Assalamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu

(6)
 
Mobil melaju dibawah guyuran hujan lebat, melalui Palangki, terus ke simpangan 
ke Sijunjung. Entah apa nama kampung ini, aku lupa. Padahal aku pernah 
mengakrabinya tahun 1978 dulu. Menempuhnya masuk sampai ke Sijunjung, ke Muaro 
Sijunjung di tepi Batang Kuantan. Ketika aku mengerjakan perpetaan geologi 
untuk thesisku di daerah Sijunjung ini. Merancah sungai Sukam, masuk ke 
kampung-kampung dan sungai-sungai kecil. Dulu di jalur ini ada tanda rambu lalu 
lintas bergambar harimau, untuk mengingatkan pengendara mobil bahwa 
sewaktu-waktu harimau bisa saja melintas. Ya, jalan ini adalah jalan raya 
contoh yang tidak dicontoh. Jalan raya buatan perusahaan Korea di tahun-tahun 
terakhir 1970an. Orang Korea yang membuatkan jalan ini sejak dari Muaro Kalaban 
sampai ke Lubuk Linggau. Sekarang, sesudah lebih dari 30 tahun,  jalan itu 
masih enak dilalui, walau ada kerusakan-kerusakan kecil. Begitu cara orang 
membuat jalan. Bertahun-tahun maintenance free. Sementara
 awak membuat jalan kadang-kadang hanya untuk dipakai dalam bilangan bulan, 
sudah harus diperbaiki lagi.  Antahlah maak…. Karena disitu sumber rejeki, kata 
yang punya proyek.
 
Hujan mulai agak reda. Kecepatan mobil tidak bisa terlalu dipacu. Kami 
berpapasan dengan truk tronton besar pembawa batu bara. Berpuluh-puluh 
banyaknya. Daerah sekitar Pulau Punjung yang sekarang adalah kabupaten 
tersendiri, kabupaten Damasraya namanya,  banyak menghasilkan batubara. 
Batubara itu dibawa ke Teluk Bayur melalui Solok dan Sitinjau Lauik. Sepertinya 
truk tronton ini memberi andil kepada cepat rusaknya jalan terutama di daerah 
Sitinjau Lauik yang labil itu. 
 
Telah kami lalui Sungai Dareh, Pulau Punjung dan entah kota kecil apa lagi. Aku 
sudah banyak lupa. Terakhir kali aku mengendarai mobil di jalan ini adalah di 
tahun 2000 yang lalu, pulang pergi Jakarta – Bukit Tinggi. Waktu itu melalui 
jalur tengah. 
 
Kami sampai di Muaro Bungo di waktu maghrib. Langsung berbelok ke kiri menuju 
Jambi. Target kami adalah Jambi dan disana nanti kami akan beristirahat. Muaro 
Bungo – Jambi ini kalau tidak salah jaraknya lebih dari 300 kilometer. Yang aku 
ingat, dulu ketika aku melintasinya di tahun 1998, sangat sedikit pompa bensin 
di sepanjang jalur ini.
 
Jalan ini masih lumayan bagus meski lebih kentara ada lobang-lobang kecil di 
sana-sini. Hujan rintik-rintik masih turun. Kendaraan yang lalu lalang masih 
banyak. Paling tidak lebih ramai dari yang aku ingat sepuluh tahun yang lalu. 
Pambayan (suami adik ipar) menanyakan apakah aku sudah mau digantikan. Aku 
jawab biarlah sebentar lagi. Mungkin dia ingat bahwa aku pernah berkomentar, 
seboleh-bolehnya aku menghindari menyetir di malam hari.
 
Di Muaro Tebo kami berganti. Setir aku serahkan kepadanya. Kami mengisi bensin 
disini. Kami teruskan perjalanan di kegelapan malam. Kadang-kadang aku coba 
mengintip batu penunjuk kilometer jalan. Batu yang malang itu hampir tidak ada 
manfaatnya. Tulisannya kecil-kecil, disingkat pula. Muara Tebo disingkat MTO, 
Muara Tembesi MTB. 
 
Terasa benar panjangnya jalan menuju Jambi. Rasanya sudah lama kami 
melintasinya belum juga kunjung sampai. Waktu di Limbanang dua hari lalu, kami 
mendengar cerita bahwa jalur Tempino – Jambi jalannya rusak, karena digunakan 
oleh truk-truk besar pembawa logistik alat-alat pengeboran minyak bumi. Kami 
sepakat tidak akan melalui jalan ini. 
 
Di suatu tempat, di depan sebuah masjid mobil dihentikan suami adik ipar dan 
dia turun. Aku pikir mungkin dia ingin ke kamar kecil. Ada kira-kira sepuluh 
menitan dia di luar. Rupanya dia bersenam-senam kecil untuk melemaskan otot. 
Aku tahu dari istrinya. Kota Jambi masih lebih dari 60 kilometer lagi di 
hadapan. Aku menawarkan diri kalau-kalau dia ingin digantikan. Tidak usah, 
bang, katanya. 
 
Kami sampai di Jambi menjelang tengah malam. Segera mencari tempat makan. Dan 
sesudah itu mencari penginapan. Kami menginap di hotel Matahari untuk setengah 
malam itu.
 
                                                
                                                            *** 
Muhammad Dafiq Saib Sutan Lembang Alam
Suku : Koto, Nagari asal : Koto Tuo - Balai Gurah, Bukit Tinggi
Lahir : Zulqaidah 1370H, 
Jatibening - Bekasi



      

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke