Assalamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu

(8)
 
Kami berada di tengah-tengah ketersendatan.  Kendaraan truk-truk besar 
berlapis-lapis di hadapan. Ada tehnik sederhana yang biasa aku lakukan untuk 
menyalip kendaraan di saat macet seperti yang saat itu kami alami. Teknik 
menunggu kendaraan lain di depan menyalip dan kemudian ikut di belakangnya.  
Setiap kali ada kendaraan di depan yang sedang pindah jalur ke kanan untuk 
mendahului, berarti jalur kanan itu aman bagi kendaraan kami dan aku melesat 
pula maju mendahului. Kalau kendaraan di depan merapat ke kiri karena ada 
kendaraan dari arah berlawanan, aku juga segera merapat ke kiri. Hanya dengan 
cara seperti itu truk-truk besar itu bisa dilewati dengan mudah.
 
Sudah jam tujuh malam waktu kami terbebas dari kemacetan. Sudah kami lalui Kayu 
Agung. Kami melaju dalam kegelapan malam. Jam delapan malam kami berhenti di 
sebuah pompa bensin. Untuk mengisi bensin. Untuk ke kamar kecil dan terakhir 
untuk shalat. Aku tidak menanyakan nama tempat itu. 
 
Setelah shalat kami lanjutkan lagi perjalanan. Kami sudah sepakat untuk tidak 
beristirahat di penginapan malam ini. Lagi pula mau menginap di penginapan mana 
lagi? Kalau menempuh jalur Palembang, yang dikenal sebagai jalur timur ini 
tidak banyak kota yang dilalui. Seandainya harus beristirahat, paling-paling 
berhenti di pompa bensin dan tidur dalam mobil. 
 
Jalan ini relatif ramai. Kalau aku memacu sendirian agak kencang, tidak lama 
kemudian di hadapan kami sudah ada lagi kendaraan. Kalau kendaraan lain itu 
berjalan santai tentu harus dilewati. Ada beberapa buah bus jarak jauh yang 
kami jumpai searah dengan kami. Ini juga sebuah alat pembanding yang baik. Bus 
ini cenderung untuk kencang ketika jalan tidak mendaki. Aku senang mengiringkan 
bus seperti ini. Tinggal dijaga jarak aman di belakangnya. Dia kencang, aku 
ikuti pula dengan kecepatan yang sama. Tidak kencang sangat. Mungkin dengan 
kecepatan sekitar 100 km per jam. Begitu ada jalan mendaki, bus itu biasanya 
terengah-engah. Kalau sudah begitu aku dahului.
 
Penumpang di kendaraan kami sudah senyap. Sepertinya mereka sudah kecapekan dan 
kemungkinan sedang tertidur. Termasuk pambayan yang duduk di sebelahku. Aku 
sendiri alhamdulillah dalam keadaan segar-segar saja. Baik juga khasiat kopi 
yang diminum sore tadi. Kalau sudah begini, aku biasanya mengaji. Membaca al 
Quran yang aku hafal. Sambil mata tetap awas ke depan.
 
Jalan yang kami tempuh dalam kondisi sangat baik. Hampir tidak ada kerusakan. 
Kabarnya jalan ini diperbaiki menjelang pelaksanaan PON dua tahun yang lalu. 
Dan dua tahun yang akan datang Palembang akan jadi tuan rumah SEA Games. 
Mudah-mudahan jalan ini akan tetap terpelihara kenyamanannya. Ada satu 
kekurangan jalur ini yang aku ingat benar ketika dulu aku juga pernah 
melintasinya. Banyak ditemukan belokan patah membuat sudut 90 derajat. Belokan 
patah siku seperti itu rupanya sudah banyak berkurang. Belokan seperti itu 
sangat beresiko apalagi kalau pengemudi sedang kelelahan. 
 
Kekurangan lain, persis seperti yang aku amati tadi malam di jalan menuju Jambi 
adalah minimnya batu penunjuk jarak. Kami bagaikan berjalan di pesawangan tanpa 
batas. Tidak tahu kota atau kampung apa yang akan dijelang berikutnya dan 
berapa jaraknya. 
 
Kami teruskan saja perjalanan. Tiba-tiba mobil kami didahului oleh bus besar, 
yang tadi sudah dilewati. Aku biarkan dia di depan dan aku ikuti kembali 
seperti tadi. Kami beriring-iringan dalam waktu yang cukup lama. Jalan relatif 
rata walau kadang-kadang berbelok-belok. Akhirnya kami sampai di Menggala. 
Menggala nama sebuah kota. Kali ini ada penunjuk ke arah Bakauheni. Aku sudah 
diberi tahu kemaren di Bukit Tinggi bahwa ada jalan baru memintas ke Bakauheni. 
Katanya jalan itu bagus hanya agak sempit. Kami tidak akan mengambil jalan 
pintas itu. 
 
Kami keluar ke pertemuan jalan lintas timur dengan lintas tengah di Tulang 
Bawang. Aku tidak mengenal jalur ini. Kami sampai ke sini karena dari tadi 
mengikuti bus besar antar kota itu. Jalan yang aku kenal adalah keluar dekat 
Bandar Jaya. Kota itu sudah dekat ke Bandar Lampung. Sedangkan Tulang Bawang 
masih jauh dari Bandar Lampung. Masih sebelum Kota Bumi. 
 
Sudah jam satu malam. Berarti aku sudah menyetir lebih dari tujuh jam. Sudah 
lumayan lelah. Ketika suami adik ipar menawarkan pergantian aku langsung 
mengiyakan. Sebenarnya perut sudah lumayan lapar. Kami tahan. Kami akan makan 
nanti menjelang Bandar Lampung 
Muhammad Dafiq Saib Sutan Lembang Alam
Suku : Koto, Nagari asal : Koto Tuo - Balai Gurah, Bukit Tinggi
Lahir : Zulqaidah 1370H, 
Jatibening - Bekasi


      
-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke