnya

Atau fakta yang saya lihat nelayan gurem yang memukat isi kanduanya berat di 
ubur2 jika ada anak ikan tidak lebih seharga 100 ribu sajo di borong panggaleh

5 di kiri dan 5 dikanan menarik pukat tambah pawang bersampan 2 orang menebar 
pukat, meraka bagi rata hanya sekitar 8.300 mereka dapatkan saya juga berhitung 
itu artinya jika dana yang dikucurkan oleh pemerintah untuk Bank Century 
tersebut sebesar 6,7 T maka nelayan gurem tersebut untuk mendapatkan uang 
tersebut per orangnya perlu memukat sabanyak 807 juta  kali !!! Atau secara 
kolektif ya tinggal dikurangi saja nolnya lima menjadi 67 juta kali !!!

Jika SD yang saya lihat di desa Langkimat Paluta Sumut, bagus sedikit dari 
kandang sapi berlantai tanah perlu direhab secara sederhana dengan anggaran 100 
juta maka akan terbangun. 67 ribu SD yang cukup memadai dari kondisi awal lebih 
bagus sedikit dari kandang sapi

Sungguh ini sebuah limbah dari kekuasaan dan demokrasi cara2 pemerintah dalam 
mengelola uang rakyat, menyedihkan memang

Wass-jepe
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-----Original Message-----
From: "Indra J Piliang" <pi_li...@yahoo.com>
Date: Thu, 3 Dec 2009 01:37:54 
To: RantauNet<RantauNet@googlegroups.com>
Subject: [...@ntau-net] Angket Century dan Bangsa Jin


-----Original Message-----
From: Koran Digital <korandigi...@gmail.com>
Date: Wed, 2 Dec 2009 17:35:18 
To: Koran Digital<koran-digi...@googlegroups.com>
Subject: [Koran-Digital] IJP: Angket Century dan Bangsa Jin


Angket Century dan Bangsa Jin

Kamis, 3 Desember 2009 | 02:55 WIB

Indra J Piliang
Dewan Penasihat The Indonesian Institute dan Mensesneg Kabinet
Indonesia Muda

Di harian Kompas (2/11/2009) saya kemukakan, diperlukan 67 kali gempa
bumi berkekuatan 7,6 skala Richter di Sumatera Barat agar dana Rp 6,7
triliun keluar dari rekening pemerintah.

Pemerintah hanya menyiapkan dana tanggap darurat Rp 100 miliar. Jika
dipikirkan dampak sistemik dari gempa itu, bukan hanya ekonom yang
sepakat atas kerusakan ekonomi, tetapi juga budayawan, terkait artefak-
artefak kebudayaan.

Sementara ”nasabah” negara (baca: warga negara) yang terkena dampak
gempa mencapai 1,5 juta lebih. Yang terkena, selain sistem perbankan,
juga urat nadi perekonomian, bangunan sekolah, rumah ibadah, ratusan
manusia terkubur hidup-hidup, dan buku-buku menjadi bubur. Gempa
Sumbar kini kehilangan relevansinya, ditutupi persaingan politik
elite. Gejala tidak beres dimulai saat dana lauk-pauk tidak sampai ke
tangan warga.

Berbeda dengan AS. Akibat badai Katrina di New Orleans, Presiden
George W Bush minta kepada Kongres dana tahap kedua 51,8 miliar dollar
AS setelah menggelontorkan 10,5 miliar dollar AS pada tahap pertama
(VoA, 8/9/2005).

Ini menunjukkan, bagaimana dalam keadaan darurat, sistem bekerja cepat
bagi pihak yang paling membutuhkan. Kedaruratan dan dampak sistemik
dari bencana alam benar-benar dipikirkan meski badai krisis ekonomi
juga sedang mengancam. Warga negara sebagai ”nasabah” konstitusi
mendapat perhatian maksimal.

Bank Century

Benarkah krisis ekonomi mengancam bila Bank Century tidak digelontor
dana Rp 6,7 triliun? Analisis dampak sistemik dari ketiadaan kucuran
dana pemerintah itu dikerjakan oleh para analis keuangan dan pejabat
negara di ruangan tertutup dalam rapat-rapat menjelang pagi.

Benarkah tujuan penggelontoran dana adalah nasabah yang hingga kini
sebagian belum dibayar hak-haknya? Ataukah kebijakan itu adalah jalan
pintas untuk menutupi simulasi sistem perbankan? Di sinilah letak
pentingnya hak angket DPR, yakni memeriksa pekerjaan para pengambil
keputusan.

Kalaupun itu domain ekonom, seberapa banyak ekonom dari beragam aliran
dilibatkan sebelum keputusan diambil? Saat penggelontoran menjadi
kebijakan, ranah politik langsung tersentuh. Maka, jika ada politisi
mengatakan, ”Jangan politisasi hak angket”, jawabannya sederhana,
”Mengapa dampak sistemik Bank Century juga dipolitisasi dalam bentuk
angka?” Keputusan penggelontoran dana sebesar itu, dalam kondisi
sedarurat apa pun, layak diurai hingga setiap sen uang yang dipakai.

Bagaimanapun, penggunaan dana Rp 6,7 triliun untuk sebuah bank
nasional adalah masuk kategori besar. Dana lebih besar adalah untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias pascatsunami. Untuk APBN
Perubahan 2005, dana itu mencapai Rp 9,48 triliun yang juga datang
dari luar negeri. Untuk dampak sistemik akibat kematian lebih dari
200.000 jiwa dan keadaan darurat yang melanda lebih dari empat juta
penduduk, dana itu pun tergolong besar.

Perbedaannya, dana tsunami dan gempa bumi dengan mudah diketahui.
Siapa pun bisa menghitung ulang jumlah korban manusia atau bangunan
yang hancur. Penggunaan dana juga bisa dilacak meski ada kebocoran di
sana-sini. Berbeda dengan dana Bank Century, setiap orang bisa tahu
angka fantastis itu. Namun, ketika diselidiki ke mana perginya,
beragam aturan menutupi. Dana Bank Century seperti Jin Aladin yang
hanya terlihat asap saat lampu wasiat digosok.

Hak angket

Penggunaan hak angket adalah upaya bangsa untuk menjaga rasionalitas
dalam kehidupan bernegara. Kita bukan bangsa jin yang bebas menyulap
angka. Tingkatan manusia lebih tinggi dari jin. Jika ada rambu-rambu
hukum yang menutupi larinya dana itu, rambu-rambu hukum tersebut harus
diganti. Produk hukum baru layak dibuat. Jangan sampai ada yang
membaca mantra, ”Sim Salabim”.

Pidato Presiden Yudhoyono tegas mengatakan, tidak boleh ada fitnah
yang mengatakan dana itu mengalir kepada partai politik atau tim
kampanye nasional pasangan tertentu dalam pemilu. Perusahaan
perkebunan saja bisa mengetahui, Minah mengambil tiga biji kakao.
Dengan Rp 6,7 triliun, berapa biji kakao bisa dibeli dan diberikan
kepada Minah? Kalaulah uang itu dijahit dalam bentuk pecahan Rp 1.000,
berapa kali mengelilingi bumi ke bulan?



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/03/02550635/angket.century.dan.bangsa.jin
“Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang 
sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan.” -- Otto Von 
Bismarck
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---




--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke