Ambo temukan tulisan iko milis (MLingkungan
<lingkun...@yahoogroups.com>). Menarik kisah kisah hidup pendamping
pertanian yang legendaris ko. Semoga bermanfaat kapado kito, dengan
kesederhanaannyo kemudian berhasil memajukan sebuah desa. Kehebatannyo
menyebabkan Taufik Ismail khusus membuatkan puisi untuknya.
Salam
Andiko Sutan Mancayo
21 Januari 2010
Mengenang Kasim Arifin, Aktivis Bersandal Jepit
Oleh Afrizal Akmal –
Suatu pagi di persimpangan jalan, sebuah botol aqua dicampakkan ke jalan
dari celah kaca mobil yang setengah tertutup. Oops…, tiba-tiba dari arah
belakang seseorang berbecak dayung turun dan memungut botol yang sudah
kosong itu, lalu melemparkannya kembali ke dalam bak sampah yang
setengah miring di atas trotoar. Aku terkesima..!!
Aku tersadar, bahwa orang seperti itu penting dan kita perlukan. Mataku
tertuju pada sandal jepitnya. Sandal jepit kesederhanaan yang mambawa
aku mengenang kembali seorang aktivis sejati yang pernah “hilang” di
Waimital, Pulau Seram, Maluku kembali ke IPB dengan kisah suksesnya
membantu petani transmigran yang miskin. Dia adalah seorang Mohamad
Kasim Arifin, yang meraih keberhasilan dengan swadaya, tanpa sepeser pun
bantuan dana dari negara.
Pesona kesederhanaan Kasim Arifin itu pula yang telah mengoyak-ngoyak
nurani seorang penyair ternama Taufik Ismail. Begitu melihat dirinya
sendiri, seorang dokter hewan yang hanya bersyair-syair saja kerjanya
(begitulah diakuinya dalam sajaknya untuk mengenang Mohamad Kasim
Arifin), ia merasa perlu menyembunyikan wajahnya menyembul di kali
Ciliwung. Kasim yang hidupnya tak gemerlapan itu membuatnya merasa malu
dan bersalah.
Mohamad Kasim Arifin, mahasiswa IPB yang selama 15 tahun mengabdi di
Waimital, Pulau Seram, lahir 18 April 1938 di Langsa, Aceh Timur. Dia
adalah seorang mahasiswa Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Pada tahun 1964 Kasim dikirim oleh fakultasnya untuk menjalani program
"Pengerahan Tenaga Mahasiswa" (semacam Kuliah Kerja Nyata sekarang)
selama beberapa bulan di Waimital, dengan tugas memperkenalkan program
Panca Usaha Tani. Namun yang terjadi malah ia begitu terlibat dengan
pengabdiannya mengajar para petani setempat bagaimana meningkatkan hasil
tanaman dan ternak mereka. Akhirnya ia lupa untuk pulang dan
menyelesaikan skripsinya.
Kasim menolong masyarakat desa untuk menjadi mandiri. Bersama-sama ia
membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, dan
semua itu dilakukannya tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah.
Masyarakat setempat sangat menghargai kesederhanaan, kedermawanan dan
tutur katanya yang lembut. Oleh masyarakat setempat, ia disapa sebagai
Antua, sebuah sebutan bagi orang yang dihormati di Maluku.
Orangtuanya meminta agar Kasim segera pulang namun permintaan itu tidak
dihiraukannya. Demikian pula panggilan sekolahnya, bahkan rektor IPB
sekalipun, Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, tidak dipedulikannya.
Panggilan ketiga sekolahnya yang disertai oleh utusan khusus Rektor IPB,
yaitu sahabatnya sendiri, Saleh Widodo, akhirnya berhasil menggerakkan
Kasim untuk pulang dan menerima gelar insinyur pertanian istimewa, bukan
karena ia berhasil mempertahankan skripsinya dalam sebuah ujian,
melainkan karena ia telah menunjukkan baktinya selama 15 tahun tanpa
pamrih dan gaji.
Kasim biasanya hanya bersandal jepit. Tapi pada hari wisuda itu, 22
September 1979 itu ia mengenakan jas, dasi dan sepatu, sumbangan
teman-temannya, yang cuma membuatnya kegerahan. Taufiq Ismail, penyair
Indonesia terkemuka yang juga teman kuliah Kasim, menghadiahinya dengan
sebuah puisi yang berjudul: "Syair untuk Seorang Petani dari Waimital,
Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya".
Dalam puisinya, Taufiq menuliskan renungannya:
Dari pulau itu, dia telah pulang Dia yang dikabarkan hilang Lima belas
tahun lamanya Di Waimital Kasim mencetak harapan Di kota kita mencetak
keluhan (Aku jadi ingat masa kita diplonco Dua puluh dua tahun yang
lalu) Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca Kulihat mukaku yang
keruh dan leherku yang berdasi Kuludahi bayanganku di air itu karena
rasa maluku Ketika aku mengingatmu, Sim
Selesai wisuda Kasim mendapatkan berbagai tawaran pekerjaan, namun yang
dilakukannya malah kembali ke desa, ke Waimital. Baru setelah itu, Kasim
menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, di Banda
Aceh, meskipun hatinya tetap condong untuk mengabdikan keahliannya
kepada para petani. Ia pensiun dari jabatannya sebagai dosen pada 1994.
Pada tahun 1982 Kasim mendapatkan penghargaan "Kalpataru" dari
pemerintah untuk jasa-jasanya membangun masyarakat desa dengan wawasan
lingkungan hidup. Kasim yang tidak gila pada penghargaan, “membuang”
kalpataru itu di bawah kursi dan meninggalkannya begitu saja, hingga
akhirnya seseorang mengantarkan kalpataru itu ke rumahnya.
Kasim menikah dengan Syamsiah Ali, seorang guru Bahasa Indonesia di
sebuah SMA di Banda Aceh. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Anak
sulungnya belajar di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. "Saya
terlambat menikah," Kasim mengaku. Tidak mengherankan, karena sebagian
hidupnya diabdikannya sepenuhnya bagi masyarakat Waimital. (Sumber
rujukan: Hanna Rambe, "Seorang Lelaki di Waimital", Penerbit Sinar
Harapan, 1983)
Dia di Waimital jadi petani/ Dia menyemai benih padi/ Orang-orang
menyemai benih padi/ Dia membenamkan pupuk di bumi/ Orang-orang
membenamkan pupuk di bumi/ Dia menggariskan strategi irigasi/
Orang-orang menggali tali air irigasi/ Dia menakar klimatologi hujan/
Orang-orang menampung curah hujan/ Dia membesarkan anak cengkeh/ Orang
kampung panen raya kebun cengkeh// Penggalan puisi di atas ditulis
Taufiq Ismail pada tahun 1979, menggambarkan sosok Kasim Arifin.
Kasim selalu memperlihatkan catatan berisi angka-angka laju kerusakan
hutan di Indonesia, yang mencapai rata-rata tiga juta hektar per tahun.
Lebih detail lagi, Kasim menghitung laju kerusakan hutan per detik, yang
menunjukkan angka 965 meter persegi. Aceh saja, laju kerusakan hutannya
rata-rata 200.000 hektar per tahun atau 62,23 meter persegi per detik.
Dengan laju kerusakan hutan yang begitu besar, ternyata rehabilitasi
hutan hanya rata-rata 70.000 hektar per tahun. Sementara pertambahan
penduduk yang rata-rata tiga juta jiwa per tahun pada kenyataannya
justru mempercepat laju kerusakan hutan, bukan memperbesar rehabilitasi
hutan. Mengapa rehabilitasi hutan tidak mampu mengimbangi laju kerusakan
hutan?. Manusia hanya mengeksploitasi hutan, selebihnya tak banyak yang
bisa diharapkan.
Di usianya yang semakin senja, Kasim masih sempat menelusuri ruas jalan
Ladia Galaska, antara Pinding dan Lokop, yang pembangunannya memicu
kontroversi. Ia salah seorang anggota tim terpadu yang ditugaskan
pemerintah untuk mengkaji ruas jalan yang masih bermasalah itu.
Meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter keluar-masuk hutan dan
perkampungan, Kasim yang memasuki usia 66 tahun (lahir di Langsa, Aceh
Timur, 18 April 1938) tidak tampak kelelahan. "Pekerjaan saya memang
seperti ini. Tahun 1960-an saya pernah melintasi jalur ini sampai ke
Lokop," ungkapnya.
Seorang Kasim….. telah lama tiada, tetapi sangat pantas untuk dikenang…..
Naskah ini saya kumpulkan kembali dari berbagai sumber, untuk mengenang
Kasim sebagai seorang guru yang luar biasa.
Salam,
akmal_se...@yahoo.com
--
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. Email besar dari 200KB;
2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe